“Kenapa nama orang Padang itu aneh-aneh dan anti mainstream?”,

tetiba ada pertanyaan itu dari seorang teman. Sesaat saya juga berpikir terkait pertanyaan tersebut, kadang hanya bilang “Konon justru itulah ciri khas orang Minang”. Maklum setiap perkenalan nama, setiap ada nama yang sepertinya berbeda, unik, dan anti mainstream, banyak yang akan langsung menyimpulkan, “asalnya dari Padang ya?” Mungkin nama yang paling tidak menggambarkan suku di Indonesia itulah nama-nama orang Minang.

Oya, sejatinya tidak ada nama suku bangsa Padang di Indonesia sebagaimana yang sering dipergunakan di percakapan umum Indonesia. Adanya adalah suku Minangkabau. Mungkin penyebab penggunaan umum, “Kamu orang Padang ya?” dikarenakan mendunianya Rumah Makan Padang. Sehingga orang umum memahami yang namanya orang Minang itu ya orang Padang. Padahal banyak rumah makan yang berlabel Rumah Makan Padang tapi asalnya sendiri bukan dari Padang. Melainkan dari daerah-daerah seperti Solok, Payakumbuah, Bukittinggi, dll.  Perbedaan orang yang telah paham tentang hal ini biasanya diikuti dengan pertanyaan, “Padangnya mana?”.

Memang istilah suku pada masyarakat Minangkabau sedikit membingungkan bagi orang luar Minangkabau. Karena di budaya Minang, suku merupakan sub-klan yang diturunkan dari garis ibu sebagaimana marga pada suku Batak, Ambon, Toraja, Minahasa. Sehingga suku orang Minang itu ada Koto, Piliang, Chaniago, Sikumbang, dll. Perbedaannya orang Minang cenderung tidak menggunakan nama belakang suku tersebut sebagaimana suku Batak. Konon katanya karena memakai nama suku atau marga akan menghilangkan identitas Minangnya. Sehingga sangat jarang meskipun ada, yang menggunakan penamaan dengan nama belakang suku.

Kembali ke pembahasan terkait nama orang Minang yang unik dan anti main stream katanya. Ternyata ada satu artikel khusus di Wikipedia yang membahas ini (jujur, saya ja kaget pas iseng googling ternyata ada pembahasannya).

Masa Awal

Setidaknya memang ada faktor historis, psikologis dan sosiologis dalam bagaimana orang Minang memberikan penamaan kepada putra-putrinya. Dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie disebutkan, nama-nama orang Minang pada masa-masa awal berasal dari alam dan nama-nama benda yang ada di dalamnya. Hal ini tidak lain karena falsafah hidup orang Minangkabau dimana “Alam Takambang Jadi Guru”. Sebagaimana banyak nama kampung, daerah-daerah baru, dan nama-nama suku dengan falsafah ini, termasuk dalam memberikan gelar atau nama kepada seseorang.

Dalam waktu yang cukup lama, tak sedikit pula nama-nama berbau Hindu dan Buddha bermunculan. Setelah Islam masuk dan berkembang, nama-nama Arab sebagai nama-nama orang Minang. Nama para Nabi dan Rasul serta para sahabat , atau istri dan anak-anaknya, adalah nama-nama yang paling sering digunakan.

Memasuki pertengahan abad ke-20, muncul nama keJawa-jawaan, singkatan, dan pengkodean. Pada masa Orde Baru, muncul pula nama-nama yang berbau kebarat-baratan. Baru pada dua dekade terakhir, nama-nama orang Minang kembali diramaikan dengan nama-nama Islam, yang didasarkan atas motivasi pemberi nama itu sendiri.

Disamping itu, tak sedikit orang Minang yang gemar memakai imbuhan atau akhiran tertentu dalam memberikan nama, seperti –zal untuk laki-laki atau -niar untuk perempuan. Nama-nama yang mengandung atau berakhiran -rizal bahkan sering diasosiasikan sebagai nama khas Minang.

Pasca PRRI

Insiden PRRI kurang lebih sangat berpengaruh terhadap pemberian nama orang Minang. Sama seperti yang terjadi kepada etnis Tionghoa di Indonesia pada masa represif yang berdampkan bahwa mereka harus memiliki nama Indonesia. Insiden PRRI memberi dampak tekanan dan intimidasi dari pemerintahan pusat pada akhir tahun 1960-an sebagai konsekuensi penumpasan gerakan separatis. Hal menyebabkan banyak masyarakat Minangkabau yang berusaha menanggalkan identitas dan label keminangannya, termasuk lewat perubahan nama. Mereka berusaha untuk mencari identitas baru agar lepas dari kejaran tentara pusat. Dengan menjawa-jawakan diri seperti yang diinginkan oleh pusat, tak sedikit orang Minang mengganti nama mereka dengan nama ke-Jawa-jawaan, atau nama-nama berbau Eropa, Persia, dan Amerika Latin. Akan tetapi, nama-nama yang mereka berikan punya makna tersendiri; ada kreasi yang mereka ciptakan di dalamnya.

Nama-nama Jawa pada masyarakat Minangkabau biasanya merupakan singkatan daerah asal orang tua, nama kedua orang tua, atau kombinasi keduanya. Nama-nama ini lekat pasca-PRRI, seperti ‘Parmanto’ (singkatan dari daerah asal pemilik nama, Parikmalintang dan Toboh), ‘Surianto’ (Surian dan Koto), dan lain sebagainya. Namun, ada sebagian orang tua yang mengadopsi nama Jawa secara utuh, atau sekadar menyamarkan nama Minang mereka. Bastian Sutan Ameh misalnya, yang mengganti namanya menjadi ‘Sebastian Tanamas’ ketika merantau ke Jakarta.

"Itu memang strategi untuk tetap bertahan" karena jika tidak, mereka akan tetap dicari oleh tentara pusat, untuk dibunuh. Selain itu, bagi mereka yang merantau ke Jawa, mereka lebih mudah diterima, menurut guru besar dan sejarawan Universitas Andala, Gusti Asnan. Tidak ada gerakan yang disengaja dalam masyarakat Minangkabau untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Jawa pada masa itu, ungkap beliau.

Penutup

“Nama adalah do’a”, sebagaimana yang selalu kita pahami. Begitu pun sejatinya hal yang menjadi pertimbangan dalam memilihkan nama. Meskipun terkadang aspek kultural dan psikologis bisa sangat berpengaruh dalam hal ini. Apalagi untuk nama orang Minang yang katanya unik, aneh ataukah anti mainstream. Tidak lain karena nama terkadang juga menjadi keterangan secara lengkap dari seorang anak. Bisa merangkum nama kedua orang tua, waktu lahir, dll. Sebagaimana nama yang orang tua pilihkan dan takdirkan untuk saya sendiri. Hal pokoknya adalah nama itu menjadi do’a yang baik dari kedua orang tua. Baik dengan kaidah bahasa yang ada maupun menjadi referensi ketauladanan, dll.


Yk.12.4.2015
Menjelang waktu Dzuhur di Andalusia



Idzkhir al-Mu’adz