Wednesday, November 20, 2013

Selasa, 19 November 2013. Apa yang berbeda dari hari ini di UGM? Tidak lain karena hari ini adalah periode wisuda terakhir di tahun 2013 disini, Wisuda November J. Alhamdulillah, beberapa sahabat disini meraih toga wisuda itu di hari ini. Diantaranya :

Sahabat seperjuangan di Super Team Biro Khusus Kaderisasi KMT X4

Mereka adalah Tito Rizal Prabowo dan Umi Kulsum Maharani Priandini. Gratuliere! Untuk tim ini saya hanya berekspresi bahwa Kita memang beda dari yang lain. Dari 5 orang di tim ini, justru yang pertama meraih toga wisuda itu adalah Nur Rochman Nabawi. Padahal beliau berasal dari Jurusan Teknik Geologi yang terkenal “sangat penuh keras” perjuangan untuk LULUS-nya. Tapi mungkin itulah yang justru jadi pelecut bagi beliau untuk menjadi yang berbeda. Kalian memang Super. Sampai hari ini saya masih bangga membersamai kalian di Tim BKK KMT X4.
Mohon do’anya untuk kami (Saya, Fajli, Cecep, Mbak Tanti, Lina, Dhita, Uti, dan PH KMT yang lain) yang masih berjuang meraih toga wisuda itu.

  2. Sahabat seperjuangan di SKI JTMI UGM
Lebih tepatnya saat saya diamanahkan disana sebagai Ketua Panitia acara Ramadhan terakhir yang pernah ada di Jurusan Teknik Mesin dan Industri, RAMEIN “Ramadhan Mesin Industri”. Teman seperjuangan yang wisuda pada hari ini adalah Jihad Mujahidin Mahmud, Widhi Yoga Saryanto, Satrio Nugroho, Budi Anggoro (Budi Fordistek-read), Fanny Purwati, Ima Nurmala, Nila Khusnika Sari. Super sekali. Ternyata akhirnya kalian bisa meraih toga wisuda itu di periode terakhir di tahun 2013 ini. Bangga pernah membersamai teman-teman dulu di SKI JTMI. Jargon kita dulu saat Ramadhan tentang Jurusan Teknik Makin Islami itu tetap keren kedengarannya untuk diucapkan.    
3
  3. Rekan Seperjuangan di PKP AAI Teknik UGM
Rekan yang saya dan teman-teman pernah gelari “Mas’ul Lembaga terbaik di tahun 2012” meskipun AAI sebenarnya bukan lembaga. Beliau adalah Muhammad Arief Ariyanto. Masih ingat bagaimana berkorbannya Arief untuk tidak KKN lebih dulu saat menjadi Koordinator PKP AAI Teknik sedangkan kami justru lebih dulu KKN. Ya, Arief membuktikan lebih dulu atau tidaknya KKN bukan jadi indikator meraih toga wisuda lebih dulu atau lebih akhir J. You Prove It Bro. Das ist Super!  
Mohon do’anya Pak Koord untuk kami pejuang PKP AAI Teknik yang masih berjuang untuk segera meraih toga wisuda itu (Saya, Nugraha, Wimas,  Hardy, Bayu, Ema, Feni, Umiyati, dkk).

S4. Saudara seperjuangan di LP Insani Yogyakarta
Tidak lain dua orang yang penuh dengan impian Indonesia masa depan, yakni Ahmad Fikry Mubarok dan Rendy Adriyan Diningrat. Ya, bersama kalian kita sama-sama mengeja dan menganalisis permasalahan umat dan bangsa ini untuk sebuah solusi. Dan saat ini kalian lebih dulu berpindah ke fase realita itu dengan raihan toga wisuda hari ini. Semoga tetap istiqomah dengan segala peran kebermanfaatan itu. Mohon do’anya untuk segera menyusul ke fase yang lebih besar itu bersama saudara-saudara Insani yang lain. Cerah, Slamet, dkk.   

Dan masih banyak lagi memang beberapa rekan yang meraih toga wisuda itu pada hari ini. Ahmad Faqih Mahalli, Didik Hari Purwanto, Kamal Firmansyah, dkk. Selamat selamat dan selamat. Barakallah. Semoga ilmunya memberi kebermanfaatan. Tidak hanya bagi diri kita pribadi tapi juga bagi lingkungan kita.

Inspirasi Wisuda dari rekan-rekan hari ini semakin menjadi lecutan api semangat untuk saatnya membagi fokusan pikiran ini secara tepat. Ya, sampai saat ini memang hal inilah yang harus benar-benar dievaluasi. Beberapa hal masih membuat pikiran dan fokusan ini tertuju pada amanah-amanah lain. Karena bagaimana mungkin pikiran kita bisa nyaman mengejar setiap targetan-targetan Tugas Akhir, ketika masih banyak masalah yang butuh diselesaikan. Ketika masih banyak hal harus senantiasa kita pastikan. Ketika masih banyak hal yang harus diampu secara baik dan berakhir dengan baik. Apalagi itu juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan disamping amanah Wisuda ini.

Maka tekad November ini haruslah jadi pijakan loncatan menuju target yang selalu menjadi do’a bersama beberapa rekan-rekan lain.
Februari Ceria..
Bismillah..
Insya Allah..
Allahu Akbar…

Yk.19.11.2013
*sejenak beralih dari simulasi dan g-code tugas akhir
Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Wednesday, November 20, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Friday, November 1, 2013

         
Seorang guru pernah bertanya kepada muridnya saat memperlihatkan dua benda, Gula dan Garam. Beliau bertanya mana yang gula, mana yang garam? Kira-kira bagaimana kita akan menjawab pertanyaan itu? Dengan memperhatikan bentuknya yang nyaris sama. Atau dengan merasakan ukuran dan kehalusan dari dua benda yang nyaris sama itu? Atau dengan bentuk analisis-analisis lain yang meyakinkan. Kita yang cerdas pasti akan menjawab bahwa kita akan mengetahuinya dengan mencicipi dua benda itu. Mencicipi gula dan garam itu.

          Begitu pun dakwah. Kita akan mengetahui pahit manisnya dakwah dan daya tariknya dengan merasakannya lebih dalam. Kita tidak akan tahu hanya dengan membaca, mendeskripsikannya tanpa ikut merasakan langsung bahkan ikut lebih dalam. Ungkapan yang juga berlaku untuk kita yang akan berkata jenuh dalam dakwah dan amanah.

          Ketika kita berungkap jenuh bahwa sepertinya yang kita lakukan stagnan tanpa ada pergeseran sedikit pun. Maka pastikan dulu sejauh apakah totalitas kita untuk mengampu amanah itu. Karena sesungguhnya yang menyebabkan apa yang kita lakukan itu stagnan tak bergerak adalah diri kita sendiri. Bukankah seorang Muslim itu harus senantiasa bergerak. Karena seorang Muslim itu berprinsip bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemaren.  

          Ketika kita berungkap jenuh karena alasan bahwa sistem yang dijalankan salah dan akut. Maka pastikan dulu, sistem yang kita jalankan sudah sejauh apa kita jalani. Sudah keseluruhan sistemnya atau jangan-jangan kita baru menjalankan sebagian kecil dari sistem itu. Namun sudah sangat yakin untuk berkesimpulan bahwa sistemnyalah yang salah.

       Ketika kita berungkap jenuh karena alasan bahwa sekarang bukan masanya memikirkan apa yang kita jalankan sekarang. Sudah beda zaman. Sudah beda fase. Maka pastikan dulu, hal yang sekarang kita jalankan itu sudah selesai sehingga pantas untuk beralih ke hal lain. Jangan-jangan untuk fase yang kecil saja kita belum selesai sudah berbicara beralih ke fase yang lebih besar.

     Ya, JENUH? Bisa jadi kita hanya mencari-cari alasan untuk sekedar meninggalkan dakwah dan amanah ini. Karena kita belum menikmatinya. Karena kita masih menganggapnya beban. Karena menganggapnya jebakan. Karena belum benar-benar tercelup total kedalamnya. Karena belum benar-benar ikhlas karena-Nya.

        Ya, JENUH? Siapakah yang lebih pantas jenuh selain mereka yang telah menerjunkan dirinya kedalam dakwah dan amanah ini lebih dahulu. Bukankah mereka secara kasat mata berkutak di hal yang sama selama bertahun-tahun. Tidakkah Itu Jenuh? Tidakkah itu membosankan? Tidakkah itu menjemukan? Tapi kita sangat tahu bagaimana mereka hingga hari ini. Bertahan di hal yang sama.

Ya, JENUH? Bisa jadi…


Yk.1.11.2013
*renung Jumat
Didepan rak buku Andalusia

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Friday, November 01, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

“kita semua sama, terpenjara dalam kesendirian hanya saja,
ada yang terkurung di ruang gelap tanpa cahaya,
sementara yang lain menghuni kamar berjendela”
-Kahlil Gibran-
         
Ada dua prinsip yang selalu saya pegang ketika mengampu amanah didalam sebuah organisasi. Prinsip yang sangat saya pegang terutama untuk amanah yang berkaitan dengan bagaimana mengelola banyak orang. Prinsi yang saya pegang entah apapun badai yang menerpa. Prinsip yang saya pegang karena dulu itu dinasehatkan kepada saya ketika ada keraguan untuk mengampu amanah. Lebih tepatnya ragu akan diri sendiri.

Prinsip pertama, “Jangan pernah marah kepada anggota-anggotamu seberapapun emosinya dirimu”. Berat? Mungkin beberapa dari kita akan berpendapat sepeti itu. Namun, sejatinya ini hanya lah standar sederhana seorang pemimpin. Karena menjadi seorang pemimpin berarti menjadi seseorang yang paling luas kesabarannya. Bersabar kepada siapa? Bersabar kepada mereka yang ia pimpin. Bahkan batas kesabaran minimal seorang pemimpin itu adalah sebanyak anggota yang dipimpin. Apabila kita menjadi pemimpin untuk lima orang. Maka kita harus bersabar untuk lima orang itu. Bayangkan? Untuk seorang pemimpin negara bahkan dunia? Kesabarannya haruslah sebanyak rakyat yang dipimpinnya.

Maka prinsip inilah yang selalu saya pegang. Prinsip ketika banyak hal dan masalah terjadi oleh anggota-anggota. Dari hal yang mungkin bagi sebagian orang berkata bahwa memang patut untuk marah atau hal yang patut membuat kita mengernyitkan dahi tanda tak percaya. Marah? Emosi? Ya Rab, betapa sering terlintas di pikiran ini untuk kemudian menumpahkan kemarahan. Yang mungkin dapat dikuatkan dengan dalih bahwa sudah sepantasnya seorang pemimpin untuk marah sebagai cara untuk mengingatkan anggotanya. Tapi, apakah semua selesai dengan kita marah dan menumpahkan emosi sesaat? Sungguh bagi saya itu sangatlah tidak bijak.

Ya, dengan prinsip ini, beberapa dari kita mungkin memberikan pendapat bahwa sebagai pemimpin kita tidak apa satu waktu untuk marah. Bukankah marah wujud kita mengingatkan dan sayang. Maka bagi saya, itu mungkin benar tapi bukankah ada wujud lain yang lebih tepat.

Prinsip kedua, “Jangan pernah mengeluh didepan anggotamu. Karena apabila seorang pemimpin sudah mengeluh, apa jadinya anggotamu”. Ya, mengeluh adalah hal yang paling lumrah untuk setiap diri kita lakukan. Apalagi bagi seorang pemimpin. Apabila kita bertanya kepada seorang pemimpin apa impian mereka, target-target mereka, maka saya yakin mereka semua punya itu. Jika seorang pemimpin tidak punya impian dan target itu, maka tidaklah pantas dia menjadi pemimpin.

Namun, bagaimanakah seorang pemimpin merealisasikan setiap impian & target? Tidak lain melalui anggota-anggota yang berjuang bersama dengan dirinya. Maka disinilah dilematis seorang pemimpin. Bisa jadi impian itu tinggi namun anggota-anggotanya belum siap dan mampu meraihnya. Lalu apa yang seorang pemimpin lakukan? Mengeluh? Atau menumpahkan keluhan itu diiringi rasa sesal dan marah?  

Bagi saya, disinilah seorang pemimpin akan berdamai dengan dirinya dan target-targetnya. Kalimat yang selalu saya sampaikan untuk kondisi ini adalah
“Ingin rasa mengajak mereka berlari, Namun bagaimana mungkin engkau berlari sedangkan mereka masih merangkak, berjalan bahkan butuh dituntun dan didampingi”
Ya, itulah bentuk seorang pemimpin berdamai dengan dirinya, berdamai dengan cita-citanya, berdamai dengan impiannya.     

      Sehingga apa jadinya jika seorang pemimpin itu mengeluh. Mengeluh didepan anggota-anggotanya. Bisa jadi dengan mengeluhnya dia, mereka yang awalnya bisa merangkak atau berjalan menjadi tidak bisa bergerak lagi. Tidak bergerak karena tidak ada alasan untuk bergerak, tidak bergerak karena tidak ada daya untuk bergerak lagi. Karena mengeluhnya seorang pemimpin didepan anggota-anggotanya adalah wujud keputusasaan diri seorang pemimpin. Apabila seorang pemimpin sudah berputus asa. Apa jadinya anggota-anggotanya. Tentu mereka menjadi orang yang lebih berputus asa.
         
Wallahu a’lam
Yk.1.11.2013
*Diruang tengah Andalusia

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Friday, November 01, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments