Tuesday, December 3, 2013

Enteng benar Ummu Salamah menjawab pertanyaan Anas bin Malik. Khadam Rasulullah SAW ini diam-diam mengamati sebuah kebiasaan Sang Rasul yang rada berbeda ketika beliau menemui Ummu Salamah dan ketika beliau menemui Aisyah.
Rasulullah SAW selalu secara langsung dan refleks mencium Aisyah setiap kali menemuinya, termasuk di bulan Ramadhan. Tapi tidak begitu kebiasaan beliau saat bertemu Ummu Salamah. Nah, kebiasaan itulah yang ditanyakan Anas bin Malik kepada Ummu Salamah, yang kemudian dijawab begini: ”Rasulullah SAW tidak dapat menahan diri ketika melihat Aisyah.”

Jawabannya cuma begitu. Penjelasannya sesederhana itu. Datar. Yah, datar saja. Seperti hendak menyatakan sebuah fakta tanpa pretensi. Sebuah fakta yang diterima sebagai suatu kewajaran tanpa syarat. Tanpa penjelasan.
Sudah begitu keadaannya, kenapa tidak? Atau apa yang salah dengan fakta itu? Apa yang harus dicomplain dari kebiasaan itu?
Itu sama sekali tidak berhubungan dengan harga diri yang harus membuat ia marah. Atau menjadi keberatan yang melahirkan cemburu. Mati rasakah ia? Hah?? Tapi siapa berani bilang begitu?

Terlalu banyak masalah kecil yang menyedot energi kita. Termasuk banyak pertengkaran dalam keluarga. Sebab kita tidak punya agenda-agenda besar dalam hidup. Atau punya tapi fokus kita tidak ke situ. Jadi kaidahnya sederhana: kalau energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita segera tercurah kepada masalah-masalah kecil.
Karena mereka punya agenda besar dalam hidup, maka mereka tidak membiarkan energi mereka terkuras oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, kecuali untuk semacam ”pelepasan emosi” yang wajar dan berguna untuk kesehatan mental.

Kehidupan mereka berpusat pada penuntasan misi kenabian di mana mereka menjadi bagian dari tim kehidupan Sang Nabi. Jadi masalah kecil begini lewat begitu saja. Tanpa punya bekas yang mengganggu mereka. Fokus mereka pada misi besar itu telah memberi mereka toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil berlalu dengan santai.

Fokus pada misi besar itu dimungkinkan oleh karena sejak awal akad kebersamaan mereka adalah janji amal. Sebuah komitmen kerja. Bukan sebuah romansa kosong dan rapuh. Mereka selalu mengukur keberhasilan mereka pada kinerja dan pertumbuhan kolektif mereka yang berkesinambungan sebagai sebuah tim.
Persoalan-persoalan mereka tidak terletak di dalam, tapi di luar. Mereka bergerak bersama dari dalam ke luar. Seperti sebuah sungai yang mengalir menuju muara besar: masyarakat. Mereka adalah sekumpulan riak yang menyatu membentuk gelombang, lalu misi kenabian datang bagai angin yang meniup gelombang itu: maka jadilah mereka badai kebajikan dalam sejarah kemanusiaan.

Cinta memenuhi rongga dada mereka.
Dan semua kesederhanaan, bahkan kadang kepapaan, dalam hidup mereka tidak pernah sanggup mengganggu laju aliran sungai mereka menuju muara masyarakat.
Mereka bergerak. Terus bergerak. Dan terus bergerak.
Dan romansa cinta mereka tumbuh kembang di sepanjang jalan perjuangan itu.


Sumber: Serial Cinta Anis Matta 
di Majalah Tarbawi

Posted on Tuesday, December 03, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, December 2, 2013

       
Mari kita berhenti sejenak disini! Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak yang sudah kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan ditikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat muat. Dan masih banyak lagi!

          Jadi mari kita berhenti sejenak disini ! Kita memerlukan saat-saat itu; saat dimana kita melepaskan kepenatan yang mengurangi ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita melepaskan sejenak beban dakwah selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

          Orang-orang yang mengurus dunia mungkin menyebutnya penghentian. Tapi sahabat-sahabat Rasulullah Saw menyebutnya majelis iman. Sebagai Ibnu Mas’ud berkata, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak”. Hal yang menjadi kebutuhan setidaknya untuk dua hal. Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Tujuannya tak lain agar kita memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dakwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal dan target-target yang dapat kita raih.

          Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbaharui dan komitmen dan janji setia kita kepada Allah Swt. Bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul beban amanat dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridha-Nya. Hari-hari panjang, yang kita lalui bersama dakwah ini menguras seluruh energy jiwa yang kita miliki, maka majelis iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, harapan baru, dan keberanian baru. (AM)

          Maka dengan ini kita paham, tidak ada penghentian yang semu dengan dalih melepas lelah, melepas jenuh dijalan ini. Dakwah tidak pernah mengenal istilah cuti, off, atau pun pensiun. Yang ada adalah kita sejenak memindahkannya menjadi aktivitas lain. Aktivitas lain itu pun masih dalam kerangka Majelis Iman. Bukankah firman-Nya berbunyi, “Apabila telah selesai suatu urusan maka beralihlah ke urusan yang lain”. Maka sejatinya istirahat hanyalah berpindahnya kita dari satu urusan menuju urusan yang lain. Dan istirahat hakiki itu hanya ada di syurga-Nya Allah Swt, sebaik-baik tempat beristirahat.  
Ya, berhenti sejenak untuk sebuah loncatan semangat yang luar biasa. Dan semua karena Allah, karena Allah, karena Allah Swt. 


Yk.28.11.2013

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Monday, December 02, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments