Hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) selalu memunculkan ironi tahunan. Ada yang berbahagia dan ada yang bersedih. Tentunya bagi mereka yang bersedih adalah yang belum beruntung untuk kuliah di perguruan tinggi idamannya. Suatu hal yang harus kita pahami, bahwa kegagalan tersebut merupakan suatu kesuksesan yang tertunda. Khusus bagi mereka yang gagal, ada alternative dalam menyikapi kekecewaan tersebut dengan melakukan ronin. Ronin merupakan suatu usaha belajar kembali sambil menunggu waktu yang tepat dalam menggapai kesuksesan.

Istilah ronin berasal dari bahasa Jepang yang artinya adalah sebutan bagi samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya di zaman feudal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai samurai, karena samurai adalah “pelayan” bagi sang tuan. Dalam budaya popular, ronin didramatisasi sebagai samurai tak bertuan, hidup tak terikat pada tuan atau daimyo dan mengabdikan hidup dengan mengembara mencari jalan samurai sejati. Di awal abad ke-18, Jepang dilanda kekacauan. Pada masa itu, istana Shogun yang berada di Edo (sekarang Tokyo, marak dengan pameran kemewahan, korupsi, serta pesta-pora di kota tua Kyoto. Sama sekali jauh dari aturan social. Kesenian makin berkembang: teater populer mulai lahir. Dengan makin berkuasanya kelas pedagang, masa itu juga merupakan awal dari berakhirnya pengaruh prajurit bayara, atau samurai.Hilangnya pengaruh ini sangat mereka rasakan, terutama karena para samurai sangat membenci segala bentuk usaha yang bertujuan mencari keuntungan.


Di tengah perubahan yang membingungkan itu, kekacauan sering muncul. Kekacauan utama terjadi akibat petani dikenakan pajak diluar bata kemampuan mereka oleh Shogun, penguasa di seluruh Jepang. Samurai jarang sekali menimbulkan kisa keke-Kisah 47 Ronin rasan, suatu sikap yang merupakan bentuk penghormatan atas tingginya latihan serta disiplin mereka. Namun seorang samurai juga memiliki batas kesabaran. Khusunya bagi seorang daimyo muda yang terpaksa harus berurusan dengan tradisi istana yang sama sekali tak bermanfaat. Peristiwanya terjadi di Edo tahun 1701.

Dalam keadaan marah dan kecewa, Lord Asano dari Ako menyerang seorang pejabat istana yang korup sehingga memicu serangkaian peristiwa yang berakhir dengan balas dendam paling berdarah dalam sejarah Jepang. Rangkaian peristiwa ini mengejutkan seluruh negeri sehingga Shogun pun menghadapi kebuntuan hukum dan moral.

Ketika semuanya berakhir, Jepang memiliki pahlawan baru-yaitu 47 ronin (mantan samurai) dari Ako. Fakta sejarah atas tindakan mereka sangat jelas; tapi keterangan terperinci tentang peristiwa itu sangat kabur. Berbagai versi telah dikisahkan dalam bentuk lagu, cerita, drama, dan film. Di zaman Jepang kuno, ronin berarti orang yang terdaftar sebagai penduduk disuatu tempat, tapi hidup mengembara di wilayah lain sehingga dikenal juga dengan sebutan furo (pengembara).

Di zaman Muromachi dan zaman Kamakura, samurai yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal menjadi pengembara. Pada waktu itu, ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk berperang, ronin hampir tidak berkesempatan mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan yang buruk menyebabkan ronin membentuk komplotan yang saling berebut wilayah dan pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan pencoleng hingga menimbulkan huru-hara.

Di zaman Sengoku, sengoku daimyo yang tersebar di seluruh Jepang memerlukan prajurit dalam jumlah yang sangat besar, sehingga ronin mempunyai kesempatan besar untuk mendapat majikan baru. Tidak seperti di zaman Edo, hubungan antara samurai dan tuannya di zaman Sengoku tidaklah begitu erat. Di zaman Sengoku, samurai banyak yang memilih menjadi ronin atas keputusannya sendiri karena situasi kerja yang tidak memuaskan. Ada juga samurai yang memilih menjdai ronin agar bisa menemukan tuan yang menjadikan kondisi pekerjaan dan gaji yang lebih baik. Samurai yang berpindah-pindah tuan juga tidak kurang jumlahnya, bahkan ada juga ronin yang sukses menjadi daimyo. Semasa hidupnyam samurai bernama Todo Takatora pernah mengabdi untuk 10 orang majikan. Pada waktu itu, orang masih bisa semaunya berpindah-pindah kelas, seperti samurai berganti profesi menjadi pedagang atau petani menjadi samurai.

Setelah Toyotomi Hideyoshi berhasil mempersatukan Jepang, berakhir pula zaman perang saudara yang berkepanjangan sehingga samurai banyak yang menjadi ronin. Sebagian besar daimyo tidak lagi perlu memiliki banyak pengikut. Setelah pertempuran Sekigahara yang dimenangkan kubu pasukan Timur, wilayah kekuasan daimyo Pasukan Barat banyak sekali yang dirampas sehingga para samurai yang kehilangan pekerjaan menjadi ronin.

Di zaman Keshogunan Edo, pemerintah Bakufu menghancurkan daimyo yang termasuk tozama daimyo (daimyo yang pernah klan Toyotomi) sehingga jumlah ronin menjadi semakin banyak. Memasuki zaman Edo, jumlah samurai yang dimiliki para daimyo begitu berlebihan sampai hampir-hampir tak ada penerimaan samurai baru. Selain itu, hubungan antara majikan dan samurai menjadi teratur karena pengaruh Konfusianisme. Samurai yang desersi meninggalkan tuannya tidak lagi akan diterima sebagai abdi daimyo di tempat lain. Dalam pertempuran Osaka, klan Toyotomi banyak sekali dibantu para ronin untuk menghadapi pasukan Tokugawa. Jumlah ronin yang membantu klan Toyotomi dalam Pertempuran Osaka dikabarkan mencapai 100.000 orang, walaupun banyak diantaranya yang tewas terbunuh.

Zaman Edo, penghapusan sebagian besar daimyo mengkibatkan jumlah samurai yang menjadi ronin makin bertambah banyak. Di akhir pemerintahan Tokugawa Iemitsu, jumlahj ronin melonjak sekitar 500.000 orang karena peran samurai tidak lagi dibutuhkan di masa damai. Sebagian besar ronin, menjadi penduduk kota atau menjadi petani, sebagian ronin bahkan pergi merantau ke luar negeri menjadi prajurit bayaran. Sebagian besar ronin justru hidup menderita dalam kemiskinan di kota-kota dan pemerintahan Bakufu (feodal) menganggapnya sebagai ancaman keamanan.

Ronin banyak yang diusir dari kota dan hanya boleh tinggal di wilayah-wilayah yang ditentukan. Pemerintah Bakufu bahkan mengambil tindakan yang lebih kejam dengan melarang ronin mencari tuan yang baru. Kelompok ronin yang terusir kesana kemari akhirnya bersatu dibawah pimpinan Yui Shosetsu dan berkomplot untuk menggulingkan pemerintah Bakufu dalam Pemberontakan Keian. Pemerintah Bakufu melarang pengangkatan anak sebagai putra pewaris darurat (mat-sugoyoshi) akibatnya garis keturunan daimyo banyak yang terputus karena daimyo keburu meninggal tanpa memiliki putra pewaris. Keluarga daimyo yang tidak mempunyai putra pewaris terpaksa bubar dan samurai yang kehilangan tuannya berakhir menjdai ronin.

Setelah pecahnya Pemberontakan Keian, pemerintah Bakufu memperbaiki kebijakan terhadap ronin. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru, seperti melonggarkan larangan mengangkat putra pewaris darurat, mengurangi jumlah daimyo yang dirampas wilayah kekuasaannya, dan meninjau kembali pembatasan wilayah permukiman ronin. Peluang ronin mencari majikan baru juga dibuka kembali. Walaupun sudah ada kebijakan baru, jumlah samurai yang menjadi ronin tidak juga bisa berkurang. Ronin-ronin baru terus bermunculan akibat perampasan wilayah kekuasan para daimyo yang terus berlanjut.

Situasi kehidupan ronin Di zaman Edo, ronin yang sudah kehilangan jati diri sebagai samurai masih diakui pemerintah sebagai “samurai” dan masih diizinkan memakai nama keluarga samurai dan membawa katana di pinggang. Sehari-harinya ronin hidup berdampingan dengan rakyat banyak dibawah pengawasan pemerintah kota (machi bugyo). Sebagian besar ronin hidup miskin di rumah-rumah sewa tapi ada juga ronin yang berhasil menjadi sastrawan ternama seperti Chikamatsu Monzaemon. Ronin ada yang membuka dojo (tempat berlatih bela diri), menjadi instruktur bela diri atau menyumbangkan jasa sebagai guru mengajar anak-anak orang biasa di terakoya (sekolah dasar swasta yang menempel di kuil agama Budha). Miyamoto Musashi adalah seorang ronin yang terkenal sebagai jago pedang tanpa tanding. Di akhir zaman Edo, pada ronin mulai berperan aktif di bidang politik.

Samurai dari kelas yang disebut goshi (samurai distrik) banyak yang atas permintaan sendiri meninggalkan wilayah han (tempat tinggalnya) supaya bisa terjun di bidang politik. Sakamoto Ryoma adalah salah satu contoh ronin yang berhasil sebagai politisi. Pada waktu itu, ronin palsu juga banyak bermunculan. Penduduk kota dan petani yang tidak dilahirkan dari kalangan samurai banyak yang mengaku-ngaku sebagai ronin memamerkan katana di pinggang, dan memakai nama keluarga samurai dengan semaunya. Shinsengumi dianggap sebagai kelompok ronin, tapi anggotanya banyak yang terdiri dari penduduk kota dan petani. Setelah Restorasi Meiji, identitas ronin ikut dihapus sesuai dengan prinsip Shiminbyodo (penghapusan semua golongan dan kelas dalam masyarakat).

Di zaman sekarang, istilah ronin digunakan di Jepang untuk lulusan sekolah menengah umum yang gagal lulus tes masuk perguruan tinggi atau sekolah lain yang lebih tinggi. Lulusan SMU yang tidak lagi terdaftar di sekolah manapun diumpamakan sebagai ronin yang tidak lagi memiliki majikan tempat mengabdi. Namun bedanya, ronin masa kini adalah ronin akademis yang berjuang mencari tempat belajar demi menggapai cita-cita. Sedangkan ronin masa dahulu adalah ronin yang militeris, mantan samurai yang berjuang mencari gaji untuk kelangsungan hidupnya.

Alternatif kegiatan ronin masa kini dapat kita lihat pada berbagai tempat bimbingan belajar atau bimbel. Yang memfasilitasi aktivitas belajar selama kurun tertentu dalam menunggu ujian berikutnya. Hal ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, mereka yang ronin ditempat bimbel tentu lebih matang dalam persiapan ke depan dan mantap dengan materi-materi ilmiah maupun teori ujian. Sedangkan kekurangannya, adalah boros waktu karena aktivitas ronin tersebut lumayan memakan waktu, misalnya setahun atau lebih.

Banyak juga yang kurang sepakat jika menunda masa kuliah dengan alasan umur yang tetap bertambah. Bahkan ada yang memilih lebih baik kuliah di perguruan tinggi swasta saja. Walaupun harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Apapun pilihan kita untuk menentukan masa depan tentulah penuh perhitungan pastinya. Dimanapun kita memilih, itulah yang terbaik. Apabila bisa memberikan pendapat, maka tidak ada salahnya untuk melakukan ronin agar niat untuk kuliah di perguruan tinggi idaman dapat tercapai. Ada teman yang bernama si A melakukan ronin selam setahun, akhirnya ia bisa kuliah di universitas ternama tahun berikutnya sesuai dengan keinginannya.

Sekarang terserah kita, mau tetap menelan kekecewaan karena gagal SNMPTN atau optimis melakukan ronin demi menggapi masa depan yang gemilang. Jangan lupa untuk mengiringi setiap usaha kita dengan do’a. Semoga termotivasi untuk melakukan yang terbaik. dikutip dari tulisan Sisri Dona di Harian Singgalang