“All is relative” (Semua adalah relatif), kata Michael Fackerrel. Kalimat ini mungkin telah menjadi slogan umum saat ini. Slogan yang seolah enak didengar. Baik buruk, salah benar, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Tergantung siapa yang menilainya. Slogan relativisme ini sebenarnya telah menjebak cara pandang kita. Padahal slogan ini lahir dari kebencian. Kebencian terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Kebencian terhadap agama.

Tidak lanjut dari kebencian ini adalah ingin menguasai agama-agama. Logikanya, untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain. Sehingga untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Maka lahirlah teologi-teologi baru yang mengikat. Doktrin teologi pluralisme agama lebih tinggi dari agama-agama. Maka, nama Tuhan pun menjadi global. Sehingga diciptakan nama tuhan baru, The One, Tuhan semua agama. Bagaimana konsepnya? Tidak jelas betul.

Karena “Semua adalah relatif”, maka kerangka berpikir yang muncul adalah “Berpikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda, belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran.

Jadi, merasa benar menjadi “makruh”, dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Maka jangan heran ketika ada selebritis dengan emosi dan marah berkata, “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang  membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing!

Sadar atau tidak, dengan berbagai pernyataan itu kita sesungguhnya sedang mengikuti ayat-ayat setan Nietzsche. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar, orang lain juga berhak mengklaim itu salah”, kata Nitetzsche.

“Semua adalah relatif”, slogan ini selanjutnya akan mengarah menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Sebuah pernyataan yang tidak logis karena itu pun berarti pernyataan itupun nilainya relatif, tidak absolute.

Slogan “Semua adalah relatif” pun kemudian punya alasan baru “Yang Absolute hanyalah Tuhan”. Aromanya Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Pernyataan ini menjebak karena dengan konsekuensi yang benar hanyalah Tuhan maka Al Qur’an yang diwahyukan, Hadis yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dan sebagainya adalah relatif belaka.

Padahal Allah berfirman al haqq min rabbika (dari Tuhanmu) BUKAN ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah disini dimasa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Thomas F. Wall pun, menyatakan percaya Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau tidak percaya Tuhan. 
Benarlah pepatah “Manusia itu musuh bagi apa yang tidak diketahuinya”.

*diringkas dari tulisan Ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi dalam buku Misykat halaman 154