Setelah begitu lama tak menggoreskan tinta dari ketikan tuts-tuts ini. Diri ini terpanggil untuk menyampaikan kisah ini. Sungguh kisah sahabat ini menjadi evaluasi besar tentang sebuah keikhlasan tak terperi.

Hal yang dimulai ketika oleh menakdirkan untuk berkesempatan pulang bersama sahabat ini meskipun dalam sebuah waktu yang singkat, 900 detik penuh bermakna. Kisah yang dibuka dari perkenalan singkat dalam perjalanan tersebut. Hingga tanpa sadar diri ini bertanya tentang sosok berharga yang dianugerahkan Allah swt kepada kita, kedua ibu bapak. Berikut kisahnya:

“Sungguh sebuah hal yang tidak disangka akh (panggilan saudara), klo menceritakan mereka. Yang jelas setiap liburan saya harus berusaha untuk pulang bertemu dengan mereka. Karena itulah satu-satunya kesempatan berjumpa dengan mereka. Apalagi terkadang hal itu terkorbankan dengan aktivitas dakwah meskipun telah memperoleh izin dari mereka”.Hingga hati inipun bertanya sejauh mana kondisi keluarga sahabat ini. Karena bagi diri ini sebuah kewajaran yang mengharuskan jarang berjumpa dengan keluarga terutama orang tua. Apalagi resiko seorang perantau ilmu dengan (Astaghfirullah) bangganya dalam hati.

“Saya memang telah di didik mandiri akh. Dari SMA pun saya mondok. Adik-adik saya pun sekarang juga seperti itu. Mereka ada 2 orang, adik tiri saya. Dikarenakan saya telah ditinggalkan oleh ibu ketika masih berusia 2 tahun. Hingga akhirnya hidup dan dibesarkan bersama nenek dan kakek karena saya juga terpisahkan dengan bapak yang berangkat ke sebuah kota besar.

Kondisi dahulu mungkin memang tidak memungkinkan untuk memperoleh kabar berita mengenai bapak saya. Hingga perjalanan hidup saya sampai masa menuju dewasa diperoleh dari didikan nenek dan kakek tercinta. Masa kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas saya lalui tanpa bisa memperoleh berita dari ayah saya. Dan cobaan itu datang ketika saya berada ditahun ketiga dari sekolah menengah atas. Nenek dan kakek akhirnya dipanggil oleh Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah rabbil ‘izzati. Sebuah hal yang memang harus diikhlaskan karena pintu tersebut sesungguhnya memang rahmat Allah swt.


Selanjutnya tetap berjalan sebagaimana seharusnya meskipun tanpa kehadiran nenek dan kakek yang mendampingi saya dari kanak-kanak. Dan ketika menjelang wisuda kelulusan SMA sebuah kejadian yang sungguh menjadi rahasia Allah. Melalui sebuah situs jejaring sosial yang saya miliki, terdapat sebuah permintaan pertemanan. Sebelumnya beliau juga mengirim pesan yang isinya do’a orang tua kepada anaknya. Saya pun sesungguhnya terkejut karena nama beliau memang sudah tidak asing bagi saya. Nama yang sering tercantum di akta kelahiran dan biodata saya. Nama ayahanda saya.

Dan tanpa ragu saya membalas pesan tersebut. ‘Apakah ini abi (panggilan ayah)?’ Dengan mencantumkan nomor telepon genggam yang saya miliki. Hingga akhirnya rahasia Allah itu terbukti. Ayahanda menelpon dan menghubungi saya pertama kali setelah 14 tahun tidak pernah berjumpa dan menatap wajahnya. Dan tepat di wisuda kelulusan SMA, akhirnya saya kembali dipertemukan dengan beliau, ayahanda saya yang dirindukan, setelah begitu lama saya tidak mengetahui bagaimana sosok beliau. 14 tahun sejak ditinggalkan ibu, beberapa bulan sejak ditinggalkan nenek dan kakek saya. Tidak ada kata-kata yang pantas untuk menggambarkannya. Sungguh Allah swt punya rencana dan rahasia-Nya bagi kita hamba-hambaNya”
-0-

Sahabat-sahabat yang dicintai karena Allah, Bagi diri ini, kisah ini sungguh menggambarkan bagaimana keikhlasan yang sungguh tak terperi. Bagaimana perasaan kita setelah tidak bertemu dengan seorang bapak selama waktu yang bagi sebagian kita waktu krusial dan dibutuhkan. Dan begitulah perasaan diri ini ketika mendengarkan kisah dari sahabat ini. Mungkin diri ini terpengaruh dengan sinema-sinema yang memperlihatkan bagaimana penolakan seorang anak yang mungkin merasa ditelantarkan. Sungguh keindahan iman dan keikhlasan menjadi bukti bahwa segala sesuatu itu memang diluar kekuasaan kita.

Dan terkadang memang kita sering terlupa akan rencana besar Allah kepada kita. Kita hanya terpaku dengan hal-hal nyata yang ada didepan kita. Sehingga terkadang ketika ada sebuah masalah didepan kita, dengan lancangnya kita (Astaghfirullah) menyalahkan Allah swt. Padahal memang apa yang ada dalam pikiran kita sering tidak menjangkau apa yang Allah rencanakan untuk kita. Keimanan kita masih kurang, keislaman kita masih belum kaffah, kecintaan kita kepada-Nya masih belum sempurna. Sungguh betapa lemah dan terbatasnya kita.

Sahabat-sahabat yang semoga kita dipertemukan di syurga-Nya, Silaturrahim haruslah senantiasa kita jaga dan pelihara. Kepada keluarga kita, kedua orang tua kita, adik-adik kita, sahabat-sahabat kita, apalagi saudara-saudara seiman, karena merekalah anugrah Allah swt kepada kita. Apalagi dengan alasan aktivitas (sungguh ini evaluasi besar bagi diri ini sendiri) yang membuat kita tidak memeliharanya. Akan tetapi, sekali lagi silaturrahim tetap pada koridornya. Yakni sesuai kemuliaan Allah yang memelihara bagaima interakasi sesama terutama laki-laki dengan perempuan. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang dirahmati dan dihapuskan dosanya melalui silaturrahim.
Sahabat-sahabat yang diri ini butuhkan nasehatnya, Tulisan ini bukan mengartikan diri ini telah memiliki iman yang utuh, islam yang kaffah, cinta kepada-Nya yang sempurna.

Akan tetapi, diri ini harapkan menjadi peluang untuk setiap koreksi terhadap kekhilafan, kesalahan, ketidaktahuan, dan kepura-puraan pada diri ini. Semoga diri ini menjadi hamba yang ikhlas akan setiap koreksi karena ketika seseorang tidak suka dengan kebenaran (pembenaran) berari tidak sempurna imannya. Dan persaudaraan sesungguhnya tidak sempurna seiring tidak sempurnanya iman.

Wallahu ‘alam bi shawab.


Ditulis oleh Idzkhir al Mu'adzYogyakarta, 12 Safar 1432/16 Januari 2011 M