Kisah Rumah Qur'an Anak part #1
Sudah setengah perjalanan Ramadhan 1434 tahun
ini dilalui. Tak terhitung anugrah Allah diperoleh di bulan penuh berkah ini.
Dari ilmu, pengalaman baru, cerita, dan hikmah lainnya. Namun, dari sekian
banyak hikmah bulan ini, bagi saya ada satu hal luar biasa yang saya peroleh
dibulan ini. Satu pengalaman yang berbeda dari apa yang pernah dijalani
sebelum-sebelumnya. Yakni pengalaman pertama menjadi seorang pengajar di Rumah
Qur’an Anak.
Kehendak Allah untuk menjadikan saya
seorang pengajar bisa dibilang pada mulanya karena jawaban terdesak dan
terpaksa. Pertama kali ditawarkan bukanlah menjadi pengajar untuk anak-anak
melainkan menjadi pengajar tahsin mahasiswa fakultas tetangga ujung timur sana.
Ketika penawaran itu adalah untuk mahasiswa saya menyetujui dan bersedia. Tidak
lain karena memang keseharian dan latar belakang amanah yang selalu
berinteraksi dengan mahasiswa dapat menjadi bekal untuk menjalani peran ini.
Ya, mahasiswa dengan segala kekakuan dan pendekatan yang dapat dilakukan. Akan
tetapi, semua berubah ketika akhirnya penawaran itu berubah menjadi seorang
pengajar bagi anak-anak. Allahu Akbar.
Ya, dengan awal mulanya keterdesakan
dan keterbutuhan maka akhirnya saya pun menyetujui. Toh, ini juga peluang
berbuat baik yang besar. Apalagi setahu saya Rumah Qur’an itu masih dekat
lokasinya, di sebelah Masjid Nurul Islam Jakal. Sebuah awal ketidaksadaran saya
untuk pengalaman baru. Karena ternyata lokasi Rumah Qur’an yang dimaksud
berbeda. Peran sebagai Musyrif atau Ustadz bagi anak-anak ini ternyata
berlokasi di Rumah Qur’an Anak yang terletak didaerah utara Stadion
Maguwoharjo. Jarak tempuh kesana nyaris 30 menit. Sehingga ketika jadwal
mengajar adalah jam 4 maka sebelum Ashar saya sebaiknya sudah harus berangkat. Subhanallah.
Ketidaksadaran yang sungguh memberikan hikmah. Bahwa apabila kita memang
berniat berbuat baik karena Allah, jarak yang jauh bukanlah sebuah halangan.
Hikmah pertama.
Hal menarik lainnya untuk peran
sebagai pengajar Rumah Qur’an Anak ini adalah sistem komunikasi untuk mengajar.
Mungkin bagi kita yang terbiasa mengelola pembinaan dikalangan mahasiswa
ataupun siswa caranya bisa sangat sederhana. Cukup dengan menghubungi binaan
siswa atau mahasiswa tersebut secara langsung. Via sms, chat, whatsapp, dll. Hal
yang berbeda dengan binaan anak-anak usia 5-8 tahun. Anak-anak usia kelas 1 SD
ini belum mempunyai HP, gadget, dsj. Maka cara berkomunikasi terbaik adalah via
orang tua mereka. Dan untuk hal ini saya harus memilih-milih kata-kata yang
tepat. Ketika mengirim sms, saya bisa mengedit ulang sms itu 7 kali hanya untuk
memastikan kata-kata yang dipilih adalah tepat/tidak. Itu pun tidak bisa
dikirim secara dadakan. Karena kesibukan orang tua tentu harus disesuaikan
dengan bagaimana mereka mengantarkan anak-anak mereka. Ya, kata-kata adalah
senjata. Sedangkan kalimat untuk berkomunikasi terbentuk dari kata-kata yang
baik. Itu pun harus bersesuaikan dengan konteks siapa, bagaimana dan kapan kita
berkomunikasi. Apalagi untuk mengajak ke jalan kebaikan. Maka berkata-katalah
secara baik dan bermanfaat. Hikmah kedua.
Oya, terkait berkomunikasi dengan
orang tua ini setidaknya ada beberapa pengalaman mengesankan selama dua pekan mengajar
J. Pengalaman pertama, ketika saya khilaf memahami
jadwal mengajar di hari Ahad. Saya berkhusnudzhon dikarenakan jadwal bersamaan
dengan kelompok lain maka jadwal itu langsung dipegang oleh pengelola Rumah Qur’an
Anak layaknya TPA. Sampai sore itu, seorang ibu dari adik-adik kelompok binaan
tiba-tiba menelpon. “Mas, hari ini ada belajarkah?”, pertanyaan sang ibu. Secara
spontan, saya kaget. Na’udzubillah. Saya pun bertanya, “Apakah ada pengelola
Rumah Qur’an ada disana?”. Dan ternyata tidak. Hal yang berarti pengajar untuk
hari Ahad tetap saya. Jarak yang lumayan dengan waktu tempuh yang juga lumayan
tentu tidak memungkinkan untuk saat itu untuk langsung berangkat. Apalagi sang
ibu melanjutkan telponnya, “Klo memang tidak ada jadwal kami pulang ya Mas”. Saya
pun memohon maaf dan mengiyakan. Namun, kejadian ini ternyata tidak selesai
ditelpon itu. Karena ada kejadian yang akhirnya mengiringi peristiwa itu J.
Mungkin saya lanjutkan cerita khusus terkait ini pada tulisan lain. Sampai akhirnya
dari pengelola melakukan evaluasi terkait jadwal dan sistem mengajar untuk
keseluruhan Musyrif dan Musyrifah.
Pengalaman kedua, untuk konfirmasi dan
pertanyaan atau pun pemberitahuan terkait kehadiran dan jadwal dan lain-lain. Entah
kenapa ada kesan sendiri setiap memberikan info jadwal belajar hari itu. Orang tua,
baik Bapak ataupun Ibu akan memberikan jawaban, “Nggih Mas, Insya Allah hari
ini X (nama anak) berangkat. Nuwun”. Atau pun saat dengan terpaksa adik-adik
binaan hari itu berhalangan untuk hadir. Malam harinya setelah mengajar akan
masuk pesan singkat yang mengungkapkan permohonan maaf atas ketidakhadiran sang
anak hari itu dengan penjelasan alasannya. Luar biasa. Setidaknya dua
pengalaman ini bagi saya sangat berkesan dan berbeda ketika menjalani peran ini
J.
Pada akhirnya, semua amanah ini
hanyalah jalan untuk meraih ridho Allah Swt. Semoga Allah senantiasa menerima
sebagai amal baik. Dan hal yang sempat terlintas dipikiran saya setiap melalui
perjalanan dari Pogung ke Rumah Qur’an Anak, bisa jadi ini adalah bentuk
terimakasih saya kepada para guru-guru yang dulu telah mengajarkan saya tentang
cara membaca Al Qur’an. Karena mereka pun dulu tentu menjalani perjuangan yang
luar biasa hanya untuk mengajarkan kalam Allah ini.
Wallahu a’lam bi shawab
Yk.28.7.2013
*di hari terakhir untuk mengajar
Di Rumah Qur’an Anak
sebelum Libur Idul Fitri
Idzkhir al-Mu’adz