Saturday, June 29, 2013

Negeri para Anbiya…
seribu empat ratus tiga puluh tahun hijriyah yang lalu
17 Ramadhan 2 H
313 tentara kaum muslimin melibas 1.000 pasukan kafir Quraisy di Badar

Makkah..
seribu empat ratus dua puluh empat tahun hijriyah yang lalu
21 Ramadhan 8 H
10.000 pasukan kaum muslimin melakukan penaklukan Makkah secara damai

Yaman..
seribu empat ratus dua puluh dua hijriyah yang lalu
Ramadhan 10 H
Ali bin Abi Thalib bersama sepasukan tentara bertugas membawa surat dari Rasulullah. satu suku berpengaruh disana tanpa paksaan langsung menerima dan masuk Islam

Andalusia, Spanyol
seribu tiga ratus empat puluh tahun hijriyah yang lalu
Ramadhan 92 H
12.000 pasukan muslimin dapat menaklukkan 100.000 pasukan Raja Rhoderick
Diawali dengan pembakaran kapal-kapal yang diiringi kata-kata “Kita datang kesini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap disini serta mengembangkan Islam atau kita semua binasa(syahid)”

Khurasan..
Seribu tiga ratus tiga tahun hijriyah yang lalu
Ramadhan 129 H
keberhasilan dan kemenangan da’wah Bani Abbas dibawah kepemimpinan Abu Mulim Al-Khurasany

Mesir,,
Ramadhan 361 H
Seribu tujuh puluh satu tahun hijriyah yang lalu
Universitas Al-Azhar dibuka di Kairo. Perguruan tinggi Islam terkemuka ini telah menghasilkan ratusan ribu alumni, ratusan ribu ulama.

Palestine..
Delapan ratus empat puluh delapan tahun hijriyah yang lalu
Ramadhan 584 H
Shalahuddin al-Ayubi memperoleh kemenangan besar-besaran atas pasukan Salib Eropa
Tentara Islam menguasai daerah-daerah yang sebelumnya diduduki orang-orang Kristen
Setelah sebelumnya memporak-porandakan kekuatan pasukan Salib di bawah komando Raja Richard  (Richard The Lion Heart) III dari Inggris yang akhirnya  bertekuk lutut di hadapan Shalahuddin al-Ayubi yang gagah
Kemenangan itu mengakhiri cengkeraman kekuasaan pasukan Salib atas bumi Palestina

Jakarta, Indonesia…
10 Ramadhan 1364 H
Enam puluh delapan tahun hijriyah yang lalu.
17 Agustus 1945 tahun masehi
Negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar didunia memplokramirkan kemerdekaannya.

Jogjakarta..
Ramadhan 1434 H
Akankah sejarah Ramadhan biasa-biasa saja??
Mana cinta?
Mana karya?
Mana makna?
Ramadhan seharusnya menjadi salah satu puncak kesuksesan bagi seorang pejuang




Yk.29.6.2013
*tulisan seseorang yang 
terlupa siapa  namun tertumpuk diantara file Ramadhan



Idzkhir al-Mu'adz

Posted on Saturday, June 29, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Wednesday, June 26, 2013

Beberapa teman yang mengenal saya mungkin akan sangat paham karakter saya yang banyak pertimbangan. Tidak ada yang sederhana dan mudah bagi saya untuk mengambil sebuah keputusan. Bahkan betapa sering keputusan-keputusan yang saya tetapkan berada pada waktu-waktu injury time ataupun in the last minute. Meskipun itu sebuah keputusan yang dianggap sederhana oleh orang lain. Dan hal ini bukan karena sifat menunda-nunda ataupun lebih menyukai aspek the power of kepepet. Melainkan karena bagi saya banyak faktor yang harus saya pertimbangkan dalam setiap keputusan.

          Faktor pertama, saya meyakini bahwa setiap keputusan itu selalu akan mempengaruhi orang lain. Apalagi ketika banyak orang disekitar saya yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut (untuk poin ini sepertinya terlalu berlebihan). Maka faktor ini biasanya menjadi hal yang saya pikirkan cukup lama. Misal, keputusan sederhana undangan sebuah agenda “Makrab”, saya baru bisa memastikan jawaban saat waktu sudah H-2 dikarenakan pada akhirnya ada agenda lain yang membutuhkan saya. Hal ini mungkin yang membuat orang lain terkadang seperti “teraniaya” harus selalu bersabar dengan lamanya saya memikirkan keputusan yang akan diambil.

          Faktor kedua, saya meyakini bahwa setiap keputusan itu akan mempengaruhi rencana-rencana masa depan. Rencana harian, rencana mingguan bahkan rencana sekian tahun yang telah kita tetapkan. Apalagi ketika setiap aktivitas kita didasarkan pada rencana hidup ini. Karena hidup itu tidak bisa dijalani hanya dengan keyakinan mengalir seperti air. Mengalir kemana aliran air itu bergerak. Misal, keputusan saya untuk memperlama waktu di Jogja ataukah mempersingkatnya. Meskipun untuk kasus ini sifat keputusannya jangka panjang. Akan tetapi, dimasa sekarang setidaknya ada banyak hal yang mempengaruhi. Salah satunya keputusan saya beberapa hari yang lalu.   

Ya, tepat beberapa hari yang lalu saya akhirnya mengambil keputusan yang dipengaruhi 2 faktor ini. Keputusan yang saya ambil karena 2 bulan lagi akan meninggalkan “tempat bernaung” saat ini. Pindah dari sebuah asrama atau yang saya yakini sebagai “pondok” dengan status santri ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Atas faktor ini saya telah mengambil keputusan terhadap dua pilihan, pindah ke “pondok” lain ataukah membuat “pondok” sendiri. Sampai sebuah kesempatan untuk pilihan pertama saya tetapkan. Saya akan mengikuti seleksi untuk pindah ke pondok lain, Rumah TahfidzQu Mahasiswa.

Rumah TahfidzQu merupakan program santri tahfidz selama 1 tahun. Karena 1 tahun maka tentunya hal ini harus dikomunikasikan ke orang tua. Tentang niatan saya untuk menambah waktu 1 tahun di Jogja. Dan Alhamdulillah orang tua pun setuju. Karena memang melengkapi target hafalan merupakan salah satu rencana hidup di Jogja sebelum “kembali”, jika Allah berkehendak. Singkat cerita, seleksi pun saya ikuti. 2 hari bersama Al Qur’an, mungkin inilah tema yang tepat untuk seleksi itu bersama sekitar 30an peserta ikhwan. Dari seleksi yang akan diterima hanya 10 orang. Subhanallah.

2 minggu setelah seleksi pun berlalu. Hingga ba’da Ashar di 15 Juni 2013 sebuah pesan singkat masuk.
“Assalamu’alaikum warahmatullhi wabarakatuh. Alhamdulillah antum diterima sebagai santri Tahfidz Akademi Rumah TahfidzQu”
Ya, Alhamdulillah, sebuah amanah besar Allah berikan kepada saya. Namun, saya kembali membaca ulang sms itu. Santri Tahfidz Akademi? Sejenak berpikir karena saat seleksi memang sempat ditawarkan program ini. Program baru, hanya untuk 4 santri terpilih. Program yang berbeda dengan Rumah TahfidzQu Mahasiswa biasa karena santri benar-benar diberi asupan yang lebih dari biasanya. Saya pun ragu karena saat wawancara sempat menyampaikannya. Sehingga balasan saya saat itu adalah,
“Tahfidz Akademi? Afwan Mas, saat wawancara saya sempat menyampaikan ke Ustadz bahwa untuk program ini saya masih mempertimbangkan sehingga belum tentu menerima”.

Beberapa hari berlalu. Dengan 2 faktor mengambil keputusan diatas, saya menjadi belum bisa mengambil keputusan. Banyak pihak memberi masukan. Dari pihak sesama santri yang diterima, pihak Rumah TahfidzQu, “guru ngaji” saya sebelumnya, dll. Sampai dengan segala keraguan dan banyaknya pertimbangan itu saya disarankan untuk menghilangkan segala syak dengan meminta kejelasan ke pihak Rumah TahfidzQu terkait program ini untuk kemudian istikharah.

H-1 batas akhir daftar ulang saya pun menemui pihak RT untuk mengambil form daftar ulang dan diskusi terkait program. Jujur, saya sangat ingin untuk mengikuti program ini. Program intensif 6 bulan dengan 1 tahun pengabdian. Ya, berarti 1,5 tahun di Jogja. Namun, akhirnya tercenung untuk angka 1,5 tahun ini. Orang tua. Ya, apa pendapat orang tua. Maka malam hari sebelum batas akhir daftar ulang kembali saya komunikasikan kepada orang tua.
Me : “Bu, saya diterima diprogram yang kemaren saya ceritakan”
Ibu : Alhamdulillah. Lalu bagaimana?
Me : Hm.. tapi saya diminta diprogram yang berbeda. Program dengan masa 1,5 tahun. Menurut ibu bagaimana?

Saya sangat paham bahwa setiap jawaban orang tua untuk setiap rencana hidup saya adalah “Silahkan, apa yang menurut Id terbaik”. Maka saya curiga pernyataan ini pun beliau sampaikan. Dan ternyata jawaban ibu tercinta langsung menguatkan keputusan saya malam itu.
Ibu : “1,5 tahun? Tidakkah itu waktu yang lama”.
          Ya, ibu tidak pernah berungkap menolak hanya mengembalikan pertanyaan itu. Maka, keputusan saya pun sudah ditetapkan saat itu. Bismillah, Insya Allah ini adalah keputusan terbaik. Bukankah ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Dengan ini, amanah program ini tidak akan saya ambil. Maka form daftar ulang pun masih tersimpan dengan rapi di berkas saya J

          “Meskipun kita tidak di Rumah TahfidzQu, masih banyak Rumah Tahfidz- Rumah Tahfidz yang lain dibumi ini. Bersyukurlah karena Allah telah menganugrahkan rahmat berupa cita-cita untuk jadi pengembang Qur’an”, inilah pesan Ustadz Syatori di penutupan seleksi Rumah TahfidzQu. Ya, meskipun akhirnya saya tidak “bernaung” di Rumah TahfidzQu. Insya Allah saya akan tetap menjadikan Al Qur’an sebagai tempat bernaung. Sebagaimana yang diungkapkan Ustadz Sayyid Qutb, “Hidup Dibawah Naungan Al Qur’an”.
          Wallahu a’lam bi shawab..


Yk.25.6.2013


Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Wednesday, June 26, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Tuesday, June 18, 2013

Entah kenapa, judul tulisan ini menjadi mirip dengan tulisan sebelumnya. Dimulai dengan kata “menjadi”. Tapi memang agak tergelitik untuk menulis sedikit hal tentang ini setelah kejadian beberapa pecan yang lalu. Tepatnya saat diamanahkan menjadi Khatib Jum’at di fakultas sendiri.

Untuk pertama, menjalankan peran sebagai khatib Jum’at termasuk sering saya jalani. Lebih tepatnya sering karena peran “siaga” khatib Jum’at di masjid asrama, saat Khatib berhalangan atau bahkan saat khatib belum juga datang ketika waktu Jum’at telah masuk. Maka bisa dibayangkan, khatib dengan persiapan matang 1 minggu, 2 hari bahkan 5 menit dijeda salam dan adzan terpaksa saya jalani. Maka mohon ampun kepada Allah untuk setiap apa-apa yang sampaikan kurang dalam ilmunya, kurang tepat penyampaiannya bahkan belum mantap pengamalannya. Tidak lain peran ini terjadi karena diasrama tempat tinggal saat ini, kami dituntut untuk bisa menjadi khatib Jum’at. Apalagi karena memang setiap ba’da Subuh di hari Jum’at, kami memiliki jadwal latihan khutbah Jum’at.

Kedua, dari berbagai fakta teman-teman mahasiswa yang menjadi khatib jum’at, saya bisa membagi 2 tipe mahasiswa,
1.    Mahasiswa yang lebih memilih menjadi khatib Jum’at diluar dibanding kampus sendiri
2.   Mahasiswa yang lebih nyaman menjadi khatib Jum’at dikampus sendiri dibanding diluar
Apabila dilihat dari alasan dari 2 tipe mahasiswa ini, saya berkesimpulan sebenarnya alsan satu sama lain tidak jauh berbeda. Hanya perbedaan sudut pandang saja.

       Untuk tipe pertama, menyatakan alasannya berat menjadi khatib Jum’at dikampus sendiri karena ketika menjadi khatib Jum’at dikampus sendiri kita akan berhadapan dengan semua civitas akademika dikampus sendiri. Dari dosen, mahasiswa (kakak angkatan sampai adik angkatan), hingga karyawan yang sering ditemui saat mengurusin KRS, KHS, Transkrip, surat, dll. Apalagi jumlah jama’ah dikampus biasanya cukup banyak sehingga menjadi kekhawatiran sendiri. Titik tekannya adalah jama’ah Jum’atnya.

       Untuk tipe kedua, menyatakan alasannya lebih nyaman menjadi khatib Jum’at dikampus dibanding diluar karena ketika menjadi khatib Jum’at diluar kita berhadapan dengan masyarakat umum dengan standar kebutuhan materi yang berbeda dibanding dunia kampus. Dan itu berat. Apalagi diluar besar kemungkinan ada juga Ustadz-ustadz yang menjadi jama’ah Jum’atnya. Titik tekan alasannya juga “jama’ah Jum’atnya”.

       Dua alasan dari 2 tipe mahasiswa yang menjadi khatib Jum’at ini sebenarnya berkaitan dengan pesan-pesan khusus dari Takmir dimana saya diamanahkan menjadi khatib Jum’at pekan kemaren. Bahkan dikirimkan beberapa jam sembari mengingatkan jadwal khatib untuk hari itu. Isi smsnya :
SMS 1 : Mas, materinya jangan berat-berat ya
Reply : Wah.. sudah terlanjur, hhe
SMS 2 : Ya udah gpp Mas. Tapi istilah-istilah anehnya dikurangin ya

       Ok. Saya menerima beberap pesan yang disampaikan oleh takmir, lebih tepatnya petugas dari Jum’atan tsb. Untuk hal ini saya hanya bisa tersenyum karena memiliki beberapa pandangan sendiri untuk hal yang dipesankan. Sampai akhirnya saya tanyakan kepada petugas Jum’atan perihal pesan-pesan yang disampaikan tersebut. Dan kurang lebih ada beberapa poin yang saya simpulkan karena terkait kondisi jama’ah,
-     Jama’ah sholat Jum’at terdiri atas karyawan hingga dekanat. Sehingga melingkupi seluruh strata sosial. Maka materi khutbah yang tepat adalah materi khutbah terendah sehingga bisa dipahami semuanya
-     Jama’ah sholat Jum’at sensitif untuk materi yang disampaikan secara keras bahkan seperti menghakimi jama’ah. Sehingga materinya haruslah bisa disampaikan secara ringan dan tenang tanpa gestur yang terlihat keras.
-     Jama’ah sholat Jum’at tidak semuanya memiliki kepahaman agama yang mendalam ataupun mengenal istilah-istilah agama yang baru sampai istilah ilmiah yang belum populer. Sehingga bahasa yang dipergunakan haruslah yang bisa dipahami oleh semua orang.

Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya tidak ada yang harus dikhawatirkan ketika seseorang diamanahkan menjadi khatib. Sampai harus diberikan pesan-pesan khusus. Ketika seorang khatib memahami beberapa kaidah dalam menyampaikan materi keislaman kepada jama’ah.
1.    Mengikat hati sebelum menjelaskan
2.    Mengenalkan sebelum memberi beban
3.    Memudahkan, bukan menyulitkan
4.    Yang pokok sebelum yang cabang
5.    Membesarkan hati sebelum memberi ancaman
6.    Memahamkan, bukan mendikte
7.    Mendidik, bukan menelanjangi

Beberapa kaidah ini bisa dibaca lebih dalam di buku Fiqih Dakwah oleh Jum’ah bin Abdul Aziz. Karena pada sejatinya semua catatan-catatan dan pesan-pesan yang disampaikan takmir terangkum ketika seorang khatib (da’i) memahami kaidah-kaidah diatas. Maka memang, semua kembali pada aspek dasar seseorang sebelum menyampaikan. Al Fahmu, kepahaman. Dan kepamahaman sendiri dimulai dengan ilmu. Maka ketika hal ini telah dimiliki seorang khatib, tidak ada sesungguhnya kekhawatiran akan bagaimana penerimaan jama’ah Jum’at. Siapa pun jama’ahnya baik masyarakat umum, civitas akademika, bahkan birokrat sekalipun.  

Wallahu a’lam bi shawab..


Yk.5.6.2013


Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Tuesday, June 18, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, June 6, 2013

Disadari atau tidak, setiap kita memiliki peran dalam hidup ini. Sebagai seorang anak, sebagai seorang kakak, sebagai seorang adik, sebagai seorang pelajar, sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang tetangga, dan berbagai peran lagi dalam hidup. Satu hal yang pasti, hal itu mempengaruhi diri kita bahkan membentuk kepribadian kita. Bagi saya, salah satu peran yang sangat besar mempengaruhi diri ini adalah menjadi seorang anak tertua dalam keluarga ini. Setidaknya beberapa episode hidup dalam beberapa bulan ini semakin menguatkan itu.

Episode 1…
Tiba-tiba sebuah telpon masuk dipagi hari. Nama yang tertulis, “Bapak”. Seketika saya pun menjawab panggilan itu.
A : Id, sudah menelpon adikmu (di kota X) minggu ini?
I  : Astagfirullah (dalam hati). Belum. Ada apa memang?
A : Coba segera dihubungi karena pas ditelpon kok gak masuk-masuk.
I  : Iya. Tenang saja. Insya Allah baik-baik saja. Paling karena HP mati atau sinyal.
Maka beberapa jam kemudian saya pun menghubungi adik. Dan Alhamdulillah ternyata masuk. Tidak sebagaimana yang dikhawatirkan Bapak.
I  : Kok telponnya baru bisa masuk?
D : HP Mati, beberapa hari yang lalu kemasukan air      
I  : Segera diperbaiki klo gitu. HP cadangan ada kan? Bapak sampai khawatir soalnya.
D : Yup.
Selang beberapa hari, tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk. Nama yang tertulis masih sama. “Bapak”. Isinya “Id, tadi bapak kos adik (di kota X) sms. Katanya adik sudah beberapa minggu tidak dikos. Telpon bapak ke adik juga tidak masuk-masuk”.
Untuk pertama, saya masih meyakini bahwa kalau telpon tidak masuk, bisa jadi karena faktor sebagaimana yang disampaikan kemaren saat terakhir menghubungi. Namun, beberapa minggu tidak ada dikos? Itu sebuah hal lain bagi saya.
Saya pun mencoba mencari jalan untuk mengetahui kondisi adik di kota X. Mencari-cari siapa yang bisa dihubungi. Dan ternyata “No people”. Akhirnya selama 3 jam, menggunakan dunia maya sebagai sarana searching. Melihat beberapa mutual friend, membuka data yang saya punya, untuk saya hubungi jikalau ada yang berkemungkinan dikenal dari mahasiswa di tempat saya kuliah. Sampai akhirnya saya mendapatkan 1 kontak. Dari 1 kontak itu saya pun dihubungkan dengan 1 kontak lagi, Ketua Angkatan. Hingga akhirnya saya mendapatkan sebuah jawaban dari beberapa pertanyaan itu.
Dampak dari jawaban yang saya dapatkan itu adalah hari itu saya memutuskan untuk siap berangkat ke kota X. Ujian esok hari insya Allah siap saya tinggalkan.

Episode 2…
Kembali dibuka oleh sebuah telpon masuk. Namanya jelas tertulis bahwa itu adik saya yang ketiga. Biasanya nomor itu dipakai ibu untuk menghubungi karena meskipun kami lima bersaudara memiliki telpon genggam, ibu tidak pernah berniat memilikinya. “Ribet”, jawabnya.
B : Id, adikmu (di kota Y) akan berangkat KL. Dan berniat berangkat menuju lokasi Z. Bagaimana pendapatmu?
I  : Alasannya apa memilik lokasi Z?
B : Katanya begini dan begini…..
I  : Biar Id telpon nanti untuk memberi pertimbangan buatnya.
Hingga beberapa waktu kemudian saya pun menghubungi adik dan menanyakan alasannya. Bahkan akhirnya sedikit melarang dengan beberapa pertimbangan.

          Ya, anugrah Allah menjadi anak tertua tentu akan banyak menyimpan episode-episode hidup yang membentuk pribadi kita. Saya yakin semua anak-anak yang dilahirkan sebagai anak sulung akan mengalami beberapa kejadian yang kurang lebih sama. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya maknai sebagai anak tertua dalam keluarga tercinta.

Menjadi anak tertua, menjadikan kita memiliki tanggungjawab kedua setelah orang tua dalam sebuah keluarga. Bahkan untuk beberapa hal, tanggungjawab itu hanya bisa kita yang mengampunya sebagai anak tertua. Seperti dalam hal menanamkan kepada adik-adik tentang betapa besarnya peran orang tua dan tanggungjawab kita sebagai anak. Karena terkadang, ketika seorang anak hanyut dalam buaian kesenangan yang diberikan orang tua, dia lupa bagaimana sesungguhnya pengorbanan orang tua untuk hal itu. Orang tua tidak akan pernah bercerita tentang bagaimana pengorbanan mereka. Bagaimana lelahnya, bagaimana sakitnya, bagaimana perihnya. Karena orang tua berjuang tanpa pamrih hingga lelahnya pun tak terasa karena cinta kepada anak-anaknya. Ya, karena mereka berjuang dan berkorban karena cinta.

          Menjadi anak tertua adalah menjadi penghubung komunikasi antara orang tua dan adik-adik. Banyak hal yang orang tua kita tidak bisa menyampaikan sesuatu secara langsung. Sehingga biasanya secara tidak langsung meminta kita sebagai anak tertua untuk bisa menyampaikan secara tepat kepada adik-adik. Atau bahkan banyak hal yang hanya kita sebagai anak yang bisa mengetahui apa-apa yang dirasakan oleh adik-adik untuk disampaikan kepada orang tua. Maka kita pun sebagai kakak berperan menyampaikannya secara tepat kepada orang tua.

          Menjadi anak tertua berarti juga mencari corong keteladanan bagi adik-adik. Karena kita lah yang pertama kali dididik oleh orang tua dan menjadi contoh bagi adik-adik. Ketika anak tertua tidak bisa memberikan keteladanan maka sangatlah besar peluang bagi adik-adik untuk berbuat hal yang tidak jauh berbeda. Bahkan bisa menjadi sebuah rantai keteladan yang buruk dan tak terhenti hingga adik paling bungsu. Sehingga saya bisa menyatakan bahwa WAJIB hukumnya bagi anak tertua untuk menjadi teladan dalam apapun bagi adik-adiknya. Dalam prestasi, dunia maupun akhirat. Dalam akhlak, berkata-kata, bertindak, berperilaku dan beradab.

          Menjadi anak tertua juga berarti bahwa engkau siap berkorban untuk adik-adikmu, menjadi tulang punggung kedua bagi keluarga. Sehingga tidak sedikit anak tertua berprinsip, biarlah dia tidak menjadi apa-apa asalkan adik-adiknya menjadi apa-apa. Terutama bagi mereka yang menjadi orang kedua dalam keluarga. Mungkin dalam hal ini mungkin saya masih pada proses menjalaninya dan memaknainya. 

          Pada akhirnya, semua peran itu dilakukan tidak lain sebagai wujud bakti kita kepada kedua orang tua. Meskipun saya tidak menafikkan ketika peran ini tidak bisa diampu oleh anak tertua, bisa saja yang mengampunya adalah anak kedua, ketiga bahkan anak paling bungsu. Allah-lah yang berkehendak memberikan peran masing-masing bagi kita. Hanya saja, sudah sejauh apakah kita memahami peran itu. Sebagai seorang  anak yang berbakti kepada orang, sebagai seorang kakak yang memberi tauladan, sebagai adik yang memberi cinta kepada kakak dan orang tua, dll.
Wallahu a’lam bi shawab
Yk.5.6.2013
*menulis ini jadi teringat adik-adik disana



Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Thursday, June 06, 2013 by Akhdan Mumtaz

3 comments