“Mahasiswa (Pemuda) Dan Masjid Di Daerah Mahasiswa”

Dan perannya senantiasa jadi tonggak perubahan,
senantiasa jadi acuan yang menentukan,
bagi bangsa ini,
dan bagi umat ini
Merekalah Pemuda,
sosok yang syarat dengan tekad yang membara,
sosok yang syarat dengan semangat yang berkobar-kobar
sosok yang syarat dengan motivasi perubahan,


Pemuda,
sosok yang dinyatakan akan diberi naungan pada hari penghitungan,
karena bergantung dan terikat hatinya kepada Masjid
serta tumbuh dengan ibadah kepada-Nya
Pemuda.. Pemuda.. Dan Pemuda
(Idzkhir Al Mu’adz : 2011)

Sajak diatas bukanlah untuk selalu mengagung-agungkan mereka yang dinamakan pemuda. Sudah sangatlah banyak tulisan yang mencantumkan peran besar mereka dalam perubahan. Bahkan terkadang jadi kritik ketika kata itu hanyalah jadi nostalgia lama ketika melihat sosok itu saat ini. Nostalgia lama ketika “Kemerdekaan” RI saat ini adalah karena peran pemuda atau dikenal dengan golongan muda dalam sejarah masa SD. Dan mengapa kata kemerdekaan diberi tanda kutip sudahlah dipahami karena kita sangat sering mempertanyakan kata itu dengan realitas saat ini. Nostalgia lama ketika para pejuang itu adalah para pemuda. Nostalgia lama ketika setiap Revolusi dan Reformasi itu digerakkan oleh pemuda. Dan sajak ini hanyalah mencoba melihat kembali sejauh apakah Pemuda saat ini untuk bisa diharapkan.

Apabila ditilik lebih dalam maka terdapat sebuah hal besar dibalik setiap perubahan besar oleh Pemuda. Karakter yang telah dibangun secara kokoh yang ditempa ditempat-tempat yang memang membentuk karakter. Kita mengenalnya dengan bahasa Markas, kita mengenalnya dengan istilah Basecamp bahkan kita mungkin mengenalnya dengan frase “Tempat Nongkrong”. Ya, tempat nongkrong sebagai tempat setiap karakter itu terbangun baik secara sadar ataupun tidak. Sadar ketika tempat nongkrong itu memang memiliki sarana-sarana pembinaan dan tidak disadari ketika setiap diskusi dan obrolan hadir ditempat tersebut. Tempat yang akan sangat berperan ketika ada kekosongan dalam pembentukan karakter utama kita yakni di rumah bersama keluarga.

Maka pertanyaannya adalah dimanakah kita meletakkan markas-markas kita? Tempat-tempat manakah yang kita jadikan tempat nongkrong? Dan lokasi mana yang menjadi basecamp kita? Dan pada akhirnya dapat dipersaksikan bahwa sesungguhnya Masjid adalah Tempat Nongkrong Terbaik. Bukan sekedar tempat nongkrong dalam konotasi umum. Akan tetapi lebih dari itu sebagai tempat pembentukan karakter pembentuk peradaban. Masjid yang maknanya tidak terbatas menjadi sebuah bangunan yang harus megah dan agung sehingga bernama depan Masjid Agung ataupun Masjid Raya. Mesjid yang mungkin kita juga mengenalnya dengan nama Mushola, Surau, dan beberapa nama lain. Ya, Mesjid.. Bangunan yang berada dipenjuru negeri dan bumi ini.

Maka Pemuda dan Masjid adalah dua hal yang tidaklah terpisah. Sekali lagi, makna ini juga tidak dalam makna terbatas bahwa seorang pemuda dan masjid identik dengan pikiran sempit, identik dengan kekakuan pergaulan, identik dengan perspektif-perspektif kecil dalam menata kehidupan. Akan tetapi, memaknai hal yang dikenal dengan “syumul” yakni utuh dalam kepahaman. Pemuda dan Masjid, dua objek yang harusnya sangat erat sekali. Sehingga pandangan yang patut dipertanyakan ketika Masjid identik dengan orang-orang tua yang sangat khusu’ berada didalamnya. Hal yang kita pandang wajar dikarenakan mereka sangat dekat untuk mengingat maut. Tapi pertanyaannya adalah Apakah pemuda menjamin bahwa mautnya sangatlah jauh?

Betapa sering kita mendengar bagaimana sosok inspirasi itu sering berkumpul diberanda Masjid, sosok inspirasi yang sangatlah kita kenal bahkan tidak cukup untuk dijelaskan satu “Sirah”. Saling bertanya bersama sahabat-sahahat yang menginspirasi juga tentang perkembangan karakter mereka. Karakter iman, karakter ibadah, karakter aktivitas mereka. Dari sanalah sosok-sosok pemuda inspirasi itu terbentuk membangun peradaban. Dan tentunya kita mengenal mereka dalam “Sirah” Sejarah-sejarah peradaban dunia.

Dan apabila kita mempertanyakan bagaimana dengan bukti Pemuda dan Masjid saat ini tidaklah jauh untuk kita persaksikan. Di sebuah daerah selatan Keraton Jogja, Masjid Jogokariyan, tentang bagaimana peran pemuda dan masjid bisa merubah sebuah daerah Jogokariyan dari yang dahulu dibahasakan “hitam” menjadi daerah yang begitu menyejukkan pada kondisi yang kita kenal saat ini. Tidak jauh darinya kita mengenal Masjid Gede Kauman yang pernah diluruskan kiblatnya dari sebuah peran besar pemuda.

Harapan besar itu sesungguhnya telah hadir pada jiwa pemuda saat ini. Ketika hadir didaerah-daerah Mahasiswa (Pemuda) benar-benar menyejukkan hati. Geger kalong di Bandung, tidak jauh dari Universitas Pendidikan Indonesia. Plesiran di Bandung tidak jauh dari Institut Teknologi Bandung. Dan Pogung di Jogjakarta tidak jauh dari Universitas Gadjah Mada. Meskipun sejauh ini sedikit miris melihat kondisi yang sementara dialami di Tembalang, Semarang di daerah Universitas Diponegoro. Mungkin hal yang berbeda dengan lokasi kampus di Peleburan. Dan pada sorotan ini, warna cerah itu lahir dari Pemuda (Mahasiswa) yang terbangun di Masjid Kampus dan Daerah-daerah Mahasiswa.

Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Sudahkah menjadikan Masjid sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Ataukah ia memang telah menjadi bagian, akan tetapi hanya sebagai tempat pelebur segala kewajiban dan amalan kita. Tidak merugikah kita akan hal tersebut? Padahal tempat mulia yang dinaungi malaikat ini dapat membentuk karakter-karakter kita dalam menjadi bagian dalam pembangun peradaban. Dari majelis-majelis ilmunya, dari aktivitas-aktivitasnya, dari penghuni-penghuninya, dari nuansa dan keberkahannya. Sehingga akankah Masjid-masjid itu sepi oleh kita? Akankah Mushola-mushola kampus itu jauh dari kehadiran kita? Dan akankah setiap peluang pembentuk karakter disana kita lewatkan begitu saja?

10:02 WIB
Rabu, 24 Ramadhan 1432 / 24 Agustus 2011 M
Beberapa jam sebelum meninggalkan
Tembalang, Semarang

Idzkhir Al Mu’adz