“Seorang manusia, sinar fitrah tanpa dosa, dengan wajah yang seharusnya diisi senyuman dan kegirangan. Dalam menikmati masanya, hari-harinya yang tidak akan pernah terulang. Namun tampak bertebaran di jalanan, dengan sepotong gitar, dengan sepotong kayu berhias tutup-tutup botol bahkan dengan senampan cawan tempurung kelapa berisi recehan. Dan diperiba dengan menggendong saudaranya yang lebih muda, yang seharusnya berada dalam ayunan” .

Itulah potret realita di depan mata kita masing-masing. Mungkin kita hanya bisa acuh tak acuh atau berkata bahwa itu sebuah hal lumrah. Atau cukup dengan menunjukkan rasa kasihan dalam wujud recehan, kertas berangka puluhan bahkan ratusan. Dan bahkan menyatakan ini kan seharusnya jadi tanggung jawab orang-orang di atas. Akan tetapi, sesungguhnya ada tanggung jawab yang besar bagi kita terhadap keadaan ini. Tanggung jawab yang setidaknya merubah keadaan ini menjadi sesuatu yang lebih baik.
Terlebih dahulu terdapat beberapa pertanyaan besar terhadap keadaan ini. Pertama tentunya, dimanakah kedudukan orang tua terhadap anak-anak penuh senyuman itu? Bukankah setiap kita mengetahui bahwa Anak adalah amanah Sang Rab (Tuhan). Dan kita tahu amanah merupakan suatu kewajiban. Jadi, apakah dengan menjadikan keadaan mereka seperti itu dapat dinyatakan sebagai menjalankan amanah? Apalagi ini adalah amanah dari Yang Maha Pencipta.


Kedua, apakah sebegitu turunnya rasa solidaritas dan saling mengingatkan diri kita terhadap orang lain? Apalagi bagi kita yang mengenal siapa orang tua - orang tua bagi wajah-wajah mungil di jalan-jalan tersebut. Tidak pernahkah terbersit dalam hati nurani kita untuk peduli terhadap mereka. Setidaknya mengingatkan dimana seharusnya wajah-wajah mungil itu berada.

Ketiga, apakah sedemikian susahnya mencari materi hingga mereka harus terlibat dalam usaha mencari rezeki yang tercurah ke bumi ini? Terlampau sedikitkah rezeki yang diturunkan ke bumi ini? Hm…...Bukankah selalu terngiang di telinga kita bahwa setiap orang di dunia ini sudah memiliki pembagian rezeki masing-masing. Bahkan telah tertulis di Lauhul Mahfuz sebelum kita menangis ketika berada di dunia ini.

Dari beberapa pertanyaan ini, tersirat makna bahwa disadari atau tidak kita telah merampas senyuman-senyuman dari wajah-wajah mungil di dunia ini. Merampas masa-masa dimana mereka seharusnya menuntut ilmu, tumbuh dengan baik tanpa harus berpaku dengan peluh dan keringat, dan menikmati yang namanya masa-masa bahagia penuh harapan.
Lalu, tanggung jawab apa yang ada pada masing-masing kita berdasarkan keprihatinan ini? Jawaban untuk pertanyaan ini memang begitu luas terutama bagi bapak-bapak dan ibu-ibu yang berbaju safari dan sibuk dengan sidang-sidangnya.
Namun sebagai pribadi kita dituntut untuk tanggap terhadap problematika masyarakat di sekitar kita. Apalagi ketika kita melihat secara nyata apa yang sesungguhnya terjadi. Apakah dengan memberi lembaran kertas bernilai ratusan sudah mewujudkan respon kita terhadap masalah ini. Sesungguhnya dibutuhkan lebih dari itu yakni dalam bentuk kontribusi nyata seperti mengingatkan, membimbing mereka dan melakukan pembinaan. Dapat dibilang tepatlah program pewujudan kepedulian kita terhadap mereka bukan melalui uang namun disalurkan melalui yayasan, badan amal tertentu, yang tentunya sudah kita yakini amanah. Kita juga dapat melaksanakan hal ini secara kolektif (bersama-sama). Sebagai contoh melalui organisasi-organisasi sosial yang melakukan pembinaan anak-anak di panti asuhan, rumah singgah anak jalanan, dsb. Diharapkan dengan kontribusi tersebut mereka tetap dapat menikmati masa seharusnya dapat tersenyum, menikmati nikmatnya ilmu, menikmati setiap detik usia mereka tanpa harus menunggu kebijakan-kebijakan yang mendukung mereka.
Yogyakarta, 29 April 2010 @6:30 am
(melanjutkan tulisan ketika masih berada di Pariaman tercinta)