Apakah ini sebuah fenomena ataukah memang sudut pandang subjektif saja. Ketika saya mencoba menilik kondisi mereka yang dinyatakan sebagai aktivis hari ini. Ya, mungkin saat ini memang telah terjadi peyorasi terhadap makna aktivis itu sendiri. Digarisbawahi ya, kata aktivis.


Diantara fenomena yang pernah menggelitik saya adalah pernyataan bahwa “Sungguh aneh klo aktivis itu tidak datang terlambat”. Wallahu a’lam.. Apakah memang benar kenyataan seperti itulah yang hadir ketika kita menilik sebuah kata “aktivis”.


Dan diantara fenomena yang sekian banyak itu adalah fenomena kata “afwan”. Secara makna istilah kata tersebut berarti maaf. Namun sekarang pun juga terlanjur identik dengan para aktivis terutama dengan aktivis keislaman. Ya, mungkin karena berbau Arab dan emang terlihat keren. Namun realitas lapangan adalah fenomena ketika kata tersebut menjadi pemanis kata-kata untuk berujar. “afwan akhi, saya tidak bisa hadir karena.....”, “afwan ukht, sudah ada agenda lain”. ‘afwan, ada ta’limat lain. Wallahu a’lam. Hanya Allah lah yang Maha Mengetahui segala isi hati dan kebenaran.


Lalu bagaimana sebagai orang yang di-afwan-kan kita harus menyikapi hal ini? Maka tidak ada sikap yang pantas kita lakukan sebagai seorang muslim selain memberikan hak saudara kita. Yakni untuk senantiasa berkhusnudzhon kepada saudara kita. Berkhusnudzhon atau berbaik sangka bahwa saudara kita memang berada dalam ladang amal kebaikan yang lain. Dan sangatlah tidak pantas ketika kita menyimpan su’udzhon kepada saudara kita. “Paling beliau ketiduran”, “Paling beliau sedang ngerjain tugas”, dll. Terlepas dengan benarnya su’uzhon itu nantinya. Maka prinsip ini haruslah kita ingat ketika kita berinteraksi dengan saudara kita, yakni untuk senantiasa berkhusnuzhon alias positive thinking. 


Dan bagaimana ketika kita berada pada posisi sebagai yang berkata ‘afwan? Sungguh kita haruslah berhati-hati untuk setiap tindakan kita. Karena hal yang sering tanpa sadar menjebak kita adalah terpaku kepada khusnudzon saudara kita sendiri. Implikasinya adalah kita sering menurunkan standar kebaikan pada diri kita. Kita tenang dan damai saja untuk tidak datang kajian karena yakin saudara kita yang lain pasti menganggap kita sedang sibuk dalam aktivitas yang penting. Kita tenang dan easy going tidak tilawah karena terjebak khusnuzhon saudara kita bahwa kita adalah orang yang sholih. Na’udzubillah. 


Maka patutlah berhati-hati ketika kita terjebak khusnudzhon saudara kita. Terdapat satu prinsip yang menarik dari tulisan Ustadz Cahyadi terkait hal ini. Yakni sifat pemakluman terhadap diri sendiri dan pemakluman terhadap orang lain. Saya mengutip langsung dari tulisan beliau, 


"Jangan Manfaatkan Permakluman"


Kita harus mencoba memaklumi kondisi saudara kita, atas keterlambatan atau bahkan ketidakhadirannya. Namun jangan manfaatkan permakluman itu untuk mengulang hal yang sama, dan memaafkan diri sendiri, untuk tidak datang tepat waktu, atau bahkan tidak datang sama sekali. “Toh sudah dimaklumi”, bukan begitu cara menggunakan permakluman. “Kalau orang lain dimaklumi, mengapa saya tidak ?” bukan begitu pula cara menggunakan permakluman. 


Jangan gunakan untuk diri sendiri, tapi gunakan untuk memahami kondisi orang lain. Gunakan untuk memaklumi saudara kita. 


Nah, berdasarkan hal ini maka harusnya menjadi perhatian kita bersama. Fenomena ini lahir kembali dikarenakan menurunnya keilmuan kita. Ataupun ketika telah mendapatkan ilmunya akan tetapi hanya berhenti dalam wujud narasi. Ilmu yang berdimensikan spiritual (aqidah-read). Kita belum paham prinsip manajemen waktu, kita belumlah paham prinsip manajemen prioritas, kita belumlah paham prinsip keta’atan dan masih banyak lagi kebelum pahaman kita karena minimnya ilmu. Termasuk penulis sendiri. Oleh karena itu, “manajemen ‘afwan” itu pada prinsipnya kembali kepada tingkatan ukhuwah itu sendiri. Sejauh apa kita tafahum (memahami) saudara kita. INGAT ! Bukan hanya menuntut untuk dipahami tapi juga memahami saudara kita. Wallahu a’lam. Hanya ALLAH Yang Maha Mengetahui...