Thursday, September 29, 2011


Berikut kultwit yang menggugah tentang menulis dari Salim A Fillah. Selamat menikmati…
1. Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data. #Write

2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran & bersembunyi di jalur rumit otak. #Write

3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab. #Write

4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi’i; ilmu adalah binatang buruan, & pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya. #Write

5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu & dikaruniai pengertian; adakah kemajuan? #Write

6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. #Write

7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan. #Write


8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan & penilaian. #Write

9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar & sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. #Write

10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan. #Write

11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam. #Write

12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu & ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak. #Write

13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi. #Write

14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan. #Write

15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran… #Write

16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, & Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya? #Write

17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan. #Write

18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai. #Write

19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba. #Write

20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?” #Write

21. Moga kelak dijawabNya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan.” #Write

22. Tulisan sahih & mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan. #Write

23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, & ayat pertama berbunyi “Baca!” #Write

24. Tersebut di HR Ahmad & ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman… #Write

25. ..”Tulislah!” Tanya Pena; “Apa yang kutulis, Rabbi?” Kata Allah; “Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu.” #Write

26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam & membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31) #Write

27. Dan “Baca!”; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca
28. ..menulis -kata mereka- ialah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata>, tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta. #Write

29. Muhammad hadir bukan dengan mu’jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut ‘Bacaan’. #Write

30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi. #Write

31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia & mengubah dunia. #Write

32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, & tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? #Write

33. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, & Daya Memahamkan. #Write

34. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan. #Write

35. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya? #Write

36. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis. #Write

37. Alasan kuat tentang diri, tema, & akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan. #Write

38. Keterlibatan hati & jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan. #Write

39. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah & semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca. #Write

40. Menulis memerlukan kata yang agung & berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap & takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala. #Write

41. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran & darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci… #Write

42. …dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat & bertaqwa (QS 16: 66). #Write

43. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah & tak mudah, ada goda kotoran & darah, kekayaan & kemasyhuran, riya’ & sum’ah. #Write

44. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan & perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci. #Write

45. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran & darah, racun & limbah; lalu disajikan pada pembaca. #Write

46. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu & ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis & berbagi. #Write

47. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, & muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. #Write

48. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya. #Write

49. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati. #Write

50. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu’ & shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata.. #Write

51. …Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa.. #Write

52. …lalu menulis itu sekedar 1 dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka. #Write

54. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa. #Write

55. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf & tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru. #Write

56. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Fakidusy Syai’, Laa Yu’thi: yang tak punya, takkan bisa memberi.” #Write

57. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu & berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti. #Write

58. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; & membawakan makna ke alam tinggalnya. #Write

59. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal & hati. #Write

60. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi. #Write

61. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang & kedalaman tafsir. #Write

62. Dengan proses internalisasi; semua data & telaah yang disajikan jadi matang & lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi. #Write

63. Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali. #Write

64. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat 1 masalah dari banyak sisi. #Write

65. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. #Write

66. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar & baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih & tertentu. #Write

67. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih & tarikh; dalil & kisah; teks & konteks; fakta & sastra; penelitian ilmiah & sisi insaniyah. #Write

68. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari. #Write

69. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing2 pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu. #Write

70. Maka karyanya melahirkan karya; syarah & penjelasan, catatan tepi & catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, & bahkan bantahan. #Write

71. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan 1 pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia. #Write

72. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu & berwawasan dibandingkan dirinya sendiri. #Write

73. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.” #Write

74. Setiap tulisan & buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat & membuat penat saat dibaca. #Write

75. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu. #Write

76. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, & rendah hati. #Write

77. Penulis sejati ukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu.” #Write

78. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi. #Write

79. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. #Write

80. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu. #Write

81. Inilah yang jadikan tulisan akrab & lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, & rendah hati. #Write

82. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami. #Write

83. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai & tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet & jemari terhenti. #Write

84. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual. #Write

85. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan. #Write

86. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat.. #Write

87. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli.. #Write

88. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal. #Write

89. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka. #Write

90. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja. #Write

91. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, & tambah data. #Write

92. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini. #Write

93. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. #Write

94. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, & rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan.. #Write

95. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, & berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta. #Write

96. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang #Write. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)

97. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal & mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia. #Write

98. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, ‘amal shalih, & saling menasehati. #Write

99. Jika ada ‘amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu: tinggalkan menulis menujunya:) #Write

Posted on Thursday, September 29, 2011 by Akhdan Mumtaz

1 comment

Friday, August 26, 2011

“Mahasiswa (Pemuda) Dan Masjid Di Daerah Mahasiswa”

Dan perannya senantiasa jadi tonggak perubahan,
senantiasa jadi acuan yang menentukan,
bagi bangsa ini,
dan bagi umat ini
Merekalah Pemuda,
sosok yang syarat dengan tekad yang membara,
sosok yang syarat dengan semangat yang berkobar-kobar
sosok yang syarat dengan motivasi perubahan,


Pemuda,
sosok yang dinyatakan akan diberi naungan pada hari penghitungan,
karena bergantung dan terikat hatinya kepada Masjid
serta tumbuh dengan ibadah kepada-Nya
Pemuda.. Pemuda.. Dan Pemuda
(Idzkhir Al Mu’adz : 2011)

Sajak diatas bukanlah untuk selalu mengagung-agungkan mereka yang dinamakan pemuda. Sudah sangatlah banyak tulisan yang mencantumkan peran besar mereka dalam perubahan. Bahkan terkadang jadi kritik ketika kata itu hanyalah jadi nostalgia lama ketika melihat sosok itu saat ini. Nostalgia lama ketika “Kemerdekaan” RI saat ini adalah karena peran pemuda atau dikenal dengan golongan muda dalam sejarah masa SD. Dan mengapa kata kemerdekaan diberi tanda kutip sudahlah dipahami karena kita sangat sering mempertanyakan kata itu dengan realitas saat ini. Nostalgia lama ketika para pejuang itu adalah para pemuda. Nostalgia lama ketika setiap Revolusi dan Reformasi itu digerakkan oleh pemuda. Dan sajak ini hanyalah mencoba melihat kembali sejauh apakah Pemuda saat ini untuk bisa diharapkan.

Apabila ditilik lebih dalam maka terdapat sebuah hal besar dibalik setiap perubahan besar oleh Pemuda. Karakter yang telah dibangun secara kokoh yang ditempa ditempat-tempat yang memang membentuk karakter. Kita mengenalnya dengan bahasa Markas, kita mengenalnya dengan istilah Basecamp bahkan kita mungkin mengenalnya dengan frase “Tempat Nongkrong”. Ya, tempat nongkrong sebagai tempat setiap karakter itu terbangun baik secara sadar ataupun tidak. Sadar ketika tempat nongkrong itu memang memiliki sarana-sarana pembinaan dan tidak disadari ketika setiap diskusi dan obrolan hadir ditempat tersebut. Tempat yang akan sangat berperan ketika ada kekosongan dalam pembentukan karakter utama kita yakni di rumah bersama keluarga.

Maka pertanyaannya adalah dimanakah kita meletakkan markas-markas kita? Tempat-tempat manakah yang kita jadikan tempat nongkrong? Dan lokasi mana yang menjadi basecamp kita? Dan pada akhirnya dapat dipersaksikan bahwa sesungguhnya Masjid adalah Tempat Nongkrong Terbaik. Bukan sekedar tempat nongkrong dalam konotasi umum. Akan tetapi lebih dari itu sebagai tempat pembentukan karakter pembentuk peradaban. Masjid yang maknanya tidak terbatas menjadi sebuah bangunan yang harus megah dan agung sehingga bernama depan Masjid Agung ataupun Masjid Raya. Mesjid yang mungkin kita juga mengenalnya dengan nama Mushola, Surau, dan beberapa nama lain. Ya, Mesjid.. Bangunan yang berada dipenjuru negeri dan bumi ini.

Maka Pemuda dan Masjid adalah dua hal yang tidaklah terpisah. Sekali lagi, makna ini juga tidak dalam makna terbatas bahwa seorang pemuda dan masjid identik dengan pikiran sempit, identik dengan kekakuan pergaulan, identik dengan perspektif-perspektif kecil dalam menata kehidupan. Akan tetapi, memaknai hal yang dikenal dengan “syumul” yakni utuh dalam kepahaman. Pemuda dan Masjid, dua objek yang harusnya sangat erat sekali. Sehingga pandangan yang patut dipertanyakan ketika Masjid identik dengan orang-orang tua yang sangat khusu’ berada didalamnya. Hal yang kita pandang wajar dikarenakan mereka sangat dekat untuk mengingat maut. Tapi pertanyaannya adalah Apakah pemuda menjamin bahwa mautnya sangatlah jauh?

Betapa sering kita mendengar bagaimana sosok inspirasi itu sering berkumpul diberanda Masjid, sosok inspirasi yang sangatlah kita kenal bahkan tidak cukup untuk dijelaskan satu “Sirah”. Saling bertanya bersama sahabat-sahahat yang menginspirasi juga tentang perkembangan karakter mereka. Karakter iman, karakter ibadah, karakter aktivitas mereka. Dari sanalah sosok-sosok pemuda inspirasi itu terbentuk membangun peradaban. Dan tentunya kita mengenal mereka dalam “Sirah” Sejarah-sejarah peradaban dunia.

Dan apabila kita mempertanyakan bagaimana dengan bukti Pemuda dan Masjid saat ini tidaklah jauh untuk kita persaksikan. Di sebuah daerah selatan Keraton Jogja, Masjid Jogokariyan, tentang bagaimana peran pemuda dan masjid bisa merubah sebuah daerah Jogokariyan dari yang dahulu dibahasakan “hitam” menjadi daerah yang begitu menyejukkan pada kondisi yang kita kenal saat ini. Tidak jauh darinya kita mengenal Masjid Gede Kauman yang pernah diluruskan kiblatnya dari sebuah peran besar pemuda.

Harapan besar itu sesungguhnya telah hadir pada jiwa pemuda saat ini. Ketika hadir didaerah-daerah Mahasiswa (Pemuda) benar-benar menyejukkan hati. Geger kalong di Bandung, tidak jauh dari Universitas Pendidikan Indonesia. Plesiran di Bandung tidak jauh dari Institut Teknologi Bandung. Dan Pogung di Jogjakarta tidak jauh dari Universitas Gadjah Mada. Meskipun sejauh ini sedikit miris melihat kondisi yang sementara dialami di Tembalang, Semarang di daerah Universitas Diponegoro. Mungkin hal yang berbeda dengan lokasi kampus di Peleburan. Dan pada sorotan ini, warna cerah itu lahir dari Pemuda (Mahasiswa) yang terbangun di Masjid Kampus dan Daerah-daerah Mahasiswa.

Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Sudahkah menjadikan Masjid sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Ataukah ia memang telah menjadi bagian, akan tetapi hanya sebagai tempat pelebur segala kewajiban dan amalan kita. Tidak merugikah kita akan hal tersebut? Padahal tempat mulia yang dinaungi malaikat ini dapat membentuk karakter-karakter kita dalam menjadi bagian dalam pembangun peradaban. Dari majelis-majelis ilmunya, dari aktivitas-aktivitasnya, dari penghuni-penghuninya, dari nuansa dan keberkahannya. Sehingga akankah Masjid-masjid itu sepi oleh kita? Akankah Mushola-mushola kampus itu jauh dari kehadiran kita? Dan akankah setiap peluang pembentuk karakter disana kita lewatkan begitu saja?

10:02 WIB
Rabu, 24 Ramadhan 1432 / 24 Agustus 2011 M
Beberapa jam sebelum meninggalkan
Tembalang, Semarang

Idzkhir Al Mu’adz

Posted on Friday, August 26, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, August 22, 2011

Perbedaan itu menjadi sebuah khasanah keindahan didalam Islam. Bukanlah menjadi sebuah sebuah pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Bukankah Allah menjadikan hal itu sebagai jalan untuk menggali kedalaman pikiran dan ilmu kita. Sebagaimana yang Allah firmankan “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran : 90). Sehingga ketika terdapat sebuah kejadian yang menjadi pertanyaan di masyarakat ketika menjelang memasuki bulan Ramadhan yakni kapan hari pertama Ramadhan, harusnya tidak menjadi sebuah pertentangan siapa yang paling benar. Apakah itu Rukyat ataukah Hisab karena kedua metode tersebut ada dalilnya. Hanya selanjutnya perspektif kita dalam memandang tersebut. Catatannya adalah koridor perbedaan itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah.


Diskusi disini bukan dalam rangka membahas hal tersebut diatas dikarenakan khasanah ilmu yang dimiliki belumlah mumpuni untuk menjelaskannya. Namun, mencoba melihat kejadian yang dirasa perlu untuk dipilah-pilah. Berikut peristiwanya :

Kejadian 1 :
Shalat pun dimulai dengan aba-aba sang Imam, shalat Tarwih. Takbir hingga dilanjutkan bacaan Al Fatihah. Untuk kesempatan ini, sang Imam membaca secara tartil (memahami kembali makna Tartil yang seharusnya) hingga makmum pun harus cepat tanggap agar tidak ada gerakan yang terlalu terlambat dibandingkan gerakan imam. Singkat kata, shalat Tarwih ini memang lebih cepat gerakan dari yang biasanya. 2 rakaat pertama, 2 rakaat kedua diselingi dengan salawat kepada Rasulullah. Dan diantara 2 rakaat pertama + 2 rakaat kedua menuju hitungan 4 rakaat selanjutnya diselingi dengan aba-aba yang menyebutkan nama sahabat-sahabat Khulafaur Rasyidin. (Sekali lagi, Insya Allah pembahasan ini bukan terkait perbedaan khilafiyah terhadap prosesi ibadah ini. Apakah hal ini ada tuntunannya ataukah tidak).

Hingga sampailah pada hitungan rakaat ke-8. Menjelang dimulainya rakaat ke-9 dikarenakan shalat Tarwih disini berjumlah 20 rakaat, tiba-tiba satu setengah shaf jama’ah keluar dari shaf dan menuju bagian lain dari Mesjid bahkan ada yang langsung pulang. (Nah.. Lho, tidak mungkin kan jama’ah yang batal wudhu’nya sampai bersamaan dalam 1 shaf). Jama’ah tersebut melanjutkan sendiri ibadahnya dengan Shalat Witir, 3 rakaat sebagaimana keyakinan dari jama’ah-jama’ah tersebut. Sedangkan sang Imam dan jama’ah yang masih tersisa tetap menjalankan shalat sebagaimana kebiasaan yang ada disana.

Kejadian 2 :
Penceramah pun naik ke atas mimbar. Membuka ceramah Tarwih malam itu dengan begitu elegan (dr formal maLah muLai ni hiperbolanya... ^^). “Setiap bacaan dalam ibadah sahalat kita haruslah dimaknai dalam setiap ayatnya. Dari Takbir saja betapa kita benar-benar harus senantiasa bermuhasabah. Allahu Akbar, apakah kita benar-benar mengagungkan Allah. Ayat pertama Al Fatihah hingga ayat ke empat betapa kita harus berpasrah diri akan kekuasaan Allah,dst. Jangan sampai bacaan kita hanya dalam bentuk hafalan dalam setiap gerakan tanpa ada makna”. Kurang lebih itulah pembukaan ceramah malam itu. Sangat menggugah dan penuh hikmah dan makna.

Singkat kata, ceramah Tarwih malam itu selesai. Dan dilanjutkan dengan shalat Tarwih. Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan di Mesjid ini bahwa jumlah rakaatnya adalah 23 rakaat. Nah, berhubung materinya adalah memaknai bacaan shalat maka yang terpikir adalah shalat malam itu bacaannya panjang. Dan ternyata justru bacaannya adalah tartil (terpikir kembali makna dari tartil sebenarnya apa?). Sang penceramah yang berposisi sebagai makmum pun sampai melihat ke arah jam ketika 2 rakaat pertama selesai.

Sahabat, pernahkah kita mengalami peristiwa ini? Ataukah mungkin kita termasuk bagian yang keluar dari shaf jama’ah. Analogi terhadap tindakan ini adalah apakah tindakan ini termasuk hal yang ahsan dalam berjama’ah? Meskipun kita tetap harus berhati-hati dalam hal menganalogikan sesuatu. Ketika mencoba memahami, ternyata terdapat pernyataan Rasulullah terkait hal ini yakni :
“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)

Apabila dianalogikan ketika Imam adalah pemimpin kita maka sebuah keutamaan ketika kita mengikuti pemimpin kita. Tentunya selama pemimpin kita masih dalam jalan yang seharusnya. Dalam konsepan yang agak berat dan masih dalam tatanan memahami ini dikenal dengan pembahasan. Al Qiyadah Wal Jundiyah
Nah, untuk sebuah ketergesa-gesaan dalam ibadah coba kita pahami dari pernyataan Rasulullah :

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Apabila salat sudah dimulai, janganlah kalian menghadirinya terburu-buru, tetapi datangilah dengan tenang. Apapun yang masih bisa kamu kejar dalam berjama’ah ikutilah, dan apa yang kurang, sempurnakanlah.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Yup, untuk sebuah aktivitas menjelang ibadah shalat saja kita dianjurkan untuk tidak terburu-buru meskipun sudah sangat jelas kita terlambat (untuk hal ini coba dipahami lagi betapa keutamaan shaf terdepan shalat berjama’ah dan berlomba-lomba dalam kebaikan). Lalu bagaimana dengan ibadah itu sendiri? Apakah memang harus terburu-buru?

Nah, pernyataan-pernyataan ini adalah sebagai pemantik kita untuk memahami lebih dalam terkait amalan kita. Silahkan hubungi ustadz-ustadz, dan majelis ilmu terdekat ^^. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang beramal berdasarkan ilmu.
Menuju Insan Berilmu & Penuh Amal

Oleh Idzkhir Al Mu’adz
Semarang, 22 Ramadhan 1432/22 Agustus 2011 M

Posted on Monday, August 22, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, August 18, 2011

Hm... Sebuah mimpi itu seolah diperlihatkan hari ini. Jurusan Teknik Madani & Islami, memang bukan hanya sebuah impian. Dan inilah kisahku untuk mozaik kehidupan hari ini. Hari ini yang cerah ketika menapaki perjalanan ba’da Shubuh dari Mesjid Al Ashri. Ketika saya harus bersiap untu menuju sebuah mata kuliah wajib yang hampir seluruhnya dinikmati mahasiswa, Matematika 2. Hm... sebuah resiko menjadi mahasiswa yang mengulang mata kuliah. Ada sebuah kemalasan untuk menikmati setiap prosesnya apalagi ini untuk pertama kali menjadi mahasiswa dengan label “sesepuh” dikelas. Namun, sebuah tekad perbaikan haruslah tetap dipertahankan. Karena sebuah gengsi haruslah dibelakangkan untuk sebuah ilmu.

Namun kisah ini bukan tentang saya yang harus mengulang mata kuliah dengan berbagai alasannya. Akan tetapi tentang sebuah hal yang tanpa sadar direncanakan Allah untuk diperlihatkan. Ketika memasuki kelas sebagai 5 orang pertama pagi itu dengan segala aktivitas adik angkatan yang masih bertahan dengan sifat rajinnya. Hingga secara bergantian kelas dipenuhi oleh mahasiswa dan mahasiswi mata kuliah tersebut.
Dan dosen pun memasuki ruang kelas sehingga kuliah “ceria” pagi itu pun dimulai. Sebuah hal biasa sesungguhnya ketika dosen memberikan kuliah, mahasiswa mendengarkan, mahasiswa membuat keributan, mahasiswa sms-an (untuk beberapa hal terakhir ini seharusnya bukan menjadi hal biasa). Namun, saya secara tidak sadar melihat kondisi yang bagi saya menjadi sebuah hal yang beda.


Apakah itu? (semoga ini bukan pandangan subjektif yang berlebihan). Posisi duduk saat itu secara tidak sadar telah menjadi 2 blok yang jarang ditemui. Mahasiswi di blok tempat duduk bagian kiri sedangkan mahasiswa berkumpul di blok tempat duduk bagian kanan. Adakah yang aneh dengan hal itu? Mungkin bukan hal aneh ketika kita kuliah dikampus Teknik Kimia (berdasarkan kisah dari Kajur yang juga memberikan kuliah disana) ataupun di kelasnya Teknik Mesin yang memang diisi oleh mahasiswa semua. Namun bagi saya, ini sebuah hal yang luar biasa terjadi dikampus tercinta ini (sekali lagi, semoga ini bukan pandangan subjektif yang berlebihan). Semoga ini wujud fitrah yang digerakkan Allah pada mahasiswa mahasiswi yang hadir pada hari ini.
Tidakkah hal ini menjadi impian kita bersama?

Kisah hari ini bukan hanya kisah manis layaknya yang sering tergambar dari gambaran awal dari tulisan ini. Namun masih berlanjut dengan hal yang mungkin harus menjadi evaluasi bersama dalam menjalani perjuangan ilmu.
Hm... Ketika mata kuliah ini berlanjut dengan curahan ilmu dari sang dosen. Tapi.... Mahasiswa dan mahasiswi ternyata belum bisa menahan rayuan dalam menjalani mata kuliah ini. Rayuan untuk mengobrol dengan teman sebelah, rayuan untuk tetap sms an, rayuan untuk tetap menikmati rasa kantuk. Meskipun saya pun terkadang menganggap biasa hal itu. Namun, ternyata kondisi ini sepertinya sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Suasana gaduh sangat terasa dalam menjalani mata kuliah ini.

Dan.... sebuah keputusan pun menyelesaikan semua hal ini. “Kuliah hari ini berakhir sampai disini”, ucapan yang mengheningkan suasana kelas. Maka kelas pun berakhir dengan keberangkatan sang dosen dari ruang kelas. Adakah hal yang aneh dari tindakan itu? Ataukah itu juga sudah menjadi hal biasa dalam pandangan kita. Bagi saya justru itu merupakan wujud teguran yang baik. Sebuah teguran bukan dengan wujud pelampiasan amarah yang menjadi-jadi. Jikalau kita melihat lebih dalam maka kita mungkin teringat bahwa Dan berdebatlah kamu dengan cara yang ahsan...”

Sebuah tauladan insya Allah bagi kita dalam menahan amarah. Dan tidakkah ini menjadi impian kita terhadap para pengajar kita dalam memberikan sebuah ketauladan dalam mengajar? Kisah ini masih berlanjut dengan salah satu mozaik secercah asa dari JTMI tercinta. Yakni ketika saya memutuskan untuk mengalihkan pandangan menuju Musala Al Hadid yang insya Allah diberkahi. Apa yang aneh pada hari ini? Bukan pada musalanya yang tiba-tiba menjadi berlantai tiga ataupun musalanya yang dipenuhi masyarakat JTMI untuk melaksanakan Dhuha (insya Allah inilah impian kita).

Namun pada muncul serangkaian besi terstruktur di depan Musala tercinta. Ketika saya mendekati benda tersebut, ternyata tercantum sebuah tulisan “TEMPAT SEPATU, JANGAN DIPINDAHKAN, M***** M*******A, Dosen UGM”. Subhanallah, sebuah hal yang luar biasa bagi saya (semoga ini subjektivitas yang tidak berlebihan) ketika menjadi saksi pertama keberadaan benda tersebut. Bukan karena bagusnya desain benda itu yang telah memenuhi syarat ergonomis, bukan karena sepertinya emang dibutuhkan ataupun hal lain. Tapi karena sebuah inisiatif fastabiqul khairat dari pengajar kita dalam beramal. Tanpa banyak bicara ataupun janji-janji, namun terlihat dengan memberikan sebuah bukti nyata dalam beramal.

Tidakkah semangat berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat) seperti inilah yang kita impikan dari jurusan kita tercinta?
Pada akhirnya semua ini hanyalah mozaik-mozaik kisah yang diperoleh dari hari ini. Sebuah kejadian nyata bukan sebuah mimpi terhadap sebuah impian Jurusan Teknik Madani dan Islami. Tidakkah sesungguhnya harapan itu telah ada dan tak terasa menjadi sebuah fitrah dalam aktivitas-aktivitas di kampus kita tercinta. Tidakkah sesungguhnya kitalah yang berusaha membangkitkan fitrah-fitrah tersebut agar menjadi kejadian nyata yang terjadi setiap harinya. Bukan hanya secercah harapan yang saya alami pada hari ini.

Pada akhirnya semuanya berawal dari diri sendiri. Bagaimana mungkin impian kita melihat jurusan kita menjadi Jurusan Teknik Madani & Islami tercapai ketika kita belum memulainya dari diri sendiri. Apakah ketika memilih tempat duduk justru sangat nyaman dengan posisi yang bercampur tanpa memperhatikan siapa di kiri & kanan kita. Apakah kita lebih suka duduk santai dan bercanda di lobi JTMI di pergantian jam kuliah pagi hari dibandingkan mengajak sahabat-sahabat kita di lobi menuju Musala untuk melaksanakan Dhuha. Ataukah justru karena kita nyaman berada di Musala sehingga membuat kita tidak berinteraksi dengan sahabat-sahabat kita sehingga dicap mengekslusifkan diri. Ataukah justru karena kita sangat “supel” dalam berinteraksi sehingga sedikit melupakan posisi bagaimana seharusnya dalam berinteraksi terhadap lawan jenis.

Semua tulisan ini hanyalah sebuah pengingat bagi diri saya ketika menjalani hari ini. Sebuah evaluasi bagi diri saya dalam menjalani perjuangan ilmu di kampus tercinta ini. Sebuah pesan kebermanfaatan dari mozaik kehidupan hari ini.
“Sungguh Sebuah Jurusan Teknik Madani & Islami Menuju Teknik Yang Islami Bukanlah Sebuah Mimpi”

Dimulai di Mushala Harapan, Musala Al Hadid JTMI Diselesaikan di Mushala Ukhuwah, Musala Teknik 11 Rabi’ul Tsani 1432/16 Maret 2011 M 14:23 WIB Oleh Idzkhir Al Muadz

Posted on Thursday, August 18, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments


Hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) selalu memunculkan ironi tahunan. Ada yang berbahagia dan ada yang bersedih. Tentunya bagi mereka yang bersedih adalah yang belum beruntung untuk kuliah di perguruan tinggi idamannya. Suatu hal yang harus kita pahami, bahwa kegagalan tersebut merupakan suatu kesuksesan yang tertunda. Khusus bagi mereka yang gagal, ada alternative dalam menyikapi kekecewaan tersebut dengan melakukan ronin. Ronin merupakan suatu usaha belajar kembali sambil menunggu waktu yang tepat dalam menggapai kesuksesan.

Istilah ronin berasal dari bahasa Jepang yang artinya adalah sebutan bagi samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya di zaman feudal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai samurai, karena samurai adalah “pelayan” bagi sang tuan. Dalam budaya popular, ronin didramatisasi sebagai samurai tak bertuan, hidup tak terikat pada tuan atau daimyo dan mengabdikan hidup dengan mengembara mencari jalan samurai sejati. Di awal abad ke-18, Jepang dilanda kekacauan. Pada masa itu, istana Shogun yang berada di Edo (sekarang Tokyo, marak dengan pameran kemewahan, korupsi, serta pesta-pora di kota tua Kyoto. Sama sekali jauh dari aturan social. Kesenian makin berkembang: teater populer mulai lahir. Dengan makin berkuasanya kelas pedagang, masa itu juga merupakan awal dari berakhirnya pengaruh prajurit bayara, atau samurai.Hilangnya pengaruh ini sangat mereka rasakan, terutama karena para samurai sangat membenci segala bentuk usaha yang bertujuan mencari keuntungan.


Di tengah perubahan yang membingungkan itu, kekacauan sering muncul. Kekacauan utama terjadi akibat petani dikenakan pajak diluar bata kemampuan mereka oleh Shogun, penguasa di seluruh Jepang. Samurai jarang sekali menimbulkan kisa keke-Kisah 47 Ronin rasan, suatu sikap yang merupakan bentuk penghormatan atas tingginya latihan serta disiplin mereka. Namun seorang samurai juga memiliki batas kesabaran. Khusunya bagi seorang daimyo muda yang terpaksa harus berurusan dengan tradisi istana yang sama sekali tak bermanfaat. Peristiwanya terjadi di Edo tahun 1701.

Dalam keadaan marah dan kecewa, Lord Asano dari Ako menyerang seorang pejabat istana yang korup sehingga memicu serangkaian peristiwa yang berakhir dengan balas dendam paling berdarah dalam sejarah Jepang. Rangkaian peristiwa ini mengejutkan seluruh negeri sehingga Shogun pun menghadapi kebuntuan hukum dan moral.

Ketika semuanya berakhir, Jepang memiliki pahlawan baru-yaitu 47 ronin (mantan samurai) dari Ako. Fakta sejarah atas tindakan mereka sangat jelas; tapi keterangan terperinci tentang peristiwa itu sangat kabur. Berbagai versi telah dikisahkan dalam bentuk lagu, cerita, drama, dan film. Di zaman Jepang kuno, ronin berarti orang yang terdaftar sebagai penduduk disuatu tempat, tapi hidup mengembara di wilayah lain sehingga dikenal juga dengan sebutan furo (pengembara).

Di zaman Muromachi dan zaman Kamakura, samurai yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal menjadi pengembara. Pada waktu itu, ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk berperang, ronin hampir tidak berkesempatan mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan yang buruk menyebabkan ronin membentuk komplotan yang saling berebut wilayah dan pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan pencoleng hingga menimbulkan huru-hara.

Di zaman Sengoku, sengoku daimyo yang tersebar di seluruh Jepang memerlukan prajurit dalam jumlah yang sangat besar, sehingga ronin mempunyai kesempatan besar untuk mendapat majikan baru. Tidak seperti di zaman Edo, hubungan antara samurai dan tuannya di zaman Sengoku tidaklah begitu erat. Di zaman Sengoku, samurai banyak yang memilih menjadi ronin atas keputusannya sendiri karena situasi kerja yang tidak memuaskan. Ada juga samurai yang memilih menjdai ronin agar bisa menemukan tuan yang menjadikan kondisi pekerjaan dan gaji yang lebih baik. Samurai yang berpindah-pindah tuan juga tidak kurang jumlahnya, bahkan ada juga ronin yang sukses menjadi daimyo. Semasa hidupnyam samurai bernama Todo Takatora pernah mengabdi untuk 10 orang majikan. Pada waktu itu, orang masih bisa semaunya berpindah-pindah kelas, seperti samurai berganti profesi menjadi pedagang atau petani menjadi samurai.

Setelah Toyotomi Hideyoshi berhasil mempersatukan Jepang, berakhir pula zaman perang saudara yang berkepanjangan sehingga samurai banyak yang menjadi ronin. Sebagian besar daimyo tidak lagi perlu memiliki banyak pengikut. Setelah pertempuran Sekigahara yang dimenangkan kubu pasukan Timur, wilayah kekuasan daimyo Pasukan Barat banyak sekali yang dirampas sehingga para samurai yang kehilangan pekerjaan menjadi ronin.

Di zaman Keshogunan Edo, pemerintah Bakufu menghancurkan daimyo yang termasuk tozama daimyo (daimyo yang pernah klan Toyotomi) sehingga jumlah ronin menjadi semakin banyak. Memasuki zaman Edo, jumlah samurai yang dimiliki para daimyo begitu berlebihan sampai hampir-hampir tak ada penerimaan samurai baru. Selain itu, hubungan antara majikan dan samurai menjadi teratur karena pengaruh Konfusianisme. Samurai yang desersi meninggalkan tuannya tidak lagi akan diterima sebagai abdi daimyo di tempat lain. Dalam pertempuran Osaka, klan Toyotomi banyak sekali dibantu para ronin untuk menghadapi pasukan Tokugawa. Jumlah ronin yang membantu klan Toyotomi dalam Pertempuran Osaka dikabarkan mencapai 100.000 orang, walaupun banyak diantaranya yang tewas terbunuh.

Zaman Edo, penghapusan sebagian besar daimyo mengkibatkan jumlah samurai yang menjadi ronin makin bertambah banyak. Di akhir pemerintahan Tokugawa Iemitsu, jumlahj ronin melonjak sekitar 500.000 orang karena peran samurai tidak lagi dibutuhkan di masa damai. Sebagian besar ronin, menjadi penduduk kota atau menjadi petani, sebagian ronin bahkan pergi merantau ke luar negeri menjadi prajurit bayaran. Sebagian besar ronin justru hidup menderita dalam kemiskinan di kota-kota dan pemerintahan Bakufu (feodal) menganggapnya sebagai ancaman keamanan.

Ronin banyak yang diusir dari kota dan hanya boleh tinggal di wilayah-wilayah yang ditentukan. Pemerintah Bakufu bahkan mengambil tindakan yang lebih kejam dengan melarang ronin mencari tuan yang baru. Kelompok ronin yang terusir kesana kemari akhirnya bersatu dibawah pimpinan Yui Shosetsu dan berkomplot untuk menggulingkan pemerintah Bakufu dalam Pemberontakan Keian. Pemerintah Bakufu melarang pengangkatan anak sebagai putra pewaris darurat (mat-sugoyoshi) akibatnya garis keturunan daimyo banyak yang terputus karena daimyo keburu meninggal tanpa memiliki putra pewaris. Keluarga daimyo yang tidak mempunyai putra pewaris terpaksa bubar dan samurai yang kehilangan tuannya berakhir menjdai ronin.

Setelah pecahnya Pemberontakan Keian, pemerintah Bakufu memperbaiki kebijakan terhadap ronin. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru, seperti melonggarkan larangan mengangkat putra pewaris darurat, mengurangi jumlah daimyo yang dirampas wilayah kekuasaannya, dan meninjau kembali pembatasan wilayah permukiman ronin. Peluang ronin mencari majikan baru juga dibuka kembali. Walaupun sudah ada kebijakan baru, jumlah samurai yang menjadi ronin tidak juga bisa berkurang. Ronin-ronin baru terus bermunculan akibat perampasan wilayah kekuasan para daimyo yang terus berlanjut.

Situasi kehidupan ronin Di zaman Edo, ronin yang sudah kehilangan jati diri sebagai samurai masih diakui pemerintah sebagai “samurai” dan masih diizinkan memakai nama keluarga samurai dan membawa katana di pinggang. Sehari-harinya ronin hidup berdampingan dengan rakyat banyak dibawah pengawasan pemerintah kota (machi bugyo). Sebagian besar ronin hidup miskin di rumah-rumah sewa tapi ada juga ronin yang berhasil menjadi sastrawan ternama seperti Chikamatsu Monzaemon. Ronin ada yang membuka dojo (tempat berlatih bela diri), menjadi instruktur bela diri atau menyumbangkan jasa sebagai guru mengajar anak-anak orang biasa di terakoya (sekolah dasar swasta yang menempel di kuil agama Budha). Miyamoto Musashi adalah seorang ronin yang terkenal sebagai jago pedang tanpa tanding. Di akhir zaman Edo, pada ronin mulai berperan aktif di bidang politik.

Samurai dari kelas yang disebut goshi (samurai distrik) banyak yang atas permintaan sendiri meninggalkan wilayah han (tempat tinggalnya) supaya bisa terjun di bidang politik. Sakamoto Ryoma adalah salah satu contoh ronin yang berhasil sebagai politisi. Pada waktu itu, ronin palsu juga banyak bermunculan. Penduduk kota dan petani yang tidak dilahirkan dari kalangan samurai banyak yang mengaku-ngaku sebagai ronin memamerkan katana di pinggang, dan memakai nama keluarga samurai dengan semaunya. Shinsengumi dianggap sebagai kelompok ronin, tapi anggotanya banyak yang terdiri dari penduduk kota dan petani. Setelah Restorasi Meiji, identitas ronin ikut dihapus sesuai dengan prinsip Shiminbyodo (penghapusan semua golongan dan kelas dalam masyarakat).

Di zaman sekarang, istilah ronin digunakan di Jepang untuk lulusan sekolah menengah umum yang gagal lulus tes masuk perguruan tinggi atau sekolah lain yang lebih tinggi. Lulusan SMU yang tidak lagi terdaftar di sekolah manapun diumpamakan sebagai ronin yang tidak lagi memiliki majikan tempat mengabdi. Namun bedanya, ronin masa kini adalah ronin akademis yang berjuang mencari tempat belajar demi menggapai cita-cita. Sedangkan ronin masa dahulu adalah ronin yang militeris, mantan samurai yang berjuang mencari gaji untuk kelangsungan hidupnya.

Alternatif kegiatan ronin masa kini dapat kita lihat pada berbagai tempat bimbingan belajar atau bimbel. Yang memfasilitasi aktivitas belajar selama kurun tertentu dalam menunggu ujian berikutnya. Hal ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, mereka yang ronin ditempat bimbel tentu lebih matang dalam persiapan ke depan dan mantap dengan materi-materi ilmiah maupun teori ujian. Sedangkan kekurangannya, adalah boros waktu karena aktivitas ronin tersebut lumayan memakan waktu, misalnya setahun atau lebih.

Banyak juga yang kurang sepakat jika menunda masa kuliah dengan alasan umur yang tetap bertambah. Bahkan ada yang memilih lebih baik kuliah di perguruan tinggi swasta saja. Walaupun harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Apapun pilihan kita untuk menentukan masa depan tentulah penuh perhitungan pastinya. Dimanapun kita memilih, itulah yang terbaik. Apabila bisa memberikan pendapat, maka tidak ada salahnya untuk melakukan ronin agar niat untuk kuliah di perguruan tinggi idaman dapat tercapai. Ada teman yang bernama si A melakukan ronin selam setahun, akhirnya ia bisa kuliah di universitas ternama tahun berikutnya sesuai dengan keinginannya.

Sekarang terserah kita, mau tetap menelan kekecewaan karena gagal SNMPTN atau optimis melakukan ronin demi menggapi masa depan yang gemilang. Jangan lupa untuk mengiringi setiap usaha kita dengan do’a. Semoga termotivasi untuk melakukan yang terbaik. dikutip dari tulisan Sisri Dona di Harian Singgalang

Posted on Thursday, August 18, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments

Terkadang kita tidak menyadari ketika kita berdiri, berucap, dan bergurau saat ini merupakan hari terakhir bagi kita untuk berada di dunia. Seperti sebuah kisah berikut yang Insya Allah membawa hikmah bagi kita.............

Pada hari terakhir sebuah pesantren Ramadhan seorang pemateri menutup dengan sebuah renungan. “Mari kita mengevaluasi setiap detik yang kita jalani saat ini, bisa jadi saat ini merupakan pertemuan terakhir kita dalam acara ini”, renung pemateri tersebut. Hingga semua hadirin larut dalam renungan hari terakhir tersebut. Sebuah semangat perubahan tampak muncul pada setiap remaja yang hadir pada acara tersebut. 1 bulan berselang sang pemateri menerima sebuah pesan singkat yang mengejutkannya.
“Ustad terimakasih atas bimbingannya kepada adik saya, Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, alhamdulillah beliau sudah kembali keharibaannya pagi tadi”, isi pesan singkat tersebut.


Sebuah hal yang tidak terkira sebelumnya bahwa renungan beberapa bulan yang lalu. Sang pemateri inipun bergegas untuk menyempatkan hadir pada acara pemakaman anak didiknya tersebut. Dan akhirnya bertemu dengan keluarga yang ditinggalkan hingga ceritanya pun menjadi lengkap. Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba adik saya menderita demam panas. Hingga kemudian kamipun memeriksakannya ke sebuah klinik. Akan tetapi, diagnosa cuman menyatakan bahwa dia cuman menderita demam biasa. Hingga sang adikpun diinapkan dirumah tanpa harus dirujuk ke rumah sakit.

Akan tetapi, pada malam harinya demamnya malah bertambah panas hingga kedua orangtua kami khawatir dan membawanya ke ke rumah sakit. Dokter masih menyatakan bahwa itu hanya demam biasa meskipun kedua orang tua tetap meminta untuk rawat inap di rumah sakit. Esok harinya demam sang adik semakin bertambah panas hingga orang tuanya pun senantiasa mendampingi. Akan tetapi, adik saya tetap menjalaninya dengan sabar dan tenang. Bahkan meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengambilkan alqur’an dan membacakan surat yasin. Bahkan adik saya mengejakan di halaman berapa surat yasin berada.

Selesai surat yasin dibacakan tiba-tiba adik saya bergumam kepada ayah saya. “Pa, siapa orang yang berada disamping papa”, kata anak itu. Kedua orang tua tsb saling memandang dan menyadari bahwa tidak ada orang diruangan tsb kecuali mereka berdua. Hingga sang bapak pun seolah-olah melebarkan tangannya untuk menyatakan bahwa tidak ada orang disampingnya. “Sekarang, dia berada disebelah mama”, tambahnya. “ Siapa ?”, ungkap sang ibu. “Orang yang berjubah putih Ma yang tadi berada disamping Papa”, imbuhhya.

Sang ibu pun juga melakukan hal yang sama dilakukan sang ayah. “Sekarang, beliau sudah berada di depan saya”, ungkap adik saya. Kedua orang tua hanya bisa heran akan pernyataan sang anak. Dan seketika sang anak melipat kedua tangannya, meluruskan badannya seolah akan sholat dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan memandang ke arah langit dengan sebuah senyuman. Sang adik telah berpulang ke rahmatullah dengan begitu damainya.


Pertanyaannya teman-teman apakah kita bisa mencapai akhir hayat seperti itu. Dengan begitu lancarnya mengucap dua kalimat syahadat dan damai. Apalagi sebagai seorang remaja yang penuh dengan godaan dan hiruk pikuk dunia. Dan tahukah teman-teman apa yang terjadi dengan kedua orang tua sang anak saat ini? Hidayah memang datang di saat yang tidak disangka-sangka termasuk saat kepergiaan sang anak. Sang ayah tanpa malu kembali belajar membaca al qur’an dari tahap dasar yakni iqro’. Keluarga inipun semakin mendekatkan diri kepada ilahi Rab. Ini adalah sebuah kisah nyata, satu dari beribu pelajaran yang diberikan Allah kepada kita.

Posted on Thursday, August 18, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments

Alangkah indahnya sebuah perubahan dengan perwujudan ketauladanan. Perubahan dengan ketauladanan kepada teman sebaya, ketauladanan kepada yang lebih tua, ketauladanan kepada yang lebih muda. Dan sesungguhnya Ketauladananlah cara paling baik dalam menghadapi setiap perlawanan. Bukankah Rasulullah berhasil membangun umat Islam yang Madani dengan ketauladanan beliau. Atau dapat dilihat dari kutipan kajian historis seorang sahabat Rasulullah saw yaitu Saad Bin Abi Waqqash.
“Seorang pemuda berusia tujuh belas tahun menceritakan kisah keislamannya. Saad bin Abi Waqqash nama pemuda itu. Ia berkata, "Pada suatu malam, di tahun ini, saya bermimpi seolah-olah tenggelam di dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ketika saya terbenam di dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada cahaya bulan yang menerangiku. Saya kemudian mengikuti arah cahaya itu dan saya dapati di sana ada sekelompok manusia, di antara mereka terdapat Zaid bin Haritsash, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar Ash-Shidiq. Saya bertanya, "Sejak kapan kalian ada di sini?" Mereka menjawab, "Satu jam."


Manakala siang telah muncul, saya mendengar suara dakwah Muhammad saw. kepada Islam. Saya meyakini bahwa saya sekarang berada di dalam kegelapan dan dakwah Muhammad saw. adalah cahaya itu. Maka, saya pun mendatangi Muhammad dan aku dapati orang-orang yang kujumpai dalam mimpi, ada di samping beliau. Maka, aku pun masuk Islam.

Tatkala ibu Sa'ad mengetahui hal ini, dia mogok makan dan minum, padahal Sa'ad sangat berbakti kepadanya sehinga dia merayunya setiap waktu mengharapkannya untuk mau makan walau hanya sedikit, tapi ibunya menolak. Manakala Sa'ad melihat ibunya tetap teguh berpendirian, dia berkata kepadanya, "Wahai ibu! Sesungguhnya saya sangat cinta kepadamu, namun saya lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, seadainya engkau mempunyai seratus nyawa lalu keluar dari dirimu satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini demi apapun juga."

Tatkala sang ibu melihat keteguhan hati anaknya, dia pun menyerah lalu kembali makan dan minum meskipun tidak suka. Allah kemudian menurunkan ayat tentang mereka yang artinya, "Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kaum mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (Luqmaan: 15)

Maha Benar Allah yang Maha Agung.
*Sumber: Asyabalunal 'Ulama (65 Kisah Teladan Pemuda Islam Brilian), Muhammad Sulthan.

Saudara yang seperjuangan, inilah bukti bahwa sebuah ketauladanan dapat melembutkan
perlawanan, termasuk dari ibu kandung sendiri.
Tulisan ini bertujuan menyoroti seringnya muncul kebingungan dalam mewujudkan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Apakah mungkin perubahan ini secara drastis dan tiba-tiba? Ataukah tidak?
Dari pengalaman yang ada, perubahan diri secara drastis sangatlah mungkin dan sering terjadi. Tetapi, terdapat kerentanan dalam hal konsistensi. Konsistensi untuk drastis dalam perubahan, juga drastis untuk kembali ke keadaan awal. Dalam hal ini contoh perbuatan yang ibarat titik demi titik yang sering terlupa karena kesederhanaannya. Padahal, titik-titik ini begitu bermakna dalam membentuk sebuah garis, membentuk sebuah bidang hingga sebuah ruang diri berkarakter Islam. Titik demi titik ini sesuai dengan salah satu semboyan 3M-nya Aa Gym yakninya MULAILAH DARI HAL YANG SEDERHANA.

Bersalaman KEPADA Orang tua
Al Isra 17 : 23
Tulisan ini bukan menjabarkan pentingnya berbuat baik kepada orang tua. Disamping karena keterbatasan keilmuan juga dikarenakan hal ini tentunya sudah banyak disinggung ulama, ustadz, guru, dosen dan ilmu tentang ini. Akan tetapi, tulisan ini hanya memberikan satu contoh hal yang sering terlupa bagi teman-teman remaja. Yakninya, izin dan bersalaman dengan orang tua.
“Sesungguhnya, apalah arti izin dan bersalaman dengan orang tua? Kita kan udah bukan anak kecil lagi. GeNGsi donk…”
Pernyataan yang memang beralasan. Akan tetapi, sesungguhnya perlu kita selami makna terdalam dari ibadah ini. Ya, mungkin ini dapat dimulai dari sebuah “Andai-andai”. Karena kita sering membuat peng-andai-an. Mulai dari andai aku jadi presiden hingga andai aku jadi bunga, kamu jadi apa?? He3x
Tapi pengandaian yang berpedoman pada hadits bahwa kita harus banyak mengingat kematian untuk senantiasa mengevaluasi diri.
Bagi teman-teman remaja, coba kita bayangkan apa yang terjadi jika hari ini pekerjaan kita sebagai seorang siswa-siswi tidak dimulai dengan izin dari orang tua. Ketika kita berangkat dari rumah menuju sekolah dengan santainya tanpa izin dan bersalaman dengan orang tua. Sadarkah kita, ketika kita menyentuh dan mencium tangan orang tua ketika berangkat, akan terbersit sebuah do’a dari orang tua. Ada sebuah embun penyejuk bagi mereka melihat anaknya akan menuntut ilmu.
Dan tentunya sebagaimana diketahui bahwa do’a orang tua bagi anaknya termasuk do’a yang di ijabah oleh Allah swt. Coba kembalikan bayangan apabila ketika pulang sekolah, kita justru melihat keramaian di rumah kita. Bukan untuk pesta tapi sebuah acara dengan pakaian tamu yang datang serba hitam. Mungkin baru pada kondisi inilah terdapat sebuah penyesalan mendalam pada diri kita.
Jadi, teman-teman, adik-adik remaja, inilah salah satu hal sederhana yang sesungguhnya begitu bermakna.

Gelar bagi orang Lain
Al Hujurat 49 : 11
Ini bukan gelar sarjana Lho. Juga bukan gelar adat Minangkabau seperti datuak, sidi, sutan, bagindo, dsj. Tapi ini berbicara tentang Dunia remaja, dunia penuh dengan canda tawa. Dan Terkadang membuat kita begitu asyiknya dengan keadaan ini.

Ilustrasinya seperti ini saja, Hm….apa yang terbersit pada pikiran kita ketika bertemu dengan sahabat baru berperawakan besar? Perut Besar? dLL?
Gendut?? Brilian, maka kitapun memanggilnya si Gendut.
Atau tiba-tiba datang lagi seorang kawan laki-laki yang agak lemah gemulai. Apa yang terbersit? Bencong, ½ Laki-laki, dsb.

Kita mungkin bilang “Pastinya itu pantas donk, bukan fitnah, bahkan sesuai dengan realita”. Pada kenyataannya, memang seperti itu. Akan tetapi, kita terlupa satu hal, apakah si penerima gelar sakit hati… apabila hal ini terjadi maka sesungguhnya kita telah berbuat aniaya kepada teman-teman lain. Apa susahnya sih memanggil sesuai dengan namanya yang baik. Bukankah nama itu adalah do’a dan tentunya memanggil dia dengan nama yang baik justru tidak membuang energy kita.
iniLah salah satu contoh simple but bermakna lainya

Menebar Salam dan Senyum
An Nur (24 ; 27)
“Punten aa... Monggo mas....., Misi mas....,” Kata-kata ini sesungguhnya sudah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Namun terkadang kita terlanjur menyepelekan hal sederhana ini. Salut deh kepada teman-teman, remaja-remaji dan para pembaca yang ternyata membiasakan kebiasaan ini. Dan buat teman-teman yang belum, tentunya “biasakanlah membiasakan kebiasaan yang dibiasakan oleh orang yang biasa membiasakan kebiasaan ini” [jadi ingat kuis saat pemilihan anggota OSIS, he3x....]
Sederhananya gini, coba kita memposisikan diri sebagai orang lain. Ketika kita ketemu orang trus memiliki keinginan hati untuk tersenyum, ternyata orang tersebut hanya cemberut tanpa ekspresi sedikitpun atau justru menampakkan wajah garang. Apakah yang kita rasakan. Biasa aja......?? Berarti anda telah memiliki keikhlasan yang luar biasa. Atau muncul pertanyaan dalam hati, kok sampe segitunya ya??? Cuman senyum dibalas “tuba”. Begitulah perasaan orang lain ketika kita kurang menebar salam dan senyum. Sungguhlah keindahan yang luar biasa mengakrabkan ketika kita tersenyum [bukan senyum sendiri lo] atau menyapa dengan memberi salam kepada orang lain meskipun belum kenal.
Seorang sahabat pernah merasakan berkah dari kebiasaan ini. Ketika di SMA kebiasaan ini dapat mengakrabkan dia dengan seluruh karyawan sekolah. Mulai dari satpam, penjaga sekolah, karyawan Tata Usaha sampai guru-guru baik yang pernah mengajar dikelas ataupun belum pernah. Dan ketika berada diluar daerah untuk kuliah, kebiasaan ini juga begitu bermanfaat. Bisa kenal dengan orang-orang di rute jalannya menuju kampus hanya karena sering menebar senyum dan sapa ketika bertemu.
Ya, ternyata kebiasaan ini begitu bermakna bila kita resapi dan kita ejawantahkan.

Mengikat iLmu dengan MenuLiskannya
Membaca adalah hal yang utama dalam memperoleh ilmu. Baik membaca dari ayat-ayat tertulis ataupun tidak. Dalam hal ini memang disadari bahwa kebiasaan ini butuh proses pembiasaan diri. Tapi langkah awal dalam memperoleh ilmu dan sering terlupa adalah menuliskannya. Meskipun hanya berupa coretan-coretan gak jelas, akan tetapi sesungguhnya disana terdapat kepahaman dalam menuliskannya. Terkadang kita memang terlena dengan teknologi fotokopi. “Ntar pinjam catatan si X ja Lah, trus difotokopi”, kalimat yang sering terpikir dalam pikiran kita ketika akan menulis. Padahal setiap detil tulisan hanya dapat dipahami oleh orang yang menulisnya. Sedangkan bagi kita yang membaca yang tertulis hanya mendapat ilmu dari yang tertulis tsb. Bukan dari ilmu yang tersirat ketika ilmu tersebut ditulis. Dan ujung-ujungnya kita pasti akan bertanya kepada yang mempunyai tulisan. So, mari bergerak untuk mengikat ilmu dengan menuliskannya.

Inilah contoh beberapa kebiasaan sehari-hari yang tergolong sederhana untuk dilaksanakan dan dibiasakan. Akan tetapi, sesungguhnya sangat bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain. Beberapa memang merupakan hubungannya terhadap sesama manusia (muamalat) bukan bermaksud menomorsatukan hubungan dengan sesama manusia dibandingkan terhadap Sang Pencipta. Namun, kebiasaan ini haruslah diikuti dengan setiap perbaikan yang lebih kepada Yang Maha Memberikan Ilmu. Karena sesungguhnya apalah arti kebaikan kepada sesama manusia apabila dihadapan-Nya kita bukanlah apa-apa.
Yogyakarta, 29 Maret 2010 @6:06 am

Posted on Thursday, August 18, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments

“Seorang manusia, sinar fitrah tanpa dosa, dengan wajah yang seharusnya diisi senyuman dan kegirangan. Dalam menikmati masanya, hari-harinya yang tidak akan pernah terulang. Namun tampak bertebaran di jalanan, dengan sepotong gitar, dengan sepotong kayu berhias tutup-tutup botol bahkan dengan senampan cawan tempurung kelapa berisi recehan. Dan diperiba dengan menggendong saudaranya yang lebih muda, yang seharusnya berada dalam ayunan” .

Itulah potret realita di depan mata kita masing-masing. Mungkin kita hanya bisa acuh tak acuh atau berkata bahwa itu sebuah hal lumrah. Atau cukup dengan menunjukkan rasa kasihan dalam wujud recehan, kertas berangka puluhan bahkan ratusan. Dan bahkan menyatakan ini kan seharusnya jadi tanggung jawab orang-orang di atas. Akan tetapi, sesungguhnya ada tanggung jawab yang besar bagi kita terhadap keadaan ini. Tanggung jawab yang setidaknya merubah keadaan ini menjadi sesuatu yang lebih baik.
Terlebih dahulu terdapat beberapa pertanyaan besar terhadap keadaan ini. Pertama tentunya, dimanakah kedudukan orang tua terhadap anak-anak penuh senyuman itu? Bukankah setiap kita mengetahui bahwa Anak adalah amanah Sang Rab (Tuhan). Dan kita tahu amanah merupakan suatu kewajiban. Jadi, apakah dengan menjadikan keadaan mereka seperti itu dapat dinyatakan sebagai menjalankan amanah? Apalagi ini adalah amanah dari Yang Maha Pencipta.


Kedua, apakah sebegitu turunnya rasa solidaritas dan saling mengingatkan diri kita terhadap orang lain? Apalagi bagi kita yang mengenal siapa orang tua - orang tua bagi wajah-wajah mungil di jalan-jalan tersebut. Tidak pernahkah terbersit dalam hati nurani kita untuk peduli terhadap mereka. Setidaknya mengingatkan dimana seharusnya wajah-wajah mungil itu berada.

Ketiga, apakah sedemikian susahnya mencari materi hingga mereka harus terlibat dalam usaha mencari rezeki yang tercurah ke bumi ini? Terlampau sedikitkah rezeki yang diturunkan ke bumi ini? Hm…...Bukankah selalu terngiang di telinga kita bahwa setiap orang di dunia ini sudah memiliki pembagian rezeki masing-masing. Bahkan telah tertulis di Lauhul Mahfuz sebelum kita menangis ketika berada di dunia ini.

Dari beberapa pertanyaan ini, tersirat makna bahwa disadari atau tidak kita telah merampas senyuman-senyuman dari wajah-wajah mungil di dunia ini. Merampas masa-masa dimana mereka seharusnya menuntut ilmu, tumbuh dengan baik tanpa harus berpaku dengan peluh dan keringat, dan menikmati yang namanya masa-masa bahagia penuh harapan.
Lalu, tanggung jawab apa yang ada pada masing-masing kita berdasarkan keprihatinan ini? Jawaban untuk pertanyaan ini memang begitu luas terutama bagi bapak-bapak dan ibu-ibu yang berbaju safari dan sibuk dengan sidang-sidangnya.
Namun sebagai pribadi kita dituntut untuk tanggap terhadap problematika masyarakat di sekitar kita. Apalagi ketika kita melihat secara nyata apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah dengan memberi lembaran kertas bernilai ratusan sudah mewujudkan respon kita terhadap masalah ini. Sesungguhnya dibutuhkan lebih dari itu yakni dalam bentuk kontribusi nyata seperti mengingatkan, membimbing mereka dan melakukan pembinaan. Dapat dibilang tepatlah program pewujudan kepedulian kita terhadap mereka bukan melalui uang namun disalurkan melalui yayasan, badan amal tertentu, yang tentunya sudah kita yakini amanah. Kita juga dapat melaksanakan hal ini secara kolektif (bersama-sama). Sebagai contoh melalui organisasi-organisasi sosial yang melakukan pembinaan anak-anak di panti asuhan, rumah singgah anak jalanan, dsb. Diharapkan dengan kontribusi tersebut mereka tetap dapat menikmati masa seharusnya dapat tersenyum, menikmati nikmatnya ilmu, menikmati setiap detik usia mereka tanpa harus menunggu kebijakan-kebijakan yang mendukung mereka.
Yogyakarta, 29 April 2010 @6:30 am
(melanjutkan tulisan ketika masih berada di Pariaman tercinta)

Posted on Thursday, August 18, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments

Setelah begitu lama tak menggoreskan tinta dari ketikan tuts-tuts ini. Diri ini terpanggil untuk menyampaikan kisah ini. Sungguh kisah sahabat ini menjadi evaluasi besar tentang sebuah keikhlasan tak terperi.

Hal yang dimulai ketika oleh menakdirkan untuk berkesempatan pulang bersama sahabat ini meskipun dalam sebuah waktu yang singkat, 900 detik penuh bermakna. Kisah yang dibuka dari perkenalan singkat dalam perjalanan tersebut. Hingga tanpa sadar diri ini bertanya tentang sosok berharga yang dianugerahkan Allah swt kepada kita, kedua ibu bapak. Berikut kisahnya:

“Sungguh sebuah hal yang tidak disangka akh (panggilan saudara), klo menceritakan mereka. Yang jelas setiap liburan saya harus berusaha untuk pulang bertemu dengan mereka. Karena itulah satu-satunya kesempatan berjumpa dengan mereka. Apalagi terkadang hal itu terkorbankan dengan aktivitas dakwah meskipun telah memperoleh izin dari mereka”.Hingga hati inipun bertanya sejauh mana kondisi keluarga sahabat ini. Karena bagi diri ini sebuah kewajaran yang mengharuskan jarang berjumpa dengan keluarga terutama orang tua. Apalagi resiko seorang perantau ilmu dengan (Astaghfirullah) bangganya dalam hati.

“Saya memang telah di didik mandiri akh. Dari SMA pun saya mondok. Adik-adik saya pun sekarang juga seperti itu. Mereka ada 2 orang, adik tiri saya. Dikarenakan saya telah ditinggalkan oleh ibu ketika masih berusia 2 tahun. Hingga akhirnya hidup dan dibesarkan bersama nenek dan kakek karena saya juga terpisahkan dengan bapak yang berangkat ke sebuah kota besar.

Kondisi dahulu mungkin memang tidak memungkinkan untuk memperoleh kabar berita mengenai bapak saya. Hingga perjalanan hidup saya sampai masa menuju dewasa diperoleh dari didikan nenek dan kakek tercinta. Masa kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas saya lalui tanpa bisa memperoleh berita dari ayah saya. Dan cobaan itu datang ketika saya berada ditahun ketiga dari sekolah menengah atas. Nenek dan kakek akhirnya dipanggil oleh Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah rabbil ‘izzati. Sebuah hal yang memang harus diikhlaskan karena pintu tersebut sesungguhnya memang rahmat Allah swt.


Selanjutnya tetap berjalan sebagaimana seharusnya meskipun tanpa kehadiran nenek dan kakek yang mendampingi saya dari kanak-kanak. Dan ketika menjelang wisuda kelulusan SMA sebuah kejadian yang sungguh menjadi rahasia Allah. Melalui sebuah situs jejaring sosial yang saya miliki, terdapat sebuah permintaan pertemanan. Sebelumnya beliau juga mengirim pesan yang isinya do’a orang tua kepada anaknya. Saya pun sesungguhnya terkejut karena nama beliau memang sudah tidak asing bagi saya. Nama yang sering tercantum di akta kelahiran dan biodata saya. Nama ayahanda saya.

Dan tanpa ragu saya membalas pesan tersebut. ‘Apakah ini abi (panggilan ayah)?’ Dengan mencantumkan nomor telepon genggam yang saya miliki. Hingga akhirnya rahasia Allah itu terbukti. Ayahanda menelpon dan menghubungi saya pertama kali setelah 14 tahun tidak pernah berjumpa dan menatap wajahnya. Dan tepat di wisuda kelulusan SMA, akhirnya saya kembali dipertemukan dengan beliau, ayahanda saya yang dirindukan, setelah begitu lama saya tidak mengetahui bagaimana sosok beliau. 14 tahun sejak ditinggalkan ibu, beberapa bulan sejak ditinggalkan nenek dan kakek saya. Tidak ada kata-kata yang pantas untuk menggambarkannya. Sungguh Allah swt punya rencana dan rahasia-Nya bagi kita hamba-hambaNya”
-0-

Sahabat-sahabat yang dicintai karena Allah, Bagi diri ini, kisah ini sungguh menggambarkan bagaimana keikhlasan yang sungguh tak terperi. Bagaimana perasaan kita setelah tidak bertemu dengan seorang bapak selama waktu yang bagi sebagian kita waktu krusial dan dibutuhkan. Dan begitulah perasaan diri ini ketika mendengarkan kisah dari sahabat ini. Mungkin diri ini terpengaruh dengan sinema-sinema yang memperlihatkan bagaimana penolakan seorang anak yang mungkin merasa ditelantarkan. Sungguh keindahan iman dan keikhlasan menjadi bukti bahwa segala sesuatu itu memang diluar kekuasaan kita.

Dan terkadang memang kita sering terlupa akan rencana besar Allah kepada kita. Kita hanya terpaku dengan hal-hal nyata yang ada didepan kita. Sehingga terkadang ketika ada sebuah masalah didepan kita, dengan lancangnya kita (Astaghfirullah) menyalahkan Allah swt. Padahal memang apa yang ada dalam pikiran kita sering tidak menjangkau apa yang Allah rencanakan untuk kita. Keimanan kita masih kurang, keislaman kita masih belum kaffah, kecintaan kita kepada-Nya masih belum sempurna. Sungguh betapa lemah dan terbatasnya kita.

Sahabat-sahabat yang semoga kita dipertemukan di syurga-Nya, Silaturrahim haruslah senantiasa kita jaga dan pelihara. Kepada keluarga kita, kedua orang tua kita, adik-adik kita, sahabat-sahabat kita, apalagi saudara-saudara seiman, karena merekalah anugrah Allah swt kepada kita. Apalagi dengan alasan aktivitas (sungguh ini evaluasi besar bagi diri ini sendiri) yang membuat kita tidak memeliharanya. Akan tetapi, sekali lagi silaturrahim tetap pada koridornya. Yakni sesuai kemuliaan Allah yang memelihara bagaima interakasi sesama terutama laki-laki dengan perempuan. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang dirahmati dan dihapuskan dosanya melalui silaturrahim.
Sahabat-sahabat yang diri ini butuhkan nasehatnya, Tulisan ini bukan mengartikan diri ini telah memiliki iman yang utuh, islam yang kaffah, cinta kepada-Nya yang sempurna.

Akan tetapi, diri ini harapkan menjadi peluang untuk setiap koreksi terhadap kekhilafan, kesalahan, ketidaktahuan, dan kepura-puraan pada diri ini. Semoga diri ini menjadi hamba yang ikhlas akan setiap koreksi karena ketika seseorang tidak suka dengan kebenaran (pembenaran) berari tidak sempurna imannya. Dan persaudaraan sesungguhnya tidak sempurna seiring tidak sempurnanya iman.

Wallahu ‘alam bi shawab.


Ditulis oleh Idzkhir al Mu'adzYogyakarta, 12 Safar 1432/16 Januari 2011 M

Posted on Thursday, August 18, 2011 by Akhdan Mumtaz

No comments