Bisa jadi inilah pengalaman pertama
saya menjadi penghuni salah satu ruangan paling “seram” menurut saya selama ini
dari sebuah rumah sakit, UGD “Unit Gawat Darurat”. Dan semoga juga menjadi
pengalaman terakhir berada disana. Namun, ada banyak hikmah dari keberadaan
saya selama kurang lebih 150 menit disana.
Pertama,
mengapa menurut saya ruangan ini merupakan ruangan yang paling seram? Bisa jadi
inilah faktor persepsi yang terbangun sejak masih kecil tentang ruangan ini di rumah
sakit. Dari namanya saja sudah sedikit menakutkan “Gawat Darurat”, sudah gawat
juga darurat lagi. Ketika kita melihat ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (kitabnya
EYD) saja akan diperoleh definisi yang juga tidak kalah membuat kita khawatir.
Gawat berarti 1. genting;
berbahaya; 2
kritis; mengkhawatirkan; dekat kpd kematian: 3 sulit; terancam. Darurat
berarti 1 keadaan
sukar (sulit) yg tidak tersangka-sangka (dl bahaya, kelaparan, dsb) yg
memerlukan penanggulangan segera: 2 keadaan terpaksa: 3 keadaan
sementara:
Nah, maka sangatlah wajar kita pun terstigmatisasi
seperti itu. Belum lagi peran media televisi saat masih kecil. Bahwa gambaran
UGD adalah sebuah unit yang ketika ada kecelakaan-kecelakaan terjadi menjadi
tempat pertama untuk dilabuhi. Persis seperti sinetron-sinetron penuh dramtisir
hari ini. Dimana semua penanganan darurat, semua ketakutan dan was-was, penuh
spontanitas dan reaksi cepat terjadi di ruangan ini. Ya, itulah gambaran UGD
yang setidaknya saya dapatkan sebelum benar-benar merasakan ruangan itu hari
ini. Hikmah pertama, “Saat masih kecil begitu pun setelah dewasa jangan
banyak-banyak nonton TV apalagi sinetron yang bercerita tentang UGD”.
Kedua, apa yang terjadi sehingga saya harus merasakan
diri menjadi penghuni UGD RSUP Sardjito ? Tidak lain dan tidak bukan karena “Hazard”.
Hal yang sesungguhnya telah saya pelajari dibeberapa mata kuliah Teknik
Industri. Apalagi itu Hazard? Nama orang
atau makanan? Ya, sederhananya dia adalah sebuah potensi atau resiko terjadinya
sebuah kecelakaan. Dan memang, Hazard muncul dari salah satu meja diruang kelas
asrama ketika saya mempersiapkan ruangan untuk agenda rapat pada hari itu.
Pada mulanya, ada sedikit keterburu-buruan saya karena
baru saja selesai dari agenda lain untuk dilanjutkan rapat di ruang kelas
asrama sedangkan jadwal janjiannya sudah memasuki waktunya. Sehingga dengan
buru-buru saya segera mempersiapkan ruang kelas sebelum peserta yang lain
datang. Dan ketika menata meja ruang kelas dengan menarik salah satu meja,
tiba-tiba “krak”. Salah satu bagian dari kaki meja patah sehingga gaya
gravitasi pun berlaku terhadap bagian itu. Bagian kaki meja yang satunya
seketika mendapatkan gaya “ungkit” sehingga tepat mengenai kaki saya. Bagian yang
mendapat gaya “ungkit” adalah sang kuku dari ibu jari kaki (jempol-read). Setelah
merapikan meja yang patah barulah saya menyadari bahwa darah sudah mengalir
banyak. Ya, cukup banyak untuk sebuah luka. Hikmahnya, “Berhati-hatilah
terhadap gaya ‘ungkit’ dan gaya gravitasi”
Hal yang selanjutnya terjadi adalah sejenak
menenangkan diri agar pendarahan tidak terlalu banyak sambil mengingat-ngingat
materi P3K saat menjadi Dokter Kecil dulu. Dan sayangnya sudah banyak yang lupa
meskipun nyaris keluarga besar saya dari keluarga Bapak banyak banyak
berprofesi di Medis. Dan Alhamdulillah, dengan takdir Allah Swt saat itu ada
Mas Pebri yang niat awalnya datang ke asrama untuk menemui Ustadz. Dan ketika
mengetahui kondisi saya saat berniat naik ke lantai dua untuk mengambil
beberapa obat P3K yang dimiliki, beliau mau untuk menggantikan. Apalagi kondisi
sudah agak susah untuk berjalan dengan pendarahan yang terjadi. Hingga beliau
pun sampai pada kesimpulan saat melihat luka yang terjadi, “Kita harus ke rumah
sakit atau klinik Dri”. Dan saya pun sepakat melihat kondisi ‘si jempol’.
Hikmahnya, “Ingat kembali materi P3K saat menjadi Dokter Kecil sehingga bisa
mengambil keputusan yang tepat saat terjadi kecelakaan”.
Pengalaman ini berlanjut dengan pertanyaan ketiga,
apa saja yang saya alami ketika menjadi penghuni UGD ? Singkat cerita akhirnya saya pun berangkat menuju
RSUP Dr. Sardjito dibawa Mas Pebri dengan kondisi meninggalkan rapat sebelum
dimulai. Sebuah pesan singkat ke adik-adik dan rekan yang lain bahwa rapat
tetap lanjut sebagaimana seharusnya saja. Dan ruangan yang dituju adalah UGD. Hal
yang membuat awalnya gambaran UGD sebagaimana diawal saya sampaikan pun terjadi.
Saat petugas melihat saya, beliau langsung menyampaikan, “Segera masuk Mas”
sambil memapah saya menuju kursi roda. “Untuk data silahkan diisi diluar dulu”,
minta beliau kepada Mas Pebri. Dan saya pun didorong dengan kursi roda menuju
salah satu bagian ruang di UGD. Ruangan yang hanya ditutup dengan tirai dengan
suara beberapa orang kesakitan disebelah. Sejenak berpikir ulang, “Apakah memang
harus di UGD ini?” dengan bayangan menakutkan dari UGD.
Dan beberapa
saat kemudian salah seorang dokter pun datang mengecek dan bertanya beberapa
hal. Setelah berdiskusi, saya pun memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah
kukunya harus dicabut Dok?”. Dan jawaban yang diterima pun, “Sepertinya iya Mas”.
Hm.. Na’udzubillah karena sudah terbayang rasa sakit saat dicabut. Lebih sakit
dari sakitnya gigi saat dicabut. Dokter pun meninggalkan saya dengan permintaan
untuk menunggu dulu. 1 menit, 5 menit dan 30 menit pun berlalu dalam penantian.
Sepertinya sudah merasa nyaman diruangan UGD. Ternyata gambaran
menakutkan saya tentang tiba-tiba dokter langsung datang dengan peralatannya.
Gunting, suntik, perban, bahkan tang (Eh.. salahn) dikeluarkan dengan darah
yang mengalir dari kaki saya. Ternyata tidak terjadi. Alhamdulillah Mas Pebri
mendampingi saya untuk ngobrol sehingga menghilankan beberapa kekhwatiran itu
sambil menunggu dokter. Hingga tiba-tiba seorang dokter lain pun datang dengan
memberi “hadiah” gelang identitas saya yang sudah tercetak. Boleh juga sebagai
ganti tren baru, gelang identitas sebagai penghuni rumah sakit.
45 menit pun berlalu dengan ketidakpastian. Saya pun
sudah mulai khawatir karena terlalu lama menunggu. Sampai dokter lain datang. Kok
dokternya beda-beda ya?, kekhawatiran pertama. Dokter menyampaikan, “Kita pindah
ya Mas ke bagian bedah”, sambil mendorong kursi roda. Apalagi Mas Pebri sedang
keluar untuk mengurus beberapa administrasi. Nah Lho? Kok pindah ke bagian
bedah? Masak jempol saya harus diamputasi. Pikiran aneh yang muncul karena kekhawatiran
kedua.
Dan ternyata ruangan tempat saya pindahkan lebih
mengkhawatirkan. Pasien disebelah saya persis penuh darah karena baru saja
mengalami kecelakaan motor. Kekhawatiran ketiga. Dokter pun datang (masih
dokter yang berbeda) untuk kembali bertanya beberapa hal. Namun, tiba-tiba
beliau mengeluarkan kamera HP dan selanjutnya membuka aplikasi camera. Bukan dengan
niat berfoto dengan saya melainkan malah memfoto “si jempol”. Nah Lho? Tambah bingung
kok malah difoto bukannya ditangani secepatnya. Kekhawatiran kesekian muncul, Jangan-jangan
nanti terjadi mal praktik.
Hingga dokter yang terlihat dari identitasnya
sebagai spesialis bedah pun datang. Dan benar-benar mengecek secara keseluruhan
kondisi “si jempol”. Maka dengan kekhwatiran yang sudah terlalu banyak muncul
pun saya memberanikan diri untuk kembali bertanya.
“Apakah kukunya harus dicabut Dok?”, ungkap saya.
Dokter pun terlihat berat memberi tahu. “Ada dua pilihan Mas. Pilihan pertama,
dipertahankan namun kemungkinan sembuhnya cukup lama dan itu masing-masing
orang berbeda. Sedangkan pilihan lain adalah memang harus dicabut”, jawab
beliau.
Saya pun kembali bertanya, “Menurut dokter pilihan yang terbaik apa
berarti?”
“Dicabut Mas”, jawab dokter.
Untuk meyakinkan diri saat mengambil pilihan saya kembali bertanya, “Sakit
nggak Dok?”. Pertanyaan retoris yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan.
“Saat dibius akan terasa sakit Mas dibanding suntikan biasa. Harapannya dengan
dibius saat kukunya dicabut tidak sakit”, jelas Dokter.
Hm… Sepertinya dokter terlalu jujur untuk menyampaikan
rasa sakit. Mungkin karena saya bukan anak kecil lagi yang harus dibohongi
dengan perkataan ‘Tidak sakit kok. Hanya seperti digigit semut’. Padahal kalo
semutnya semut raksasa justru lebih sakit lagi. Setelah berpikir matang-matang
dengan resikonya maka saya memberanikan diri untuk mengambil keputusan, “Dicabut
saja dok”. “Baik”, sambung dokter menerima pilihan saya.
Nah, percakapan setelah itu yang membuat saya
kembali khawatir. Ternyata dokter yang akan menangani bukan dokter yang tadi. Dokter
lain yang lebih muda. Dan sejenak mendengar percakapan mereka. “Sudah pernah
kan mencabut kuku sebelumnya?”, Tanya dokter bedah pertama. Dan jawaban yang “membahagiakan
saya” terdengar dari dokter kedua, “Belum”. Nah Lho? Semakin mengkhawatirkan. Lalu
dokter yang tadi pun datang dengan peralatan yang dibawa dokter lain.
Karena agak khawatir saya kembali bertanya, “Kira-kira
berapa lama ya Dok? Dokter dengan senyum menjawab, “Bentar kok Mas”. Namun
tiba-tiba saya malah kembali bertanya lagi, “Dicabutnya pake apa ya dok?”. “Pake
ini mas”, sambil memperlihatkan peralatan yang mirip tang. Hm.. Ok. Bismillah,
dengan keyakinan Allah swt tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya,
termasuk rasa sakit. Maka operasi kecil diruangan paling sudut di UGD RSUP
Sardjito pun dimulai.
Beberapa peralatan dikeluarkan. Saya diminta untuk
diminta tidak melihat karena akan menimbulkan sugesti yang dapat mengganggu
proses operasi kecil itu. Pada mulanya, “si jempol” dibersihkan dengan cairan
yang saya kurang tahu apa karena tidak boleh melihat. Cuman saya meyakini itu
sejenis antiseptik untuk mensterilkan bagian yang kan dioperasi sebelum
disuntik. Ok. Meskipun saya tidak melihat ke arah “si jempol” tapi saya bisa melihat ke arah jarum suntik
yang diisi cairan bius. Ternyata jumlah cc-nya lumayan juga ya, nyaris ¾ bagian
suntiknya. Dan jarum suntik pun terasa menyentuh “si jempol”. Masih terasa
seperti yang selalu dibilang, seperti digigit semut. Namun ketika cairan bius
mulai disuntikkan, baru terasa luar biasa menyakitkan J. Hanya bisa menahan dengan menutup mata sekuat-kuatnya. Dan ternyata,
tidak cukup dengan satu suntikan pada “si jempol”. Ada dua suntikan lagi. Luar biasa
juga ternyata untuk menjinakkan “si jempol”.
Harusnya ujung “si jempol” sudah tidak terasa lagi
setelah dibius sehingga si kuku bisa dengan nyaman dicabut. Namun ketika
dicabut, kukunya masih terasa. Astagfirullah, apa biusnya belum bereaksi? Maka
tidak lain kata yang muncul pun adalah “Sakit Dok, kukunya terasa”. Dokter pun agak
kaget, “Kukunya terasa atau ujung jarinya terasa menebal Mas?”. Saya pun
menjawab, “Dua-duanya Dok” karena makin terasa sakit saatnya kukunya ditarik.
Dokter dengan tenang menjawab, “Jangan dilihat ya Mas!”. “Iya Dok”, jawaban
yang hanya bisa diberikan karena pasrah.
Dan akhirnya, dengan beberapa menit menahan rasa
sakit yang tidak seharusnya itu sang kuku tercabut nyawanya dari “si jempol”.
Alhamdulillah. Operasi tahap 1 selesai. Selanjutnya adalah membalut si jempol
dengan terlebih dahulu disterilkan kembali dengan antiseptik. Hal yang diluar
dugaan lagi, kaki saya diminta diangkat dengan rasa sakit yang masih ditahan dan
ternyata sebuah kamera digital dikeluarkan. “Jeklek”, blitznya keluar. ‘si
jempol’ difoto lagi. Cuman bisa tertawa kecil ditengah rasa sakit saat itu. Setelah
difoto pun sang dokter dengan hati-hati membalut ‘si jempo’. Namun, dokter yang
satu lagi diluar dugaan berkata, “Ayo Buruan..! Masih ada pasien lain”. “Nah
Lho?”, semakin tambah pasrah dengan kondisi saat itu.
Singkat cerita, operasi pun berakhir. ‘Si jempol’
pun menjadi mumi untuk beberapa hari kedepan. Saya pun mengucapkan terimakasih
kepada si dokter. “Aneh ya, padahal tadi saya siksa, dibikin sakit, kukunya
dicabut, berdarah-darah bahkan Mas nyaris tidak kuat menahannya. Malah sekarang
berterimakasih”, becandaan si dokter.
Hm.. benar juga ya. Mungkin begitu pun kita didalam
hidup ini. Bisa jadi kita merasa disiksa, merasa sering diuji dalam hidup
bahkan sampai merasa tidak kuat dengan ujian dan rasa sakit itu. Tapi tahukah
kita? Diakhir pun kita akan seperti yang saya lakukan tadi, berterimakasih. Kita
akan berterimakasih kepada Allah Swt karena itulah bukti rasa cinta-Nya kepada
kita. Maka senantiasa lah kita bersyukur dan berprasangka baik kepada Allah swt.
“…Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat
baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqarah : 216)
Out of notes:
Terimakasih kepada Mas Pebri Arif Laksono, kepala
rumah tangga baru, yang dengan kerelaan hati membawa saya ke RSUP Dr. Sardjito.
Terimakasih kepada sahabat-sahabat dan adik-adik
yang terpaksa saya tinggalkan dari rapat yang seharusnya saya hadiri.
Semoga menjadi hikmah bagi kita yang mengambil
pelajaran.
Yk.6.1.2013
*sambil menunggu waktu untuk meminum obat
penghilang rasa nyeri “si jempol” :)
Idzkhir al-Mu’adz
12 comments:
*pernah merasakan hal serupa.. tapi nek aku janggut.. hihi..
suwiii banget ning iGD sardjito.. =D
semoga segera lekas cepat *boros kata* sembuh ya mas :D
Eits.. kok bisa ada Mbak Fajr disini?
Janggut?
Aamiin Jha :)
hihihi.. bisaa dunk.. hehe
dagu maksudq.. =D
nek boso jowo janggut.. hee..
Ternyata ada yg melebihi untuk urusan bisa muncul dimana-mana.
Oo.. baru dong nek boso jowo ne dagu ki janggut..
udah tumbuh belum kuku nya mas? nanti syukuran kalo udh tumbuh :3
Hm.. Ini adik juga muncul disini..
(Mbak Fajr generasi 2 di Teknik)
Sprtiny akan tumbuh saat kembali ke daerah asalnya sehingga syukuran disana, hhe
mbak fajr itu siapa --a
wah wah mentang2 pulang kampuuung
tanya Mbak Fajr yg komen pertama kali :)
sudah sembuh mas id?
Alhamdulillah sudah Naim. Nunggu tumbuhnya si "bayi" kuku.
Hm.. ada 2 BKK KMT muncul disini plus sesepuh kaderisasi Teknik :)
Post a Comment