Dewasa ini, Rancangan Undang-undang Kesetaraan Gender sedikit mulai menjadi pembahasan. Meskipun pembahasan ini bisa dinyatakan hanya menjadi diskusi oleh segelintir orang. Hal yang sangatlah mafhum dikarenakan hanya sedikit dari kita yang memahami apa sesungguhnya yang terjadi dengan rancangan undang-undang ini. Tulisan ini mungkin tidak membahas terkait hal apa yang ada dalam rancangan undang-undang tersebut. Akan tetapi, tulisan ini lahir akan sebuah sorotan ketika kata “keadilan dan kesetaraan gender” dimunculkan. Secara tersirat, kata ini seperti mempertanyakan apakah sesungguhnya memang tidak ada keadilan dan kesetaraan gender. Dan seperti apakah bentuk keadilan dan kesetaraan gender yang dimaksud. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menilik bagaimana sesungguhnya pandangan keadilan dan kesetaraan gender dalam Islam.


        Kita memulai pemahaman ini dengan sebuah pertanyaan, Bagaimanakah sesungguhnya perempuan itu diperlakukan didalam Islam?
Dalam perjalanan hidup Rasulullah saw, kurang dari hitungan usia satu generasi. Ajaran yang buruk, cara pandang yang salah, perlakuan yang buruk, perlakuan yang tidak adil itu telah berhasil diperbaiki.

Pada masa Jahiliyah, perempuan itu nyaris tidak memiliki nilai. Bagaimana tidak, seseorang yang mendengar istrinya melahirkan seorang anak perempuan akan sangat kecewa sekali. Sehingga mereka sangatlah mampu dan tega untuk mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Kebodohan seperti apa, kezaliman seperti apa yang dapat kita bayankan terjadi pada seseorang sehingga mampu melakukan hal itu.
Bahkan seorang perempuan bisa dijadikan taruhan untuk berjudi, bisa dijadikan alat jual beli dan untuk mencari nafkah dengan jalan menjadi “barang jualan”. Dan dengan kedatangan Islam, semua ini DIRUBAH. BERUBAH TOTAL. Bahkan sekedar untuk memberlakukan untuk membedakan antara anak laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana diriwayatkan ketika Rasulullah saw bertamu ke rumah seorang sahabat. Betapa masih terdapatnya sisa-sisa Jahiliyah yang tertanam pada diri masyarakat Arab. Begitu datang anaknya yang perempuan, sahabat ini mengacuhkan anaknya. Hal yang berbeda ketika datang anaknya yang lelaki. Sahabat itu langsung memangku anak lelakinya tersebut. Sehingga Rasulullah menegur sahabat itu dengan keras perilaku seperti itu.

Pada masa jahiliyah, seorang perempuan, jangankan meminta, memiliki kesempatan untuk berbicara saja nyaris tidak ada. Akan tetapi, pada masa Rasulullah seorang perempuan bisa berdiri dihadapan Rasulullah saw dan dihadapan para sahabat laki-laki yang lain. Berdiri dan mengucapkan pernyataannya dengan lantang.

Beliau adalah sahabiyah yang bernama Asma’ binti Yazid Al-Anshary datang sebagai utusan kaum muslimah untuk menyampaikan beberapa hal. Yang pernyataannya bernada protes. Dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau diutus kepada kami semua, kaum laki-laki dan perempuan. Maka kamipun beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Tetapi kami, kaum perempuan merasa dibatasi. Lal menghadp kepada laki dan berkata, Bagi engkau kaum lelaki, memiliki kelebihan dibanding kami. Melakukan ibadah jumat, dalam hal menjenguk orang sakit, haji berkali-kali dan jihad fi sabilillah. Akan tetapi kami merasa terbatasi. Kami melayani hajat kalian, kami menjaga kehormatan kalian, kami mengandung anak kalian, kami melahirkan anak kalian, kami mendidik mereka, kami menjaga rumah kalian, kamilah menjaga kehormatan keluarga kita. Ya Rasulullah, apakah yang dapat kami lakukan agar kami mampu mendapatkan PAHALA yang SAMA dengan pahala kaum laki-laki.  

Maka Rasulullah sebelum menjawab menoleh kepada sahabat dan berkata “Adakah ucapan seorang perempuan sebelumnya yang lebih baik dari ini?”
Artinya pernyataan ini dipuji. Bayangkan pada zaman Jahiliyah, jangankan berbicara dihadapan laki-laki, mereka tidak memiliki arti. Akan tetapi, pada masa Rasulullah, perempuan mampu menyampaikan secara terbuka.

Rasulullah menjawab, “Dengarlah olehmu wahai Asma’ dan sampaikan kepada seluruh kaum perempuan. Sesungguhnya taatnya seorang istri kepada suami dirumahnya dengan menjalankan semua kewajibannya. Dan itu dilakukan sebagai bentuk karena ridho dan menerima hak-hak suami karena ketentuan syariat. Maka sesungguhnya bagi mereka pahala yang sama dengan pahala yang diperoleh oleh para suami mereka yang keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Akan tetapi, sesungguhnya sangat sedikit sekali dari kalian yang mau menjalankan hal ini.”

Akan tetapi, apakah Rasulullah lantas hanya mengurung para istri itu didalam rumah? Maka jawabannya adalah TIDAK sebagaimana pandangan umum kita yang tidak paham.
Rasulullah Saw masih memberi kebebasan kepada kaum perempuan. Salah satunya dalam menuntut ilmu. Saat pernah datang lagi seorang sahabiyah kepada Rasulullah untuk keduakalinya. Dan berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kaum laki-laki bisa secara bebas datang ke majelismu sehingga mereka mendapatkan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Tetapi kami, tidak memperoleh kesempatan itu.  Maka sediakanlah Ya Rasulullah untuk kami, satu waktu ddari waktu-waktumu untuk bisa berkumpul dan mendatangi majelismu. Agar kami juga mendapat pelajaran dari apa yang Allah ajarkan kepadamu”. Rasulullah pun menjawab, “Baiklah, datanglah kalian pada hari ini dan pada hari ini”.

Bayangkan! Ketika yang diminta hanya satu waktu, Rasulullah justru memberikan dua waktu.

Dari beberapa cuplikan perjalanan sejarah Rasullah ini, dapat kita pahami. Betapa Allah telah mendudukan nilai tentang diagungkannya kaum perempuan itu. Sehingga seorang sahabat pernah bertanya, “Ya Rasulllah siapakah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan terbaik dari diriku?”. Rasulullah pun menjawab, “Ibumu”. Sahabat itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi Ya Rasulullah?”. “Ibumu”. Hingga pernyataan dan pernyataan ini sampai diulangi tiga kali, “Ibumu, Ibumu, Ibumu”.

Hal yang sangat berbeda ketika masa Jahiliyah, dimana seorang ibu seperti tidak memiliki hubungan apa-apa dengan seorang anak. Kecuali ibunya merupakan orang yang terpandang dan bangsawan.

Hal yang tidak jauh berbeda tidak kurang  dari satu generasi sejak masa Rasulullah saw. Yakni pada masa kekhalifan Umar ibn Khatb. Ketika beliau sebagai Amirul Mukminin baru berpulang dari perjalanan dari negeri Syam. Beliau melewati jalan yang berbeda dan menemukan seorang perempuan tua renta, cacat lagi miskin tinggal disebuah gubuk. Nenek itu berkata, “Wahai fulan, apakah Amirul Mukminin sudah pulang?”. Pertanyaan nenek itu kepada Umar tanpa tahu siapa yang berada dihadapannya. Umar pun menjawab, “Amirul Mukminin telah pulang dengan selamat.” Nenek itu pun berkata, “Tidak,… Semoga Allah membalasnya tidak dengan keselamatan.”

Mendengar bantahan ini Umar pun tersentak dan kemudian bertanya, “Wahai ibu mengapa engkau berkata demikian?”. “Ketahuilah, apakah engkau tidak melihat bagaimana diriku. Seorang yang tua renta, cacat dan miskin. Aku hanya mengandalkan bantuan dari tetangga-tetangga. Sejak ia memimpin hingga saat ini, Umar ibn Khatb belum pernah memberikan bantuan kepadaku”.

Mendengar ucapan ini, Umar mencoba untuk mengemukakan alasan. “Wahai Ibu, Barangkali Amirul Mukminin tidak mengetahui keadaanmu, atau mungkin tidak ada yang menyampaikan keadaanmu. Ibu itu pun menjawab dengan kesal, “Bagaimana ia bisa tidak tahu keadaanku, Bukankah ia itu adalah Amirul Mukminin”.

Umar pun menangis dan berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Umar, alangkah lebih baiknya engkau tidak dilahirkan oleh ibumu”

Bagaimana seorang perempuan tua bisa didengar pernyataannya pada hari itu. Jangankan didengar, dilihat saja tidak ketika masa Jahiliyah. Apalagi oleh seorang pemimpin Negara.
Hingga Umar pun berkata, “Kalau begitu, berapa harga kezaliman Umar ibn Khatb kepadamu? Aku akan membayarnya. Berapapun”. Perempuan itu menjawab, “Engkau jangan menghinaku. Apakah engkau sanggup membayar kezaliman Umar”. Perempuan itu tidak tahu bahwa yang dihadapannya adalah Amirul Mukminin. Hingga sahabat Ali ibn Abi Thalib dan Abdulullan ibn Mas’ud lewat dan memanggil Amirul Mukminin. Ibu pun tersentak karena tidak menyangka bahwa yang dihadapannya adalah Amirul Mukminin. Namun, Umar tetap memohon dan berkata “Tidak Wahai Ibu, Engkaulah yang paling berhak.” Serta membayar nilai kezaliman kepada sang ibu dengan maaf dari sang ibu serta menuliskan pada selembar kain bahwa sang ibu telah memaafkan kezaliman Umar ibn Khatb sejak dia menjadi khalifah hingga ia menghadap Allah swt.          

Dari beberapa perjalanan dan sejarah ini sesungguhnya dapat disimpulkan. Bahwa didalam Islam, perempuan itu sangat dihormati. Maka bagaimana mungkin sebuah kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan itu dipertanyakan. Karena sesungguhnya Islam telah memuliakan kaum perempuan itu sendiri. Semoga Allah memberikan petunjuk dan sifat kehati-hatian pada diri kita. Terutama terhadap segala pemutarbalikan fakta tentang makna keadilan dan kesetaraan gender itu sendiri.
Wallahu a’lam bi shawab
Idzkhir Al Mu’adz
Yk.27.4.2012
19.57 PM

*dirangkum dari Khutbah Jum’at pada hari ini
oleh Ust Ahmad Arif Rif’an