Seorang guru pernah bertanya kepada muridnya saat memperlihatkan dua benda, Gula dan Garam. Beliau bertanya mana yang gula, mana yang garam? Kira-kira bagaimana kita akan menjawab pertanyaan itu? Dengan memperhatikan bentuknya yang nyaris sama. Atau dengan merasakan ukuran dan kehalusan dari dua benda yang nyaris sama itu? Atau dengan bentuk analisis-analisis lain yang meyakinkan. Kita yang cerdas pasti akan menjawab bahwa kita akan mengetahuinya dengan mencicipi dua benda itu. Mencicipi gula dan garam itu.

          Begitu pun dakwah. Kita akan mengetahui pahit manisnya dakwah dan daya tariknya dengan merasakannya lebih dalam. Kita tidak akan tahu hanya dengan membaca, mendeskripsikannya tanpa ikut merasakan langsung bahkan ikut lebih dalam. Ungkapan yang juga berlaku untuk kita yang akan berkata jenuh dalam dakwah dan amanah.

          Ketika kita berungkap jenuh bahwa sepertinya yang kita lakukan stagnan tanpa ada pergeseran sedikit pun. Maka pastikan dulu sejauh apakah totalitas kita untuk mengampu amanah itu. Karena sesungguhnya yang menyebabkan apa yang kita lakukan itu stagnan tak bergerak adalah diri kita sendiri. Bukankah seorang Muslim itu harus senantiasa bergerak. Karena seorang Muslim itu berprinsip bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemaren.  

          Ketika kita berungkap jenuh karena alasan bahwa sistem yang dijalankan salah dan akut. Maka pastikan dulu, sistem yang kita jalankan sudah sejauh apa kita jalani. Sudah keseluruhan sistemnya atau jangan-jangan kita baru menjalankan sebagian kecil dari sistem itu. Namun sudah sangat yakin untuk berkesimpulan bahwa sistemnyalah yang salah.

       Ketika kita berungkap jenuh karena alasan bahwa sekarang bukan masanya memikirkan apa yang kita jalankan sekarang. Sudah beda zaman. Sudah beda fase. Maka pastikan dulu, hal yang sekarang kita jalankan itu sudah selesai sehingga pantas untuk beralih ke hal lain. Jangan-jangan untuk fase yang kecil saja kita belum selesai sudah berbicara beralih ke fase yang lebih besar.

     Ya, JENUH? Bisa jadi kita hanya mencari-cari alasan untuk sekedar meninggalkan dakwah dan amanah ini. Karena kita belum menikmatinya. Karena kita masih menganggapnya beban. Karena menganggapnya jebakan. Karena belum benar-benar tercelup total kedalamnya. Karena belum benar-benar ikhlas karena-Nya.

        Ya, JENUH? Siapakah yang lebih pantas jenuh selain mereka yang telah menerjunkan dirinya kedalam dakwah dan amanah ini lebih dahulu. Bukankah mereka secara kasat mata berkutak di hal yang sama selama bertahun-tahun. Tidakkah Itu Jenuh? Tidakkah itu membosankan? Tidakkah itu menjemukan? Tapi kita sangat tahu bagaimana mereka hingga hari ini. Bertahan di hal yang sama.

Ya, JENUH? Bisa jadi…


Yk.1.11.2013
*renung Jumat
Didepan rak buku Andalusia

Idzkhir al-Mu’adz