“Pada zaman Rasulullah, Abu Bakar, Umar bin Khatb, Utsman bin ‘Affan yang menjadi rakyatnya adalah aku. Sedangkan pada zaman aku menjadi pemimpinnya, yang menjadi rakyatnya adalah kamu”, jawab Ali bin Abi Thalib terhadap protes salah seorang rakyatnya tentang keberbedaan kondisi pada masa Ali dengan masa-masa sebelumnya. Jawaban ini bukan berarti menyebabkan Ali bin Abi Thalib tidak bermujahadah untuk menyiapkan generasi yang lebih baik. Beliau tetap melanjutkan pendidikan-pendidikan melalui madrasah-madrasah yang sudah dirintis dari fase-fase sebelumnya. Akan tetapi, mungkin ikhtiar dan kesungguhan beliau untuk generasi yang lebih baik mungkin tak sampai maksud untuk diterima dengan baik oleh generasi sesudahnya.

Kaderisasi memang suatu hal yang unik. Dia menjadi jantungnya sebuah organisasi dan pergerakan. Dia adalah proses yang tidak hanya mewariskan orang tapi juga mengikutkan pewarisan nilai. Proses ini tidak hanya bicara tentang siapa tapi juga bagaimana siapa-siapa itu melanjutkan.

Kaderisasi ibarat orang tua yang dengan kecintaannya bercita-cita agar anak-anaknya harus lebih baik dari dirinya. Akan tetapi, fakta ini menjadi sebuah paradoks di dunia kampus hari ini. Paradoks kasih tak sampai. Dimana sebuah generasi akan berusaha memberikan sesuatu yang terbaik dan lebih baik kepada generasi penggantinya. Namun, ternyata dipahami sebagai sesuatu yang sebaliknya oleh generasi pengganti. Bahkan kecenderungan hari ini yang hadir justru semangat “menyalahkan” generasi sebelumnya. “Kondisi hari ini mungkin tidak akan seperti ini apabila generasi kemaren tidak memberikan hal ini kepada kita”, menjadi ungkapan yang sering muncul. Akan semakin miris ketika generasi sebelumnya menjawab, “Padahal kami berusaha memberikan hal terbaik agar kalian lebih baik dari kami”. Sungguh paradoks.

Dialog antar generasi mungkin menjadi penting agar kasih itu sampai. Generasi sebelumnya mungkin butuh untuk mengekspresikan bagaimana kasihnya mereka kepada generasi sesudahnya. Tentang apa asa mereka, apa mimpi mereka, apa hal yang melatarbelakangi setiap keputusan mereka. Sebagaimana orang tua menyampaikan kasih sayangnya mereka kepada anak-anaknya. Sehingga curahan kasih itu sampai. Tapi sadarkah kita bahwa kasih orang tua pun kadang tersampaikan tanpa ungkapan lisan. Salah satunya adalah dengan memberikan kepercayaan. 

Syaikh Mushtafa Masyhur pernah menulis pembahasan khusus tentang kesinambungan antar generasi untuk mencapai tujuan dakwah. Dalam hal ini beliau menyatakan banyak hal, yang diantaranya saya kutipkan bahwa, 
  • Pewarisan secara teori tidak akan terealisasi hanya melalui buku-buku atau risalah-risalah, akan tetapi haruslah dengan hidup bersama dan melebur antara tiap generasi sebelum dan sesudahnya. 
  • Dengan menyatu dan meleburnya semangat didalam jiwa maka setiap generasi yang sebelumnya akan lebih mengenal karakter dan rambu-rambu jalan dakwah sehingga mengetahui tujuan utama, tujuan jangka pendek, mengenal sarana-sarana yang diperbolehkan serta mengenal kewajiban dan capaian-capaian yang mesti dilaksanakan.
  • Termasuk salah satu yang mesti diperhatikan adalah berusaha untuk membina kepercayaan antar generasi agar proses pewarisan dan pembauran generasi dapat berjalan sesempurna mungkin.
  • Termasuk hal yang paling penting dalam pewarisan dakwah adalah sisi spiritual dan bekal dijalan dakwah sebagai hal yang harus meningkat karena menjadi jaminan atas selamatnya perjalanan dakwah.


Berdasarkan hal ini saya memahami, termasuk pernah menjalani tentang pentingnya dialog antar generasi ini. Dialog yang didefinisikan Syaikh Mushtafa Masyhur sebagai hidup bersama dan melebur antar generasi. Sehingga tanggungjawab yang dilanjutkan generasi selanjutnya adalah sesuatu yang sesungguhnya dituai dari apa yang sebelumnya mereka jalani. Karena tiap generasi itu pernah bersama menanggung tanggungjawab tersebut. Yang dengannya generasi sebelumnya bisa dengan ikhlas, percaya dan penuh kelapangan dada mewariskan perjuangan kepada generasi selanjutnya. Mewariskan sehingga kasih itu sampai.


Yk.19.11.2015

~akhdan mumtaz