Adalah sandal, sebuah benda yang sangat dekat dan setia dengan kita. Setia menjadi alas kaki, yang dengannya harus menanggung beban dari kita berapa pun berat badan kita. Kita mungkin sangat perhatian terhadap berapa berat badan kita. Sudah ideal, kurang atau berlebihkah. Demi terlihat baik dihadapan manusia. Tapi apalah sandal, berapa pun berat badan kita, dia tetap akan siap untuk menanggung bobot kita. Bahkan dengan kondisi tak ideal dari dirinya. Ketika dia sudah sangatlah tipis termakan usia, ketika beberapa bagian dari asesoris tubuhnya sudah lepas satu persatu, bahkan ketika bentuknya sudah kusam dan mungkin sebenarnya sudah “tidak layak pakai”. Kita tetap mempergunakannya. “Cuman dipergunakan untuk berjalan beberapa meter kok. Kenapa harus bagus?”, sebagian dari alasan kita. Sandal, darinya kita belajar bahwa ketika telah baginya ditetapkan sebuah amanah untuk menanggung beban manusia, dia siap. Dengan kondisi apapun yang ada pada dirinya.


Adalah sandal, yang mungkin bagi kita tak terlalu berharga dibandingkan sepatu. Sandal bukanlah alas kaki yang dirasa “pantas” dipergunakan untuk bertemu dengan “orang penting”. Saat seorang pencari kerja dan beasiswa harus bertemu user untuk wawancara, jarang bahkan tak pernah dia menggunakan sandal. Saat seorang harus ke kantor-kantor umum untuk sekedar bertanya, dipintu masuk seseorang kadang sudah terhenti dengan rambu-rambu “Kaos Oblong dan Sandal Dilarang Masuk”. Itulah sandal, nilai kepatutan dan sosialnya telah ditetapkan. Tak begitu berharga secara sosial dibanding sepatu. Berapa pun mahal harganya. Akan tetapi, dia tetap kita butuhkan dengan fleksibelitas dan kenyamanannya. Mungkin apabila kita ditanya, “Untuk pergi kemana-mana enak mempergunakan apa? Sandal atau sepatu?”. Semua kita akan serentak menjawab, “Sandal”. Ya, sandal. Darinya kita belajar, bahkan sesuatu bisa sangat dibutuhkan bukan karena status sosialnya. Namun karena peran dan fungsinya.


*ceritanya sandal saya tertukar
beberapa hari yg lalu :)
 Yk.7.3.2015


Idzkhir al Mu’adz