“Orang pilihan kami tahun ini adalah Bayi Perokok dari Indonesia”, ungkap sebuah acara stasiun TV luar negeri dalam membuka acaranya. Hal yang tentunya sangat mafhum bagi kita ketika mendengar pernyataan ini. Dikarenakan berita ini pernah menjadi headline berita selama beberapa hari di berbagai media nasional bahkan dunia. Yakni berita tentang Aldi Rizal, bayi berumur 2 tahun yang dikenal sebagai The Smoking Baby from Indonesia oleh dunia.

Mungkin berita ini tidaklah terlalu asing ketika kita mencoba untuk melihat beberapa data. Ketika peringatan Hari Anti Tembakau Se-Dunia September 2011, Menteri Kesehatan bahkan menyatakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terbesar ke-3 dalam jumlah perokok di dunia. Bahkan angka yang meningkat adalah jumlah perokok pemula yang berusia muda seperti 10-14 tahun, demikian juga usia 15 tahun. Hal yang sangatlah wajar karena bayi berumur 2 tahun saja sudah bisa merokok. Ini pun berkesesuaian dengan data survey Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang menyatakan bahwa 13,63% perokok di Indonesia mulai merokok sejak usia 7 tahun. Dan berdasarkan survey Departemen Kesehatan, sekitar 141,44 juta jiwa, artinya terdapat sekitar 1,92 juta anak usia 7 hingga 18 tahun yang menjadi perokok.

Lalu apa yang patut kita diskusikan terkait hal ini? Bagi masyarakat ilmiah tentunya sangatlah memahami akan bahaya merokok. Dimana rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia toksik dan 43 bahan penyebab kanker (karsinogenik). Zat aditif yang terkandung bukanlah zat yang sama dengan zat aditif yang terdapat dalam produk lain. Akan tetapi, zat aditif ini merupakan zat-zat yang menjadi penyebab berbagai macam penyakit. Terutama sebagai karsogenik, penyebab kanker. Sehingga harusnya hal ini telah menjadi perhatian dan diskusi bersama.

Namun, realitanya adalah fenomena kesadaran ini baru tertinggal sebatas pengetahuan. Padahal di negara asal produk ini dipopulerkan produk ini telah menjadi hal yang ditinggalkan bahkan dipaksa untuk ditinggalkan. Sebagai contoh, New York menerapkan Pajak Sin sehingga harga rokok menjadi sangat mahal yakni $12. Kebijakan ini dalam usaha  untuk mencegah konsumen merokok. Bahkan Walikota New York menyatakan kebanggannya. “Kita tidak lagi banyak melihat orang-orang merokok diluar bar dan restoran. Kalaupun ada maka mereka akan menyembunyikan rokoknya ketika kita melewatinya karena malu”, ungkapnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Hal yang terjadi justru rakyat Indonesia senantiasa dikelingi dengan atmosfer merokok. Semua iklan tentang rokok bahkan membentang dari Sabang hingga Merauke ibarat sebuah “kesatuan” negara. Ketika akses jalan belum menjamah daerah tersebut maka iklan rokok bentuk papan, poster, dsb telah lebih dahulu hadir. Iklan rokok sudah ibarat bendera pertama yang ditancapkan para pendaki gunung ketika mencapai puncak yang belum pernah dijamah manusia.

Dan fenomena lain yang menjadi tren dewasa ini adalah atmosfer kehadiran rokok di institusi-institusi akademis. Bukan karena mahasiswa ataupun civitas akademika yang merokok. Akan tetapi, hadir dalam wujud Corporate Social Responsibility atau CSR. Bentuk program CSR ini beragam dari pendanaan, sponsorship, dll. Padahal institusi akademis seharusnya terlepas dari hubungan dengan rokok. 
Menurut PP nomor 19 tahun 2003 pasal 22 menjelaskan, tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja  dan tempat yang secara spesifik sebagai lokasi proses belajar mengajar, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua institusi akademis terlepas dari hubungan dengan perusahaan rokok dalam bentuk apapun. Baik dalam bentuk nyata wajah perusahaan rokok atau bentuk-bentuk lain yang sesungguhnya masih atas nama perusahaan rokok.  

Faktor yang memperkuat hal ini bukanlah terkait apa hal dibalik CSR itu sendiri. Melainkan terdapat sebuah peran psikologis yang secara tidak langsung membuat kalangan akademik untuk merokok. Hal ini terlihat dari survey yang dilakukan oleh pemerintah Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Dimana hasil survey tersebut menyatakan bahwa penyebab semakin banyaknya anak-anak yang merokok adalah banyaknya beredar iklan-iklan rokok. Maka inilah yang mempengaruhi anak-anak secara tidak langsung diluar kuasa orang tua mereka.  

Dan apabila dipahami makna dari CSR sendiri maka akan ditemukan beberapa penjelasan.
Menurut The World Business Council for Sustainable Development, Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, komunitas lokal, dan komunitas secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Dan Sankat dan Clement dalam Rudito dan Famiola juga mendefinisikan CSR sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan komunitas luas.

Sehingga secara umum, CSR dapat didefinisikan sebagai bentuk kegiatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui peningkatan kemampuan manusia sebagai individu untuk beradaptasi dengan keadaan sosial yang ada menikmati, memanfaatkan, dan memelihara lingkungan hidup yang ada.

Dari definisi ini tersendiri dapat digarisbawahi beberapa kata yakni meningkatkan kualitas kehidupan. Sejatinya kualitas kehidupan dapat ditingkatkan dengan kesehatan. Hal yang terkandung dari kata “Men Sana In Corpore Sano”, didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Akan tetapi, perkiraan yang terjadi adalah dalam abad ini rokok akan membunuh 1 milyar orang. Dan 80%-nya berasal dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Sehingga adalah sebuah fakta untuk segera dihentikan setiap hal yang menyebabkan rokok menjadi lazim untuk dikonsumsi. “Karena rokok adalah pembunuh terbesar dan pembunuh yang paling dapat dicegah”, ungkap Walikota New York.

Dan salah satu pencegahan terhadap hal ini adalah menjauhkan rokok dari institusi-institusi akademis. "Jangan sampai nanti ada Fakultas Kedokteran, bikin rumah sakit, tapi disponsori rokok", ujar Dr Imam B Prasodjo, pakar sosiologi UI. Ungkapan ini menjadi sebuah pertanyaan besar bagi setiap kerjasama dengan perusahaan rokok dalam bentuk apapun. Termasuk agenda-agenda kampus, prasarana kampus, dll yang pada akhirnya melibatkan setiap civitas akademika dalam kampus.

Penasehat Komnas Pengendalian Tembakau ini juga menyatakan bahwa banyaknya spanduk dengan label rokok di perpustakaan kampus universitas, tak berbeda dengan mempromosikan rokok di kalangan institusi pendidikan. Beberapa fakta yang menjadi cuplikan ini diantaranya ketika rokok bisa masuk melalui iklan di sekolah, kegiatan seni, beasiswa pelatihan guru dan sebagainya. Bahkan di beberapa sekolah iklan rokok bisa dilihat terpampang di ring basket, lapangan, atau pun di dinding panjat tebing di halaman sekolah.

Sehingga ketika rokok masuk kampus apakah hal ini sebuah Corporate Social Responsibility? Maka ketika justru hal ini layaknya sebuah promosi dalam bentuk lain maka ini bukanlah sebuah Social Responsibility. Karena mempromosikan berarti menjerumuskan kepada pembunuh dunia terbesar. Adalah sangat bijak ketika segala bentuk bantuan atas nama CSR tidaklah melabelkan nama, logo dari perusahaan rokkok tersebut. Tentunya apabila kerjasama CSR ini murni sebuah Social Responsibility. Dan bentuk kerjasamanya pun haruslah kerjasama yang mendidik. Bukan memberi dampak baru bagi para civitas akademika yang tidak kalah lebih berbahayanya dari mengkonsumi rokok.  

REFERENSI

Rokok Masuk Sekolah. http://amti.or.id/2011/02/rokok-masuk-sekolah/


Menkes: Indonesia Juara 3 Dunia untuk Jumlah Perokok. http://news.okezone.com/read/2011/09/26/337/507340/menkes-indonesia-juara-3-dunia-untuk-jumlah-perokok


Lebih dari 43 juta Anak Indonesia Perokok Pasif. http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1388:lebih-dari-43-juta-anak-indonesia-perokok-pasif&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54


Pakar: Jangan Ada Promosi Rokok di Lingkungan Pendidikan. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/09/29/lsa5po-pakar-jangan-ada-promosi-rokok-di-lingkungan-pendidikan