Tulisan ini saya repost untuk memperluas sudut pandang kita dalam berbagai macam hal dalam setiap aktivitas. Sekaligus sebagai "penyeimbang terhadap propaganda berwirausaha" sebagaimana yang dinyatakan oleh penulisnya, Mas Yulian Anindito.

Saya sering mendengar di forum-forum, resmi maupun informal, diskusi tentang wirausaha. Biasanya akan ada satu orang yang mengompori untuk jadi wirausaha. Dengan semangat berapi-rapi mereka akan menerangkan atau lebih tepatnya mendoktrin betapa “wah”-nya berwirausaha. Diskusi terakhir yang seperti ini saya temui seminggu lalu, di masjid kampus UI, Depok.

Entah kenapa kali itu saya sedikit tersinggung. Mungkin karena capek setelah perjalanan jauh sehingga jadi sensitif. Kata-kata yang digunakan memang bertujuan untuk memotivasi semangat entrepreneurship. Saya sangat menghormati mereka yang menempuh jalan itu. Tapi secara bersamaan, kata-kata itu juga merendahkan profesi pegawai. Mungkin tulisan ini subyektif defensif karena saya adalah seorang pegawai, namun agaknya ini bisa menjadi penyeimbang terhadap “propaganda” berwirausaha.

Sembilan dari sepuluh pintu rejeki adalah dagang, dengan kata lain; wirausaha. Wirausaha memungkinkan keuntungan yang tidak terbatas. Sedangkan jadi pegawai penghasilannya tetap, rejekinya segitu-segitu saja. Orang tidak bisa kaya kalau jadi pegawai. Tapi ini hanya jika profesi dihubungkan dengan rejeki. Menjadi pegawai tidak menjanjikan keuntungan melimpah, uang banyak. Namun mari melihat dari sisi lain.

Menarik apa yang disampaikan salah satu Vice President di perusahaan kami hari ini. Seorang karyawan bertugas mengatur perputaran penggunaan landing gear pesawat terbang. Karena dia pesawat bisa beroperasi dengan baik, landing dan take off dengan selamat. Orang-orang naik pesawat, dalam rangka bisnis, silaturahim, belajar, dan sebagainya. Berkat jasanya, maka seorang pebisnis bisa menjalankan bisnisnya dan mendapat keuntungan. Orang lain bisa bersilaturahim dan merekatkan pertemanan.

Guru juga pegawai. Gajinya kecil, sehingga hidupnya pas-pasan. Tapi lihatlah dia bisa berbagi ilmu, mendidik anak muridnya. Berkat jasanya, murid-muridnya jadi punya masa depan. Setelah lulus mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan, bisa bekerja, menikah, memiliki anak, dan bisa menjalani hidup mereka dengan baik. Diantara mereka mungkin ada yang jadi orang besar. Penghargaannya bukan berupa materi, tapi kebanggaan dan ilmu yang pahalanya tidak pernah putus.

Bagaimana pula dengan pegawai yang berpikir bahwa dengan menjadi pegawai negeri misalnya, dia jadi punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal lain. Daripada harus berjibaku siang-malam menjadi wirausaha, menghabiskan pikirannya untuk memikirkan untung-rugi. Dia hidup sekedarnya dari gaji, namun punya banyak waktu untuk mendidik anak-anaknya. Memiliki banyak waktu bersama mereka, sehingga bisa mengawasi dan mengarahkan anak-anaknya dengan lebih intensif.

Ada juga yang menjadi pegawai dengan tujuan ingin memperbaiki institusi tempatnya bekerja. Di badan usaha milik negara misalnya. Dia sadar bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah salah satu penyokong perekonomian negara. Padahal banyak praktek-praktek tidak sehat di sana. Dia ingin bekerja di sana, agar menempati posisi strategis, sehingga bisa memperbaiki dari dalam. Orang ini layak diberi gelar mujahid, melawan keburukan yang akan mengakibatkan kehancuran.

Seorang dokter yang jadi pegawai rumah sakit karena ingin menolong orang-orang. Seorang insinyur yang menjadi pegawai pabrik karena ingin memperbaiki lini produksi sehingga perusahaan bisa berkembang dan menciptakan lapangan kerja bagi ribuan orang. Seorang mekanik listrik yang berkat dia, anak-anak bisa belajar dengan diterangi lampu saat malam. Seorang masinis yang mengantarkan ratusan orang setiap hari dengan keperluan mereka masing-masing.

Jadi apa salahnya jadi pegawai? Selama kita memiliki alasan yang baik dalam menjalani sebuah profesi, maka profesi apapun bisa menjadi jalan kemuliaan. Selama kita menjalaninya dengan ikhlas, bisa jadi itulah pembuka pintu surga bagi kita.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At Taubah 105) 

Senja Utama Jogja, 16 Maret 2012
Anindito W

Source :
https://www.facebook.com/notes/yulian-anindito/apa-salahnya-jadi-pegawaai/10150688573183637