Selama beberapa waktu belakangan ini
saya mendapatkan diskusi tentang pilihan-pilihan seorang mahasiswa yang pasca
kampus. Diskusi ini menarik perhatian saya, karena saya pernah menjalaninya dan
merasakan pilihan-pilihan tersebut. Namun, saya melihat fenomena pilihan ini
sering terpengaruh oleh kepada siapa seseorang mendiskusikan pilihan pasca
kampus. Mungkin karena secara subjektif melihatnya begitu. Pada tulisan ini,
saya mencoba membatasi pilihan tersebut kepada Kuliah (lagi) atau Kerja. Meskipun
ada alternatif pilihan ketiga, Menikah.
Dialog
A : Jadi apa rencanamu paska
lulus ini Bro A? Kuliah atau Kerja?
B : Belum tahu, rencana sih
kerja. Tapi lihat kondisi dulu lah. Peluang beasiswa sepertinya banyak. Mungkin
bisa dicoba juga.
A : Iya. Mending lanjut kuliah j.
Sayang tu peluang beasiswa yang banyak. Tinggal nyiapin berkas j.
C : Eh.. Bro, mending kerja dulu
j. Ndak sayang tu, gelar akademik lulusan kampus ternama, peluangnya juga tidak
kalah banyak. Kerja dulu, setelah itu bisa lah lanjut kuliah lagi. Apalagi nanti
sudah punya pengalaman.
A : Tapi bukannya kalau kita
kuliah lagi, bisa meningkatkan peluang dan daya tawar kita Bro. Gaji lulusan S2
lebih lah dari lulus S1.
C : Lha,. emang berapa banyak
penerimaan lulusan S2 Bro. Kan tidak banyak. Klo S2 paling ujung-ujungnya jadi
dosen.
B : Apa aku coba dua-duanya j
Bro. Serangan ke segala arah. Yang mana yang lebih duluan, itu yang aku lanjut.
A & C : ?????
Lingkungan Diskusi
Dari ilustrasi dialog diatas bisa
tergambar bagaimana pilihan-pilihan seseorang dan hal yang mempengaruhinya. Ketika
seseorang berdiskusi dengan orang-orang yang menjalani pilihan kerja, maka
kecenderungan pendapat yang umum saya lihat adalah “lebih baik” bekerja dulu. Mengapa?
Karena kalau pun lanjut kuliah lagi, endingnya tetap akan sama setelah lulus.
Kuliah atau Kerja. Pendapat ini akan diperkuat dengan argumentasi, fenomena kuliah
lagi hari ini itu ibarat tren dan hanya sebagai alternatif pelampiasan ketika
tidak ada pilihan lain. Begitu lah keumuman arah diskusi yang sering saya
dengar.
Hal yang kurang lebih sama ketika
berdiskusi dengan yang mengambil pilihan kuliah lagi. Daripada bingung dengan
ketatnya persaingan saat ini. Lebih baik meningkatkan nilai tawar dengan
menambah gelar. Peluang beasiswa banyak, maka lebih baik mengambil peluang ini.
Di masa depan, lulusan S2 ibarat kacang goreng lho, persaingannya bukan dengan
sesama lulusan S1 lagi, tapi sudah S2. Begitu seterusnya siklus diskusi ini
saling menguatkan dan melemahkan antara berbagai pilihan ini.
Dialog dua pendapat ini juga akan
berbeda sudut pandangnya dengan obrolan bersama mereka yang bekerja bertahun-tahun.
Tidak sedikit yang sudah bekerja berkata kepada mereka kepada mereka yang
sedang kuliah lagi, “Wah... enak ya bisa belajar lagi, saya bekerja seperti
tidak ada hentinya. Sehingga seolah terjebak di 24 jam waktu sehari untuk
bekerja”. Padahal di dialog lain, mereka yang kuliah akan berkata, “Keren ya teman-teman
yang bekerja, merasakan dunia profesional, bekerja dengan gaji yang mentereng. Cukup
lah klo mau memenuhi kebutuhan, dll”. Rumput tetangga selalu akan lebih rimbun
dan hijau untuk diskusi yang tidak pernah selesai ini.
Pilihan
Lalu bagaimana kita menyikapi dan
menentukan pilihan terhadap beberapa hal ini? Menurut saya, kata kuncinya
adalah VISI dan MOTIVASI hidup kita. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW menasehatkan
terkait segala sesuatu tergantung niatnya.
Maka pertanyaannya adalah “Apakah
VISI dan MISI hidup kita?”. Atau mungkin lebih tepatnya malah “Apakah kita
memiliki VISI MISI hidup?”. Maka saya salut kepada banyak rekan-rekan yang
telah memiliki VISI MISI yang terwujud dalam RENCANA HIDUP sejak awal menjalani
kuliah. Sehingga mereka menjalani garis hidup sesuai dengan rencana tersebut
untuk kemudian menyesuaikan realitas dalam dinamika perjalanan tersebut. Maka kalau
lah kita belum memiliki rencana hidup pasca lulus karena sebelumnya menjalani
hidup bagai air dan alur saja, saat SEKARANG memilikinya.
Dengan rencana hidup maka kita
akan memiliki arahan yang jelas dalam menjalani kehidupan pasca kampus. Tidak terlalu
lama terjebak dalam pertanyaan, “Mau apa kita?”. Yang berencana menjadi
profesional keahlian tertentu mungkin memilih untuk bekerja terlebih dahulu dalam
rencana waktu terukur yang sudah direncanakan, untuk kemudian melanjutkan studi
mengembangkan keahlian profesionalnya. Yang merencanakan menjadi pengusaha,
telah menetapkan sejak awal untuk merintis dan menjalanan usaha sehingga tidak
ikut arus pencari kerja pasca lulus. Kalau pun bekerja, memilih alternatif
pekerjaan yang tetap memungkinkan untuk menjalankan usaha tanpa melalaikan
amanah pekerjaannya. Dan begitu banyak bentuk-bentuk rencana berdasarkan
rencana hidup tersebut.
Hanya dalam pengalaman saya,
salah satu hal penting yang juga patut untuk dipertimbangkan adalah JANGAN
pernah menutup pintu untuk segala alternatif pilihan. Tidak sedikit bertemu
dengan mereka yang pada awalnya memilih bekerja, untuk kemudian saat bekerja
lah pilihan untuk menjadi akademisi menguat dan mengalihkan pilihan hidupnya. Begitu
pun sebaliknya. RENCANA ibarat senter untuk menempuh perjalanan ke depan. Dalam
perjalananannya bisa jadi ada cahaya lain yang membantu kita menempuh
perjalanan menuju tujuan.
Maka setelah alternatif-alternatif
pilihan kita pahami, dengan rencana hidup Kita tetapkan kembali CITA-CITA hidup
masa depan dan bagaimana kita mengakhiri hidup kita. Kalau lah dalam menyusunnya
kita butuh berdiskusi maka lengkapilah diskusi secara seimbang dari berbagai
pilihan yang ada. Sehingga kita bisa menetapkan pilihan dengan baik. Dalam
pengalaman saya, tempat diskusi yang cukup baik adalah mereka yang telah
memiliki pengalaman hidup lebih daripada
kita.
Penutup
Rencana hidup itu ibarat proposal
hidup kita kepada Allah SWT. Oleh karena itu, saat menentukan pilihan, nasehat
penting bagi kita adalah SELALU libatkan ALLAH SWT dalam pilihan-pilihan kita. Dari
orientasinya hingga akhirnya saat
menetapkan pilihan. Karena kita tidak pernah tahu apa yang baik dan buruk bagi
diri kita kecuali SEMUA dalam ilmunya Allah SWT. Oleh karenanya, do’a yang
dicontohkan Rasulullah SAW dalam istikharah adalah
“Ya
Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu
pengetahuan-Mu dan aku mohon kekuasaan-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan
kemahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Maha
Agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa. Engkau mengetahui
sedang aku tidak mengetahuinya. Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya
Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini lebih baik dalam agamaku,
kehidupanku dan akibatnya terhadap diriku”
Semoga Allah SWT meluruskan
niat-niat dalam rencana hidup dan memberi petunjuk kepada kita dalam
pilihan-pilihan yang ada. Wallahu a’lam bi shawab.
Dago, 28 Maret 2017
~akhdan mumtaz