“Tidak
dipertemukan laki-laki dan perempuan
kecuali
karena Akad”
(Kutipan
Ta’lim Mushola Al Falah)
14
Februari sebagai #GerakanMenutupAurat sepertinya sudah sangatlah mendekati top trending topic didunia social media.
Semoga diikuti dengan menjadi top
trending topic didunia nyata. Aaamiin. Maka mari kita ikhtiarkan
#GerakanMenutupAurat ini dengan do’a kepada ALLAH Swt. Sungguh Allah-lah yang
Maha Berkehendak membolak-balikkan hati. Termasuk untuk perkara hidayah
#MenutupAurat.
Akan
tetapi, tiba-tiba saya “tergelitik” untuk berpikir ketika membuka
timbunan-timbunan file saat masih SMA. Ternyata banyak juga file-file rahasia,
OOT. Bentuk “tergelitik” ini adalah sebuah pertanyaan. Yakni ketika kita begitu
bersemangat dengan #GerakanMenutupAurat karena kita sejatinya telah “menutup
aurat”, lalu bagaimana dengan kita sendiri? Gerakan apakah yang pantas untuk
diri kita? Apalagi teringat sebuah pertanyaan lain bahwa jangan-jangan ajakan
kita kepada orang lain hanya agar orang lain sama seperti kita. Karena kita
cenderung tidak menerima orang lain berbeda dengan diri kita. Hm.. Pertanyaan
aneh, jangan terlalu dipikirkan. Intinya kita pun perlu mengevaluasi diri sebagai
orang yang memberi ajakan #GerakanMenutupAurat.
Dan
karena standar lahiriah #MenutupAurat mungkin telah kita capai. Maka sejatinya kita
harus meningkat menuju standar lebih tinggi atau utama dari #MenutupAurat yakni
Menjaga Hati. Dan karena #MenutupAurat identik dengan interaksi lawan jenis
maka standar #MenjagaHati pun dalam hal ini juga dalam hal interaksi lawan
jenis. Karena hal yang terkait #MenjagaHati dari segala macam penyakit hati,
saya berkeyakinan Insya Allah kita semua sudah mafhum. Dan timbunan file
rahasia saat masih SMA yang saya sampaikan diawal tadi bermula dari sebuah
pertanyaan berikut,
“Assalamualaikum
wr wb
Pak
ustadz, saya seorang ikhwan 17 tahun dan saat ini saya sedang menyukai seorang
akhwat. Di sekolah saya termasuk siswa yang berprestasi, sehingga perasaan suka
saya ini paling tidak begitu terpengaruh oleh kehidupan untuk masa depan. Kami
sering bertemu, karena kebetulan kami satu sekolah. Saat itu, saya pernah
mengatakan kepadanya tentang perasaan suka saya dan saya berjanji akan menikah
dengannya kelak setelah mempunyai pekerjaan. Dan akhwat tersebut bersedia untuk
menunggu saya di kemudian hari.
Pertanyaan
saya :
1. Bolehkah saya berkomitmen
seperti itu?
2. Apakah boleh seorang akhwat
menunggu untuk dinikahi kelak?
3. Bagaimana caranya untuk
mengatur mahabbah yang disengangi Allah?
Jazakumullah khairun jaza'. Wassalamu'alaikum wr wb (Abdullah)”
Nah Lho, kok malah terkait
terhadap ikhwan-akhwat ya. Semoga gak langsung sensitif dengan pertanyaannya
tersebut. Hm... ada yang mempunyai kasus sejenis ini? Coba melihat ke cermin
wajah sendiri #Eh..? Klo pun ada semoga semakin tertarik untuk mengetahui
jawaban dari sang Ustadz. Klo pun penasaran mendengar jawaban secara langsung, bisa
langsung bertanya saat Kajian, Ta’lim dan bentuk majelis ilmu yang lain. Nah
jawabannya kurang lebih seperti ini.
“Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah,
Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Fenomena yang seringkali terjadi di tengah masyarakat adalah adanya sepasang
kekasih yang memadu janji untuk saling memiliki dan nantinya akan membangun
mahligai rumah tangga.
Hampir
di setiap wilayah kehidupan kita mendapati adanya dua sejoli memadu kasih dan
saling mengikat diri dengan janji-janji. Bahkan terkadang hal yang sama meski
tidak terlalu vulgar, terjadi juga pada para aktifis dakwah. Barangkali karena
frekuensi pertemuan di antara mereka yang lumayan sering, sehingga menimbulkan
jenis perasaan tertentu yang sulit digambarkan.
Barangkali
kondisi ini agak dilematis. Sebab di satu sisi mereka paham bahwa hubungan
antara pria dan wanita itu terbatas, namun di sisi lain di dalam jiwa mereka
yang masih muda ada perasaan yang mendorong untuk tertarik dengan sesama rekan
aktifisnya yang lain jenis. Interaksi yang intensif dan tuntutan dinamika
pergerakan terkadang ikut menyuburkan perasaan-perasaan `aneh` itu.
Maka
istilah CBSA terdengar dengan
singkatan Cinta Bersemi Setelah Aksi. Hubungan yang awalnya agak kaku,
tertutup, terhijab mulai mencair dan terasa lebih melegakan. Namun terkadang
ada kasus dimana keterbukaan itu tidak hanya berhenti sampai disitu, lebih jauh
sampai kepada hal-hal yang lebih pribadi dan ujung-ujungnya adalah sebuah janji
untuk nantinya menikah.
Bagaimanakah syairat Islam memandang fenomena ini, khususnya janji antara dua
sejoli untuk menikah? Adakah landasan syar`inya? Bisakah hal itu dibenarkan?
1. Hukum Berjanji
Berjanji
itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa
kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah. Dasar dari wajibnya
kita menunaikan janji yang telah kita berikan antara lain adalah :
a. Perintah Allah SWT dalam
Al-Qurân Al-Karîm
Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk melaksanakan
janji-janji yang pernah diucapkan.
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. (QS. An-Nahl : 91)
Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu,
yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan
kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang
besar. (An-Nal : 94)
b. Menunaikan Janji Adalah Ciri
Orang Beriman
Allah menyebutkan dalam surat Al-Mu`minun tentang ciri-ciri orang beriman.
Salah satunya yang paling utama adalah mereka yang memelihara amanat dan janji
yang pernah diucapkannya.
Telah Beruntunglah orang-orang beriman, yaitu yang …. dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat dan janjinya. (QS. Al-Mu`minun : 1-6)
c. Ingkar Janji Adalah Perbuatan
Syetan
Ingkar janji itu merupakan sifat dan perbuatan syetan. Dan mereka menggunakan
janji itu dalam rangka mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam
kesesatan. Dengan menjual janji itu, maka syetan telah berhasil menangguk
keuntungan yang sangat besar. Karena alih-alih melaksanakan janjinya, syetan
justru akan merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji
kosongnya itu.
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan
angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada
mereka selain dari tipuan belaka. (QS. An-Nisa : 120)
d. Ingkar Janji Adalah Sifat Bani
Israil
Ingkar janji juga perintah Allah kepada Bani Israil, namun sayangnya perintah
itu dilanggarnya dan mereka dikenal sebagai umat yang terbiasa ingkar janji.
Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku
kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut. (QS. Al-Baqarah : 40)
2.
Janji
Yang Mungkar
Namun
janji itu hanya wajib ditunaikan manakala berbentuk sesuatu yang halal dan
makruf. Sebaliknya bila janji itu adalah sesuatu yang mungkar, haram, maksiat
atau hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka janji itu
adalah janji yang batil. Hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan.
Misalnya
seseorang berjanji untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau
melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram
hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika
berjanji, dia mengucapkan nama Allah SWT atau sampai bersumpah. Sebab janji
untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya.
Dalam
kasus tertentu, bila seseorang dipaksa untuk berjanji melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan syariat Islam, tidak ada kewajiban sama sekali baginya
untuk menunaikannya. Misalnya, seorang prajurit muslim dan disiksa oleh lawan.
Lalu sebagai syarat pembebasan hukumannya, dia dipaksa berjanji untuk tidak
shalat atau mengerjakan perintah agama. Maka bila siksaan itu terasa berat
baginya, dia diberi keringanan untuk menyatakan janji itu, namun begitu lepas
dari musuh, dia sama sekali tidak punya kewajiban untuk melaksanakan janjinya
itu. Sebab janji itu dengan sendirinya sudah gugur.
Dalam
kasus Amar bin Yasir, hal yang sama juga terjadi dan Allah SWT memberikan
keringanan kepadanya untuk melakukannya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.(QS. An-Nah; : 106)
3. Janjian Untuk Menikah
Janji
yang diucapkan oleh laki-laki yang bukan mahram dan bukan dalam status
mengkhitbah itu tidak mengikat buat seorang wanita untuk menikah dengan orang
lain atau menerima khitbah dari orang lain. Karena itu baru sekedar janji dan
bukan khitbah.
Jadi
di tengah jalan, wanita itu sah-sah saja bila menikah dengan orang lain dengan
atau tanpa alasan apapun. Kecuali bila anda telah mengkhitbahnya/melamarnya
secara syar`i. Karena khitbah memiliki kekuatan hukum yang mengikat calon
pengantin wanita.
Sebenarnya
dalam Islam tidak dikenal janji seperti itu karena memang tidak memiliki
kekuatan hukum. Jadi tidak ubahnya seperti pacaran dan janji-janji sepasang
kekasih yang kedudukannya tidak jelas. Janji untuk menikahi yang dikenal dalam
Islam adalah khitbah itu sendiri. Ini adalah sejenis ikatan meski belum sampai
kepada pernikahan. Begitu menerima dan menyetujui suatu khitbah dari seorang
laki-laki, maka wanita itu tidak boleh menerima lamaran orang lain. Meski belum
halal, tetapi paling tidak sudah berbentuk semi ikatan. Orang lain tidak boleh
mengajukan lamaran pada wanita yang sedang dalam lamaran.
Menurut
hemat kami, bila memang masih jauh untuk siap menikah, sebaiknya anda tidak
usah terlalu memberi perhatian dalam masalah hubungan dengan wanita terlebih
dahulu. Apapaun bentuknya. Dan tidak perlu membentuk hubungan khusus dengan
siapa pun. Nanti pada saatnya anda siap berumah-tangga, maka silahkan ajukan
lamaran kepada wanita yang menurut anda paling anda sukai. Jadi lebih real dan
lebih pasti.
Dan
ketahuilah bahwa para wanita umumnya lebih suka pada sesuatu yang pasti
ketimbang digantung-gantung tidak karuan. Atau diberi janji-janji yang tidak
jelas apa memang mungkin terlaksana atau hanya gombalisme belaka.
Wallahu
a`lam bish shawab
Wassalamu
`alaikum Wr. Wb.”
Nah, kurang lebih jawaban
singkat dari sang Ustadz seperti itu. Semoga tidak menjadi bingung kenapa
jawabannya disebut singkat. Atau tidak bingung karena arah tulisannya malah
jadi galau’ers. Karena menurut saya pribadi banyak dalil, penjelasan dan kaidah
yang dapat menjelaskan terkait hal itu. Sehingga bisa dibilang jawabannya cukup
singkat J. Jadi, sebenarnya maksud
tulisan ini apa ya? Intinya mari sama-sama selalu meningkatkan standar kita
sebagai seorang Muslim. Bukankah Mukmin yang beruntung itu adalah adalah Mukmin
hari ini lebih baik dari hari kemaren. Dalam artian selalu ada perbaikan terus
menerus. Ketika kita sudah selesai dalam tahapan dzohir #MenutupAurat maka
meningkat menuju tahapan ruhy dalam #MenutupAurat. Menutup setiap pintu-pintu
dan celah syaitan. Wallahu a’lam bi shawab.
*Oya,
#GerakanMenutupAurat disini tidak begitu kelihatan J. Lha.. gimana mau terlihat
karena Perda #Menutup Aurat-nya sudah mewajibkan semua orang sejak tingkat
Taman Kanak-kanak. Tinggal meningkatkan standar #MenutupAurat-nya dari Perda
menjadi benar-benar Panggilan Hati & Hidayah.
Pdg.12.2.2013
Melihat #GerakanMenutupAurat
dari Bumi Minang
Idzkhir al-Mu’adz