Merencanakan bagaimana hidup kita merupakan hal yang sangat sering kita dengar. Namun merencanakan bagaimana mati kita menjadi sangat asing ditelinga kita. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika Mbah Sis, ibu pondokan KKN kami bercerita tentang bagaimana makamnya nanti.
Cerita ini dimulai ketika saya bertanya tentang aktivitas si Mbah hari itu yakni nyekar ke makam.
I         : Pripun Mbah? Tadi jadi nyekar ke makam?
M       : Jadi Wan*. Sekalian Mbah melihat makam si Mbah nanti.
I         : #Kaget… (berpikir bagaimana mungkin si Mbah sudah punya makam sendiri.
M       : Mahal cuman untuk 1 lobang. Lubang e 300 ribu, bata ne 700 ribu. Total e yo jadi 1 juta an
I         : Ooo.. ngeten mbah
M       : Ya. Kalo si mbah “dipanggil” tanahnya jadi cuman digali dikit.
I         : (diam tidak bisa memberi tanggapan)
M       : Jadi ne si mbah sendiri disana. Makanya si mbah sekarang berusaha mencari jalan ke syurgo
I         : (tidak bisa berkata apa-apa lagi)
          Tidak ada kata yang dapat saya ungkapkan selain Maha Suci & mulia Allah dalam memberi pelajaran kepada hamba-Nya. Karena kita sangatlah sering untuk mengungkapkan “Bekerjalah kamu seolah-olah dunia tidak pernah berakhir, dan beramallah kamu seolah-olah engkau akan mati esok”. Dan sayangnya kita hanya sering mengingat ungkapan awal dari pepatah ini. Sedangkan ungkapan keduanya mungkin sering terlupa bahkan kita lupakan.
Pada akhirnya, rencana si Mbah yang sudah siap segalanya menjadi renung bagi saya pada hari kesekian dari KKN ini. Bahwa kita pun meskipun masih muda sudah saatnya juga untuk juga merencanakan mati. Karena hidup adalah perjalanan untuk kembali kepadanya.
Glosary :
*Wan : panggilan khusus si Mbah bagi saya selama KKN. Katanya makna Idriwal itu satu. Sehingga dipanggil Iwan. I untuk symbol 1 dalam bahasa Jepang sedangkan wan (maksudnya one) adalah 1 dalam bahasa Belanda.