Tuesday, October 16, 2012

Pada kesempatan ini, entah kenapa menjadi teringat tentang bagaimana keluarga saya di Pariaman sana. Mungkin faktor beberapa tahun belum bertatap muka secara langsung jadi sedikit berpengaruh terhadap hal ini. Bahkan adik terdekat yang berada di Semarang pun sudah nyaris 1 tahun belum bertemu lagi. Mungkin itulah uniknya keluarga kami. Terlebih untuk kami 5 bersaudara. Yang konon katanya di Jawa dikenal dengan istilah Pendowo Limo didunia pewayangan.

Ya, dikeluarga kami (termasuk saya) ada lima bersaudara. Karena “bersaudara” berarti ada 5 orang laki-laki dikeluarga besar ini. Bagi saya kami bukanlah Pandawa Lima karena kami tidak memiliki lawan layaknya Kurawa bagi keluarga Pandawa. Kami adalah 5 bersaudara yang dikenal karena nama belakang kami, yakni Yusda dan atau pun Yuda. Nama belakang yang berasal dari akronim nama kedua orang tua tercinta. Yusmaini Sulaiman (ibu) dan Dasriel (bapak).

Anak pertama, saya sendiri. Idriwal Mayusda. Sejarah dibalik nama sesungguhnya sudah diceritakan bagian lain dari blog ini. Berasal dari kata Idul Fitri, Syawal, May dan tentu saja nama kedua orang tua tercinta dibelakang nama ini. Mungkin yang sering menjadi pengingat adalah memaknai peran sebagai anak pertama dikeluarga. Bahkan tertua dikeluarga besar dengan 16 orang adik/adik sepupu. Ya, meskipun tidak tertulis namun ada sesuatu yang harus menjadi peran sebagai anak tertua dikeluarga besar ini.

Lanjut ke cerita tentang adik saya yg pertama. Dia bernama Yogie Novri Yusda. Benar kan? Nama belakang kami sama, Yusda. Sejarah dari nama adik pertama saya memang cukup unik. Nama “Yogie” pada awalnya diusulkan oleh ibu dengan kata “Prayogi”, singkatan dari “Proyek Bukit Tinggi”. Karena saat kelahiran anak kedua ini, Bapak sedang tidak dirumah. Saat itu Bapak sedang berada di Bukit Tinggi untuk sebuah proyek dari PB5. PB5 yang saya pun lupa singkatan dari apa merupakan sebuah perusahaan kontraktor dimana dahulu beliau bekerja. Dikarenakan keterbatasan komunikasi kala itu memang Bapak baru tahu kelahiran Yogie saat pulang ke rumah. Maka nama itu dirasa sesuai oleh Ibu agar bisa menjadi pengingat sejarah kelahiran adik pertama saya. Akan tetapi, Bapak tidak setuju. Maklum nama itu justru menjadi pengingat betapa dia tidak bisa mendampingi kelahiran adik saya. Sehingga namanya dipotong menjadi Yogie. Yang lahir dibulan November untuk kata Novri. Dan tentunya dilengkapi dengan nama belakang Yusda.

Adik saya yang kedua bernama Dhio Trima Yusda. Benar kan? Masih melekat dengan nama belakang Yusda J. Untuk panggilan Dhio, saya belum bisa menggali lebih dalam latar belakang sejarahnya sebelum berangkat ke Jogjakarta. Mungkin ketika pulang, insya Allah. Sedangkan untuk kata Trima tentunya bisa ditebak apa? Tri bermakna tiga sedangkan Ma adalah awalan kata untuk menyatakan bulan Maret.

Begitu pun untuk adik saya yang ketiga dan ke empat. Akan tetapi, kata belakang nama mereka sudah sedikit berbeda dengan kami. Yakni menggunakan kata “Yuda” masih dengan makna yang sama. Berasal dari nama kedua orang tua kami. Adik ketiga saya bernama Dhino Okto Yuda dan adik terbungsu bernama Edho Fiveli Yuda. Tentunya sudah bisa memahami latar belakang nama kedua adik terakhir saya ini? Dhino lahir dibulan Oktober dan Edho lahir dibulan Juli sebagai anak kelima (Five) dari keluarga ini.      

Setidaknya ada beberapa hal yang menjadikan kami lima bersaudara sangat kuat. Ketika melihat sosok Ayah dan Ibu berjuang membesarkan kami berlima. Dengan kondisi keluarga ini tidak akan terbayangkan bagaimana mungkin kami bisa bercita-cita tanpa batas. Ya, meskipun hal ini sempat menjadi beban untuk adik-adik saya karena saya telah mengejar cita-cita untuk keluar dari daerah asal saya, Sumatera Barat hanya untuk sekedar melanjutkan kuliah. Ada kekhawatiran akan beban yang berat untuk kedua orang tua kami ketika adik-adik saya juga berkeinginan “keluar” dari Sumatera Barat hanya untuk sekedar melanjutkan pendidikan.

Namun, justru kami seperti tak pernah dibatasi cita-citanya. Adik kedua saya sekarang kuliah di Universitas Negeri Riau. Adik ketiga saya juga keluar dari Sumatera Barat mendekat ke tempat saya berada saat ini. Dia berada di Universitas Diponegoro, Semarang. Sehingga yang sekarang dirumah mendampingi ibu hanyalah kedua adik saya yang terakhir. Dhino dan Edho. Karena Bapak pun hanya bisa dirumah sekali sepekan karena bekerja di Bukit Tinggi. 

Siapa pun tidak akan menyangka bagaimana kami bisa seperti saat ini. Ketika saya mantap di program studi Teknik Industri, adik kedua saya yakin dengan keberadaannya di Ilmu Kelautan sedangkan adik ketiga saya sangat siap di Administrasi Publik. Mungkin kami bertiga kedepannya bisa mengembangkan industri kelautan dan perikanan dengan basis kebijakan publik yang kuat. Apalagi daerah asal kami adalah daerah Pantai yang tidak hanya terkenal dengan keindahan laut dan pulau-pulau kecilnya tapi juga terkenal dengan hasil lautnya. Aamiin…

Kami (bukan) Pandawa Lima
karena Bapak dan Ibu kami bukan seorang Raja atau pun ratu  
akan tetapi mereka menjadikan raja
setiap impian dan cita-cita kami

Kami (bukan) Pandawa Lima
karena Bapak dan Ibu kami bukanlah Raja atau pun ratu
yang memberikan setiap keinginan kami
Akan tetapi mereka membangun kami
Bagaimana bersikap untuk setiap keinginan itu.


Yk.16.10.2012
*Semoga keluarga kami dipertemukan Allah
disyurga-Nya kelak

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Tuesday, October 16, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Tuesday, October 9, 2012

Dakwah di tengah kehidupan masyarakat pasti akan berhadapan dengan sejumlah kendala, tantangan, hambatan dan bahkan ancaman. Apalagi ketika dakwah sudah memasuki wilayah dengan karakter penuh tantangan karena perluasan orbitnya. Para kader dakwah harus memiliki karakter yang kuat agar bisa menyikapi berbagai tantangan tersebut dengan tegar.
Paling tidak, kader dakwah diharapkan memiliki tujuh karakter berikut ini, agar bisa tegar menghadapi realitas medan dakwah yang kadang terasa sangat keras perbenturannya.

Pertama, atsbatu mauqifan, kader dakwah harus menjadi orang yang paling teguh pendirian dan paling kokoh sikapnya. At-Tsabat (keteguhan) adalah tsamratus shabr (buah dari kesabaran). Sebagaimana firman Allah, “Famaa wahanuu lima ashabahum fii sabiilillahi wamaa dha’ufu wamastakanu”. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah, dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Keteguhan itu membuat tenang, rasional, obyektif dan mendatangkan kepercayaan Allah untuk memberikan kemenangan.

Kedua, arhabu shadran, kader dakwah harus menjadi orang yang paling berlapang dada. Medan dakwah sering kali membuat hati sempit. Banyak kata-kata ejekan, cemoohan, caci maki, sumpah serapah yang terlontar begitu saja dari banyak kalangan. Kader dakwah tidak boleh bersempit hati dan sesak dada karena caci maki orang dan karena berita-berita di media massa yang sering kali mendiskreditkan tanpa konfirmasi dan pertanggungjawaban.

Ketiga, a’maqu fikran, kader dakwah harus menjadi orang yang memiliki pemikiran paling mendalam. Kader harus selalu berusaha mendalami apa yang terjadi, tidak terlarut pada fenomena permukaan, tetapi lihatlah ada apa hakikat di balik fenomena tersebut. Jika pemikiran kader bisa mendalam, ketika merespon pun akan lebih obyektif, terukur, dan seimbang.

Keempat, ausa’u nazharan, kader dakwah harus menjadi orang yang memiliki pandangan luas. Cakrawala pandangan kader dakwah harus terus menerus diperluas, agar tidak mengalami gejala kesempitan cara pandang. Membaca realitas dengan pandangan yang luas akan membawa kader kepada sikap adil dan moderat. Todak terjebak kepada sikap-sikap ekstrim dan berlebih-lebihan.

Kelima, ansyathu amalan, kader dakwah harus menjadi orang yang orang yang paling giat dalam bekerja. Kader dakwah tidak boleh disibukkan dengan membantah isu-isu, atau mengcounter suara-suara negatif, karena itu tidak banyak membawa produktivitas. Yang lebih produktif adalah selalu bekerja di tengah masyarakat. Tunjukkan kerja nyata. Jika ada yang perlu direspon, boleh direspon sesuai kebutuhan, namun tetap harus giat bekerja untuk kebaikan masyarakat, bangsa dan negara.

Keenam, ashlabu tanzhiman kader dakwah harus memiliki gerakan yang paling kokoh strukturnya. Sebagai jama’ah kumpulan manusia, pasti ada kekurangan dan kesalahan. Namun kewajiban kita adalah terus berusaha menghindarkan diri dari kesalahan dan kelemahan, sambil terus berbenah. Struktru dakwah harus terus menerus dikokohkan dari pusat, wilayah, daerah, cabang hingga ke ranting. Jangan biarkan ada celah yang bisa digunakan untuk melemahkan struktur dakwah.

Ketujuh, aktsaru naf’an, kader dakwah harus menjadi orang yang paling banyak manfaatnya. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Kader dakwah harus membuktikan bahwa keberadaan mereka di tengah kehidupan masyarakat memberikan banyak kontribusi kebikan. Tidak  merugikan atau membuat keonaran, namun justru memberikan banyak kemanfaatan dan kebaikan.

Jika tujuh karakter itu dimiliki oleh para kader dakwah, niscaya lebih ringan dan mudah menghadapi tantangan dan hambatan di sepanjang jalan dakwah. Kader dakwah dan seluruh aktivitas dakwah akan semakin kokoh dan diterima masyarakat, dalam menghadirkan berbagai kebajikan yang diharapkan oleh umat, bangsa dan negara.

*Diedit dari tulisan Ustadz Cahyadi Takariawan

Yk.9.10.2012
Idzkhir al Mu’adz



Posted on Tuesday, October 09, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, October 8, 2012


“Kumpulkan semua HP antum!”, tegas salah seorang panitia kepada semua peserta acara pada pagi itu. Seketika semua HP dikumpulkan kedepan panitia dan dicek satu persatu. Adalah sebuah hal biasa ketika Dhouroh setiap HP dikumpul. Akan tetapi, sangatlah tidak biasa ketika HP itu dicek satu per satu. Bahkan inbox SMSnya dibaca oleh panitia.

Privasi? Apa makna sebuah privasi bagi setiap aktivis dakwah? Amniya? Amniyah sangatlah berbeda dengan privasi. Sms dari orang tua pun tentunya tidak terkategori privasi atau pun amniyah karena tentunya berisi hal yang bai. Justru pertanyaannya, ketika ada yang khawatir ketika inbox smsnya dibaca maka pasti ada sesuatu yang “tersimpan” disana.
Dan itu pun terbukti saat panitia melakukan pengecekan. Beberapa peserta terindikasi “khalwat via HP”. Mungkin terlalu ekstrem ketika menggunakan istilah itu. Akan tetapi, apalagi istilah yang tepat untuk menggambarkan hal itu? Komunikasi terkait amanah? Atau sekedar bertukar kabar? Na’udzubillah. Tentunya kita berharap itu benar.

Akan tetapi, ketika semua SMSnya tidak sedikit pun berkaitan tentang amanah. Apalagi ketika tidak ada lagi amanah yang mempertemukan. Atau bahkan tidak sedikit pun bertukar kabar. Apalagi ketika nyaris setiap hari saling berkirim SMS tanpa ada hal yang jelas untuk dikomunikasikan. Bahkan mungkin tidak hanya setiap hari, bisa jadi setiap jam, setiap menit ataupun detik. Ya, sms yang hanya berisikan curhat-curhat yang tidak perlu antara ikhwan dan akhwat. Tentunya hal ini bukan lagi terkategori komunikasi biasa. Akan tetapi “khalwat via HP”. Astagfirullah…

Fakta ini ternyata memang tidak sedikit. Saya bahkan pernah berdiskusi dengan seorang peneliti dari Fakultas Psikologi terkait hal ini. Bahkan ada penelitian yang secara khusus membahas tentang “Khalwat dikalangan aktivis dakwah”. Penelitian yang muncul karena kekhawatiran degradasi nilai secara tak terlihat dalam setiap aktivitas dakwah yang ada.

Ya, memang tentunya kita tidak menafikkan bahwa aktivis pun adalah manusia. Dan mereka pun punya fitrah sebagaimana yang Allah anugrahkan kepada hamba-hambaNya. Namun, bukankah kita pun telah mempelajari tentang kaidah-kaidah Mahabatullah. Cinta kepada Allah. Bahwa ada beberapa tingkatan cinta. Dan apa tingkatan paling rendah? Tidak lain kecenderungan. Hal yang akan meningkat menuju simpati, empati, rindu. Dan akan menuju kemesraan hingga akhirnya menghamba. Dan tentunya kita ingat, pertanyaan akhir dari materi pekanan itu adalah Lalu kepada siapakah kecenderungan, simpati, empati, rindu, mesra dan menghamba itu kita alamatkan? Semoga pertanyaan ini tidak selesai di materi-materi pekanan kita. Tidak percaya? Silahkan kita membaca kembali “Rasmul Bayan” materi pekanan kita. 

Lalu apakah semata-semata kita menyalahkan kepada satu pihak saja? Hal yang sangat tidak adil tentunya. Beberapa kejadian yang saya temui bahkan alami sendiri tidak lain adalah ketidaksadaran. Ketidaksadaran antara kedua belah pihak, ikhwan maupun akhwat. Tidak sadar bahwa intensitas interaksi yang dijalani terkadang diluar yang seharusnya. Yang pada awalnya hanya karena amanah, komunikasi biasa hingga berakhir diintensitas yang berlebihan. Sehingga tidak ada lagi batas interaksi, tidak ada lagi hijab. Hijab komunikasi, hijab pandangan bahkan hijab hati. Astagfirullah…

Ya, ada baiknya mungkin kita kembali mengingat kaidah syariat tentang interaksi. Tentang menundukkan pandangan saja ada kaidah. Bahwa meskipun hukum dasar memandang adalah boleh, namun ketika sesuatu yang diperbolehkan untuk dilihat berpeluang menjadi fitnah maka itu menjadi terlarang. Apalagi dengan apa yang disebut dengan komunikasi. Dimana kita pun paham bahwa teknologi sangat ini membuat dunia tanpa batas. Tanpa batas secara tersirat bisa bermakna tanpa hijab.

Hm… Lalu bagaimana dengan Hijab Iman dalam berinteraksi? Bukankah itu merupakan sesuatu yang kuat bahkan paling kuat? Naudzubillah.. apabila ada pernyataan itu muncul dari diri kita. Maka sungguh kita tanpa sadar telah sombong. Sombong terhadap diri sendiri bahkan bisa sombong terhadap Allah. Jangan pernah merasa cukup dengan hijab iman. Nabi Yusuf as saja dengan keimanan yang dijaga oleh Allah menyatakan bahwa dirinya pun tergoda oleh Zulaikha. Bagaimana dengan kita?

Maka sudah saatnya kita kembali menghitung-hitung diri kita (muhasabah). Kita periksa apa isi inbox HP kita. Dari siapakah pesan singkat terbanyak? Dari ikhwan ataukah akhwat? Lalu apa saja percakapan yang muncul? Sesuatu yang bermanfaatkah atau justru tadi, sesuatu yang hanya akan meningkatkan kecederungan diri.
Ya, kita sama-sama memohon ampun kepada Allah Swt untuk setiap kekhilafan kita. Menulis ini pun bukan berarti diri ini terbebas dari apa yang tertulis. Akan tetapi, justru dengan menuangkan tulisan ini agar menjadi pengingat diri. Bahwa setiap diri kita itu tempat muara khilaf dan dosa. Dan sebaik-baik hamba adalah yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt. Wallahu a’lam bishawab..

Yk.5.10.2012
Menulis ini mengingatkan sesuatu
yang untuknya Hamba Memohon Ampun Kepada ALLAH swt

Idzkhir al-Muadz

Posted on Monday, October 08, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

"L"

Entah kenapa untuk kali ini terpikir untuk bercerita tentang si “L”. Siapakah dia? 
Jangan pernah terpikir bahwa ini adalah inisial nama seseorang kalau pun ada. Melainkan tentang sebuah huruf L yang akhirnya menjadi identitas diri saya. Identitas saat mengetikkan pesan singkat untuk dikirim kepada sahabat-sahabat saya.

Kurang lebih ada beberapa kronologis ketika akhirnya harus bercerita tentang si “L”.
Diantaranya dari pertanyaan ketika saya mengirim pesan singkat dalam sebuah diskusi sms,. Seperti

A: Knp ‘L’nya Id huruf capital smw?
Me: Hm…
Atau
Ketika akhirnya mencoba menyembunyikan identitas diri dengan mengetik huruf L secara benar, tetap muncul pertanyaan
A: Kok tumben ‘L’-nya ga gede, hhe
Me: --? Untuk menyembunyikan identitas
A: Wah anda berhasiL
Ya, mungkin hal ini telah menjadi kebiasaan saya ketika harus mengetik pesan singkat untuk dikirim. Bahkan status atau komen di socmed pun tetap dengan karakteristik ini. Hal yang saat ini sedang berusaha dirubah dengan harapan tidak dikenal langsung oleh orang lain.

#Hikmah..
“Dan terkadang diri sendiri kok merasa *l@y jg ya…”, ungkap salah seorang teman. 

Posted on Monday, October 08, 2012 by Akhdan Mumtaz

5 comments