Hm... Entah kenapa tetiba ada keinginan untuk menulis tema ini. Mungkin sebagai penawar kerinduan ke daerah asal. Disamping tulisan ini niatnya menjadi rintisan awal untuk buku catatan perjalanan hidup.
Kurai Taji, terkenal dengan sebutan Pakan Sinayan bahkan dirangkai
menjadi satu kalimat Kurai Taji Pakan Sinayan. Tidak lain karena daerah ini
punya jadwal pasar hari Senin (Sinayan). Dimana para pedagang pasar dari
berbagai daerah terutama daerah darek datang ke Kurai Taji untuk berjualan
hanya pada jadwal hari Senin. Dari penjual sayuran, baju, sandal, sepatu, lauk
pauk, sampai tukang obat dengan atraksinya akan tumpah ruah pada hari Senin. Hari
lain? Para pedagang itu akan pindah ke daerah lain yang punya Pasar Selasa,
Rabu, Kamis, dst. Akan tetapi, aktivitas pasar Kurai Taji tetap akan hidup
dengan para pedagang lokal Kurai Taji.
Kurai
Taji, pernah menjadi stasiun perhentian terakhir jalur kereta api menuju
Pariaman. Sehingga hal ini menjadikannya wilayah pasar yang strategis dengan
sektor jasa yang tinggi. Hal yang khas tentunya banyaknya warung makanan.
Bahkan Kurai Taji punya “Los Lambung”, yang sesuai namanya ini ada adalah
sentra kumpulan los-los (toko-toko) makanan dan minuman pemuas lambung. Dari
sate, soto, ketupat, teh telor, teh soda, kopi, dan berbagai macam pilihan
lainnya. Waktu paling ramai adalah saat malam ketika para pelanggan ingin
menikmatinya sambil ngobrol hingga larut malam. Bahkan diakhir pekan tidak
sedikit yang menyelingi obrolan larut malam di los lambung dengan dentakan
domino diatas meja. “ ‘Las Vegas’-nya Pariaman”, kata orang.
Kurai
Taji, kalau kalian kesini jangan pernah pergi sebelum mencicipi makanan khas
daerah ini, Katupek Gulai Paku. Gulai Paku? Jangan kaget dulu, yang dimaksud
paku tidak lain adalah tanaman pakis haji yang memang termasuk jenis tanaman
paku-pakuan. Makanan khas Kurai Taji ini sangat pantas untuk dicoba sebagai
bagian dari kekayaan kuliner Minangkabau. Belum lagi saat menyantap Katupek Gulai
Paku ditambah dengan Sala Bulek. Dijamin enak dan tak terlupakan. Kombinasi
makanan khas yang pas.
Kurai
Taji, daerah di pesisir barat pantai Sumatera ini mungkin pernah punya satu catatan
dalam kesusasteraan Indonesia. Yakni pernah tertulis sebagai latar dalam sebuah
novel tahun 1979, seandainya novel itu masih ada dan tercetak, karena hingga
hari ini pun saya belum menemukan novel lengkapnya. Novel tersebut berjudul
Warisan. Novel yang menggambarkan bagaimana Kurai Taji dengan stasiun kereta
apinya, los lambungnya, ketupat gulai pakisnya serta kultur masyarakatnya.
Namun,
dibalik semua cerita itu Kurai Taji juga punya cerita tentang pergerakan Islam.
Setelah persarikatan Muhammadiyah didirikan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta,
Kurai Taji merupakan daerah tempat pertama kali Muhammadiyah didirikan di
Sumatera Barat. Hal ini menjadikan Kurai Taji identik dengan Muhammadiyah.
Masyarakat Kurai Taji adalah masyarakat Muhammadiyah. Didaerah ini berdiri
Masjid Sejarah Muhammadiyah yang juga dikenal dengan Surau Dagang. Konon gelar
Surau Dagang diberikan karena masjid ini menjadi tempat sholat para
pedagang-pedagang pasar Senin. Dan dakwah Muhammadiyah bisa tersebar dengan
jama’ah-jama’ah pedagang pasar Senin yang berasal dari berbagai daerah ini.
Di
Kurai Taji juga berdiri berbagai amal usaha Muhammadiyah. Diantaranya adalah
Panti Asuhan Yatim dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, yakni Taman Kanak-kanak
Aisyiah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Diniyah. Saya pernah menjalani
pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisyiah selama 2 tahun. Bahkan saat sekolah
dasar pun, sepulang sekolah masih menjadi siswa di Madrasah Diniyah
Muhammadiyah selama lima tahun. Karena MDA di Muhammadiyah sudah ibarat mengikuti
TPA di Kurai Taji bagi anak-anak usia sekolah dasar. Disamping saya juga pernah
menjadi pesilat di perguruan Tapak Suci Muhammadiyah meski hingga kini belum memiliki
kesempatan lagi untuk menyelesaikannya.
Yk.11.11.15
8.39