Perbedaan itu menjadi sebuah khasanah keindahan didalam Islam. Bukanlah menjadi sebuah sebuah pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Bukankah Allah menjadikan hal itu sebagai jalan untuk menggali kedalaman pikiran dan ilmu kita. Sebagaimana yang Allah firmankan “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran : 90). Sehingga ketika terdapat sebuah kejadian yang menjadi pertanyaan di masyarakat ketika menjelang memasuki bulan Ramadhan yakni kapan hari pertama Ramadhan, harusnya tidak menjadi sebuah pertentangan siapa yang paling benar. Apakah itu Rukyat ataukah Hisab karena kedua metode tersebut ada dalilnya. Hanya selanjutnya perspektif kita dalam memandang tersebut. Catatannya adalah koridor perbedaan itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah.


Diskusi disini bukan dalam rangka membahas hal tersebut diatas dikarenakan khasanah ilmu yang dimiliki belumlah mumpuni untuk menjelaskannya. Namun, mencoba melihat kejadian yang dirasa perlu untuk dipilah-pilah. Berikut peristiwanya :

Kejadian 1 :
Shalat pun dimulai dengan aba-aba sang Imam, shalat Tarwih. Takbir hingga dilanjutkan bacaan Al Fatihah. Untuk kesempatan ini, sang Imam membaca secara tartil (memahami kembali makna Tartil yang seharusnya) hingga makmum pun harus cepat tanggap agar tidak ada gerakan yang terlalu terlambat dibandingkan gerakan imam. Singkat kata, shalat Tarwih ini memang lebih cepat gerakan dari yang biasanya. 2 rakaat pertama, 2 rakaat kedua diselingi dengan salawat kepada Rasulullah. Dan diantara 2 rakaat pertama + 2 rakaat kedua menuju hitungan 4 rakaat selanjutnya diselingi dengan aba-aba yang menyebutkan nama sahabat-sahabat Khulafaur Rasyidin. (Sekali lagi, Insya Allah pembahasan ini bukan terkait perbedaan khilafiyah terhadap prosesi ibadah ini. Apakah hal ini ada tuntunannya ataukah tidak).

Hingga sampailah pada hitungan rakaat ke-8. Menjelang dimulainya rakaat ke-9 dikarenakan shalat Tarwih disini berjumlah 20 rakaat, tiba-tiba satu setengah shaf jama’ah keluar dari shaf dan menuju bagian lain dari Mesjid bahkan ada yang langsung pulang. (Nah.. Lho, tidak mungkin kan jama’ah yang batal wudhu’nya sampai bersamaan dalam 1 shaf). Jama’ah tersebut melanjutkan sendiri ibadahnya dengan Shalat Witir, 3 rakaat sebagaimana keyakinan dari jama’ah-jama’ah tersebut. Sedangkan sang Imam dan jama’ah yang masih tersisa tetap menjalankan shalat sebagaimana kebiasaan yang ada disana.

Kejadian 2 :
Penceramah pun naik ke atas mimbar. Membuka ceramah Tarwih malam itu dengan begitu elegan (dr formal maLah muLai ni hiperbolanya... ^^). “Setiap bacaan dalam ibadah sahalat kita haruslah dimaknai dalam setiap ayatnya. Dari Takbir saja betapa kita benar-benar harus senantiasa bermuhasabah. Allahu Akbar, apakah kita benar-benar mengagungkan Allah. Ayat pertama Al Fatihah hingga ayat ke empat betapa kita harus berpasrah diri akan kekuasaan Allah,dst. Jangan sampai bacaan kita hanya dalam bentuk hafalan dalam setiap gerakan tanpa ada makna”. Kurang lebih itulah pembukaan ceramah malam itu. Sangat menggugah dan penuh hikmah dan makna.

Singkat kata, ceramah Tarwih malam itu selesai. Dan dilanjutkan dengan shalat Tarwih. Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan di Mesjid ini bahwa jumlah rakaatnya adalah 23 rakaat. Nah, berhubung materinya adalah memaknai bacaan shalat maka yang terpikir adalah shalat malam itu bacaannya panjang. Dan ternyata justru bacaannya adalah tartil (terpikir kembali makna dari tartil sebenarnya apa?). Sang penceramah yang berposisi sebagai makmum pun sampai melihat ke arah jam ketika 2 rakaat pertama selesai.

Sahabat, pernahkah kita mengalami peristiwa ini? Ataukah mungkin kita termasuk bagian yang keluar dari shaf jama’ah. Analogi terhadap tindakan ini adalah apakah tindakan ini termasuk hal yang ahsan dalam berjama’ah? Meskipun kita tetap harus berhati-hati dalam hal menganalogikan sesuatu. Ketika mencoba memahami, ternyata terdapat pernyataan Rasulullah terkait hal ini yakni :
“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)

Apabila dianalogikan ketika Imam adalah pemimpin kita maka sebuah keutamaan ketika kita mengikuti pemimpin kita. Tentunya selama pemimpin kita masih dalam jalan yang seharusnya. Dalam konsepan yang agak berat dan masih dalam tatanan memahami ini dikenal dengan pembahasan. Al Qiyadah Wal Jundiyah
Nah, untuk sebuah ketergesa-gesaan dalam ibadah coba kita pahami dari pernyataan Rasulullah :

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Apabila salat sudah dimulai, janganlah kalian menghadirinya terburu-buru, tetapi datangilah dengan tenang. Apapun yang masih bisa kamu kejar dalam berjama’ah ikutilah, dan apa yang kurang, sempurnakanlah.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Yup, untuk sebuah aktivitas menjelang ibadah shalat saja kita dianjurkan untuk tidak terburu-buru meskipun sudah sangat jelas kita terlambat (untuk hal ini coba dipahami lagi betapa keutamaan shaf terdepan shalat berjama’ah dan berlomba-lomba dalam kebaikan). Lalu bagaimana dengan ibadah itu sendiri? Apakah memang harus terburu-buru?

Nah, pernyataan-pernyataan ini adalah sebagai pemantik kita untuk memahami lebih dalam terkait amalan kita. Silahkan hubungi ustadz-ustadz, dan majelis ilmu terdekat ^^. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang beramal berdasarkan ilmu.
Menuju Insan Berilmu & Penuh Amal

Oleh Idzkhir Al Mu’adz
Semarang, 22 Ramadhan 1432/22 Agustus 2011 M