Enteng benar Ummu Salamah menjawab pertanyaan Anas bin
Malik. Khadam Rasulullah SAW ini diam-diam mengamati sebuah kebiasaan Sang
Rasul yang rada berbeda ketika beliau menemui Ummu Salamah dan ketika beliau
menemui Aisyah.
Rasulullah SAW selalu secara langsung dan refleks mencium
Aisyah setiap kali menemuinya, termasuk di bulan Ramadhan. Tapi tidak begitu
kebiasaan beliau saat bertemu Ummu Salamah. Nah, kebiasaan itulah yang
ditanyakan Anas bin Malik kepada Ummu Salamah, yang kemudian dijawab begini:
”Rasulullah SAW tidak dapat menahan diri ketika melihat Aisyah.”
Jawabannya cuma begitu. Penjelasannya sesederhana itu.
Datar. Yah, datar saja. Seperti hendak menyatakan sebuah fakta tanpa pretensi.
Sebuah fakta yang diterima sebagai suatu kewajaran tanpa syarat. Tanpa
penjelasan.
Sudah begitu keadaannya, kenapa tidak? Atau apa yang salah
dengan fakta itu? Apa yang harus dicomplain dari kebiasaan itu?
Itu sama
sekali tidak berhubungan dengan harga diri yang harus membuat ia marah. Atau
menjadi keberatan yang melahirkan cemburu. Mati rasakah ia? Hah?? Tapi siapa
berani bilang begitu?
Terlalu
banyak masalah kecil yang menyedot energi kita. Termasuk banyak pertengkaran
dalam keluarga. Sebab kita tidak punya agenda-agenda besar dalam hidup. Atau
punya tapi fokus kita tidak ke situ. Jadi kaidahnya sederhana: kalau energi
kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita segera
tercurah kepada masalah-masalah kecil.
Karena
mereka punya agenda besar dalam hidup, maka mereka tidak membiarkan energi
mereka terkuras oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, kecuali untuk semacam
”pelepasan emosi” yang wajar dan berguna untuk kesehatan mental.
Kehidupan
mereka berpusat pada penuntasan misi kenabian di mana mereka menjadi bagian dari
tim kehidupan Sang Nabi. Jadi masalah kecil begini lewat begitu saja. Tanpa
punya bekas yang mengganggu mereka. Fokus mereka pada misi besar itu telah
memberi mereka toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah
kecil berlalu dengan santai.
Fokus pada
misi besar itu dimungkinkan oleh karena sejak awal akad kebersamaan mereka
adalah janji amal. Sebuah komitmen kerja. Bukan sebuah romansa kosong dan
rapuh. Mereka selalu mengukur keberhasilan mereka pada kinerja dan pertumbuhan
kolektif mereka yang berkesinambungan sebagai sebuah tim.
Persoalan-persoalan
mereka tidak terletak di dalam, tapi di luar. Mereka bergerak bersama dari
dalam ke luar. Seperti sebuah sungai yang mengalir menuju muara besar:
masyarakat. Mereka adalah sekumpulan riak yang menyatu membentuk gelombang,
lalu misi kenabian datang bagai angin yang meniup gelombang itu: maka jadilah
mereka badai kebajikan dalam sejarah kemanusiaan.
Cinta
memenuhi rongga dada mereka.
Dan semua
kesederhanaan, bahkan kadang kepapaan, dalam hidup mereka tidak pernah sanggup
mengganggu laju aliran sungai mereka menuju muara masyarakat.
Mereka
bergerak. Terus bergerak. Dan terus bergerak.
Dan romansa
cinta mereka tumbuh kembang di sepanjang jalan perjuangan itu.
Sumber:
Serial Cinta Anis Matta
di Majalah Tarbawi