Entah
kenapa, judul tulisan ini menjadi mirip dengan tulisan sebelumnya. Dimulai
dengan kata “menjadi”. Tapi memang agak tergelitik untuk menulis sedikit hal
tentang ini setelah kejadian beberapa pecan yang lalu. Tepatnya saat diamanahkan
menjadi Khatib Jum’at di fakultas sendiri.
Untuk
pertama, menjalankan peran sebagai khatib Jum’at termasuk sering saya jalani.
Lebih tepatnya sering karena peran “siaga” khatib Jum’at di masjid asrama, saat
Khatib berhalangan atau bahkan saat khatib belum juga datang ketika waktu
Jum’at telah masuk. Maka bisa dibayangkan, khatib dengan persiapan matang 1
minggu, 2 hari bahkan 5 menit dijeda salam dan adzan terpaksa saya jalani. Maka
mohon ampun kepada Allah untuk setiap apa-apa yang sampaikan kurang dalam
ilmunya, kurang tepat penyampaiannya bahkan belum mantap pengamalannya. Tidak
lain peran ini terjadi karena diasrama tempat tinggal saat ini, kami dituntut
untuk bisa menjadi khatib Jum’at. Apalagi karena memang setiap ba’da Subuh di
hari Jum’at, kami memiliki jadwal latihan khutbah Jum’at.
Kedua, dari
berbagai fakta teman-teman mahasiswa yang menjadi khatib jum’at, saya bisa
membagi 2 tipe mahasiswa,
1.
Mahasiswa yang lebih memilih menjadi khatib Jum’at diluar dibanding
kampus sendiri
2. Mahasiswa yang lebih nyaman menjadi khatib Jum’at dikampus
sendiri dibanding diluar
Apabila
dilihat dari alasan dari 2 tipe mahasiswa ini, saya berkesimpulan sebenarnya
alsan satu sama lain tidak jauh berbeda. Hanya perbedaan sudut pandang saja.
Untuk tipe pertama, menyatakan alasannya
berat menjadi khatib Jum’at dikampus sendiri karena ketika menjadi khatib
Jum’at dikampus sendiri kita akan berhadapan dengan semua civitas akademika
dikampus sendiri. Dari dosen, mahasiswa (kakak angkatan sampai adik angkatan),
hingga karyawan yang sering ditemui saat mengurusin KRS, KHS, Transkrip, surat,
dll. Apalagi jumlah jama’ah dikampus biasanya cukup banyak sehingga menjadi
kekhawatiran sendiri. Titik tekannya adalah jama’ah Jum’atnya.
Untuk tipe kedua, menyatakan alasannya lebih
nyaman menjadi khatib Jum’at dikampus dibanding diluar karena ketika menjadi
khatib Jum’at diluar kita berhadapan dengan masyarakat umum dengan standar
kebutuhan materi yang berbeda dibanding dunia kampus. Dan itu berat. Apalagi
diluar besar kemungkinan ada juga Ustadz-ustadz yang menjadi jama’ah Jum’atnya.
Titik tekan alasannya juga “jama’ah Jum’atnya”.
Dua alasan dari 2 tipe mahasiswa yang
menjadi khatib Jum’at ini sebenarnya berkaitan dengan pesan-pesan khusus dari
Takmir dimana saya diamanahkan menjadi khatib Jum’at pekan kemaren. Bahkan
dikirimkan beberapa jam sembari mengingatkan jadwal khatib untuk hari itu. Isi
smsnya :
SMS 1 :
Mas, materinya jangan berat-berat ya
Reply :
Wah.. sudah terlanjur, hhe
SMS 2 : Ya
udah gpp Mas. Tapi istilah-istilah anehnya dikurangin ya
Ok.
Saya menerima beberap pesan yang disampaikan oleh takmir, lebih tepatnya
petugas dari Jum’atan tsb. Untuk hal ini saya hanya bisa tersenyum karena
memiliki beberapa pandangan sendiri untuk hal yang dipesankan. Sampai akhirnya
saya tanyakan kepada petugas Jum’atan perihal pesan-pesan yang disampaikan
tersebut. Dan kurang lebih ada beberapa poin yang saya simpulkan karena terkait
kondisi jama’ah,
- Jama’ah sholat Jum’at terdiri atas karyawan hingga dekanat.
Sehingga melingkupi seluruh strata sosial. Maka materi khutbah yang tepat
adalah materi khutbah terendah sehingga bisa dipahami semuanya
- Jama’ah sholat Jum’at sensitif untuk materi yang disampaikan
secara keras bahkan seperti menghakimi jama’ah. Sehingga materinya haruslah
bisa disampaikan secara ringan dan tenang tanpa gestur yang terlihat keras.
- Jama’ah sholat Jum’at tidak semuanya memiliki kepahaman
agama yang mendalam ataupun mengenal istilah-istilah agama yang baru sampai
istilah ilmiah yang belum populer. Sehingga bahasa yang dipergunakan haruslah
yang bisa dipahami oleh semua orang.
Berkaitan
dengan hal ini, sesungguhnya tidak ada yang harus dikhawatirkan ketika
seseorang diamanahkan menjadi khatib. Sampai harus diberikan pesan-pesan
khusus. Ketika seorang khatib memahami beberapa kaidah dalam menyampaikan materi
keislaman kepada jama’ah.
1.
Mengikat hati sebelum menjelaskan
2.
Mengenalkan sebelum memberi beban
3.
Memudahkan, bukan menyulitkan
4.
Yang pokok sebelum yang cabang
5.
Membesarkan hati sebelum memberi ancaman
6.
Memahamkan, bukan mendikte
7.
Mendidik, bukan menelanjangi
Beberapa
kaidah ini bisa dibaca lebih dalam di buku Fiqih Dakwah oleh Jum’ah bin Abdul
Aziz. Karena pada sejatinya semua catatan-catatan dan pesan-pesan yang
disampaikan takmir terangkum ketika seorang khatib (da’i) memahami
kaidah-kaidah diatas. Maka memang, semua kembali pada aspek dasar seseorang
sebelum menyampaikan. Al Fahmu, kepahaman. Dan kepamahaman sendiri dimulai
dengan ilmu. Maka ketika hal ini telah dimiliki seorang khatib, tidak ada
sesungguhnya kekhawatiran akan bagaimana penerimaan jama’ah Jum’at. Siapa pun
jama’ahnya baik masyarakat umum, civitas akademika, bahkan birokrat
sekalipun.
Wallahu
a’lam bi shawab..
Yk.5.6.2013
Idzkhir
al-Mu’adz
0 comments:
Post a Comment