PENDAHULUAN
Akhir
Juni 2012, sebuah lembaga riset Fund for Peace mengeluarkan Indeks Negara Gagal
atau Failed State Index (FSI). FFP menempatkan Indonesia di peringkat ke 63
dari 178 negara di seluruh dunia. Hal ini bermakna bahwa Indonesia termasuk
dalam kategori negara yang dalam bahaya menuju negara gagal. Skor yang
diperoleh Indonesia adalah 80,6 diperoleh dari indikator tekanan sosial,
ekonomi, dan politik pada negara[2].
Masih
menurut FFP, setidaknya ada tiga hal yang membuat posisi Indonesia memburuk.
Pertama, tekanan demografis. Dimana terjadi degradasi lahan serta tergusurnya
warga karena masalah lingkungan. Kedua, ketidakpuasan kelompok yang terjadi
serta banyaknya aksi demonstrasi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok
minoritas. Dan terakhir, masalah tekanan sosial akibat melebarnya jurang antara
yang kaya dan miskin.
Dari poin diatas setidaknya terkait dengan sebuah
problema besar yang melanda dan menjangkiti negeri ini yakni Korupsi. Karena
persoalan tekanan sosial menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi
sebagaimana yang dinyatakan oleh Merican (1971). Yakni sebab-sebab terjadinya
korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan
pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan
ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang
populer.
e. Pengaturan yang
bertele-tele.
f. Pengetahuan yang
tidak cukup dari bidangnya[3]
Hal
yang semakin dibuktikan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) juga menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se
Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor 8,32 atau lebih buruk jika
dibandingkan dengan Thailand (7,63). Hal ini semakin memperkuat pendapat bahwa
Indonesia memang menuju kepada menjadi negara gagal.
DEFINISI
“Budaya Korupsi”, frase inilah yang
menjadi bukti bahwa perilaku menyimpang korupsi pun telah dipandang sebagai
sebuah budaya. Padahal korupsi tidak lah tepat apabila diungkapkan dengan kata
budaya. Karena pada hakikatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak
struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Akan tetapi, patut untuk ditilik
lebih dalam tentang makna dari korupsi itu sendiri.
Kartono
(1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan
umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Sedangkan
menurut Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah.
Didalam
Islam, setidaknya terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk mendefinisikan
korupsi. Pertama, ghulul yang
secara leksikal berarti pengkhianatan. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan
perbuatan seseorang yang melakukan pengkhianatan dengan penggelapan harta. Dimana dalam konteks
korupsi, ghulul ialah korupsi yang dilakukan diri sendiri tanpa melibatkan
orang lain. Kedua, risywah.
Secara tekstual risywah berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan
secara terminologi, risywah ialah suap yakni pemberian seseorang kepada orang
lain yang bertujuan untuk membatalkan kepemilikan harta atas orang lain atau
mengambil hak kepemilikan orang lain tersebut.
Ketiga, al-suht yang secara leksikal berarti
membinasakan dan digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus dalam
memperoleh makanan. Seseorang yang melahap harta dan tidak peduli dari mana
harta tersebut didapat, ia disamakan dengan binatang yang melahap segala macam
makanan hingga membinasakannya. Keempat, al-saraqah yang berarti
mengambil harta orang lain secara rahasia dan melawan hukum. Mengambil harta
secara tersembunyi tentu berkembang modus operandinya dalam konteks korupsi,
bisa dengan penggelapan, penggelembungan dana fiktif, pungutan liar dan lain
sebagainya. Terakhir, ghasab yang berarti merampas harta orang lain
dengan cara zhalim atau mengambil hak orang lain yang berharga dan berniat
mengembalikannya[4].
Setidaknya
banyak dampak yang muncul akibat dari korupsi itu sendiri. Diantaranya :
1.
Tata ekonomi seperti larinya modal
keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2.
Tata sosial budaya seperti revolusi
sosial, ketimpangan sosial.
3.
Tata politik seperti pengambil alihan
kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah,
ketidakstabilan politik.
4.
Tata administrasi seperti tidak efisien,
kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber
negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan
represif.
Oleh
karena itu, aspek pemberantasan korupsi sangat penting menjadi perhatian agar
dampak ini tidak meluas hingga seluruh aspek kehidupan.
PEMBERANTASAN
Terdapat
sebuah pendapat dari Denny Indrayana ketika melihat optimisme kebangkitan
Indonesia dalam memberantas korupsi. Bahwa Indonesia pasca reformasi adalah
Indonesia yang lebih demokratis. Negara yang lebih demokratis adalah Negara
yang lebih antikorupsi. Hal ini mudah dinalar berdasarkan rumusan korupsi itu
sendiri.
Corruption
(C) = Authority (A) + Monopoly (M) – Transparency (T)
Maknanya
adalah korupsi lahir dari kewengan yang terpusat, dimonopoli tanpa control,
apalagi keterbukaan.
Hal yang harus dilihat lebih dalam adalah apakah optimisme ini memang benar adanya ketika melihat bagaimana pemberantasan korupsi dilakukan. Terutama dalam konteks keIndonesiaan. Fareed Zakaria pun dalam buku The Future of Freedom menyatakan bahwa memang Indonesia telah berubah menjadi lebih demokratis.
Disamping
itu, pada tahun 2005, Freedom House pun menerbitkan laporan yang mengelompokkan
Indonesia sebagai Negara demokrasi yang memiliki kebebasan penuh. Bahkan
Indonesia pun menyatakan diri “Kami negara demokrasi terbesar ketiga. Hal yang
juga disampaikan Prof. Azyumardi Azra di salah satu bagian kolom Republika dengan
menyatakan, ”Jika di banyak negara Muslim lainnya, khususnya di Timur Tengah,
terdapat defisit demokrasi yang mencolok, sebaliknya kaum Muslimin yang
merupakan penduduk mayoritas di Indonesia telah membuktikan sekali lagi bahwa
demokrasi punya harapan untuk tumbuh dan berurat-berakar di negeri ini.”
Oleh karena itu, sangatlah pantas ketika Indonesia seharusnya terbebas dari korupsi ketika memang faktanya menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis. Sehingga Indonesia lebih terbebas dari korupsi.
Namun,
ketika melihat perkembangan demokrasi Indonesia yang dinyatakan lebih baik faktanya
juga berbanding lurus dengan angka korupsi Indonesia. Sebagaimana dapat
terlihat dalam data berikut :
Peringkat
Indonesia menurut Survey Transparency Internasional 1995-2010[5]
Tahun
|
Negara Disurvei
|
Peringkat Indonesia
|
Angka CPI Indonesia
|
1995
|
41
|
41
|
1,94
|
1996
|
54
|
45
|
2,65
|
1997
|
52
|
46
|
2,72
|
1998
|
85
|
80
|
2,0
|
1999
|
99
|
96
|
1,7
|
2000
|
90
|
85
|
1,7
|
2001
|
91
|
88
|
1,9
|
2002
|
102
|
96
|
1,9
|
2003
|
133
|
122
|
1,9
|
2004
|
146
|
133
|
2,0
|
2005
|
159
|
137
|
2,2
|
2006
|
163
|
130
|
2,4
|
2007
|
180
|
143
|
2,3
|
2008
|
180
|
126
|
2,6
|
2009
|
180
|
111
|
2,8
|
2010
|
178
|
110
|
2,8
|
2011
|
183
|
100
|
3,0
|
*Indeks
CPI memiliki skala 0 (sangat korup) sampai 10 (sangat bersih)
Hal yang sebanding dengan jumlah kasus korupsi sendiri yang ditemui oleh KPK. Sebagaimana yang terlihat dari table berikut[6] :
Tahap
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
Penyelidikan
|
23
|
29
|
36
|
70
|
70
|
67
|
54
|
78
|
Penyidikan
|
2
|
19
|
27
|
24
|
47
|
37
|
40
|
66
|
Penuntutan
|
2
|
17
|
23
|
19
|
35
|
32
|
32
|
45
|
Inkracht*
|
0
|
5
|
17
|
23
|
23
|
37
|
34
|
34
|
Eksekusi
|
0
|
4
|
12
|
23
|
23
|
39
|
38
|
33
|
*Berkekuatan
tetap
Oleh
karena itu, semua fakta ini kembali ke pertanyaan awal apakah benar lebih
demokratis berarti lebih antikorupsi. Dengan makna anti korupsi berarti menurun
dan tidak adanya angka korupsi di Indonesia. Atau makna demokratis yang
dimaksud seperti apa sehingga makna “lebih antikorupsi dapat terpenuhi”.
DEMOKRASI DAN KORUPSI
Mengingat perbedaan kondisi
sebagaimana yang dimaksudkan sudah sepatutnya penggalian lebih dalam dilakukan
dalam kerangka pemberantasan korupsi. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi makna lebih demoratis lebih antikorupsi tidak terpenuhi.
Menurut Linz dan Alfred Stepan, untuk mencapai demokrasi yang terkonsolidasi, otonomi bagi masyarakat sipil dan masyarakat politik dalam kadar yang memadai harus diberikan serta didukung oleh pemerintahan berdasarkan hukum. Pemerintah berdasarkan hukum ini digerakkan oleh semangat konstitusionalisme, yang menuntut suatu hierarki undang-undang yang jelas, yang ditafsirkan oleh sistem yudisial yang mandiri dan didukung oleh budaya hukum yang kuat dalam masyarakat sipil[7].
Berdasarkan hal ini sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa makna lebih antikorupsi bukan hanya terdapat pada demokratis atau tidaknya sebuah negara. Akan tetapi, lebih tepat kepada aspek substantif yang terdapat dalam sebuah negara. Yakni aspek penegakkan hukum dan konstitusional sebuah negara. dikarenakan negara yan tidak terkategori demokratis pun justru termasuk negara yang bersih dari korupsi.
Tabel CPI peringkat negara-negara dunia[8]
Peringkat
|
Negara
|
CPI
|
16
|
United Kingdom
|
7,8
|
19
|
Belgium
|
7,5
|
19
|
Ireland
|
7,5
|
21
|
Bahamas
|
7,3
|
22
|
Chile
|
7,2
|
22
|
Qatar
|
7,2
|
24
|
United States
|
7,1
|
25
|
France
|
7
|
Dari
tabel tersebut ternyata terdapat negara yang justru lebih baik dalam hal
peringkat CPI dibandingkan Amerika Serikat sebagai lambang Negara Demokratis.
Hal ini dapat terbukti dengan perbandingan peringkat antara Qatar dengan
Amerika Serikat dalam Democracy Index 2011. Dimana Qatar justru berada di
peringkat 138 dari 167 negara dunia. Lebih rendah dari negara Indonesia yang
berada di peringkat 60 atau Amerika Serikat yang berada di peringkat 19. Hal
yang tentunya sangat berbeda ketika membandingkan kesimpulan bahwa Lebih
Demokratis Lebih Anti Korupsi.
PERSPEKTIF ISLAM
Islam telah memberikan jawaban
tentang bagaimana perspektif kita terhadap korupsi itu sendiri. Dalam hal ini
kembali disampaikan bahwa “Lebih Demokratis Bukan Berarti Lebih Anti Korupsi”.
Akan tetapi, lebih kepada substantif dari upaya pemberantasan korupsi itu
sendiri.
Upaya pemberantasan korupsi cukup
banyak disampaikan dan dirumuskan. Pendapat yang cukup ekstrem diantaranya
adalah pendapat Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi korupsi salah satunya dengan membenarkan transaksi yang dahulunya
dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu. Dalam hal ini
membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi
menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Tentunya ini bukanlah
sebuah upaya yang tepat didalam pemberantasan korupsi itu sendiri.
Ulama fikih telah sepakat
mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan dilarang. Karena
bertentangan dengan maqasid asy-syariah. Keharaman perbuatan korupsi
dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut.
a.
Perbuatan korupsi
merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan
negara (masyarakat).
Allah
SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada
firman-Nya, "Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu,
maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu;
kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali
Imran:161).
b.
Berkhianat terhadap
amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT
dalam Alquran, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
c.
Perbuatan korupsi untuk
memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena
kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat
yang miskin dan buta huruf yang mereka peroleh dengan susah payah.
d.
Termasuk ke dalam
kategori korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada seseorang karena
ia menerima suap dari yang menginginkan fasilitas tersebut. Perbuatan ini oleh
Nabi Muhammad SAW disebut laknat seperti dalam sabdanya, “Allah melaknat orang
yang menyuap dan menerima suap.” (HR Ahmad bin Hanbal).
Berdasarkan hal ini maka terdapat hukum yang berlaku
dalam Islam terhadap tindakan korupsi. Dalam hal ini, ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok,
yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir
(jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir.
Oleh sebab itu, penentuan hukuman,
baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syarak kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap
koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syarak dalam menetapkan
hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi
serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi
dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
Wallahu a’lam bi shawab.
[1]
Pendapat Denny Indrayana dalam buku Indonesia Optimis
[2]
Adhyaksa Dault, “Menghadang Negara Gagal” hal 7
[3]
Erika Nevida, “Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya”
[4]
Isna Noor Fitria, “Ketika Islam Bicara Korupsi”
[5]
Kompas, “Buku Pintar Kompas 2011” hal 356
[7]
Adhyaksa Dault, “Menghadang Negara Gagal” hal 111
[8]
http://cpi.transparency.org/cpi2011/results/
Yk.4.4.2013
*tulisan ini merupakan salah satu tugas paper asrama
yang meraih Juara 2 Lomba Penulisan Paper dengan tema "Korupsi di dalam Islam"
0 comments:
Post a Comment