Alangkah indahnya sebuah perubahan dengan perwujudan ketauladanan. Perubahan dengan ketauladanan kepada teman sebaya, ketauladanan kepada yang lebih tua, ketauladanan kepada yang lebih muda. Dan sesungguhnya Ketauladananlah cara paling baik dalam menghadapi setiap perlawanan. Bukankah Rasulullah berhasil membangun umat Islam yang Madani dengan ketauladanan beliau. Atau dapat dilihat dari kutipan kajian historis seorang sahabat Rasulullah saw yaitu Saad Bin Abi Waqqash.
“Seorang pemuda berusia tujuh belas tahun menceritakan kisah keislamannya. Saad bin Abi Waqqash nama pemuda itu. Ia berkata, "Pada suatu malam, di tahun ini, saya bermimpi seolah-olah tenggelam di dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ketika saya terbenam di dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada cahaya bulan yang menerangiku. Saya kemudian mengikuti arah cahaya itu dan saya dapati di sana ada sekelompok manusia, di antara mereka terdapat Zaid bin Haritsash, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar Ash-Shidiq. Saya bertanya, "Sejak kapan kalian ada di sini?" Mereka menjawab, "Satu jam."


Manakala siang telah muncul, saya mendengar suara dakwah Muhammad saw. kepada Islam. Saya meyakini bahwa saya sekarang berada di dalam kegelapan dan dakwah Muhammad saw. adalah cahaya itu. Maka, saya pun mendatangi Muhammad dan aku dapati orang-orang yang kujumpai dalam mimpi, ada di samping beliau. Maka, aku pun masuk Islam.

Tatkala ibu Sa'ad mengetahui hal ini, dia mogok makan dan minum, padahal Sa'ad sangat berbakti kepadanya sehinga dia merayunya setiap waktu mengharapkannya untuk mau makan walau hanya sedikit, tapi ibunya menolak. Manakala Sa'ad melihat ibunya tetap teguh berpendirian, dia berkata kepadanya, "Wahai ibu! Sesungguhnya saya sangat cinta kepadamu, namun saya lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, seadainya engkau mempunyai seratus nyawa lalu keluar dari dirimu satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini demi apapun juga."

Tatkala sang ibu melihat keteguhan hati anaknya, dia pun menyerah lalu kembali makan dan minum meskipun tidak suka. Allah kemudian menurunkan ayat tentang mereka yang artinya, "Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kaum mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (Luqmaan: 15)

Maha Benar Allah yang Maha Agung.
*Sumber: Asyabalunal 'Ulama (65 Kisah Teladan Pemuda Islam Brilian), Muhammad Sulthan.

Saudara yang seperjuangan, inilah bukti bahwa sebuah ketauladanan dapat melembutkan
perlawanan, termasuk dari ibu kandung sendiri.
Tulisan ini bertujuan menyoroti seringnya muncul kebingungan dalam mewujudkan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Apakah mungkin perubahan ini secara drastis dan tiba-tiba? Ataukah tidak?
Dari pengalaman yang ada, perubahan diri secara drastis sangatlah mungkin dan sering terjadi. Tetapi, terdapat kerentanan dalam hal konsistensi. Konsistensi untuk drastis dalam perubahan, juga drastis untuk kembali ke keadaan awal. Dalam hal ini contoh perbuatan yang ibarat titik demi titik yang sering terlupa karena kesederhanaannya. Padahal, titik-titik ini begitu bermakna dalam membentuk sebuah garis, membentuk sebuah bidang hingga sebuah ruang diri berkarakter Islam. Titik demi titik ini sesuai dengan salah satu semboyan 3M-nya Aa Gym yakninya MULAILAH DARI HAL YANG SEDERHANA.

Bersalaman KEPADA Orang tua
Al Isra 17 : 23
Tulisan ini bukan menjabarkan pentingnya berbuat baik kepada orang tua. Disamping karena keterbatasan keilmuan juga dikarenakan hal ini tentunya sudah banyak disinggung ulama, ustadz, guru, dosen dan ilmu tentang ini. Akan tetapi, tulisan ini hanya memberikan satu contoh hal yang sering terlupa bagi teman-teman remaja. Yakninya, izin dan bersalaman dengan orang tua.
“Sesungguhnya, apalah arti izin dan bersalaman dengan orang tua? Kita kan udah bukan anak kecil lagi. GeNGsi donk…”
Pernyataan yang memang beralasan. Akan tetapi, sesungguhnya perlu kita selami makna terdalam dari ibadah ini. Ya, mungkin ini dapat dimulai dari sebuah “Andai-andai”. Karena kita sering membuat peng-andai-an. Mulai dari andai aku jadi presiden hingga andai aku jadi bunga, kamu jadi apa?? He3x
Tapi pengandaian yang berpedoman pada hadits bahwa kita harus banyak mengingat kematian untuk senantiasa mengevaluasi diri.
Bagi teman-teman remaja, coba kita bayangkan apa yang terjadi jika hari ini pekerjaan kita sebagai seorang siswa-siswi tidak dimulai dengan izin dari orang tua. Ketika kita berangkat dari rumah menuju sekolah dengan santainya tanpa izin dan bersalaman dengan orang tua. Sadarkah kita, ketika kita menyentuh dan mencium tangan orang tua ketika berangkat, akan terbersit sebuah do’a dari orang tua. Ada sebuah embun penyejuk bagi mereka melihat anaknya akan menuntut ilmu.
Dan tentunya sebagaimana diketahui bahwa do’a orang tua bagi anaknya termasuk do’a yang di ijabah oleh Allah swt. Coba kembalikan bayangan apabila ketika pulang sekolah, kita justru melihat keramaian di rumah kita. Bukan untuk pesta tapi sebuah acara dengan pakaian tamu yang datang serba hitam. Mungkin baru pada kondisi inilah terdapat sebuah penyesalan mendalam pada diri kita.
Jadi, teman-teman, adik-adik remaja, inilah salah satu hal sederhana yang sesungguhnya begitu bermakna.

Gelar bagi orang Lain
Al Hujurat 49 : 11
Ini bukan gelar sarjana Lho. Juga bukan gelar adat Minangkabau seperti datuak, sidi, sutan, bagindo, dsj. Tapi ini berbicara tentang Dunia remaja, dunia penuh dengan canda tawa. Dan Terkadang membuat kita begitu asyiknya dengan keadaan ini.

Ilustrasinya seperti ini saja, Hm….apa yang terbersit pada pikiran kita ketika bertemu dengan sahabat baru berperawakan besar? Perut Besar? dLL?
Gendut?? Brilian, maka kitapun memanggilnya si Gendut.
Atau tiba-tiba datang lagi seorang kawan laki-laki yang agak lemah gemulai. Apa yang terbersit? Bencong, ½ Laki-laki, dsb.

Kita mungkin bilang “Pastinya itu pantas donk, bukan fitnah, bahkan sesuai dengan realita”. Pada kenyataannya, memang seperti itu. Akan tetapi, kita terlupa satu hal, apakah si penerima gelar sakit hati… apabila hal ini terjadi maka sesungguhnya kita telah berbuat aniaya kepada teman-teman lain. Apa susahnya sih memanggil sesuai dengan namanya yang baik. Bukankah nama itu adalah do’a dan tentunya memanggil dia dengan nama yang baik justru tidak membuang energy kita.
iniLah salah satu contoh simple but bermakna lainya

Menebar Salam dan Senyum
An Nur (24 ; 27)
“Punten aa... Monggo mas....., Misi mas....,” Kata-kata ini sesungguhnya sudah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Namun terkadang kita terlanjur menyepelekan hal sederhana ini. Salut deh kepada teman-teman, remaja-remaji dan para pembaca yang ternyata membiasakan kebiasaan ini. Dan buat teman-teman yang belum, tentunya “biasakanlah membiasakan kebiasaan yang dibiasakan oleh orang yang biasa membiasakan kebiasaan ini” [jadi ingat kuis saat pemilihan anggota OSIS, he3x....]
Sederhananya gini, coba kita memposisikan diri sebagai orang lain. Ketika kita ketemu orang trus memiliki keinginan hati untuk tersenyum, ternyata orang tersebut hanya cemberut tanpa ekspresi sedikitpun atau justru menampakkan wajah garang. Apakah yang kita rasakan. Biasa aja......?? Berarti anda telah memiliki keikhlasan yang luar biasa. Atau muncul pertanyaan dalam hati, kok sampe segitunya ya??? Cuman senyum dibalas “tuba”. Begitulah perasaan orang lain ketika kita kurang menebar salam dan senyum. Sungguhlah keindahan yang luar biasa mengakrabkan ketika kita tersenyum [bukan senyum sendiri lo] atau menyapa dengan memberi salam kepada orang lain meskipun belum kenal.
Seorang sahabat pernah merasakan berkah dari kebiasaan ini. Ketika di SMA kebiasaan ini dapat mengakrabkan dia dengan seluruh karyawan sekolah. Mulai dari satpam, penjaga sekolah, karyawan Tata Usaha sampai guru-guru baik yang pernah mengajar dikelas ataupun belum pernah. Dan ketika berada diluar daerah untuk kuliah, kebiasaan ini juga begitu bermanfaat. Bisa kenal dengan orang-orang di rute jalannya menuju kampus hanya karena sering menebar senyum dan sapa ketika bertemu.
Ya, ternyata kebiasaan ini begitu bermakna bila kita resapi dan kita ejawantahkan.

Mengikat iLmu dengan MenuLiskannya
Membaca adalah hal yang utama dalam memperoleh ilmu. Baik membaca dari ayat-ayat tertulis ataupun tidak. Dalam hal ini memang disadari bahwa kebiasaan ini butuh proses pembiasaan diri. Tapi langkah awal dalam memperoleh ilmu dan sering terlupa adalah menuliskannya. Meskipun hanya berupa coretan-coretan gak jelas, akan tetapi sesungguhnya disana terdapat kepahaman dalam menuliskannya. Terkadang kita memang terlena dengan teknologi fotokopi. “Ntar pinjam catatan si X ja Lah, trus difotokopi”, kalimat yang sering terpikir dalam pikiran kita ketika akan menulis. Padahal setiap detil tulisan hanya dapat dipahami oleh orang yang menulisnya. Sedangkan bagi kita yang membaca yang tertulis hanya mendapat ilmu dari yang tertulis tsb. Bukan dari ilmu yang tersirat ketika ilmu tersebut ditulis. Dan ujung-ujungnya kita pasti akan bertanya kepada yang mempunyai tulisan. So, mari bergerak untuk mengikat ilmu dengan menuliskannya.

Inilah contoh beberapa kebiasaan sehari-hari yang tergolong sederhana untuk dilaksanakan dan dibiasakan. Akan tetapi, sesungguhnya sangat bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain. Beberapa memang merupakan hubungannya terhadap sesama manusia (muamalat) bukan bermaksud menomorsatukan hubungan dengan sesama manusia dibandingkan terhadap Sang Pencipta. Namun, kebiasaan ini haruslah diikuti dengan setiap perbaikan yang lebih kepada Yang Maha Memberikan Ilmu. Karena sesungguhnya apalah arti kebaikan kepada sesama manusia apabila dihadapan-Nya kita bukanlah apa-apa.
Yogyakarta, 29 Maret 2010 @6:06 am