Beberapa teman yang mengenal saya mungkin akan sangat paham karakter saya yang banyak pertimbangan. Tidak ada yang sederhana dan mudah bagi saya untuk mengambil sebuah keputusan. Bahkan betapa sering keputusan-keputusan yang saya tetapkan berada pada waktu-waktu injury time ataupun in the last minute. Meskipun itu sebuah keputusan yang dianggap sederhana oleh orang lain. Dan hal ini bukan karena sifat menunda-nunda ataupun lebih menyukai aspek the power of kepepet. Melainkan karena bagi saya banyak faktor yang harus saya pertimbangkan dalam setiap keputusan.

          Faktor pertama, saya meyakini bahwa setiap keputusan itu selalu akan mempengaruhi orang lain. Apalagi ketika banyak orang disekitar saya yang dipengaruhi oleh keputusan tersebut (untuk poin ini sepertinya terlalu berlebihan). Maka faktor ini biasanya menjadi hal yang saya pikirkan cukup lama. Misal, keputusan sederhana undangan sebuah agenda “Makrab”, saya baru bisa memastikan jawaban saat waktu sudah H-2 dikarenakan pada akhirnya ada agenda lain yang membutuhkan saya. Hal ini mungkin yang membuat orang lain terkadang seperti “teraniaya” harus selalu bersabar dengan lamanya saya memikirkan keputusan yang akan diambil.

          Faktor kedua, saya meyakini bahwa setiap keputusan itu akan mempengaruhi rencana-rencana masa depan. Rencana harian, rencana mingguan bahkan rencana sekian tahun yang telah kita tetapkan. Apalagi ketika setiap aktivitas kita didasarkan pada rencana hidup ini. Karena hidup itu tidak bisa dijalani hanya dengan keyakinan mengalir seperti air. Mengalir kemana aliran air itu bergerak. Misal, keputusan saya untuk memperlama waktu di Jogja ataukah mempersingkatnya. Meskipun untuk kasus ini sifat keputusannya jangka panjang. Akan tetapi, dimasa sekarang setidaknya ada banyak hal yang mempengaruhi. Salah satunya keputusan saya beberapa hari yang lalu.   

Ya, tepat beberapa hari yang lalu saya akhirnya mengambil keputusan yang dipengaruhi 2 faktor ini. Keputusan yang saya ambil karena 2 bulan lagi akan meninggalkan “tempat bernaung” saat ini. Pindah dari sebuah asrama atau yang saya yakini sebagai “pondok” dengan status santri ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Atas faktor ini saya telah mengambil keputusan terhadap dua pilihan, pindah ke “pondok” lain ataukah membuat “pondok” sendiri. Sampai sebuah kesempatan untuk pilihan pertama saya tetapkan. Saya akan mengikuti seleksi untuk pindah ke pondok lain, Rumah TahfidzQu Mahasiswa.

Rumah TahfidzQu merupakan program santri tahfidz selama 1 tahun. Karena 1 tahun maka tentunya hal ini harus dikomunikasikan ke orang tua. Tentang niatan saya untuk menambah waktu 1 tahun di Jogja. Dan Alhamdulillah orang tua pun setuju. Karena memang melengkapi target hafalan merupakan salah satu rencana hidup di Jogja sebelum “kembali”, jika Allah berkehendak. Singkat cerita, seleksi pun saya ikuti. 2 hari bersama Al Qur’an, mungkin inilah tema yang tepat untuk seleksi itu bersama sekitar 30an peserta ikhwan. Dari seleksi yang akan diterima hanya 10 orang. Subhanallah.

2 minggu setelah seleksi pun berlalu. Hingga ba’da Ashar di 15 Juni 2013 sebuah pesan singkat masuk.
“Assalamu’alaikum warahmatullhi wabarakatuh. Alhamdulillah antum diterima sebagai santri Tahfidz Akademi Rumah TahfidzQu”
Ya, Alhamdulillah, sebuah amanah besar Allah berikan kepada saya. Namun, saya kembali membaca ulang sms itu. Santri Tahfidz Akademi? Sejenak berpikir karena saat seleksi memang sempat ditawarkan program ini. Program baru, hanya untuk 4 santri terpilih. Program yang berbeda dengan Rumah TahfidzQu Mahasiswa biasa karena santri benar-benar diberi asupan yang lebih dari biasanya. Saya pun ragu karena saat wawancara sempat menyampaikannya. Sehingga balasan saya saat itu adalah,
“Tahfidz Akademi? Afwan Mas, saat wawancara saya sempat menyampaikan ke Ustadz bahwa untuk program ini saya masih mempertimbangkan sehingga belum tentu menerima”.

Beberapa hari berlalu. Dengan 2 faktor mengambil keputusan diatas, saya menjadi belum bisa mengambil keputusan. Banyak pihak memberi masukan. Dari pihak sesama santri yang diterima, pihak Rumah TahfidzQu, “guru ngaji” saya sebelumnya, dll. Sampai dengan segala keraguan dan banyaknya pertimbangan itu saya disarankan untuk menghilangkan segala syak dengan meminta kejelasan ke pihak Rumah TahfidzQu terkait program ini untuk kemudian istikharah.

H-1 batas akhir daftar ulang saya pun menemui pihak RT untuk mengambil form daftar ulang dan diskusi terkait program. Jujur, saya sangat ingin untuk mengikuti program ini. Program intensif 6 bulan dengan 1 tahun pengabdian. Ya, berarti 1,5 tahun di Jogja. Namun, akhirnya tercenung untuk angka 1,5 tahun ini. Orang tua. Ya, apa pendapat orang tua. Maka malam hari sebelum batas akhir daftar ulang kembali saya komunikasikan kepada orang tua.
Me : “Bu, saya diterima diprogram yang kemaren saya ceritakan”
Ibu : Alhamdulillah. Lalu bagaimana?
Me : Hm.. tapi saya diminta diprogram yang berbeda. Program dengan masa 1,5 tahun. Menurut ibu bagaimana?

Saya sangat paham bahwa setiap jawaban orang tua untuk setiap rencana hidup saya adalah “Silahkan, apa yang menurut Id terbaik”. Maka saya curiga pernyataan ini pun beliau sampaikan. Dan ternyata jawaban ibu tercinta langsung menguatkan keputusan saya malam itu.
Ibu : “1,5 tahun? Tidakkah itu waktu yang lama”.
          Ya, ibu tidak pernah berungkap menolak hanya mengembalikan pertanyaan itu. Maka, keputusan saya pun sudah ditetapkan saat itu. Bismillah, Insya Allah ini adalah keputusan terbaik. Bukankah ridha Allah terletak pada ridha orang tua. Dengan ini, amanah program ini tidak akan saya ambil. Maka form daftar ulang pun masih tersimpan dengan rapi di berkas saya J

          “Meskipun kita tidak di Rumah TahfidzQu, masih banyak Rumah Tahfidz- Rumah Tahfidz yang lain dibumi ini. Bersyukurlah karena Allah telah menganugrahkan rahmat berupa cita-cita untuk jadi pengembang Qur’an”, inilah pesan Ustadz Syatori di penutupan seleksi Rumah TahfidzQu. Ya, meskipun akhirnya saya tidak “bernaung” di Rumah TahfidzQu. Insya Allah saya akan tetap menjadikan Al Qur’an sebagai tempat bernaung. Sebagaimana yang diungkapkan Ustadz Sayyid Qutb, “Hidup Dibawah Naungan Al Qur’an”.
          Wallahu a’lam bi shawab..


Yk.25.6.2013


Idzkhir al-Mu’adz