Part #1
Menikmati fase dimana kita berperan sebagai orang
tua, sesepuh ataupun pensiunan akan lebih banyak proporsi dalam sebuah renung
dan evaluasi. Begitu pun saya. Apalagi dengan apa yang telah dijalani
sebelumnya saat masih berperan sebagai wajah muda, kalaupun mau dibilang
begitu. Dalam hal ini saya mencoba menulis beberapa hal terkait sebuah hal yang
menjadi pembahasan klasik bagi
mahasiswa, Dakwah Kampus. Karena tentunya sudah barang tentu bahasa ini
sudah sangat umum dikalangan aktivis kampus.
Dan pada bagian tulisan ini saya mencoba kembali
bertanya tentang satu hal utama dalam melayarkan kapal (dakwah kampus-read)
yakni kemanakah Tujuan Dakwah Kampus itu? Berkaca terhadap hal ini saya mencoba
menggali beberapa pedoman utama terhadap gerak dakwah kampus. Dan dalam Risalah
Manajemen Dakwah Kampus tertulis,
“Membentuk civitas akademika yang bercirikan
intelektualitas dan profesionalitas, memiliki komitmen yang kokoh terhadap
Islam, dan mengoptimalkan peran kampus dalam upaya mencapai kebangkitan Islam”
Dimana melalui dakwah kampus
diharapkan lahir intelektual-intelektual muda yang professional dalam bidang yang digelutinya dan tetap memiliki ikatan dan keberpihakan yang tinggi
terhadap Islam. Merekalah pembaharu-pembaharu yang dapat melakukan
perubahan-perubahan kondisi masyarakat menuju kehidupan Islami hingga akhirnya
terwujud bersama cita-cita kebangkitan Islam.
Adalah menjadi pertanyaan bagi kita
berdasarkan apa yang tertulis 9 tahun yang lalu ini. Sudah sejauh apakah tujuan
ini terealisir dikalangan aktivis dakwah kampus? Karena tentunya rangkaian kalimat tujuan
dakwah kampus itu ditetapkan bukan tanpa maksud dengan ketidak-feasible-an.
Melainkan memang itulah hal yang tepat untuk ditetapkan sebagai sebuah
cita-cita kebangkitan Islam dari gerbang kampus.
Berdasarkan tujuan itu tertera ciri
output dari dakwah kampus adalah civitas akademika yang intelektualitas dan
profesionalitas. Tentunya kaca pertama yang coba kita lihat adalah kepada
aktivis dakwah kampus sebagai pelaku. Sebelum kita jauh-jauh melihat civitas
akademika. Sudahkah bercirikan intelektualitas dan profesionalitas? Kita bisa
memulainya dari bagaimana kondisi kuliah para aktivis dakwah kampus sebagai
tugas pertama mereka ketika datang ke kampus. Apakah mereka termasuk yang
paling baik kuliahnya. Terbaik dalam kehadirannya, terbaik dalam
tugas-tugasnya, terbaik dalam kerja kelompoknya, terbaik dalam intensitas
membaca literature bidang studinya. Ketika hal ini belum selesai maka bagaimana
akan menuntut lebih kepada intelektualitas dan professional dalam gerak
dakwahnya.
Ciri
selanjutnya adalah memiliki komitmen yang kokoh terhadap Islam. Kembali menjadi
pertanyaan tentunya bagi kita. Seberapa kokohkah komitmen aktivis dakwah
terhadap Islam. Sudahkah aqidah, fikrah, dan manhaj Islam menjadi pengarah dan
sumber petunjuk. Sudahkan iman dan amal shalih sebagai dasar penerapan
nilai-nilai Islam. Atau yang lebih konkrit secara komitmen. Sudahkah 5 waktu
shalat dilaksanakan secara berjama’ah tepat waktu dan dimasjid. Apabila aktivis
dakwah masih belum selesai dalam hal utama yang akan dihisab di yaumul akhir
bagaimana mungkin kita akan bertanya tentang yang lain secara komitmen dalam
Islam. Bagaimana mungkin kita akan membicarakan tentang militansi menerima
panggilan dakwah saat militansi untuk memenuhi seruan Allah saja masih enggan
untuk dipenuhi bahkan telat-telatan. Na’udzubillahi min zalik.
Namun
akan banyak pendapat bahwa tidak banyak yang menjadi terbaik dalam semuanya.
Bahkan dengan pertimbangan aspek multitasking yang tidak semua orang
memilikinya. Ketika secara kognisi memang divided attention secara
kontinu/terus menerus akan berakibat pada semakin kurangnya perhatian kita pada
satu tugas. Hal yang berujung pada aspek kinerja mengalami penurunan kualitas
(dual-task interference) ketika berusaha untuk melakukan banyak tugas secara
bersamaan. Ya, itulah yang ditanggung di pundak para aktivis dakwah.
Sungguh
pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk menyatakan aktivis dakwah hari ini dalam
degradasi total. Hanya sebagai cambuk bagi diri sendiri dan kita semua karena
melihat fenomena-fenomena yang mulai muncul hari ini. Bahkan bukan dalam
kerangka pesimistis bahwa tidak ada yang bisa secara sempurna mencapainya. Tidak
banyak tapi juga banyak yang saya temukan bisa. Maka tidak ada alasan harusnya
yang menyatakan aktivis dakwah tidak bisa terbaik di semuanya. Bukankah aktivis
dakwah itu berjuang untuk mencapai 10 karakter muslim sejati. Aktivis yang
lurus dalam aqidahnya, benar dalam ibadahnya, mantap akhlaknya, teratur dalam
urusannya, terjaga waktunya, luas pengetahuannya, sehat dan kuat jasmaninya,
mandiri, terkendali hawa nafsunya dan bermanfaat bagi orang lain. Maka tawazun
itulah modal kita.
Apabila
masih ada pertanyaan tawazun itu SULIT. Maka jawabannya berarti kita belum
pernah berikhtiar untuk melaksanakannya. Kita belumlah teratur urusannya.
Belumlah terjaga waktunya. Belumlah terkendali hawa nafsunya. Dan pada akhirnya
berujung kepada bisa jadi belum terjaga secara benar niatnya.
Wallahu a’lam bi shawab.
Yk.8.5.2013
*menulis ini justru menjadi renung mendalam
bagi diri sendiri
Idzkhir al-Mu’adz
0 comments:
Post a Comment