Disadari atau tidak, setiap kita memiliki peran dalam hidup ini. Sebagai seorang anak, sebagai seorang kakak, sebagai seorang adik, sebagai seorang pelajar, sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang tetangga, dan berbagai peran lagi dalam hidup. Satu hal yang pasti, hal itu mempengaruhi diri kita bahkan membentuk kepribadian kita. Bagi saya, salah satu peran yang sangat besar mempengaruhi diri ini adalah menjadi seorang anak tertua dalam keluarga ini. Setidaknya beberapa episode hidup dalam beberapa bulan ini semakin menguatkan itu.

Episode 1…
Tiba-tiba sebuah telpon masuk dipagi hari. Nama yang tertulis, “Bapak”. Seketika saya pun menjawab panggilan itu.
A : Id, sudah menelpon adikmu (di kota X) minggu ini?
I  : Astagfirullah (dalam hati). Belum. Ada apa memang?
A : Coba segera dihubungi karena pas ditelpon kok gak masuk-masuk.
I  : Iya. Tenang saja. Insya Allah baik-baik saja. Paling karena HP mati atau sinyal.
Maka beberapa jam kemudian saya pun menghubungi adik. Dan Alhamdulillah ternyata masuk. Tidak sebagaimana yang dikhawatirkan Bapak.
I  : Kok telponnya baru bisa masuk?
D : HP Mati, beberapa hari yang lalu kemasukan air      
I  : Segera diperbaiki klo gitu. HP cadangan ada kan? Bapak sampai khawatir soalnya.
D : Yup.
Selang beberapa hari, tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk. Nama yang tertulis masih sama. “Bapak”. Isinya “Id, tadi bapak kos adik (di kota X) sms. Katanya adik sudah beberapa minggu tidak dikos. Telpon bapak ke adik juga tidak masuk-masuk”.
Untuk pertama, saya masih meyakini bahwa kalau telpon tidak masuk, bisa jadi karena faktor sebagaimana yang disampaikan kemaren saat terakhir menghubungi. Namun, beberapa minggu tidak ada dikos? Itu sebuah hal lain bagi saya.
Saya pun mencoba mencari jalan untuk mengetahui kondisi adik di kota X. Mencari-cari siapa yang bisa dihubungi. Dan ternyata “No people”. Akhirnya selama 3 jam, menggunakan dunia maya sebagai sarana searching. Melihat beberapa mutual friend, membuka data yang saya punya, untuk saya hubungi jikalau ada yang berkemungkinan dikenal dari mahasiswa di tempat saya kuliah. Sampai akhirnya saya mendapatkan 1 kontak. Dari 1 kontak itu saya pun dihubungkan dengan 1 kontak lagi, Ketua Angkatan. Hingga akhirnya saya mendapatkan sebuah jawaban dari beberapa pertanyaan itu.
Dampak dari jawaban yang saya dapatkan itu adalah hari itu saya memutuskan untuk siap berangkat ke kota X. Ujian esok hari insya Allah siap saya tinggalkan.

Episode 2…
Kembali dibuka oleh sebuah telpon masuk. Namanya jelas tertulis bahwa itu adik saya yang ketiga. Biasanya nomor itu dipakai ibu untuk menghubungi karena meskipun kami lima bersaudara memiliki telpon genggam, ibu tidak pernah berniat memilikinya. “Ribet”, jawabnya.
B : Id, adikmu (di kota Y) akan berangkat KL. Dan berniat berangkat menuju lokasi Z. Bagaimana pendapatmu?
I  : Alasannya apa memilik lokasi Z?
B : Katanya begini dan begini…..
I  : Biar Id telpon nanti untuk memberi pertimbangan buatnya.
Hingga beberapa waktu kemudian saya pun menghubungi adik dan menanyakan alasannya. Bahkan akhirnya sedikit melarang dengan beberapa pertimbangan.

          Ya, anugrah Allah menjadi anak tertua tentu akan banyak menyimpan episode-episode hidup yang membentuk pribadi kita. Saya yakin semua anak-anak yang dilahirkan sebagai anak sulung akan mengalami beberapa kejadian yang kurang lebih sama. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya maknai sebagai anak tertua dalam keluarga tercinta.

Menjadi anak tertua, menjadikan kita memiliki tanggungjawab kedua setelah orang tua dalam sebuah keluarga. Bahkan untuk beberapa hal, tanggungjawab itu hanya bisa kita yang mengampunya sebagai anak tertua. Seperti dalam hal menanamkan kepada adik-adik tentang betapa besarnya peran orang tua dan tanggungjawab kita sebagai anak. Karena terkadang, ketika seorang anak hanyut dalam buaian kesenangan yang diberikan orang tua, dia lupa bagaimana sesungguhnya pengorbanan orang tua untuk hal itu. Orang tua tidak akan pernah bercerita tentang bagaimana pengorbanan mereka. Bagaimana lelahnya, bagaimana sakitnya, bagaimana perihnya. Karena orang tua berjuang tanpa pamrih hingga lelahnya pun tak terasa karena cinta kepada anak-anaknya. Ya, karena mereka berjuang dan berkorban karena cinta.

          Menjadi anak tertua adalah menjadi penghubung komunikasi antara orang tua dan adik-adik. Banyak hal yang orang tua kita tidak bisa menyampaikan sesuatu secara langsung. Sehingga biasanya secara tidak langsung meminta kita sebagai anak tertua untuk bisa menyampaikan secara tepat kepada adik-adik. Atau bahkan banyak hal yang hanya kita sebagai anak yang bisa mengetahui apa-apa yang dirasakan oleh adik-adik untuk disampaikan kepada orang tua. Maka kita pun sebagai kakak berperan menyampaikannya secara tepat kepada orang tua.

          Menjadi anak tertua berarti juga mencari corong keteladanan bagi adik-adik. Karena kita lah yang pertama kali dididik oleh orang tua dan menjadi contoh bagi adik-adik. Ketika anak tertua tidak bisa memberikan keteladanan maka sangatlah besar peluang bagi adik-adik untuk berbuat hal yang tidak jauh berbeda. Bahkan bisa menjadi sebuah rantai keteladan yang buruk dan tak terhenti hingga adik paling bungsu. Sehingga saya bisa menyatakan bahwa WAJIB hukumnya bagi anak tertua untuk menjadi teladan dalam apapun bagi adik-adiknya. Dalam prestasi, dunia maupun akhirat. Dalam akhlak, berkata-kata, bertindak, berperilaku dan beradab.

          Menjadi anak tertua juga berarti bahwa engkau siap berkorban untuk adik-adikmu, menjadi tulang punggung kedua bagi keluarga. Sehingga tidak sedikit anak tertua berprinsip, biarlah dia tidak menjadi apa-apa asalkan adik-adiknya menjadi apa-apa. Terutama bagi mereka yang menjadi orang kedua dalam keluarga. Mungkin dalam hal ini mungkin saya masih pada proses menjalaninya dan memaknainya. 

          Pada akhirnya, semua peran itu dilakukan tidak lain sebagai wujud bakti kita kepada kedua orang tua. Meskipun saya tidak menafikkan ketika peran ini tidak bisa diampu oleh anak tertua, bisa saja yang mengampunya adalah anak kedua, ketiga bahkan anak paling bungsu. Allah-lah yang berkehendak memberikan peran masing-masing bagi kita. Hanya saja, sudah sejauh apakah kita memahami peran itu. Sebagai seorang  anak yang berbakti kepada orang, sebagai seorang kakak yang memberi tauladan, sebagai adik yang memberi cinta kepada kakak dan orang tua, dll.
Wallahu a’lam bi shawab
Yk.5.6.2013
*menulis ini jadi teringat adik-adik disana



Idzkhir al-Mu’adz