Sunday, April 12, 2015

“Kenapa nama orang Padang itu aneh-aneh dan anti mainstream?”,

tetiba ada pertanyaan itu dari seorang teman. Sesaat saya juga berpikir terkait pertanyaan tersebut, kadang hanya bilang “Konon justru itulah ciri khas orang Minang”. Maklum setiap perkenalan nama, setiap ada nama yang sepertinya berbeda, unik, dan anti mainstream, banyak yang akan langsung menyimpulkan, “asalnya dari Padang ya?” Mungkin nama yang paling tidak menggambarkan suku di Indonesia itulah nama-nama orang Minang.

Oya, sejatinya tidak ada nama suku bangsa Padang di Indonesia sebagaimana yang sering dipergunakan di percakapan umum Indonesia. Adanya adalah suku Minangkabau. Mungkin penyebab penggunaan umum, “Kamu orang Padang ya?” dikarenakan mendunianya Rumah Makan Padang. Sehingga orang umum memahami yang namanya orang Minang itu ya orang Padang. Padahal banyak rumah makan yang berlabel Rumah Makan Padang tapi asalnya sendiri bukan dari Padang. Melainkan dari daerah-daerah seperti Solok, Payakumbuah, Bukittinggi, dll.  Perbedaan orang yang telah paham tentang hal ini biasanya diikuti dengan pertanyaan, “Padangnya mana?”.

Memang istilah suku pada masyarakat Minangkabau sedikit membingungkan bagi orang luar Minangkabau. Karena di budaya Minang, suku merupakan sub-klan yang diturunkan dari garis ibu sebagaimana marga pada suku Batak, Ambon, Toraja, Minahasa. Sehingga suku orang Minang itu ada Koto, Piliang, Chaniago, Sikumbang, dll. Perbedaannya orang Minang cenderung tidak menggunakan nama belakang suku tersebut sebagaimana suku Batak. Konon katanya karena memakai nama suku atau marga akan menghilangkan identitas Minangnya. Sehingga sangat jarang meskipun ada, yang menggunakan penamaan dengan nama belakang suku.

Kembali ke pembahasan terkait nama orang Minang yang unik dan anti main stream katanya. Ternyata ada satu artikel khusus di Wikipedia yang membahas ini (jujur, saya ja kaget pas iseng googling ternyata ada pembahasannya).

Masa Awal

Setidaknya memang ada faktor historis, psikologis dan sosiologis dalam bagaimana orang Minang memberikan penamaan kepada putra-putrinya. Dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie disebutkan, nama-nama orang Minang pada masa-masa awal berasal dari alam dan nama-nama benda yang ada di dalamnya. Hal ini tidak lain karena falsafah hidup orang Minangkabau dimana “Alam Takambang Jadi Guru”. Sebagaimana banyak nama kampung, daerah-daerah baru, dan nama-nama suku dengan falsafah ini, termasuk dalam memberikan gelar atau nama kepada seseorang.

Dalam waktu yang cukup lama, tak sedikit pula nama-nama berbau Hindu dan Buddha bermunculan. Setelah Islam masuk dan berkembang, nama-nama Arab sebagai nama-nama orang Minang. Nama para Nabi dan Rasul serta para sahabat , atau istri dan anak-anaknya, adalah nama-nama yang paling sering digunakan.

Memasuki pertengahan abad ke-20, muncul nama keJawa-jawaan, singkatan, dan pengkodean. Pada masa Orde Baru, muncul pula nama-nama yang berbau kebarat-baratan. Baru pada dua dekade terakhir, nama-nama orang Minang kembali diramaikan dengan nama-nama Islam, yang didasarkan atas motivasi pemberi nama itu sendiri.

Disamping itu, tak sedikit orang Minang yang gemar memakai imbuhan atau akhiran tertentu dalam memberikan nama, seperti –zal untuk laki-laki atau -niar untuk perempuan. Nama-nama yang mengandung atau berakhiran -rizal bahkan sering diasosiasikan sebagai nama khas Minang.

Pasca PRRI

Insiden PRRI kurang lebih sangat berpengaruh terhadap pemberian nama orang Minang. Sama seperti yang terjadi kepada etnis Tionghoa di Indonesia pada masa represif yang berdampkan bahwa mereka harus memiliki nama Indonesia. Insiden PRRI memberi dampak tekanan dan intimidasi dari pemerintahan pusat pada akhir tahun 1960-an sebagai konsekuensi penumpasan gerakan separatis. Hal menyebabkan banyak masyarakat Minangkabau yang berusaha menanggalkan identitas dan label keminangannya, termasuk lewat perubahan nama. Mereka berusaha untuk mencari identitas baru agar lepas dari kejaran tentara pusat. Dengan menjawa-jawakan diri seperti yang diinginkan oleh pusat, tak sedikit orang Minang mengganti nama mereka dengan nama ke-Jawa-jawaan, atau nama-nama berbau Eropa, Persia, dan Amerika Latin. Akan tetapi, nama-nama yang mereka berikan punya makna tersendiri; ada kreasi yang mereka ciptakan di dalamnya.

Nama-nama Jawa pada masyarakat Minangkabau biasanya merupakan singkatan daerah asal orang tua, nama kedua orang tua, atau kombinasi keduanya. Nama-nama ini lekat pasca-PRRI, seperti ‘Parmanto’ (singkatan dari daerah asal pemilik nama, Parikmalintang dan Toboh), ‘Surianto’ (Surian dan Koto), dan lain sebagainya. Namun, ada sebagian orang tua yang mengadopsi nama Jawa secara utuh, atau sekadar menyamarkan nama Minang mereka. Bastian Sutan Ameh misalnya, yang mengganti namanya menjadi ‘Sebastian Tanamas’ ketika merantau ke Jakarta.

"Itu memang strategi untuk tetap bertahan" karena jika tidak, mereka akan tetap dicari oleh tentara pusat, untuk dibunuh. Selain itu, bagi mereka yang merantau ke Jawa, mereka lebih mudah diterima, menurut guru besar dan sejarawan Universitas Andala, Gusti Asnan. Tidak ada gerakan yang disengaja dalam masyarakat Minangkabau untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Jawa pada masa itu, ungkap beliau.

Penutup

“Nama adalah do’a”, sebagaimana yang selalu kita pahami. Begitu pun sejatinya hal yang menjadi pertimbangan dalam memilihkan nama. Meskipun terkadang aspek kultural dan psikologis bisa sangat berpengaruh dalam hal ini. Apalagi untuk nama orang Minang yang katanya unik, aneh ataukah anti mainstream. Tidak lain karena nama terkadang juga menjadi keterangan secara lengkap dari seorang anak. Bisa merangkum nama kedua orang tua, waktu lahir, dll. Sebagaimana nama yang orang tua pilihkan dan takdirkan untuk saya sendiri. Hal pokoknya adalah nama itu menjadi do’a yang baik dari kedua orang tua. Baik dengan kaidah bahasa yang ada maupun menjadi referensi ketauladanan, dll.


Yk.12.4.2015
Menjelang waktu Dzuhur di Andalusia



Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Sunday, April 12, 2015 by Akhdan Mumtaz

1 comment

Wednesday, April 8, 2015

Ibu, Kopi dan Wajibatul Akh

Idul Fitri selama di Jogja, selalu menyempatkan diri untuk silaturrahim ke rumah salah satu guru ngaji saya selama di Jogja. Mungkin karena latar belakang keluarga beliau yang pernah di Padang sehingga bisa sangat akrab dengan saya. Terutama Ibu beliau yang memang adalah orang Sumatera. Obrolan selalu akan panjang ketika kami sudah membahas daerah-daerah di Padang yang dulu sempat Ibu dan keluarga tinggali. Hal yang berlanjut biasanya ke hidangan masakan beliau. Klo untuk urusan ini, selalu jadi hal yang paling saya ingat dari Ibu. Masakan Rendangnya, “Ueenak tenan”, klo bahasa orang sini.

Setelah makan biasanya obrolan akan berlanjut diselingi minuman manis. Dan tawaran dari Ibu saat itu, Teh, Kopi atau yang lain. Saya pilih teh. Setelah kembali dengan hidangan minum ternyata Ibu malah cerita tentang dirinya yang tak bisa lepas dari ketergantungan untuk minum kopi. Bahwa beliau awalnya saat masih kecil menderita “darah rendah”  (hipotensi). Hingga disarankan untuk minum kopi sebagai obatnya. Maka sejak itulah kopi menjadi minuman keseharian beliau. Hingga tak terasa dalam jangka panjang, yang awalnya beliau hipotensi malah beralih menjadi hipertensi atau darah tinggi.

“Iya nih Id. Ibu itu nggak bisa klo nggak ngopi. Tapi karena malah darah tinggi dan diminta dokter berhenti, terpaksa dialihkan ke kopi dengan kafein kadar rendah. Salah satunya ya Kopi L*wak atau T*p Coffee ini”, cerita beliau.

Sejenak dari bagian pengalaman Ibu itu membawa ingatan saya ke bagian Risalah dari Hasan Al Banna dalam Wajibatul Akh yang berbunyi,
“Hendaklah engkau menjauhi berlebihan dalam mengkonsumsi kopi, teh dan minuman perangsang semisalnya. Janganlah engkau meminumnya kecuali dalam keadaan darurat, dan hendaklah engkau menghindar sama sekali dari rokok”

Sempat ada pertanyaan dari bagian risalah ini tentang ada apakah sehingga “dilarangnya” minum kopi, teh, dsj? Hingga sampai pada kisah dari Ibu tadi.


Efek Samping dan Bahaya Kopi

Bagian penting dari poin Wajibatul Akh tersebut adalah kopi, teh dan minuman perangsang lainnya. Dalam hal ini maka kopi terkategori sebagai minuman perangsang. Perangsang bermakna obat stimulan, penghilang rasa sakit, dan sejenisnya. Sebagaimana kita pahami, kopi memang sering dikonsumsi agar bisa bergadang sebagaimana dulu awalnya kopi menjadi upacara religius penggembala Etiopia agar bisa bergadang sepanjang malam.

Penjelasan ilmiahnya tidak lain karena kandungan kafeinnya. Dimana kafein adalah alkaloid yang berperan melalui penghambatan fosfodiesterase, yang menyebabkan peningkatan level cyclic-nucleotida, yang selanjutnya memengaruhi sistem saraf pusat. 100 miligram kafein (sekitar secangkir kopi) dapat meningkatkan laju metabolisme 3-4 persen. Dalam dosis berlebihan, antara 2-7 cangkir, kopi dapat menimbulkan kegelisahan, mual, sakit kepala, otot tegang, gangguan tidur, dan jantung berdebar, terkadang juga anoreksia. Sementara jika dosisnya lebih tinggi lagi (di atas 750 mg), akan muncul berbagai gangguan emosi dan indera, utamanya pendengaran dan penglihatan.

Bahaya Akumulasi “Ketagihan” Jangka Panjang

Sebagaimana pengalaman dari Ibu diawal tadi, bahaya kopi justru terlihat dari efek jangka panjangnya. Karena mungkin bagi kita yang mengkonsumsi dan “ketagihan” minum kopi hari ini tidak terasa dampaknya sebagaimana Ibu dulu saat awal mengkonsumsi kopi. Dan dampak jangka panjangnya ternyata memang dari beberapa penelitian pada perempuan.

Sebagaimana  hasil penelitian dalam Reader’s Digest edisi Desember 1994, bahwa wanita yang mengonsumsi 300 mg kafein setiap harinya memiliki kesempatan 27 persen lebih rendah untuk hamil dibandingkan dengan mereka yang terbebas darinya. Meski mekanismenya belum diketahui pasti, sebuah hipotesis mengatakan, kemungkinan substansi ini dapat menurunkan level hormon—semisal estrogen— hingga memengaruhi ovulasi. Bahkan peneliti, Sven Cnattingius dari Karolinska Institue, Swedia menyimpulkan bahwa wanita hamil yang mengkonsumsi 100 mg kafein/hari akan lebih mudah mengalami keguguran. Karena kafein dapat meningkatkan denyut jantung sehingga mempengaruhi janin yang dapat menyerang plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin.

Padahal risalah-nya berjudul Wajibatul Akh tapi bahaya terbesarnya justru bagi perempuan. Apakah bagi laki-laki tidak berbahaya? Tentu tidak. Hal tersebut diatas tetap berlaku umum.  Terutama terkait kemampuan kafein membuang kalsium melalui urine, yang selanjutnya memerosotkan kekuatan tulang dan menjadikan tulang gampang patah.


Masih Tetap Mengkonsumsikah?

“Janganlah engkau meminumnya kecuali dalam keadaan darurat”, jadi bagian lengkap dari Wajibatul Akh. Pada dasarnya hukum meminum tetap terkategori boleh.  Hanya tentu menjadi perhatian kita ketika mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan. Minum air putih berlebihan saja bisa berbahaya. Apalagi ketika akhirnya kita mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan itu tanpa sadar karena faktor ketagihan oleh kafein. Tentu dampak jangka panjangnya sebagaimana dijelaskan diatas. Mungkin kesimpulan dari adanya poin ini di Wajibatul Akh sebagaiman kaidah “Menghindarkan mudharat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat”.
Wallahu a’lam

Source :




Yk.8.4.2015



Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Wednesday, April 08, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, April 5, 2015

Beliau selalu mengayuh sepeda ke Masjid. Ketika berpapasan dengan kami selalu menyapa dengan salam hangat penuh do’a. “Assalamu’alaikum”, sapa beliau setiap berpapasan sambil mengayuh sepedanya. Beliau biasanya menjadi imam sholat Dzuhur dan Ashar di Masjid kami. Sekaligus beliau merupakan Ketua Takmir Masjid. Hingga selama beberapa hari kami jarang melihat wajah beliau yang selalu hadir disetiap waktu sholat berjama’ah.  

Hari itu, sungguh Allah Maha Besar Cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang baik, salah satunya beliau insya Allah. Kami mendapatkan kabar duka. Ba’da sholat Subuh berjama’ah. Kami jama’ah Masjid diberikan pengumuman oleh imam sholat Subuh saat itu. “Innalillahi wa inna ilahi roji’un. Telah berpulang ke rahmatullah Bapak Sukiran, Ketua Takmir Masjid Al-Ashri”. Terjawab sudah pertanyaan kami selama beberapa hari. Ternyata beliau sakit dan sempat dirawat inap di Rumah Sakit. Dan hari itu, Allah memanggil beliau dengan kasih sayang-Nya.

Maka bertepatan sesudah pengumuman itu, kami semua jama’ah Masjid bersama-sama menuju rumah duka. Ba’da Subuh, jalanan menuju rumah beliau pun ramai dengan jama’ah Masjid. Bahkan tidak hanya jama’ah Masjid Al Ashri, jama’ah dari Masjid Pogung Dalangan pun ternyata datang untuk ikut menshalatkan jenazah di rumah duka. Satu persatu kami bergantian untuk menshalatkan, apalagi dengan jumlah jama’ah yang hadir di waktu yang sangat jarang terjadi bagi saya untuk menshalatkan jenazah. Ba’da Subuh.

Ukhuwah. Ingatan saya tetiba sampai pada bagaimana Rasulullah SAW dulu mengajarkan tentang persaudaraan. Beliau menyediakan waktu khusus untuk memperhatikan setiap wajah sahabat, jama’ah Masjid Nabawi kala itu. Ketika ada wajah yang beliau periksa tak hadir, Rasulullah SAW akan bertanya kepada para sahabat yang lain. “Kemanakah saudara kita ini?”, tanya beliau ketika ada wajah yang tak biasanya tak hadir shalat berjama’ah. Masih banyak hal yang mungkin belum sempurna bagi kita, terkhusus saya pribadi dalam menauladani beliau. Terutama belajar dari pengalaman berinteraksi bersama beliau, Bapak Sukiran, yang semoga Allah terima ditempat terbaik disisi-Nya.

Semoga Allah menguatkan kita untuk jadi pengikut yang benar-benar mentauladani Rasulullah. Yang menjadikan cinta kepada Rasulullah sebagai tak terpisahkan dari cinta kepada Allah SWT.
Wallahu a’alam bi shawab

Yk.5.4.2015
*sesaat setelah waktu Dzuhur

Idzkhir al-Mu’adz     

Posted on Sunday, April 05, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments