*Catatan
KP #3
“Dimana bumi dipijak,
disitu langit dijunjung”
(Pepatah)
Cerita Kerja Praktek ternyata juga
penuh dengan cerita menggelikan dan membuat kita berpikir. Salah satunya
tentang budaya panggilan masing-masing daerah. Dan hal inilah yang terasa dan
baru saya sadari saat KP. Tentang “Ajo, Uda, Bang dan Mas” yang selama ini
melekat menjadi panggilan bagi saya. Ya, kurang lebih begitu sesuai dengan bumi
yang saya pijak J
Dimulai dengan lokasi KP dimana saya
ditempatkan. PT Semen Padang saat ini memiliki
3 wilayah pabrik sebagaimana dijelaskan pada tulisan sebelumnya, Indarung
II/III, Indarung IV, Indarung V. Sedang dalam tahap tender dan proyek Indarung
VI. Saya dengan izin Allah ditempatkan di Indarung V, pabrik paling baru dari
semuanya. Resiko pabrik baru, yang saya rasakan ketika dibandingkan dengan apa
yang diperoleh teman-teman di zona lain diantaranya peralatan mesin, sumber
daya manusia dan atmosfer kantor.
Karena
baru, maka pabrik ini memiliki peralatan industri paling canggih dan kompleks
dibanding yang lain. Sehingga cukup membutuhkan waktu untuk memahami proses dan
permesinan ketika dibandingkan dengan pedoman konvensional. Salah satunya
ketika saya mencoba memahami bagian Coal/Raw Mill, dimana material semen
diproses. Indarung V menggunakan vertical mill sedangkan yang lain menggunakan
horizontal mill. Begitupun beberapa peralatan lain. Untuk sumber daya manusia
juga berbeda. Karena teknologi baru maka “penggerak” pabrik ini umumnya
kalangan muda. Dengan fokusan dan capaian terhadap target lapangan. Apalagi
Indarung V merupakan pabrik dengan kapasitas terbesar dari PT Semen Padang.
Disamping itu, rata-rata karyawan dizona ini lulusan Strata-1 sehingga
berpengaruh terhadap atmosfer kantor. Salah satunya dalam bercanda. Bercanda
disini bisa dibilang becanda jenis intelek. Sehingga butuh sedikit mikir untuk
langsung tertawa.
Salah
satunya untuk kasus panggilan “Ajo” berikut. Singkat cerita ini menjadi dialog
ringan saat mengakrabkan diri dengan bapak-bapak diruang Central Control
Room.
Bapak 1: Aslinya mana
dek ? (gaya pakai bahasa Indonesia dulu karena belum kenal)
Me : Pariaman Pak (menyadari cara mengkrabkan
diri menggunakan bahasa Minang)
Bapak 2: Oo… Ajo lho
kironyo mah (Ooo.. “ajo” juga ternyata)
Me : Hhe.. Iyo Pak
Bapak 2: Barati
sakampuang samo Jokowi jo Djokovic (berarti sekampung dengan Jokowi dan Djokovic)
Me : Hah..? Emang asli Pariaman apo Pak?
Bapak 3: Iyo Jo. Jokowi
tu kan urang gaeknyo dari Pariaman jo Solo. Dulu jua kowi makonyo namonya
Jokowi (iya jo. Jokowi itu orang tuanya dari Pariaman dan Solo. Dulu jualan koi
sehingga diberi nama Jokowi alias Ajo Kowi)
Me : Oo.. (ngangguk karena percaya)
Bapak 2: Klo Djokovic
juara tenis dunia tu, dulu pernah jualan kopi. Makonya namonyo Adjo Kopi (Klo
Djokovic juara tenis dunia, dulu pernah jualan kopi. Sehingga diberi nama Adjo
Kopi)
Me : (mulai sadar becandaan Bapak-bapak CCR)
Dimulai dengan panggilan “Ajo”.
Panggilan ini lebih tepat disebut sebagai panggilan identitas bagi saya. Karena
dalam keseharian justru saya tidak pernah dipanggil Ajo. Panggilan ini hanya
jadi identitas ketika bertemu dengan orang lain dari Minang. Karena Ajo adalah
panggilan khas Pariaman untuk seorang laki-laki. Memang suku Minangkabau secara
umum lebih dikenal dengan panggilan Uda bagi suku lain. Akan tetapi, berbeda
untuk Pariaman karena ia punya panggilan khusus yakni Ajo atau lengkapnya Cik
Ajo. Maka klo Jakarta punya Abang None maka Pariaman punya Cik Uniang dan Cik
Ajo. Konon, kata “Ajo” berasal dari kata Rajo yang artinya Raja dimana orang
Pariaman diyakini berasal dari Aceh. Itulah tentang “Ajo”.
Selanjutnya tentang “Uda”. Ini adalah
panggilan umum yang dikenal oleh suku luar Minang untuk memanggil seorang
laki-laki dari Sumatera Barat. Uda-Uni umum untuk diketahui meskipun sebenarnya
jadi ciri khas panggilan orang Minang dari Kota Padang. Panggilan “Uda” akrab
dalam keseharian bahkan melekat erat dengan nama saya. Karena panggilan “Uda”
telah ditetapkan oleh orang tua bagi saya sebagai panggilan bagi adik-adik dan
kemenakan. “Da Id”, itulah panggilan dirumah.
Namun
karena saking melekatnya panggilan ini dengan nama saya, justru adik-adik yang
kecil menganggap itu bagian dari nama saya. Sehingga akhirnya panggilan ini
justru bertambah menjadi “Bang Da Id”. Padahal kata “Bang” sebenarnya sama
dengan “Uda” dan panggilan lainnya bagi laki-laki. Dan panggilan Bang adalah panggilan
umum untuk orang-orang dari Melayu dan Minang. Bahkan sudah meng-Indonesia. Dan
saya dipanggil “Bang Id” ketika berinteraksi dengan adik-adik kelas selama SMA.
Baik yang di OSIS, ROHIS maupun adik-adik kelas yang lain pada umumnya.
Meskipun untuk sekarang panggilan ini seperti sudah tergantikan karena jarang
terdengar sejak kuliah.
“Mas
Id”, itulah panggilan umum yang melekat saat ini. Jadi teringat becandaan dua
orang teman sekelas ketika mengetahui niatan saya untuk menuju Jogja menjelang
lulus SMA. Mereka bercanda dengan menggunakan panggilan ini karena Jogja yang identik dengan Jawa. Maka
panggilan Jawa bagi seorang laki-laki adalah Mas. Pada awalnya justru risih
saat dulu dijadikan bahan becanda, namun akhirnya justru menjadi kebiasaan saat
ini. Bahkan tanpa sadar, untuk menyebut diri sendiri sering khilaf menyebut
Mas, termasuk saat bertemu orang Minang. Hingga seorang adik tingkat pun ada
yang mengungkapkan, “Bagaimana mungkin memanggil dengan kata ‘Da’ karena kata
‘Mas’ sudah terlanjur melekat selama berinteraksi di Jogja”.
Pada
akhirnya semua panggilan itu hanyalah wujud keterbiasaan kita memaknai pepatah
lama “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Dan itulah yang harus
dipegang seseorang ketika merantau atau berada disatu tempat yang bukan daerah
asalnya. Bagaimana dia bisa berinteraksi, berukhuwah, dan bersaudara tanpa
terbatas sekat daerah asal, latar belakang, materi, kelas sosial, dll. Dan
itulah yang indah terangkum dalam Islam. Ukhuwah Islamiyah, sebuah persaudaraan
karena Islam. Sehingga dimana pun azan berkumandang, apa pun jenis bahasa dan
panggilannya. Semuanya terekat kuat atas nama Ukhuwah Islamiyah. Bukankah
sebaik-baik panggilan adalah Syuhada. Sebuah cita-cita tertinggi.
Pdg.5.2.2013
*Menikmati
rutinitas KP dipekan kedua
Idzkhir
al-Mu’adz
0 comments:
Post a Comment