Friday, December 12, 2014

Jika kita berbicara tentang ashalah dakwah, tentu saja ini sebuah masalah yang besar, karena terkait langsung dengan ashalah Islamiyah. Tidak mungkin dibicarakan dalam 1–2 halaman situs ini. Orisinalitas dakwah tidak memiliki mabadi (prinsip), kecuali mabadi imaniyah dan fikriyah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tulisan ini adalah upaya untuk menyegarkan pemahaman kita.

Ashalah dakwah islamiyah itulah yang dipakai gerakan Islam di mana-mana, tak ada perbedaannya. Betapa luasnya pembicaraan tentang ashalah dakwah seluas pembahasan tentang Islam. Salah satu keistimewaan dakwah ialah ruang lingkup yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah (universalitas dan integralitas) ajaran Islam, juga keterpaduan dari perjuangan, tatanan, serta sistem yang diterapkan.

Masalah syumuliyah dan takamuliyah itu lebih ke pendekatan prinsipil, tetapi dari pendekatan operasional terlihat kemampuan dakwah Islam kontemporer untuk mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dakwah dari para Rasul dan Anbiya, para shahabat Nabi dan juga para salafus shalih. Kemampuan itu dalam bentuk tawazun (keseimbangan) dalam melakukan langkah-langkah ta’shiliyah (orisinalisasi) dan tathwiriyah (improvisasi), mutawazinah baina khuthuwat al ta’shiliyah wa khuthuwat al tathwiriyah.

Itulah salah satu tamayuz (keistimewaan) dakwah kontemporer yang sebenarnya merupakan tamayuz islami yang banyak diabaikan gerakan dakwah, meskipun kita respek dan mengakui eksistensi perjuangan mereka sekaligus mengakui keikhlasan dan pengorbanan mereka dalam berjuang. Tetapi, qudrah ad da’wah dalam menyeimbangkan ta’shiliyah dan tathwiriyah di zaman modern ini harus benar-benar dilaksanakan secara konsisten.

Sudah barang tentu, apabila kita membahas dakwah antara upaya orisinalisasi dan improvisasi perlu waktu yang panjang. Di sini saya hanya ingin menyampaikan sedikit sebagai dzikra (peringatan) dan sebagai resume terhadap perjalanan dakwah yang sudah kita lakukan.

Konsistensi kita dalam menjaga ta’shil dan tathwir sangat penting bagi keselamatan kita sendiri, baik secara pribadi maupun sebagai sebuah entitas gerakan dakwah. Sebab, tanpa adanya keseimbangan antara orisinalitas dan modernitas akan banyak sekali kemungkinan penyimpangan dakwah akibat mengabaikan prinsip keaslian dan pengembangannya. Kita mengetahui universalitas dan integralitas dakwah tergambar dari upaya membangun hablun minallah dan hablun minannas yang baik.

Kemampuan kita dalam menjaga keseimbangan dari aspek ta’shil bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada Allah dan Rasul-Nya, al Kitab dan as Sunnah. Sementara konsistensi kita dalam membangun khuthuwat at tathwiriyah adalah menjaga hablun minannas dengan baik. Tanpa kedua aspek itu, maka akan terjadi inkhirafat(penyimpangan) yang menimbulkan bala dan malapetaka di dunia dan akhirat.

Kemampuan kita dalam mengelola dakwah dari sisi ta’shiliyah lebih dekat kepada konteks hubungan kita dengan Allah dari aspek moral, ma’nawiyah dan ruhiyah yang dibentengi dengan sehatnya aqidah kita dari kemusyrikan yang kecil maupun besar, dari kemusyrikan yang tampak maupun tersembunyi, yang menyelinap dalam pikiran kita. Dengan selalu memperhatikan khuthuwat ta’shiliyah kita memelihara keutuhan ruhiyah, fikriyah, dan manhajiyah secara baik.

Salah satu cara untuk mempertahankan kesadaran tentang pentingnya khuthuwat ta’shiliyah, dalam konteks pembinaan di masa tamhidiyah atau takwiniyah, adalah kesadaran akan posisi manusia (manzilat al insan) di hadapan Allah Ta’ala.
Pertama, posisi manusia sebagai makhluk penting disadari, betapapun tingginya ilmu dan jenjang keulamaan kita, betapapun terhormatnya jabatan kita di masyarakat atau negara. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai makhluk penting dalam aspek ketergantungan kepada Sang Khaliq. Tidak satupun makhluk ciptaan yang tidak bergantung kepada Pencipta-nya.

Tidak ada satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan pada pembuatnya. Produk keluaran pabrik saja, merek-merek mobil yang terkenal sekalipun tergantung dari produsen yang membuatnya, baik ketergantungan teoretis dengan petunjuk manualnya, maupun ketergantungan atas software atau hardware dalam beragam spare parts yang besar maupun kecil. Itu tampak sepele, namun sangat penting untuk menunjukkan kesadaran kita bahwa manzilah kita di hadapan Allah hanyalah makhluk. Itu merupakan modal dasar untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Kesadaran kedua dari manusia di hadapan Allah adalah sebagai hamba. Kesadaran ini penting dibangun sebagai apresiasi dari keinginan, kehendak, dan rencana yang sangat terkait dengan grand design yang sudah ditentukan Allah. Kesadaran sebagai makhluk bersifat mutlak, sedang kesadaran sebagai hamba bisa relatif, banyak yang menolak. Kita tidak mempunyai kehendak apapun, kecuali dengan apa yang dikehendaki Allah Ta’ala. Ayat al-Qur’an banyak menjelaskan sisi aqidah dengan memusatkan kesatuan kehendak, keinginan, dan rencana segala sesuatu sesuai dengan iradah-Nya. Itulah tugas manusia sebagai hamba-Nya.

Ketiga, kesadaran manusia sebagai junud (tentara) Allah. Sebagai prajurit kita harus merasakan adanya jalur komando dari Allah dan Rasul-Nya yang mutlak ditaati, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an. Itulah posisi kita sebagai prajurit yang senantiasa siap menerima komando. Insya Allah, jika ketiga jenis kesadaran itu dijaga dengan baik melalui upaya-upaya ta’shil yang mengarah pada ashalah islamiyah dan dakwah, maka gerakan akan senantiasa tumbuh.

Setelah kesadaran akan posisi manusia, maka selanjutnya kesadaran akan watak asli manusia (thabiat al insan). Humanity by nature, kata orang, kemanusiaan yang sesuai dengan tabiat yang telah ditentukan Allah. Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak pada persepsi-persepsi yang mungkin timbul dari rencana-rencana terhadap evaluasi tarbiyah, seolah-olah hal itu akan mengangkat dan melepaskan kita dari watak kemanusiaan. Kita dididik melalui proses tarbiyah untuk mengutuhkan kemanusiaan kita, bukan melepaskannya, baik menuju kemuliaan yang seringkali diidentikkan dengan watak malaikat. Kita tetap seorang manusia, namun ingin menjadi manusia seutuhnya. Yang penting bagaimana mengelola kelebihan dan kekurangan yang kita miliki.

Jangan digambarkan dari proses tarbiyah akan muncul insan yang kamil tanpa cacat. Kita adalah manusia sebagaimana Ibnu Adam lain yang memang diberi kehormatan, tetapi tetap saja bisa lupa dan sering berbuat salah. Manusia adalah makhluk yang sering berbuat salah. Kesadaran itu sangat penting agar dengan kelebihan dan kekurangan manusiawi kita bisa mengelolanya. Dengan demikian kita akan terjaga dari ghurur (arogansi) seperti Fir’aun yang merasa dirinya adalah Tuhan, atau juga terjaga dari keputusasaan yang melumpuhkan dakwah. Kita berjuang sesuai dengan fitrah, sesuai dengan tabiat insaniyah ataupun tabiat kauniyah yang terdapat dalam diri, masyarakat dan alam semesta.

Ketiga adalah kesadaran akan tugas kemanusiaan (risalat al insan) kita. Kita memiliki misi ibadah dan pengabdian. Segala gerak hidup: apa yang kita miliki, apa yang kita lakukan adalah ibadah. Sehingga, apapun yang kita miliki harus dikalkulasi, akankah meningkatkan ibadah kita kepada Allah atau tidak. Misi total kita adalah pengabdian kepada-Nya.

Keempat kesadaran akan misi khilafat al insan. Mengapa manusia diberi kemuliaan? Karena kita diberi tugas yang besar, yaitu menjalankan khilafah (pengayoman dan kepemimpinan) yang pada hakekatnya berlaku untuk semua orang, baik mu’minuhum wa kufrahum, mereka yang beriman dan amanah maupun tidak.

Kesadaran itu penting agar kita selalu merasa dalam tugas (on duty), tak ada perasaan mau cuti. Mungkin kita perlu rehat. Ya, rehat itu dalam rangka mengumpulkan potensi kita untuk melaksanakan tugas lainnya. Bukan berarti cuti secara total dengan tidak ada kaitannya terhadap misi dan wazhifah kita. Maka, dalam tarbiyah dikenal adanya program rihlah dan mukhayam dalam rangka membangun potensi agar langkah kita lebih kuat dan cepat dalam akselerasi perjuangan ini.

Jika kesadaran tentang manzilat al insan, thabiat al insan, risalat al insan, dan wazhifat al insan tadi selalu dijaga, maka proses ta’shiliyah akan senantiasa hidup. Upaya orisinalisasi harus terus dipertahankan, agar kita terhindar dari efek negatif, salah satunya berupa pelarutan.

Jika kita mengabaikan khuthuwat at ta’shiliyah, maka dakwah kita akan mengalami pencairan dan pelarutan. Biasanya sebelum larut akan mencair terlebih dulu, sebab madah jamidah (benda padat) itu sulit dalam pelarutan, tetapi madah ma’iyah (benda cair) paling mudah untuk melarut. Dalam dakwah jamahiriyah kita berinteraksi dengan segala jenis manusia. Banyak persentuhan dengan manusia dari segala jenis organisasi dan ideologi bisa menyebabkan tamayu’ al khuluqi (pencairan perilaku). Nau’udzubillah, hal itu akan berlanjut pada idzabah al khuluqiyah (pelarutan perilaku), jika kita tidak berpegang teguh pada ashalah.

Akibat dari tamayu’ dan idzabah ini sudah jelas, indikatornya yang paling menonjol adalah tasahul (menggampangkan atau menyepelekan) segala pelanggaran. Kita memang harus toleran atas efek negatif tarbiyah manusia, tetapi bukan mengampangkan, karena itu harus ditindaklajuti dengan ilaj tarbawi (terapi edukatif) atau ilaj ijtimai(sosial), ilaj tanzhimi (organisasional) atau ilaj iqtishodi (finansial), semuanya bisa kita lakukan tergantung masalah yang terjadi.

Semua kondisi direspon dan diantisipasi agar tidak membesar. Sudah tentu kita sebagai dai harus memperhatikan diri sendiri dan orang lain yang berada di bawah pengawasan kita. Penyimpangan berawal dari tasahul lama-lama menjadi idzabiyah, segalanya serba boleh (permisif), dalilnya gampang dicari. Akhirnya menjadi dalil tunggal, yakni kedaruratan. Yang paling harus kita waspadai adalah awal pelarutan sebagaimana tadi diungkapkan.

Dalam merespon tugas yang semakin berkembang mungkin terjadi tamayu’ wa idzabiyah dalam ubudiyah mahdlah, karena terlalu sibuk sehingga dalam sebulan penuh tercatat: shaum (puasa) nol, tahajud nihil. Dalam baramij tarbiyah semua program itu ada, tetapi sifatnya sebagai stimulan (ayyam al bid, usbu’ ruhi dan sebagainya). Buah stimulasi adalah munculnya iradah dzatiyah atau tarbiyah dzatiyah dengan amal dzati di luar program itu. Harus diwaspadai agar tamayu’ khuluqi dan idzabah ubudiyah ini tidak timbul. Bila dibiarkan akan berlanjut pada idzabah fikriyah (ideologis) dan kacau balau. Kita akan mengambil fikrah dari kiri-kanan dan meninggalkan manhaj yang benar.

Apabila sudah terkena idzabah khuluqiyah, ta’abudiyah, dan fikriyah, maka akan timbul idzabah aqidiyah. Mulanya mengakui kesejajaran aneka ragam keyakinan, misalnya di kalangan internal Islam (antara ajaran Syiah dan Sunnah) adalah sama. Kemudian berkembang keluar dengan menyamakan ajaran lain seperti komunisme, sosialisme, dan Islam sama saja untuk manusia juga. Kebenaran yang mutlak hanya dalam Islam, pemahaman seperti itu menjadi luntur.

Memang semua ajaran ada kebenarannya, tetapi tidak semuanya benar, yang jelas banyak kesalahannya. Jika lemah dalam langkah-langkah ashalah, maka akan terjadi idzabiyah dan tamayu’ di berbagai sektor. Jika hal itu terjadi pada suatu golongan, maka sudah tentu terjadi kehancuran dunia dan akhirat.

Bila ta’shiliyah tidak diimbangi dengan tathwiriyah akan menimbulkan tajamud. Mungkin akan merasa bahwa dirinya sajalah yang akan masuk surga dan yang lain adalah al ma’un, kufr dan sebagainya. Golongan itu tidak dapat memanfaatkan pengalaman dan potensi orang lain. Ketika terjadi mutajamid ruhi, maka pemikiran akan sulit menerima masukan dari orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi, maka akan terasa dengan aqidah semata semuanya akan beres, tetapi aqidah bukan segala-galanya.

Memperhatikan idealitas, rasionalitas dan realitas. Mereka yang mengabaikan ketiga hal itu terkena wahm. Memperhatikan realitas saja akan melahirkan sikap pragmatis, memperhatikan idealitas saja akan menghasilkan perfeksionis, tetapi tak bisa melaksanakan. Sementara memperhatikan rasionalitas saja akan melahirkan sikap teoretis belaka.

Kita harus mampu mengkomunikasikan rencana dakwah kita dengan baik. Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya ada pada qudrah mukhatabah, yakni qawlan sadida atau kalimat yang tepat. Bisa bersikap tegas, lembut, sindiran dan lain-lain. Patokannya adalah “khatibunnas ala qadri uqulihim” (sesuai kemampuan intelektual), “khatibunnas ala lughatihim” (memperhatikan budaya dan bahasa kaumnya), karena manusia adalah anak lingkungannya.
Sebagai dai kita harus memiliki qawlan sadida, baik melalui pendekatan intelektual, sosial maupun budaya. Yang pertama adalah mengakui keberadaannya, kemudian mencari cara yang tepat untuk mendekatinya. Dalam Al-Qur’an ada seruan: “Ya ayyuhannas…ya ayyuhalladzina amanu…” dan sebagainya. Dengan pemilihan kata yang tepat, maka “yuslih lakum amalakum”. Menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Lebih besar dari itu semua adalah ampunan dari Allah.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/06/14/193/orisinalitas-dakwah/#ixzz3Lg1z0Nmj 

Posted on Friday, December 12, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Wednesday, November 26, 2014

Sepertinya baru beberapa waktu yang lalu, saya diantarkan orang tua di hari pertama sekolah di sekolah dasar. Baru beberapa waktu lalu saya pamitan meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan sekolah.
Begitu pun beberapa waktu yang lalu, ketika akhirnya kedua orang tua datang menemui saya di Bandara Adisucipto dengan senyum bahagia.

Senyum Bahagia, yang saya pun tidak bisa mengungkapkannya bahkan mendeskripsikannya. Senyum bahagia yang diiringi tanpa banyak ungkapan kata-kata kecuali pertanyaan, "Sehat Id?". Mungkin itulah senyum bahagia, ekspresi dari kebahagiaan kedua orang tua kita ketika melihat sedikit buah dari perjuangan dan pengorbanannya kepada kita sebagai anak.

Semoga kita menjadi anak yang senantiasa membuat kedua orang tua selalu tersenyum bahagia dalam setiap ekspresinya, ketika mengingat maupun melihat kita.


Yk.26.11.2014


Posted on Wednesday, November 26, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, November 17, 2014


Kita bukannya tidak bisa, tapi tidak sempat.
Kita bukannya tidak sempat, tapi tidak mau.
Kita bukannya tidak mau, tapi tidak tahu.
Kita bukannya tidak tahu, tapi tidak peduli.
Kita bukannya tidak peduli, tapi tidak bisa.


Setuju dengan siklus di atas? Itulah siklus stagnan. Siklus yang diam, statis, tidak bergerak, dan jika dibiarkan terus akan menjadi penyebab terhentinya aliran kebaikan lantaran tidak adan satupun hati yang tergerak. Layaknya air yang tidak bergerak, cepat atau lambat akan menimbulkan kekeruhan dan menjadi sumber penyakit.

Saudaraku, sadarkah bahwa siklus ini kerap kita temui, hadapi, atau mungkin pernah kita jalani tanpa kita sadari? Mungkin bermula dari munculnya rasa malas, kemudian lahir kecenderungan untuk melarikan diri dari amanah dan masalah, hingga akhirnya terciptalah alasan-alasan yang sekiranya dapat dijadikan pembenaran atas kekeliruan yang terjadi. Kala itu, berjuta alasan lahir seakan tanpa dipikir. Atau mungkin dipikir dulu, barulah lahir sebuah alasan.
Lantas siapakah yang terjebak pada siklus stagnan ini? Entahlah. Bisa jadi kita semua. Karena kita hidup dalam sebuah sistem. Laksana siklus hujan, yang mana awal dan akhir hanyalah titik di mana sebenarnya semua saling terkait.

Jika pada pertandingan sepak bola kita dihadapkan dengan pertanyaan, “Apa yang kamu inginkan dalam pertandingan ini?” Sudah tentu jawabannya kemenangan. Namun saat kemenangan itu teraih, muncul kembali pertanyaan, “Kemenangan ini karena siapa?” Saat itulah muncul banyak spekulasi. Ada yang berkata bahwa ini terjadi karena sang kiper begitu lihai dalam menangkap bola; Juga disebabkan para penyerang yang pandai memasukkan bola ke gawang lawan; Atau karena bagian gelandang yang cekatan merebut bola dan memberikan umpan cantik.

Namun bagaimana kalau keadaan yang terjadi adalah sebaliknya, tim kita kalah, dan kita kembali dihadapkan dengan pertanyaan serupa namun sedikit berbeda, “Kekalahan ini karena siapa?” Saat itu, banyak sekali hujatan, sikap saling menyalahkan, dan kita pun mencari-cari pembenaran guna melepaskan diri dari tanggung jawab.

Saudaraku, sadarkah bahwa saat ini kita tengah tercatat sebagai pemain dalam sebuah pertandingan? Pertandingan yang jauh lebih penting dari sepak bola. Pertandingan yang terus berlanjut hingga napas kita tiada. Pertandingan yang membuat hidup kita mulia di dunia dan mengantarkan kita ke dalam Surga. Sebuah pertandingan, di mana mulanya terjadi pada kesadaran hati kita. Ya, pertandingan melawan kebatilan pada sebuah lapangan amal bernama dakwah.

Jika kembali merujuk kepada sepak bola, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kemenangan: skill individu dan soliditas kinerja tim. Begitu pula dalam dakwah. Setiap dari kita janganlah puas terhadap kondisi yang ada, hingga kita terlena dan merasa aman-aman saja. Apalagi yang lebih parah, kita jumawa bahwa kita sudah menang. Padahal, belum ada pengumuman resmi bahwa pertandingan ini telah usai! Maka penting kiranya setiap dari kita terus berlatih meningkatkan kapasitas (fastabiqul khoirots) baik secara ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah, serta berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi pemain-pemain unggulan yang dapat membawa pertandingan ke arah angin kemenangan.
Namun kadang kala yang terlewat adalah, saat skill tiap individu mulai meningkat, justru kinerja tim (‘amal jama’i) yang melemah. Padahal, sebaik apapun kualitas individu, jika tidak disertai kualitas kerja tim yang baik, maka akan sulit mencapai kemenangan. Itu sebabnya mengapa Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.” Ada pula filosofi sapu lidi, di mana sapu lidi sebatang tidak akan cukup kuat dan efektif dalam membersihkan.

Ya, kedua hal itulah yang menjadi dasar kemenangan dakwah. Namun irosnisnya, dalam pertandingan ini, yang mana Islam sudah pasti menang, hanya saja terkadang beberapa pemainnya tidak sadar bahwa mereka adalah pemain. Mengapa? Karena mereka terjebak siklus stagnan. Itulah yang membuat mereka sulit mencetak gol, atau bahkan kerap melakukan gol bunuh diri. Kala itu, banyak pihak lebih memilih untuk mencari kambing hitam, atau diam seribu bahasa, menutup mulut, mata, dan telinga terhadap yang terjadi.
Bayangkan jika setiap pemain berpikiran sama, “Biarkan perjuangan ini dijalankan oleh yang lain. Saya merasa belum pantas atau cukup sibuk sehingga belum bisa ikut berjuang. Lagi pula, tanpa saya pun sudah ada yang berjuang.” Coba tebak, kalau begini, lantas apa yang akan terjadi? Hal tersebut sama dengan pengendara kendaraan yang berpikiran, “Ah, aku lewat jalan ini saja, karena aku pikir jalan itu pasti macet sekali.” Namun sayang, banyak pengendara kendaraan lainnya yang berpikiran sama. Alhasil jalan yang dipilih jadinya macet, sedangkan jalan yang dihindari malah lengang sekali.
Saudaraku, Islam mengehendaki kita untuk beramal dengan jiwa dan harta kita. Menjadi pemain utama dalam perubahan. Bukan sebagai pemain figuran apalagi sebagai penonton yang kerjanya hanya duduk-duduk, dan menanti kapan kemenangan akan tiba begitu saja! Terkait hal ini, Allah berfirman,
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4: 95-96)
Janganlah seperti Bani Israil yang sudah ditolong Allah, tapi tetap saja membandel. Sudah dibebaskan dari cengkaraman Fir’aun, tapi tetap saja menyembah berhala. Diberikan makanan yang enak, bukannya bersyukur malah meminta yang lainnya. Bahkan saat diberi kenikmatan tempat tinggal yang sudah dijamin kemenangannya di Palestina, apa jawaban mereka?
“Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” (QS. 5: 24)
Tapi lihatlah bagaimana gambaran pengikutnya Nabi Isa A.S. dalam surat Ash-Shaaf ayat terakhir,
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61: 14)
Kemenangan Islam merupakan keniscayaan. Tinggal kita yang putuskan, akan tetap berjuang dalam barisan sebagai pemenang atau tertinggal di belakang sebagai pecundang. Apa yang kita ragukan? Kini bukan saatnya lagi mata-telinga kita tertutup, mulut terkatup, hati terbungkam, dan gerak terdiam. Siklus stagnan hanyalah sebuah belenggu penjara yang sebenarnya kunci pintunya ada di tangan kita. Bila bukan kita yang membukanya, lantas siapa?


Posted on Monday, November 17, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, November 9, 2014


(Galau Mahasiswa Tingkat Akhir)

“Galau Mahasiswa Tingkat Akhir”, begitu istilah umum yang sering diungkapkan untuk mengekspresikan perjuangan mahasiswa tingkat akhir dalam meraih gelar sarjana. Tema ini ingin coba saya tuliskan setelah akhirnya bisa menyelesaikan perjuangan tersebut. Tidak lain, agar berbagi pandangan kepada para pembaca dalam melihat sisi-sisi yang ada dalam perjuangan mahasiswa tingkat akhir. Sekaligus sebagai pengkoreksi beberapa mitos dan pandangan yang berkembang tentang mahasiswa tingkat akhir.

Hal yang pertama yang ingin saya pesankan, Jangan pernah menjustifikasi bahwa semua mahasiswa tingkat akhir yang butuh perjuangan lebih dalam menyelesaikan akademiknya adalah mereka yang tidak beres kuliahnya. Ya, ini bukan bermaksud memberikan pembelaan untuk diri sendiri. Namun, karena memang secara pribadi saya banyak menemui sahabat yang belum selesai perjuangan akademiknya, bukan karena tak beres kuliahnya. Cukup banyak mereka adalah orang yang gemilang secara akademik sejak awal. IPK termasuk yang baik, kompetensi keilmuan diakui bahkan jadi rujukan diskusi oleh mereka yang sudah lulus, dan tidak sedikit yang sebenarnya dari mereka telah mengambil tugas akhir lebih awal dibanding rekan seangkatan.

Lalu, apa sesungguhnya hal yang mempengaruhi sehingga menghadirkan kondisi “Galau Mahasiswa Tingkat Akhir” ? Setidaknya saya mencoba merangkum beberapa poin dari diskusi ringan dengan mereka yang dikategorikan sebagai “Mahasiswa Galau Tingkat Akhir”.

Faktor Internal
1. Galau Kompetensi Menjelang Lulus
Poin pertama ini salah satu alasan yang katanya menjadi kegalauan mahasiswa di tingkat akhir. Terutama mereka yang telah bersentuhan langsung dengan realitas dunia kerja atau profesi. Tidak sedikit yang merasa apa yang diperoleh saat kuliah sangatlah tidak cukup secara kompetensi untuk bersaing ke dunia nyata. Efeknya mereka ingin memperoleh waktu lebih untuk semakin mematangkan diri sebelum benar-benar siap bersaing ke dunia nyata. Bentuk keinginan ini diwujudkan dalam bentuk pengorbanan waktu. Waktu 4 tahun (untuk S1) bagi mereka belum lah cukup untuk mematangkan kompetensi. Ya, kemungkinannya menurut saya ada dua hal, waktu selama 4 tahun itu tidak dimanfaatkan secara baik atau waktu tersebut dimanfaatkan tapi untuk mengembangkan kompetensi lain. 

2. Galau Tanggungjawab Setelah Lulus
Faktor internal ini bisa dibilang faktor galau tingkat dewa, katanya. Efek kebimbangan perencanaan masa depan. Pertanyaan umum yang muncul adalah “Setelah lulus, “Kuliah or Kerja?” Atau ada yang menambahkan opsi “Nikah ?”. Dilema ini lebih kepada kondisi internal yang tidak memiliki perencanaan hidup yang matang. Hal yang harusnya selesai ketika tekad melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi telah ditetapkan sejak awal.   

3. Idealisme Cita-cita
Ketika di tahun akhir terkadang ada nasehat, “Klo sudah ditahun akhir itu jangan terlalu idealis, ntar susah lho”. Nasehat umum dari teman-teman yang telah menjalani proses ini. Memang idealisme itu punya dua sisi mata uang. Salah satu idelisme cita-cita itu antara lain menjadikan tugas akhir sebagai masterpiece saat kuliah. Tidak mau tugas akhir hanya sebagai penggugur persyaratan untuk bisa lulus. Ingin menjadikan tugas akhir sebagai sebuah kebanggaan. Bentuk lain dari idealisme cita-cita itu adalah pantang mundur sebelum bisa “menaklukkan” tema dan dosen. Efeknya benar-benar bertahan dengan tema yang sudah diperjuangkan dan atau bertahan dengan Dosen Pembimbing yang juga butuh perjuangan. Tidak mau berganti tema ataupun berganti dosen pembimbing. Emang ada yang seperti itu? Saya bisa bilang ada dan tidak sedikit yang beridealisme seperti itu. Salah satunya mungkin saya pribadi.
Pesan saya bagi kita yang berprinsip seperti hal ini. Terkadang kita harus proporsional dengan memahami konsep idealitas dan realitas. Konsekuensinya untuk beberapa hal yang mungkin siap dikompromikan. Karena setiap pilihan kita tentu menuntut pengorbanan.

Secara umum, faktor internal ini adalah faktor utama yang sangat menentukan keteguhan dalam fase perjuangan mahasiswa tingkat akhir. Faktor-faktor diatas memang tidak mencantumkan faktor-faktor remeh bagi saya (malas, dll) yang harusnya sudah selesai saat proses pendidikan sejak tahun awal dijalani. Justru faktor diatas lebih kepada faktor-faktor prinsipil. Yang karenanya faktor-faktor ini haruslah selesai lebih awal sehingga energi lebih bisa dicurahkan untuk menaklukkan faktor eksternal. Bahkan ada yang berujar, “Perjuangan di tahun akhir itu adalah perjuangan menaklukkan diri sendiri”. Maka, Yuk kita kendalikan segala variabel di internal pribadi kita.    




Yk.9.11.2014
14.04 WIB @Wisma Andalusia

Posted on Sunday, November 09, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, April 7, 2014

Sebuah pesan singkat pernah masuk kepada salah seorang sahabat. Pesan dengan sebuah pertanyaan yang mungkin sangat sederhana. “Mas, apakah alasan yang membuat Mas masih mau bertahan di amanah ini? Bukankah…….. Sepertinya Mas justru punya alasan untuk bisa mundur dengan berbagai kondisi itu”


Wajar dan manusiawi. Itulah ekspresi pertama ketika diceritakan tentang pesan itu., Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Bahkan itu juga menjadi renung bagi diri pribadi. Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri untuk setiap hal yang diamanahkan kepada kita. Apa sesungguhnya yang membuat kita masih istiqomah di sebuah amanah. Sejatinya setiap diri kita pasti punya alasan untuk tidak bertahan dalam menjalankan amanah. Apalagi dengan berbagai tuntutan dan targetan kita yang juga butuh dikejar. Targetan akademis, tuntutan keluarga, targetan rencana hidup, targetan pribadi, dll. Tepat sebagaimana pernyataan diatas, setiap kita justru punya alasan untuk mundur.

Sahabat, Innamal a’malu bin niat, Sesungguhnya setiap amal itu tergantung kepada niatnya. Maka jawaban pertanyaan diawal tulisan ini hanya bisa dikembalikan kepada hadist pertama yang selalu diletakkan dibagian awal setiap kitab fiqih ini. Ya, tidak lain karena “niat” selalu menjadi kata kunci bertahannya sebuah amal. Niat yang benar akan menjadi tekad yang kokoh menghadapi segala aral. Niat yang benar akan menjadi ruh semangat yang berkobar. Niat yang benar akan menjadi alasan untuk tak pernah mundur dalam beramal.

Dan niat yang benar itu adalah niat yang ikhlas, niat karena Allah Swt. Bahwa setiap amal yang kita lakukan itu dilakukan karena Allah Swt. Allah yang memerintahkan kepada kita para hamba-Nya. Allah juga yang menjamin terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa yang menolong agama Allah, Allah akan menolongnya dan mengukuhkan kedudukannya” [Muhammad: 7]. Pertanyaannya apakah kita memiliki iman yang benar untuk meyakini firman Allah tersebut. Sehingga kita tidak pernah ragu lagi dengan apa yang Allah jamin kepada kita. Allah juga berfirman, “Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]. Maka apakah kita ragu bahwa Allah tidak akan pernah menyia-akan amal  kita. Ketika kita ragu maka wajarlah kita menjadi beramal tanpa ruh sehingga mudah terbuncah dengan berbagai ujian.

Sungguh, ketika kita mundur dalam beramal hanya berbuah kerugian bagi diri kita sendiri. Allah tidak pernah rugi. Allah tidak berkurang sedikitpun ke-MahaAgung-an-Nya karena kita mundur. Melainkan kita-lah yang merugi karena peluang bertambahnya catatan amalan kebaikan kita menjadi berkurang. Apalagi ketika mundur disaat sesungguhnya tidak alasan yang tepat untuk mundur. Yang kita dan Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan didalam hati.

Maka, apa alasan yang membuat kita tetap istiqomah dalam amanah dan amal? Tidak lain karena amalan yang kita lakukan itu karena Allah Swt. Dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal-amal kita. Wallahu a’lam.


Yk.7.4.2014

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Monday, April 07, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, April 3, 2014

Dalam Konteks Kekinian dan Kesesuaiannya dengan Prinsip Islam

 Latar Belakang

Kata pemimpin dikenal dengan beberapa kata didalam bahasa Arab. Diantaranya Imam, Khalifah, Amir. Untuk kata khalifah didalam Al Qur’an terdapat dua ayat yang menggunakannya. Pertama, Qs al-Baqarah: 30, "Inni ja'il fi al-ardh khalifah," dan kedua, QS Shad:26, "Ya Dawud Inna ja'alnaka khalifah fi al-ardh.".

Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti li ta'zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.[1]

Setidaknya realitas inilah yang hadir dalam konteks pemberian amanah kepemimpinan atau suksesi politik. Memaknai bahwa pemberian amanah dalam suksesi politik merupakan bagian dari pilihan Allah melalui beberapa metode dalam konteks kekinian hari ini. Akan tetapi, apakah penerapan ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dan Rasulullah Saw serta para sahabat berikan. Hal ini merupakan pertanyaan yang patut untuk diperbandingkan antara proses suksesi politik dewasa ini dengan penerapan prinsip Islam yang seharusnya.

2.      Suksesi Politik dan Kepemimpinan

Menurut Calvert, “suksesi politik dapat di definisikan sebagai sebuah cara dimana kekuasaan (kekuatan) politik diwariskan, atau ditransfer dari suatu individu, pemerintahan atau rezim ke individu, pemerintahan atau rezim lainnya.”

Berdasarkan pengertian ini maka suksesi politik merujuk pada transfer atau pewarisan kekuasaan dalam konteks negara atau pemerintah. Secara gamblang mungkin proses transfer tersebut dapat dicontohkan dengan sebuah mekanisme pergantian kepemimpinan kepala negara atau pemerintahan baik melalui pemilihan umum yang dilakukan oleh masyarakatnya, mekanisme penunjukan langsung oleh partai atau bahkan melalui mekanisme pertalian darah dan lain sebagainya[2].

Secara detail definisi ini memiliki dua poin utama, bahwa suksesi politik merujuk kepada cara dimana berbagai rencana rapi dibuat untuk melakukan transfer kekuasaan sedemikian rupa sehingga krisis legitimasi bersifat sementara dan tak terelakan dapat dikendalikan.

Rencana rapi merupakan sebuah mekanisme bagaimana transfer kekuasaan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang berlaku atau dijalankan oleh beberapa pihak, baik yang ingin mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan politik tersebut dimainkan sesuai dengan prosedur yang telah sama-sama baik secara langsung maupun tidak langsung dipahami dan disadari kebenarannya oleh pihak-pihak yang terlibat dengan transfer kekuasaan politik tersebut

Dan legitimasi berarti bagaimana sebuah suksesi politik atau transfer kekuasaan politik tidak hanya terpaku kepada jabatan politik maupun kekuasaan itu sendiri akan tetapi mengarah kepada hal yang lebih mendalam lagi, yakni sumber kekuasaan yang mengakibatkan sebuah individu juga menyadari arti penting dari sumber kekuasaan politik yang sesungguhnya ingin ditransfer. Bahwa sesungguhnya yang menjadi objek dalam proses transfer kekuasaan dari satu kelompok atau individu lainnya bukanlah hanya sekedar mentransfer posisi atau jabatan politis seperti presiden, Raja, Perdana Mentri, dan lain sebagainya, akan tetapi transfer kekuasaan tersebut juga merujuk kepada sumber kekuasaan sebagai legitimasi kekuasaan.

Adapun secara operasional konsep ini dijelaskan dalam bentuk sebagai berikut:











Proses Suksesi Kepemimpinan Islam

Memahami suksesi politik dalam Islam sesungguhnya terdapat beberapa bentuk. Bahkan jauh sebelum bentuk-bentuk dari demokrasi hadir. Beberapa diantaranya adalah khilafah, syuro’ (konsultasi), ijma’ (konsensus), dan ijtihad. Hal ini pun hanya dapat dipahami berdasarkan analisis terhadap sejarah perjalanan suksesi kepemimpinan dalam Islam. Yang mana mulai ada setelah meninggalnya Rasulullah Saw. Dikarenakan suksesi kepemimpinan dalam Islam baru mulai hadir sejak meninggalnya Rasulullah digantikan para Khulafaur Rasyidin.

Masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw merupakan masa yang cukup kritis dalam suksesi kepemimpinan Islam. Meskipun pada awalnya sistem kepemimpinan yang telah dibangun pada masa Rasulullah merupakan sebuah sistem yang kokoh dan integral. Namun, dengan kepergian beliau ada kekhawatiran tentang bagaimana keadaan itu tetap dipertahankan.

Sehingga dalam hal ini ada tiga ide politik yang muncul dalam suksesi politik setelah wafatnya Rasulullah, yaitu:
1.      Kembali ke sistem kabilah.
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri-sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Bani Khazraj dan kaum Riddah.
2.      Sistem hak warisan.
Ide ini lahir dari kalangan Bani Hasyim berdasarkan pemiki­ran dan kebiasaan orang-orang Arab Selatan, dan tokoh ter­kemuka pendukung ide ini adalah al-Abbas paman Nabi, Ali kemenakan dan menantu Nabi, serta Zubair.
3.      Ide persatuan melalui permusyawaratan.
Ide ini didukung oleh kaum Muhajirin kecuali Bani Hasyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'an; juga Nabi sendiri, sikap perbuatan dan kebijaksanaannya selalu menga­rah kepada perintah al-Qur'an ini[3].
Pada akhirnya ide persatuan melalui permusyawaratan ini men­dapat dukungan luas dan dimufakati dalam menentukan proses suksesi kepemimpinan Islam. Namun pencapaian ini bisa diperoleh melalui proses yang panjang dari suksesi para Khulafaur Rasyidin. Diantaranya :

3Suksesi Kepemimpinan Islam melalui Musyawarah Mufakat

Wafatnya Rasulullah saw menjadi sebuah pukulan tersendiri bagi umat Islam saat itu. Hal ini juga yang mendera kaum Anshar saat menyadari Rasulullah saw sudah tidak bersama mereka lagi. Setidaknya ada beberapa gejala yang memunculkan kekhawatiran bahkan sebelum meninggalnya Rasulullah saw. Gejala pertama ketika Makkah dibebaskan dan Perang Hunain dan Ta’if selesai. Saat itu Rasulullah memberi ghanimah yang cukup banyak kepada para mu’allaf Makkah. Sehingga muncul pernyataan-pernyataan keraguan hingga pernyataan bwa bahwa "Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri”. Dalam artian Rasulullah lebih memilih saudaranya yang sekampung.

Hal yang ditutup Rasulullah saw dengan perkataan, "Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar. Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu Ansar." Hingga sahabat Anshar pun menangis dan  berkata “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami”.

Gejala lain juga tatkala Makkah dibebaskan. Kaum Anshar melihat Rasulullah berdiri di Safa sambil berdoa, dan ketika mereka melihatnya sedang menghancurkan berhala-berhala, yang dalam suatu hari berhasil diselesaikannya apa yang diserukannya selama dua puluh tahun. Hal yang terbayang oleh mereka bahwa ia pasti meninggalkan Madinah, kembali ke tempat tumpah darah semula. Hal yang juga dikuatkan Rasulullah dengan perkataan, "Berlindunglah kita kepada Allah! Hidup dan matiku akan bersama kamu."

            Dari dua gejala peristiwa ini sangatlah wajar ada kekhawatiran pada kaum Anshar ketika Rasulullah akhirnya benar-benar meninggalkan mereka. Hal yang menjadi pembicaraan kaum Anshar saat berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Pembicaraan ini pun menjadi sebuah musyawarah secara spontanitas yang diprakarsai oleh kaum Anshar ketika kaum Muhajirin pun akhirnya terlibat. Menurut ahli sirah sikap ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Namun pembicaraan saat itu baru sampai pada pendapat bahwa kaum Anshar mengangkat Amir sendiri bagi mereka, yakni Sa’ad bin Ubadah dan dari Quraisy seorang Amir”.

            Hal inilah yang sampai kepada Umar ibn Khatb dan Abu Ubaidillah hingga mereka pun memanggil Abu Bakr untuk segera menyelesaikan permasalahan yang dapat menimbulkan perselisihan justru dikala jenazah pembawa risalahnya belum dikebumikan.

Andaikata pihak Ansar tetap bersikeras akan memegang tampuk pimpinan sesuai dengan seruan Sa'd bin Ubadah, sedang pihak Quraisy sebaliknya tidak mau menyerahkannya kepada pihak lain, maka dapat kita bayangkan, betapa jadinya Madinah sepeninggal Rasulullah ini akibat tragedi pemberontakan itu kelak! Betapa hebatnya ledakan pemberontakan bersenjata itu sementara pasukan Usamah masih berada di tengah-tengah mereka, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, masing-masing sudah bersenjata lengkap, sudah dengan baju besi dan sudah sama-sama siap tempur. Saat peristiwa genting inilah Abu Bakr menggunakan apa yang disebut dengan “serangan damai”.

"Dan kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela {ansar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar istri-istri dan sahabatsahabatnya. Posisi itu hanya ada pada kamu sekalian setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir dan Tuan-tuan para wazir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan"

Hal yang kemudian bisa diterima kaum Anshar dan disambut Abu Bakr dengan memberikan pilihan kepada kaum Anshar, Umar atau Abu Ubaidillah. Akan tetapi, pilihan justru berbalik kepada Abu Bakr Ash Shidiq. Hal yang menyelesaikan kemungkinan perpecahan dan perselisihan yang timbul dikalangan kaum Muslimin setelah kepergian Rasulullah Saw[4].

Dalam kerangka analisis politik pemilihan Abu Bakr termasuk suksesi berdasarkan hasil musyawarah (syuro) dengan bentuk Pemilihan. Yakni kerja sama dan partisipasi muslimin khususnya orang-orang ahli, di dalam pengaplikasian syari’at dan jaminan hak-hak sosial. Dan ini juga bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Karena pemilihan ini dilakukan dengan keterwakilan pihak terkait, kaum Muhajirin dan Anshar. Pihak yang hadir dalam musyawarah di Saqifah merupakan pihak-pihak yang berhak dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Diantaranya Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Usaid ibn Khudair, Bisy ibn Sa’ad dan Salim Maula bin Khuzaifah.  

Dalam kerangka system, pemilihan melibatkan dua pihak yaitu pemilih dan yang dipilih. Siapapun yang terpilih harus diterima oleh kedua belah pihak, yang oleh John Lock disebut dengan kontrak sosial. Lebih lanjut, kontrak harus melibatkan kedua belah pihak yaitu rakyat di satu pihak dan penguasa dipihak lain. Jadi konsekuensi dari kepala negara atau pejabat lainnya yang terpilih dia harus menerima jabatan itu, dan seluruh rakyat harus menyatakan bai’atnya. Dengan demikian secara langsung pula mempunyai hak dan kewajiban.

3Ijtihad Penunjukkan oleh Khalifah Abu Bakar

Proses penentuan khalifah kedua merupakan sebuah ijtihad dari Abu Bakr. Sebuah hal yang selalu menjadi pikiran Abu Bakr ketika dalam sakitnya ia merasa akan berakhir dengan  kematian. Perlukah Muslimin dibiarkan memilih sendiri, tanpa memberi pendapat atau mencalonkan seorang pengganti, dan ini pula teladan yang diperolehnya dari Rasulullah? Inilah cara yang paling mudah dan ringan. Abu Bakr teringat peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan sikap Ansar, dan teringat apa yang hampir terjadi ketika itu kalau Allah tidak mempersatukan tekad Muslimin dengan segera membaiatnya. Kalau sampai terjadi perselisihan di kalangan Muslimin sewaktu-waktu ia meninggal, maka perselisihan itu akan lebih parah dan lebih berbahaya, yang akan terjadi hanya antara kaum Muhajirin dengan Ansar sendiri sesudah tokoh-tokoh yang lain masih terlibat dalam perjuangan di Irak dan di Syam dalam menghadapi Persia dan Rumawi. Oleh karena itu, Abu Bakr akhirnya berijtihad untuk menunjuk penggantinya untuk selanjutnya umat Islam bisa bersatu menerimanya.

Proses penunjukkan ini pun berada dalam kondisi yang tidak serta merta langsung ditentukan. Akan tetapi, Abu Bakr mencoba menyampaikan pendapat ini kepada sahabat-sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar. Dimulai dari Abdurrahman bin Auf perihal menanyakan pendapatnya tentang Umar. "Dialah yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu keras," kata Abdur-Rahman. "Ya, karena dia melihat saya terlalu lemah lembut," kata Abu Bakr. "Kalau saya menyerahkan masalah ini ke tangannya, tentu banyak sifatnya yang akan ia tinggalkan. Saya perhatikan dan lihat, kalau saya sedang marah kepada seseorang karena sesuatu, dia meminta saya bersikap lebih lunak, dan kalau saya memperlihatkan sikap lunak, dia malah meminta saya bersikap lebih keras."

Sahabat selanjutnya yang coba ditanyakan pendapatnya adalah Utsman bin Affan. Kemudian Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudair, dilanjutkan sahabat-sahabat lain dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Bahkan tidak cukup dengan musyawarah bersama orang-orang bijaksana dikalangan kaum Muslimin. Abu Bakr pun menuju kepada orang-orang yang berada di masjid dan berkata. "Setujukah kalian dengan orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kalian? Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia!" Mereka menjawab: "Kami patuh dan taat." Maka terpilihlah Umar bin Khatb sebagai khalifah kedua, menggantikan Abu Bakr Ash Shidiq[5].

Dalam kerangka suksesi politik, ijtihad Abu Bakr merupakan metode suksesi dengan penunjukan. Dalam hal ini banyak yang berpendapat bahwa cara seperti ini lebih banyak unsur subjektifitasnya. Akan tetapi, proses ini tidaklah sama dengan sistem pewarisan kekuasan jenis feodal karena yang ditunjuk bukanlah keturunan dari Khalifah saat itu. Melainkan dalam bentuk ijtihad terhadap orang yang diyakini pantas dengan kriteria terbaik.

Metode yang dipergunakan pun adalah setiap calon diberikan persyaratan yang ketat meliputi syarat” adil”, “wara’ “, clan “taqiy”. Al-Mawardi menegaskan setiap pejabat yang akan diberi kepercayaan amanah, baik dan mampu berkata ‘Jujur”, sifat dipercaya”, mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak baik”, tidak serakah”, jauh dari keraguan”. Bila pada diri seseorang ada syarat-syarat tersebut, berarti ia mempunyai keadilan clan kesaksiannya dapat diterima serta dapat dipilih menjadi pejabat negara. Tetapi bila tidak demikian halnya, maka dia tidak patut menerima jabatan dan tidak pula dapat diterima kesaksiannya.

4.      Suksesi Politik Hari Ini

Dewasa ini sistem yang umum dipergunakan adalah demokrasi dengan sistem Pemilihan Umum. Pertanyaannya apakah sistem pemilihan yang ada hari ini sesuaikah dengan prinsip dan ajaran Islam. Apakah sistem pemilihan yang ada hari ini sama dengan sistem pemilihan Abu Bakr ataukah berbeda.

Secara prinsip, dalam suksesi Politik dienul Islam mengatur dan menetapkan bahwa harus ada pemimpin yang akan menyelenggarakan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara. Harus ada lembaga yang membuat peraturan, juga harus ada lembaga yang secara khusus menegakkan supremasi hukum. Ketiga otoritas itu–dalam teori kenegaraan modern disebut saparation of power, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Begitu pun pentingnya satu pemerintahan (negara) dalam mengatur dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya, tetapi Islam tidak pernah memberikan suatu model atau bentuk dari suatu negara tersebut. Maka munculnya perbedaan di kalangan para ahli hukum dan pakar politik, adalah sesuatu yang wajar.

Landasan yang prinsipil dalam Al Qur’an adalah “Asas musyawarah” dalam hubungan dengan pemilihan pemimpin, menuntut pertanggungjawaban dan pemberhentiannya. “Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menajkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”(QS, as-Syu’ara: 38). Sebagaimana proses yang terlihat dari suksesi politik dua khalifah pertama, Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin Khatab. Abu Bakar ra dipilih melalui proses musyawarah. Umar bin Khatab pun dipilih tidak hanya dengan legitimasi ijtihad penunjukkan Abu Bakar. Akan tetapi, juga dengan pertimbangan dan musyawarah Abu Bakar kepada sahabat-sahabat utama dan kaum Muslim.

Atas dasar itu mengharuskan setiap pemimpin (penguasa), yang mendapat kepercayaan dari rakyat, untuk menggunakan asas musyawarah dalam setiap tugasnya dan pengambilan keputusan berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kewajiban pemerintah untuk selalu memperhatikan kemaslahatan ini berkaitan erat dengan ajaran Islam tentang hubungan pemerintah dan rakyatnya. Imam al-Syafi’i mengatakan, bahwa kedudukan pemerintah dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungan dengan anak yatim.

Dan dalam hal Demokrasi dan Pemilihan Umum memang terdapat ikhtilaf diantara para ulama. Dan itu merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan rahmat Allah swt. Dalam hal ini, penulis mengambil pilihan berdasarkan Fatwa Syaikh Salih M. Najid dan Dewan Fiqh Islam dalam Liga Muslim se-Dunia bahwa
1.  Partisipasi seorang muslim dan non-muslim dalam pemilihan umum (menjadi caleg) di negara non-muslim adalah salah satu masalah syar’i dalam politik, di mana pertimbangan tentang hal tersebut harus diputuskan berdasarkan besar kecilnya manfaat serta mudharat-nya, dan fatwa tentang hal tersebut adalah fatwa yang bisa jadi berubah-ubah tergantung waktu, tempat dan situasi.
2. Adalah dibolehkan bagi seorang muslim yang telah menikmati hal-hak kewarganegaraan di sebuah negara non-muslim untuk berpartisipasi (menjadi caleg) dalam pemilihan umumdi negara tsb, karena hal itu bisa memberikan banyak manfaat seperti memberikan image tentang Islam, menangkal isu-isu negatif tentang islam di negar tsb, mensupport orang-orang muslim dan orang-orang minoritas, menguatkan posisi mereka, dan bekerja sama dengan orang-orang yang fair dalam kebenaran dan keadilan. Akan tetapi partisipasi tsb harus disertai dengan syarat berikut:
(i) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus sadar bahwa keikutsertaan dia seharusnya ditujukan untuk mendukung kaum muslimin, dan untuk mencegah munculnya kerugian pada pihak muslim.

(ii) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus berfikir bahwa partisipasi mereka akan membawa efek yang positif yang akan menguntungkan kaum muslimin di negara tersebut, seperti mensupport keberadaan kaum muslimin, menyampaikan aspirasi kaum muslimin kepada pemimpin negara tsb, dan menjaga agama islam serta dunia Islam dari gangguan yang mungkin ada..(iii) Partisipasi seorang muslim (menjadi caleg) dalam pemilu ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan kewajiban agamanya.


Penutup

Proses Suksesi Politik merupakan sebuah hal yang penting dalam kaidah Islam. Karena memilih dan mengangkat pemimpin adalah wajib. Tujuannya agar masyarakat menjadi mudah berurusan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di kalangan mereka. Jangankan dalam satu komunitas besar, katakanlah sebuah negara, dalam sebuah safar (bepergian) saja, Rasulullah Saw, memberi petunjuk agar salah seorang di antara mereka diangkat seorang pemimpin, sekalipun hanya tiga orang.

Oleh karena itu, hal ini menjadi penting untuk menjadi perhatian umat Islam sebagaimana kekhawatiran kaum Anshar ketika Rasulullah Saw berpulang ke rahmat Allah Swt. Dan dalam hal ini, suksesi politik dan kepemimpinan dewasa ini memang juga perlu menjadi perhatian kita dalam hal sudah sesuaikah dengan prinsip dan ajaran Islam. Yang dalam hal ini, terdapat ikhtilaf pada para ulama yang patut kita pahami sebagai sebuah rahmat Allah Swt.

Hal yang patut menjadi perhatian kita adalah Islam sebagai pandangan hidup kita dengan totalitas ajarannya, mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Tidak hanya sebatas mengatur ‘ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalah), termasuk pengaturan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Dan tujuannya mewujudkan kemaslahatan umat, tegaknya nilai-nilai keadilan di bumi.
Wallahu a’lam bi shawab.



[1] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah
[2] Calvert Peter, Proses Suksesi Politik, ( Jogjakarta: PT Tirta Wacana Yogya, 1995) hal 1
[3] Safrudin, Khulafaur Rasyidin (Konsep dasar Suksesi Kepala Pemerintahan)
[4] Abu Bakar As-Siddiq, M. Husain Haekal hal 31-45
[5] Umar bin Khattab, M. Husain Haekal hal 86-89

Posted on Thursday, April 03, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments