Wednesday, December 30, 2015

Hm... Entah kenapa tetiba ada keinginan untuk menulis tema ini. Mungkin sebagai penawar kerinduan ke daerah asal. Disamping tulisan ini niatnya menjadi rintisan awal untuk buku catatan perjalanan hidup. 

Kurai Taji, terkenal dengan sebutan Pakan Sinayan bahkan dirangkai menjadi satu kalimat Kurai Taji Pakan Sinayan. Tidak lain karena daerah ini punya jadwal pasar hari Senin (Sinayan). Dimana para pedagang pasar dari berbagai daerah terutama daerah darek datang ke Kurai Taji untuk berjualan hanya pada jadwal hari Senin. Dari penjual sayuran, baju, sandal, sepatu, lauk pauk, sampai tukang obat dengan atraksinya akan tumpah ruah pada hari Senin. Hari lain? Para pedagang itu akan pindah ke daerah lain yang punya Pasar Selasa, Rabu, Kamis, dst. Akan tetapi, aktivitas pasar Kurai Taji tetap akan hidup dengan para pedagang lokal Kurai Taji.

Kurai Taji, pernah menjadi stasiun perhentian terakhir jalur kereta api menuju Pariaman. Sehingga hal ini menjadikannya wilayah pasar yang strategis dengan sektor jasa yang tinggi. Hal yang khas tentunya banyaknya warung makanan. Bahkan Kurai Taji punya “Los Lambung”, yang sesuai namanya ini ada adalah sentra kumpulan los-los (toko-toko) makanan dan minuman pemuas lambung. Dari sate, soto, ketupat, teh telor, teh soda, kopi, dan berbagai macam pilihan lainnya. Waktu paling ramai adalah saat malam ketika para pelanggan ingin menikmatinya sambil ngobrol hingga larut malam. Bahkan diakhir pekan tidak sedikit yang menyelingi obrolan larut malam di los lambung dengan dentakan domino diatas meja. “ ‘Las Vegas’-nya Pariaman”, kata orang.

Kurai Taji, kalau kalian kesini jangan pernah pergi sebelum mencicipi makanan khas daerah ini, Katupek Gulai Paku. Gulai Paku? Jangan kaget dulu, yang dimaksud paku tidak lain adalah tanaman pakis haji yang memang termasuk jenis tanaman paku-pakuan. Makanan khas Kurai Taji ini sangat pantas untuk dicoba sebagai bagian dari kekayaan kuliner Minangkabau. Belum lagi saat menyantap Katupek Gulai Paku ditambah dengan Sala Bulek. Dijamin enak dan tak terlupakan. Kombinasi makanan khas yang pas.

Kurai Taji, daerah di pesisir barat pantai Sumatera ini mungkin pernah punya satu catatan dalam kesusasteraan Indonesia. Yakni pernah tertulis sebagai latar dalam sebuah novel tahun 1979, seandainya novel itu masih ada dan tercetak, karena hingga hari ini pun saya belum menemukan novel lengkapnya. Novel tersebut berjudul Warisan. Novel yang menggambarkan bagaimana Kurai Taji dengan stasiun kereta apinya, los lambungnya, ketupat gulai pakisnya serta kultur masyarakatnya.

Namun, dibalik semua cerita itu Kurai Taji juga punya cerita tentang pergerakan Islam. Setelah persarikatan Muhammadiyah didirikan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Kurai Taji merupakan daerah tempat pertama kali Muhammadiyah didirikan di Sumatera Barat. Hal ini menjadikan Kurai Taji identik dengan Muhammadiyah. Masyarakat Kurai Taji adalah masyarakat Muhammadiyah. Didaerah ini berdiri Masjid Sejarah Muhammadiyah yang juga dikenal dengan Surau Dagang. Konon gelar Surau Dagang diberikan karena masjid ini menjadi tempat sholat para pedagang-pedagang pasar Senin. Dan dakwah Muhammadiyah bisa tersebar dengan jama’ah-jama’ah pedagang pasar Senin yang berasal dari berbagai daerah ini.

Di Kurai Taji juga berdiri berbagai amal usaha Muhammadiyah. Diantaranya adalah Panti Asuhan Yatim dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, yakni Taman Kanak-kanak Aisyiah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Diniyah. Saya pernah menjalani pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisyiah selama 2 tahun. Bahkan saat sekolah dasar pun, sepulang sekolah masih menjadi siswa di Madrasah Diniyah Muhammadiyah selama lima tahun. Karena MDA di Muhammadiyah sudah ibarat mengikuti TPA di Kurai Taji bagi anak-anak usia sekolah dasar. Disamping saya juga pernah menjadi pesilat di perguruan Tapak Suci Muhammadiyah meski hingga kini belum memiliki kesempatan lagi untuk menyelesaikannya.


Yk.11.11.15
8.39

Posted on Wednesday, December 30, 2015 by Akhdan Mumtaz

1 comment

Wednesday, December 23, 2015

“Pada zaman Rasulullah, Abu Bakar, Umar bin Khatb, Utsman bin ‘Affan yang menjadi rakyatnya adalah aku. Sedangkan pada zaman aku menjadi pemimpinnya, yang menjadi rakyatnya adalah kamu”, jawab Ali bin Abi Thalib terhadap protes salah seorang rakyatnya tentang keberbedaan kondisi pada masa Ali dengan masa-masa sebelumnya. Jawaban ini bukan berarti menyebabkan Ali bin Abi Thalib tidak bermujahadah untuk menyiapkan generasi yang lebih baik. Beliau tetap melanjutkan pendidikan-pendidikan melalui madrasah-madrasah yang sudah dirintis dari fase-fase sebelumnya. Akan tetapi, mungkin ikhtiar dan kesungguhan beliau untuk generasi yang lebih baik mungkin tak sampai maksud untuk diterima dengan baik oleh generasi sesudahnya.

Kaderisasi memang suatu hal yang unik. Dia menjadi jantungnya sebuah organisasi dan pergerakan. Dia adalah proses yang tidak hanya mewariskan orang tapi juga mengikutkan pewarisan nilai. Proses ini tidak hanya bicara tentang siapa tapi juga bagaimana siapa-siapa itu melanjutkan.

Kaderisasi ibarat orang tua yang dengan kecintaannya bercita-cita agar anak-anaknya harus lebih baik dari dirinya. Akan tetapi, fakta ini menjadi sebuah paradoks di dunia kampus hari ini. Paradoks kasih tak sampai. Dimana sebuah generasi akan berusaha memberikan sesuatu yang terbaik dan lebih baik kepada generasi penggantinya. Namun, ternyata dipahami sebagai sesuatu yang sebaliknya oleh generasi pengganti. Bahkan kecenderungan hari ini yang hadir justru semangat “menyalahkan” generasi sebelumnya. “Kondisi hari ini mungkin tidak akan seperti ini apabila generasi kemaren tidak memberikan hal ini kepada kita”, menjadi ungkapan yang sering muncul. Akan semakin miris ketika generasi sebelumnya menjawab, “Padahal kami berusaha memberikan hal terbaik agar kalian lebih baik dari kami”. Sungguh paradoks.

Dialog antar generasi mungkin menjadi penting agar kasih itu sampai. Generasi sebelumnya mungkin butuh untuk mengekspresikan bagaimana kasihnya mereka kepada generasi sesudahnya. Tentang apa asa mereka, apa mimpi mereka, apa hal yang melatarbelakangi setiap keputusan mereka. Sebagaimana orang tua menyampaikan kasih sayangnya mereka kepada anak-anaknya. Sehingga curahan kasih itu sampai. Tapi sadarkah kita bahwa kasih orang tua pun kadang tersampaikan tanpa ungkapan lisan. Salah satunya adalah dengan memberikan kepercayaan. 

Syaikh Mushtafa Masyhur pernah menulis pembahasan khusus tentang kesinambungan antar generasi untuk mencapai tujuan dakwah. Dalam hal ini beliau menyatakan banyak hal, yang diantaranya saya kutipkan bahwa, 
  • Pewarisan secara teori tidak akan terealisasi hanya melalui buku-buku atau risalah-risalah, akan tetapi haruslah dengan hidup bersama dan melebur antara tiap generasi sebelum dan sesudahnya. 
  • Dengan menyatu dan meleburnya semangat didalam jiwa maka setiap generasi yang sebelumnya akan lebih mengenal karakter dan rambu-rambu jalan dakwah sehingga mengetahui tujuan utama, tujuan jangka pendek, mengenal sarana-sarana yang diperbolehkan serta mengenal kewajiban dan capaian-capaian yang mesti dilaksanakan.
  • Termasuk salah satu yang mesti diperhatikan adalah berusaha untuk membina kepercayaan antar generasi agar proses pewarisan dan pembauran generasi dapat berjalan sesempurna mungkin.
  • Termasuk hal yang paling penting dalam pewarisan dakwah adalah sisi spiritual dan bekal dijalan dakwah sebagai hal yang harus meningkat karena menjadi jaminan atas selamatnya perjalanan dakwah.


Berdasarkan hal ini saya memahami, termasuk pernah menjalani tentang pentingnya dialog antar generasi ini. Dialog yang didefinisikan Syaikh Mushtafa Masyhur sebagai hidup bersama dan melebur antar generasi. Sehingga tanggungjawab yang dilanjutkan generasi selanjutnya adalah sesuatu yang sesungguhnya dituai dari apa yang sebelumnya mereka jalani. Karena tiap generasi itu pernah bersama menanggung tanggungjawab tersebut. Yang dengannya generasi sebelumnya bisa dengan ikhlas, percaya dan penuh kelapangan dada mewariskan perjuangan kepada generasi selanjutnya. Mewariskan sehingga kasih itu sampai.


Yk.19.11.2015

~akhdan mumtaz

Posted on Wednesday, December 23, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, December 21, 2015

Identitas dan aksesoris adalah dua hal yang berbeda. Identitas, hal yang melekat pada diri seseorang. Sedangkan aksesoris merupakan “perhiasan” dari identitas diri itu sendiri. Yang mungkin untuk berganti sesuai perubahan kehendak dan suasana hati. Maka dengan ketidaksamaan dua hal tersebut, tentu menjadi berbeda nilai antara keduanya. 

Beberapa waktu yang lalu saya terhentak dengan sebuah pernyataan, “Sebuah pilihan hidup. Dia akhirnya melepas aksesoris Kemuslimahannya”. Kenapa saya terhentak? Pertama, karena saya memahami maksud dari kata aksesoris kemuslimahan dalam pernyataan itu tidak lain adalah Hijab. Hijab yang sebagaimana diperintahkan Allah Swt dalam firmannya,
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,........” (QS An Nur 24:31)
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”... (QS Al Ahzab 33 : 59)

Kedua, saya pun memahami bahwa yang dimaksud dengan melepas aksesoris pun bukan berarti melepas hijab secara total. Melainkan melepas penggunaan hijab secara utuh sesuai dengan firman Allah Swt. Hanya saja menjadi terhentak dengan frase “aksesoris Kemuslimahan“ karena bisa jadi kita pun menempatkan pemahaman kita tentang perintah Allah Swt seperti itu. Bahwa perintah Allah itu adalah aksesoris yang bisa sewaktu-waktu kita lepaskan.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam keseluruhan,...” (QS Al Baqarah 2:208)

Dimana Allah memanggil kita sebagai insan beriman untuk “mengutuhkan” Islam pada diri kita. Utuh sebagaimana makna dari kata “kaffah”. Akan tetapi, memang ada kata “iman” yang mendahului panggilan Allah Swt ini. Sehingga variabel iman tentu sangat mempengaruhi semangat mengutuhkan Islam kita itu.

Maka, sungguh kita patut khawatir. Jangan-jangan makna lain dari “melepaskan aksesoris Kemuslim(ah)an” itu melepaskan Keimananan dari diri kita. Na’udzubillahi min dzalik. Tentu kita berharap tidak seperti itu.  

Posted on Monday, December 21, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, April 12, 2015

“Kenapa nama orang Padang itu aneh-aneh dan anti mainstream?”,

tetiba ada pertanyaan itu dari seorang teman. Sesaat saya juga berpikir terkait pertanyaan tersebut, kadang hanya bilang “Konon justru itulah ciri khas orang Minang”. Maklum setiap perkenalan nama, setiap ada nama yang sepertinya berbeda, unik, dan anti mainstream, banyak yang akan langsung menyimpulkan, “asalnya dari Padang ya?” Mungkin nama yang paling tidak menggambarkan suku di Indonesia itulah nama-nama orang Minang.

Oya, sejatinya tidak ada nama suku bangsa Padang di Indonesia sebagaimana yang sering dipergunakan di percakapan umum Indonesia. Adanya adalah suku Minangkabau. Mungkin penyebab penggunaan umum, “Kamu orang Padang ya?” dikarenakan mendunianya Rumah Makan Padang. Sehingga orang umum memahami yang namanya orang Minang itu ya orang Padang. Padahal banyak rumah makan yang berlabel Rumah Makan Padang tapi asalnya sendiri bukan dari Padang. Melainkan dari daerah-daerah seperti Solok, Payakumbuah, Bukittinggi, dll.  Perbedaan orang yang telah paham tentang hal ini biasanya diikuti dengan pertanyaan, “Padangnya mana?”.

Memang istilah suku pada masyarakat Minangkabau sedikit membingungkan bagi orang luar Minangkabau. Karena di budaya Minang, suku merupakan sub-klan yang diturunkan dari garis ibu sebagaimana marga pada suku Batak, Ambon, Toraja, Minahasa. Sehingga suku orang Minang itu ada Koto, Piliang, Chaniago, Sikumbang, dll. Perbedaannya orang Minang cenderung tidak menggunakan nama belakang suku tersebut sebagaimana suku Batak. Konon katanya karena memakai nama suku atau marga akan menghilangkan identitas Minangnya. Sehingga sangat jarang meskipun ada, yang menggunakan penamaan dengan nama belakang suku.

Kembali ke pembahasan terkait nama orang Minang yang unik dan anti main stream katanya. Ternyata ada satu artikel khusus di Wikipedia yang membahas ini (jujur, saya ja kaget pas iseng googling ternyata ada pembahasannya).

Masa Awal

Setidaknya memang ada faktor historis, psikologis dan sosiologis dalam bagaimana orang Minang memberikan penamaan kepada putra-putrinya. Dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie disebutkan, nama-nama orang Minang pada masa-masa awal berasal dari alam dan nama-nama benda yang ada di dalamnya. Hal ini tidak lain karena falsafah hidup orang Minangkabau dimana “Alam Takambang Jadi Guru”. Sebagaimana banyak nama kampung, daerah-daerah baru, dan nama-nama suku dengan falsafah ini, termasuk dalam memberikan gelar atau nama kepada seseorang.

Dalam waktu yang cukup lama, tak sedikit pula nama-nama berbau Hindu dan Buddha bermunculan. Setelah Islam masuk dan berkembang, nama-nama Arab sebagai nama-nama orang Minang. Nama para Nabi dan Rasul serta para sahabat , atau istri dan anak-anaknya, adalah nama-nama yang paling sering digunakan.

Memasuki pertengahan abad ke-20, muncul nama keJawa-jawaan, singkatan, dan pengkodean. Pada masa Orde Baru, muncul pula nama-nama yang berbau kebarat-baratan. Baru pada dua dekade terakhir, nama-nama orang Minang kembali diramaikan dengan nama-nama Islam, yang didasarkan atas motivasi pemberi nama itu sendiri.

Disamping itu, tak sedikit orang Minang yang gemar memakai imbuhan atau akhiran tertentu dalam memberikan nama, seperti –zal untuk laki-laki atau -niar untuk perempuan. Nama-nama yang mengandung atau berakhiran -rizal bahkan sering diasosiasikan sebagai nama khas Minang.

Pasca PRRI

Insiden PRRI kurang lebih sangat berpengaruh terhadap pemberian nama orang Minang. Sama seperti yang terjadi kepada etnis Tionghoa di Indonesia pada masa represif yang berdampkan bahwa mereka harus memiliki nama Indonesia. Insiden PRRI memberi dampak tekanan dan intimidasi dari pemerintahan pusat pada akhir tahun 1960-an sebagai konsekuensi penumpasan gerakan separatis. Hal menyebabkan banyak masyarakat Minangkabau yang berusaha menanggalkan identitas dan label keminangannya, termasuk lewat perubahan nama. Mereka berusaha untuk mencari identitas baru agar lepas dari kejaran tentara pusat. Dengan menjawa-jawakan diri seperti yang diinginkan oleh pusat, tak sedikit orang Minang mengganti nama mereka dengan nama ke-Jawa-jawaan, atau nama-nama berbau Eropa, Persia, dan Amerika Latin. Akan tetapi, nama-nama yang mereka berikan punya makna tersendiri; ada kreasi yang mereka ciptakan di dalamnya.

Nama-nama Jawa pada masyarakat Minangkabau biasanya merupakan singkatan daerah asal orang tua, nama kedua orang tua, atau kombinasi keduanya. Nama-nama ini lekat pasca-PRRI, seperti ‘Parmanto’ (singkatan dari daerah asal pemilik nama, Parikmalintang dan Toboh), ‘Surianto’ (Surian dan Koto), dan lain sebagainya. Namun, ada sebagian orang tua yang mengadopsi nama Jawa secara utuh, atau sekadar menyamarkan nama Minang mereka. Bastian Sutan Ameh misalnya, yang mengganti namanya menjadi ‘Sebastian Tanamas’ ketika merantau ke Jakarta.

"Itu memang strategi untuk tetap bertahan" karena jika tidak, mereka akan tetap dicari oleh tentara pusat, untuk dibunuh. Selain itu, bagi mereka yang merantau ke Jawa, mereka lebih mudah diterima, menurut guru besar dan sejarawan Universitas Andala, Gusti Asnan. Tidak ada gerakan yang disengaja dalam masyarakat Minangkabau untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Jawa pada masa itu, ungkap beliau.

Penutup

“Nama adalah do’a”, sebagaimana yang selalu kita pahami. Begitu pun sejatinya hal yang menjadi pertimbangan dalam memilihkan nama. Meskipun terkadang aspek kultural dan psikologis bisa sangat berpengaruh dalam hal ini. Apalagi untuk nama orang Minang yang katanya unik, aneh ataukah anti mainstream. Tidak lain karena nama terkadang juga menjadi keterangan secara lengkap dari seorang anak. Bisa merangkum nama kedua orang tua, waktu lahir, dll. Sebagaimana nama yang orang tua pilihkan dan takdirkan untuk saya sendiri. Hal pokoknya adalah nama itu menjadi do’a yang baik dari kedua orang tua. Baik dengan kaidah bahasa yang ada maupun menjadi referensi ketauladanan, dll.


Yk.12.4.2015
Menjelang waktu Dzuhur di Andalusia



Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Sunday, April 12, 2015 by Akhdan Mumtaz

1 comment

Wednesday, April 8, 2015

Ibu, Kopi dan Wajibatul Akh

Idul Fitri selama di Jogja, selalu menyempatkan diri untuk silaturrahim ke rumah salah satu guru ngaji saya selama di Jogja. Mungkin karena latar belakang keluarga beliau yang pernah di Padang sehingga bisa sangat akrab dengan saya. Terutama Ibu beliau yang memang adalah orang Sumatera. Obrolan selalu akan panjang ketika kami sudah membahas daerah-daerah di Padang yang dulu sempat Ibu dan keluarga tinggali. Hal yang berlanjut biasanya ke hidangan masakan beliau. Klo untuk urusan ini, selalu jadi hal yang paling saya ingat dari Ibu. Masakan Rendangnya, “Ueenak tenan”, klo bahasa orang sini.

Setelah makan biasanya obrolan akan berlanjut diselingi minuman manis. Dan tawaran dari Ibu saat itu, Teh, Kopi atau yang lain. Saya pilih teh. Setelah kembali dengan hidangan minum ternyata Ibu malah cerita tentang dirinya yang tak bisa lepas dari ketergantungan untuk minum kopi. Bahwa beliau awalnya saat masih kecil menderita “darah rendah”  (hipotensi). Hingga disarankan untuk minum kopi sebagai obatnya. Maka sejak itulah kopi menjadi minuman keseharian beliau. Hingga tak terasa dalam jangka panjang, yang awalnya beliau hipotensi malah beralih menjadi hipertensi atau darah tinggi.

“Iya nih Id. Ibu itu nggak bisa klo nggak ngopi. Tapi karena malah darah tinggi dan diminta dokter berhenti, terpaksa dialihkan ke kopi dengan kafein kadar rendah. Salah satunya ya Kopi L*wak atau T*p Coffee ini”, cerita beliau.

Sejenak dari bagian pengalaman Ibu itu membawa ingatan saya ke bagian Risalah dari Hasan Al Banna dalam Wajibatul Akh yang berbunyi,
“Hendaklah engkau menjauhi berlebihan dalam mengkonsumsi kopi, teh dan minuman perangsang semisalnya. Janganlah engkau meminumnya kecuali dalam keadaan darurat, dan hendaklah engkau menghindar sama sekali dari rokok”

Sempat ada pertanyaan dari bagian risalah ini tentang ada apakah sehingga “dilarangnya” minum kopi, teh, dsj? Hingga sampai pada kisah dari Ibu tadi.


Efek Samping dan Bahaya Kopi

Bagian penting dari poin Wajibatul Akh tersebut adalah kopi, teh dan minuman perangsang lainnya. Dalam hal ini maka kopi terkategori sebagai minuman perangsang. Perangsang bermakna obat stimulan, penghilang rasa sakit, dan sejenisnya. Sebagaimana kita pahami, kopi memang sering dikonsumsi agar bisa bergadang sebagaimana dulu awalnya kopi menjadi upacara religius penggembala Etiopia agar bisa bergadang sepanjang malam.

Penjelasan ilmiahnya tidak lain karena kandungan kafeinnya. Dimana kafein adalah alkaloid yang berperan melalui penghambatan fosfodiesterase, yang menyebabkan peningkatan level cyclic-nucleotida, yang selanjutnya memengaruhi sistem saraf pusat. 100 miligram kafein (sekitar secangkir kopi) dapat meningkatkan laju metabolisme 3-4 persen. Dalam dosis berlebihan, antara 2-7 cangkir, kopi dapat menimbulkan kegelisahan, mual, sakit kepala, otot tegang, gangguan tidur, dan jantung berdebar, terkadang juga anoreksia. Sementara jika dosisnya lebih tinggi lagi (di atas 750 mg), akan muncul berbagai gangguan emosi dan indera, utamanya pendengaran dan penglihatan.

Bahaya Akumulasi “Ketagihan” Jangka Panjang

Sebagaimana pengalaman dari Ibu diawal tadi, bahaya kopi justru terlihat dari efek jangka panjangnya. Karena mungkin bagi kita yang mengkonsumsi dan “ketagihan” minum kopi hari ini tidak terasa dampaknya sebagaimana Ibu dulu saat awal mengkonsumsi kopi. Dan dampak jangka panjangnya ternyata memang dari beberapa penelitian pada perempuan.

Sebagaimana  hasil penelitian dalam Reader’s Digest edisi Desember 1994, bahwa wanita yang mengonsumsi 300 mg kafein setiap harinya memiliki kesempatan 27 persen lebih rendah untuk hamil dibandingkan dengan mereka yang terbebas darinya. Meski mekanismenya belum diketahui pasti, sebuah hipotesis mengatakan, kemungkinan substansi ini dapat menurunkan level hormon—semisal estrogen— hingga memengaruhi ovulasi. Bahkan peneliti, Sven Cnattingius dari Karolinska Institue, Swedia menyimpulkan bahwa wanita hamil yang mengkonsumsi 100 mg kafein/hari akan lebih mudah mengalami keguguran. Karena kafein dapat meningkatkan denyut jantung sehingga mempengaruhi janin yang dapat menyerang plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin.

Padahal risalah-nya berjudul Wajibatul Akh tapi bahaya terbesarnya justru bagi perempuan. Apakah bagi laki-laki tidak berbahaya? Tentu tidak. Hal tersebut diatas tetap berlaku umum.  Terutama terkait kemampuan kafein membuang kalsium melalui urine, yang selanjutnya memerosotkan kekuatan tulang dan menjadikan tulang gampang patah.


Masih Tetap Mengkonsumsikah?

“Janganlah engkau meminumnya kecuali dalam keadaan darurat”, jadi bagian lengkap dari Wajibatul Akh. Pada dasarnya hukum meminum tetap terkategori boleh.  Hanya tentu menjadi perhatian kita ketika mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan. Minum air putih berlebihan saja bisa berbahaya. Apalagi ketika akhirnya kita mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan itu tanpa sadar karena faktor ketagihan oleh kafein. Tentu dampak jangka panjangnya sebagaimana dijelaskan diatas. Mungkin kesimpulan dari adanya poin ini di Wajibatul Akh sebagaiman kaidah “Menghindarkan mudharat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat”.
Wallahu a’lam

Source :




Yk.8.4.2015



Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Wednesday, April 08, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, April 5, 2015

Beliau selalu mengayuh sepeda ke Masjid. Ketika berpapasan dengan kami selalu menyapa dengan salam hangat penuh do’a. “Assalamu’alaikum”, sapa beliau setiap berpapasan sambil mengayuh sepedanya. Beliau biasanya menjadi imam sholat Dzuhur dan Ashar di Masjid kami. Sekaligus beliau merupakan Ketua Takmir Masjid. Hingga selama beberapa hari kami jarang melihat wajah beliau yang selalu hadir disetiap waktu sholat berjama’ah.  

Hari itu, sungguh Allah Maha Besar Cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang baik, salah satunya beliau insya Allah. Kami mendapatkan kabar duka. Ba’da sholat Subuh berjama’ah. Kami jama’ah Masjid diberikan pengumuman oleh imam sholat Subuh saat itu. “Innalillahi wa inna ilahi roji’un. Telah berpulang ke rahmatullah Bapak Sukiran, Ketua Takmir Masjid Al-Ashri”. Terjawab sudah pertanyaan kami selama beberapa hari. Ternyata beliau sakit dan sempat dirawat inap di Rumah Sakit. Dan hari itu, Allah memanggil beliau dengan kasih sayang-Nya.

Maka bertepatan sesudah pengumuman itu, kami semua jama’ah Masjid bersama-sama menuju rumah duka. Ba’da Subuh, jalanan menuju rumah beliau pun ramai dengan jama’ah Masjid. Bahkan tidak hanya jama’ah Masjid Al Ashri, jama’ah dari Masjid Pogung Dalangan pun ternyata datang untuk ikut menshalatkan jenazah di rumah duka. Satu persatu kami bergantian untuk menshalatkan, apalagi dengan jumlah jama’ah yang hadir di waktu yang sangat jarang terjadi bagi saya untuk menshalatkan jenazah. Ba’da Subuh.

Ukhuwah. Ingatan saya tetiba sampai pada bagaimana Rasulullah SAW dulu mengajarkan tentang persaudaraan. Beliau menyediakan waktu khusus untuk memperhatikan setiap wajah sahabat, jama’ah Masjid Nabawi kala itu. Ketika ada wajah yang beliau periksa tak hadir, Rasulullah SAW akan bertanya kepada para sahabat yang lain. “Kemanakah saudara kita ini?”, tanya beliau ketika ada wajah yang tak biasanya tak hadir shalat berjama’ah. Masih banyak hal yang mungkin belum sempurna bagi kita, terkhusus saya pribadi dalam menauladani beliau. Terutama belajar dari pengalaman berinteraksi bersama beliau, Bapak Sukiran, yang semoga Allah terima ditempat terbaik disisi-Nya.

Semoga Allah menguatkan kita untuk jadi pengikut yang benar-benar mentauladani Rasulullah. Yang menjadikan cinta kepada Rasulullah sebagai tak terpisahkan dari cinta kepada Allah SWT.
Wallahu a’alam bi shawab

Yk.5.4.2015
*sesaat setelah waktu Dzuhur

Idzkhir al-Mu’adz     

Posted on Sunday, April 05, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, March 29, 2015

Pekan lalu, menjadi sebuah kesyukuran bagi saya karena termasuk yang beruntung bisa memperoleh ilmu bersama para Asatidz Rumah Fiqih dot com.  Ya, bermula dari ikhtiar Ummi Masbihah dan beberapa panitia untuk memberi kepahaman ilmu fiqih kepada banyak orang terkhusus masyarakat kampus. Maka hadirlah sebuah agenda Dhouroh Fiqih yang bagi kami luar biasa. Saya pun termasuk salah satu yang ikut agenda tersebut full selama dua hari.
Rangkaian agenda Dhouroh Fiqih ini antara lain terdiri atas tiga : Pra Dhouroh, Dhouroh hari 1 (5 sesi), Dhouroh hari 2 (5 sesi) dan sebenarnya masih berlanjut dengan Dhouroh hari 3 (1 sesi). Akan tetapi, saya tidak bisa mengikuti agenda di sesi terakhir karena jatuh sakit.  

Pra Dhouroh
“Super & Menyentil”. Hikmah pertama mungkin yang saya dapat. Sangat berbeda dengan bayangan awal kita untuk setiap agenda Pra Dhouroh, agenda ini justru seperti tes pemahaman dasar tentang Fiqih. Meskipun Ummi selalu menyampaikan bahwa agenda tersebut bukan tes. Bagian awal kami diberi kesempatan membaca beberapa artikel tentang fiqih, perbedaan madzhab, dll untuk selanjutnya diminta memberikan testimoni. Testimoni saya secara umum adalah ternyata apa yang saya peroleh selama 2 tahun di pondok asrama mahasiswa tidak melekat secara utuh. Ilmu-ilmu seperti Musthala Hadits, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Fiqih Jinayah, Fiqih Sunnah, dll, seolah saya peroleh tapi tidak tergigit hingga ke gigi  geraham. Astaghfirullah. Semoga Allah rahmati para Asatidz yang memberikan ilmunya kepada kami yang “bandel” ini.

Maka dengan sentilan dari pra dhouroh tersebut menumbuhkan kembali semangat untuk kembali menggali apa yang dulu pernah saya peroleh. Apalagi beberapa output yang diinginkan dari daurah fiqh tersebut memang penting. Diantaranya : Agar kami mampu bersikap bijak terhadap berbagai perbedaan pendapat, terutama dalam hal fiqih. Bisa mengetahui dasar/pedoman awal belajar fiqih (muqadimah fiqih) serta mengenal ilmu fiqih secara utuh. Bisa memahami urgensi mengenal ulama dan memahami kaidah bermadzhab, dst. Menarik? Tentu saja. Semangat itulah yang menguatkan komitmen pribadi saya untuk bisa mengikuti agenda ini secara maksimal.  
Dhouroh Sesi 1
Agenda hari pertama dimulai jam 8.00 di Pesantren Darush Shalihat. Terdiri atas lima sesi. Khusus sesi pertama, dibersamai oleh Ustadz Isnan Anshori, Lc. Belum mengenal beliau? Silahkan kunjungi rumahfiqih.com maka akan terlihatlah profil beliau sebagai salah satu kontributor utama. Saya pun baru sadar ketika membuka halaman tersebut setelah agenda selesai. Bahwa ternyata kami dibersamai oleh Ustadz yang memiliki kepakaran atas ilmu yang disampaikan kepada kami.

Sadar atau tidak, bisa jadi materi pertama ini seperti mencambuk kami dalam memahami prioritas ilmu. Bahwa bisa jadi selama ini kita menuntut ilmu belum berdasarkan atas aspek prioritas utama yang mana. Akan tetapi, berdasar minat yang mungkin ikut-ikutan. Sepertinya seru untuk kuliah maka kita pun kuliah. Sepertinya seru untuk belajar bahasa asing, kita pun belajar dan kursus bahasa asing. Bahkan ketika pun kita menyadari pentingnya ilmu agama, itu pun dalam kerangka yang terparsialkan dengan ilmu yang sedang kita pelajari. Sekuler kalau bahasa yang umum digunakan.

Lalu bagaimana seharusnya? Kembalilah memahami tentang apa itu ilmu. Itulah yang disampaikan di materi sesi pertama. Bahwa dari perspektif hukum, ilmu itu terbagi atas dua. Yakni :
Ilmu Hal, ilmu yang wajib setiap Muslim mengetahui ketika akan melakukan aktivitas itu. Ketika kita akan memasuki bulan Ramadhan, maka ilmu yang wajib kita ketahui adalah ilmu tentang puasa Ramadhan. Ketika kita akan bepergian (musafir) maka ilmu yang wajib kita ketahui adalah ilmu dalam keadaan safar, dll.
Ilmu selanjutnya tentu ilmu yang belum wajib karena kita belum akan melaksanakan aktivitas tersebut. Dikenal dengan istilah Ilmu ‘Ahayyin.

Nah, terkhusus ilmu syar’i, ia pun terbagi atas dua. Ilmu Asasi dan Ilmu Alat. Ilmu Syar’i yang asasi terdiri atas :
1. Aqidah
2. Fiqih, 
terdiri atas Fiqih Ibadah dan Mu’amalah
3. Akhlak
Dan untuk ilmu syar’i yang alat terdiri atas:
1. Ulumul Qur’an
2. Ulumul Hadits
3. Ushul Fiqih
4. Bahasa Arab
5. Tarikh Islam

Berdasarkan kerangka ini, maka ketika ilmu syar’i menjadi ilmu yang wajib untuk kita pahami, seminimal-minimalnya kita harus selesai dalam pemahaman yang asasi. Yakni Aqidah, Fiqih dan Akhlak. Mungkin problematiknya, bisa jadi kita termasuk yang belajar dengan loncatan “kuantum”. Satu waktu semangat untuk belajar bahasa Arab tanpa tahu bagaimana setelahnya. Setelahnya tiba-tiba semangat beralih untuk belajar Qur’an, Hadits, dll tanpa terbangun kerangka awal untuk mempelajarinya bagaimana.

Lalu bagaimana harusnya? Tentu aspek asasi ini penting untuk prioritas pertama kita pahami. Karena dia adalah aspek dasar sebelum beralih ke banyak aktivitas ikutannya. Aqidah adalah pondasi dasar kita beriman dan beramal. Untuk beramal kita harus paham bagaimana Allah telah menetapkan hukum. Dan itu, dapat kita pahami dengan memahami Fiqih. Untuk selanjutnya dilengkapi dengan peran interaksi kita bersama manusia dengan Akhlak.
“Tercerahkan”. Menjadi ekspresi beberapa peserta ketika ditanyakan pendapatnya tentang materi ini. Ya, bisa jadi kita belum tepat dalam meletakkan prioritas ilmu yang mana untuk kita pahami dan pelajari selama ini.
Wallahu a’lam bi shawab.


*di sudut ruangan Andalusia
 Yk.29.3.3015

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Sunday, March 29, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, March 26, 2015

Adalah sandal, sebuah benda yang sangat dekat dan setia dengan kita. Setia menjadi alas kaki, yang dengannya harus menanggung beban dari kita berapa pun berat badan kita. Kita mungkin sangat perhatian terhadap berapa berat badan kita. Sudah ideal, kurang atau berlebihkah. Demi terlihat baik dihadapan manusia. Tapi apalah sandal, berapa pun berat badan kita, dia tetap akan siap untuk menanggung bobot kita. Bahkan dengan kondisi tak ideal dari dirinya. Ketika dia sudah sangatlah tipis termakan usia, ketika beberapa bagian dari asesoris tubuhnya sudah lepas satu persatu, bahkan ketika bentuknya sudah kusam dan mungkin sebenarnya sudah “tidak layak pakai”. Kita tetap mempergunakannya. “Cuman dipergunakan untuk berjalan beberapa meter kok. Kenapa harus bagus?”, sebagian dari alasan kita. Sandal, darinya kita belajar bahwa ketika telah baginya ditetapkan sebuah amanah untuk menanggung beban manusia, dia siap. Dengan kondisi apapun yang ada pada dirinya.


Adalah sandal, yang mungkin bagi kita tak terlalu berharga dibandingkan sepatu. Sandal bukanlah alas kaki yang dirasa “pantas” dipergunakan untuk bertemu dengan “orang penting”. Saat seorang pencari kerja dan beasiswa harus bertemu user untuk wawancara, jarang bahkan tak pernah dia menggunakan sandal. Saat seorang harus ke kantor-kantor umum untuk sekedar bertanya, dipintu masuk seseorang kadang sudah terhenti dengan rambu-rambu “Kaos Oblong dan Sandal Dilarang Masuk”. Itulah sandal, nilai kepatutan dan sosialnya telah ditetapkan. Tak begitu berharga secara sosial dibanding sepatu. Berapa pun mahal harganya. Akan tetapi, dia tetap kita butuhkan dengan fleksibelitas dan kenyamanannya. Mungkin apabila kita ditanya, “Untuk pergi kemana-mana enak mempergunakan apa? Sandal atau sepatu?”. Semua kita akan serentak menjawab, “Sandal”. Ya, sandal. Darinya kita belajar, bahkan sesuatu bisa sangat dibutuhkan bukan karena status sosialnya. Namun karena peran dan fungsinya.


*ceritanya sandal saya tertukar
beberapa hari yg lalu :)
 Yk.7.3.2015


Idzkhir al Mu’adz

Posted on Thursday, March 26, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments