Saya akan memulai tulisan ini dengan pertanyaan menggelitik banyak orang, termasuk dikalangan mereka yang mengaku “aktivis dakwah”. Sebuah pertanyaan tentang Apakah ciri-ciri aktivis dakwah itu? Maka setidaknya ada beberapa jawaban “unik” yang muncul. Dalam hal ini, saya mengambil beberapa jawaban tersebut karena dianggap sebuah fenomena bagi beberapa orang bahkan dikalangan “aktivis dakwah”.
Diantaranya :
1.
Aktivis dakwah
itu Berjilbab dan Bercelana Kain
2.
Aktivis dakwah
itu bawaannya pake jaket kemana-mana
3.
Aktivis dakwah
itu berjenggot dan bercelana cingkrang
4.
Aktivis dakwah
itu bawaannya pake gamis atau baju koko kemana
5.
Aktivis dakwah
itu bahasanya aneh, pake bahasa dan istilah-istilah Arab
Setidaknya itu beberapa ciri khas yang muncul dari
kalangan umum maupun aktivis dakwah sendiri. Entah benar atau tidak, beberapa
poin diatas menjadi semacam hak paten milik para aktivis dakwah. Maka dalam hal
ini setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pendapat saya sebagai seorang
mahasiswa pada umumnya.
Untuk jawaban dari nomor 3 hingga 5, saya tidak
akan memberikan pendapat khusus. Karena sejatinya ciri ataupun kebiasaan yang
hadir dari hal tersebut adalah wujud pemahaman dan implementasi sunnah. Pertama,
sunnah sebagai sebuah amalan yang Rasulullah contohkan kepada kita. Dan
tentunya sebagai umat yang mencintai dan menauladani beliau kita akan
mencontohnya. Kedua, pemahaman sunnah dalam hal bermuamalah. Hal ini
membutuhkan kepahaman yang mendalam karena berkaitan dengan fiqih, secara
khusus fiqih dakwah. Bagaimana kebiasaan itu bisa membuat kita tetap
berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya tanpa memberi kesan bahwa Islam itu
“sulit” dan hanya untuk kalangan tertentu. Dan bagaimana kita bisa membahasakannya
dan menyampaikannya sehingga bisa dipahami oleh masyarakat Muslim. Ya, dalam
hal ini akan terdapat perbedaan pendapat sehingga atas dasar hal itu saya tidak
akan membahas lebih dalam.
Dan ketiga, bagaimana kita bisa menjadikan Islam
benar-benar sebagai sebuah identitas diri. Tidak sekedar identitas diri dalam
data penduduk, ibadah harian, dll. Tapi dalam setiap segi kehidupan kita
termasuk budaya. Bukankah lebih baik ketika kita mengikuti budaya Islam
daripada mengikuti bahkan menyerupai budaya yang berasal dari luar Islam.
Meskipun ada kaidah, setiap hal baik adalah milik Islam meskipun itu diamalkan
oleh bukan umat Muslim. Maka memang, untuk kaidah jawaban nomor 3 hingga 5 kita
harus dengan bangga menyatakan Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim.
Berbeda dengan 2 jawaban awal dari pertanyaan
pembuka. Dimulai dari pandangan bahwa Aktivis Dakwah itu Majak (Mahasiswa
Jaketan). Karena kemana-mana selalu membawa identitas diri sebagai aktivis
sebuah lembaga atau organisasi. Misal BEM, Keluarga Muslim, Himpunan Mahasiswa
Jurusan, dll. Bahkan hal ini menjadi sebuah kritik sendiri oleh para dosen
dalam sebuah acara beberapa hari yang lalu. Ya, apakah memang kita harus selalu
identik dengan jaket. Maka dalam hal ini saya bisa dengan subjektif menyatakan
TIDAK. Apalagi ketika jaket yang dipergunakan memiliki begitu banyak identitas.
Dari nama lembaga yang diikutinya, nama pemiliknya, logo lembaganya, logo
universitasnya bahkan mungkin bendera negara. Dan semua itu dalam ukuran yang
besar. Bagi saya pribadi justru hal itu memberikan kesan yang “menakutkan” bagi
orang lain pada umumnya.
Meskipun begitu, saya bersepakat bahwa memang
harus ada penunjukkan identitas diri. Terutama dalam rangka menunjukkan
perbuatan baik sehingga orang lain mengikutinya. Tapi BUKAN dalam niat Riya ya
(baca kembali kaidah menunjukkan amal kebaikan). Bahwa memang harus ada syiar
kebaikan melalui penunjukkan identitas diri. Namun saya berkeyakinan tetap
dalam waktu, tempat, dan cara yang tepat. Bukankah Rasulullah menunjukkan
identitas kebaikannya melalui ketauladanan yang beliau perlihatkan. Sehingga
beliau digelari Al Amin, yang dipercaya oleh semua orang. Baik bagi mereka yang
dikemudian hari menjadi Muslim ataupun tidak.
Oleh karena itu, akan menjadi ada satu catatan
tersendiri ketika kita menggunakan identitas kebaikan diri (jaket-read) tidak diwaktu
dan ditempat yang tempat. Misal, seseorang menggunakan Jaket Keluarga Muslim
saat sedang berduaan dengan lawan jenis ditempat makan. Hm… meskipun kita tetap
berkhusnuzhon itu mungkin saudaranya tentunya. Atau ketika seseorang
menggunakan Jaket Badan Eksekutif Mahasiswa saat berada disebuah acara formal
bersama dosen-dosen. Ya, sebuah catatan bagi kita yang memiliki kebiasaan ini.
Maka Aktivis tidak harus selalu menggunakan jaket kemana-kemana. Tapi
menggunakannya ditempat dan waktu yang tepat.
Dan terakhir tentang aktivis dakwah itu Berjilbab
dan Bercelana Kain. Klo berjilbab tentu sudah jelas dan kita semua BERSEPAKAT
bahwa ini adalah perintah Allah. Maka ini adalah sebuah keharusan dan kemestian
sebagai seorang Muslim, tidak hanya aktivis dakwah. Namun bagaimana dengan
Bercelana Kain bagi aktivis putra (ikhwan)?
Terkait hal ini, saya tetap membukanya dengan
prinsip berpakaian, dalam hal ini menggunakan celana kain, tetap ditempat dan
waktu yang tepat. Bahkan pernah salah seorang aktivis, katakan begitu,
mengungkapkan bahwa sekarang bukan masanya lagi seorang ikhwan harus
menggunakan celana kain. Dan mulai bermunculan rasa “malu”, klo bisa dibilang seperti itu, untuk selalu
menggunakan celana kain. Karena akan terlihat berbeda dengan rekan-rekan,
teman-teman putra yang lain ataupun dengan alasan lebih bisa membaur dengan
yang lain. Nah, apakah pembaca termasuk yang SEPAKAT dalam hal ini?
Maka dalam hal ini terdapat sedikit hal yang bisa
menjadi perhatian kita. Saya akan menjelaskan ini dengan sebuah analogi dengan
sudut pandang seorang aktivis putri (akhwat). Apakah ketika mereka berjilbab
dan memang akan terlihat berbeda dengan teman-teman putri yang lain, para
akhwat merasa “malu”. Bahkan muncul pernyataan bahwa sekarang bukan masanya
lagi para akhwat menggunakan jilbab. Saya yakin kita semua akan menjawab TIDAK.
Nah, hal inilah yang saya pun baru tahu ketika berdiskusi dengan salah seorang
sesepuh aktivis yang merasakan terjadinya fase Revolusi Jilbab di Indonesia.
Tentunya mengetahui sejarah Revolusi Jilbab kan?
Berikut saya kutipkan beberapa penjelasan tentang Revolusi Jilbab. Lengkapnya
bisa penulis baca dalam sebuah buku dengan judul yang sama REvolusi Jilbab
Berkibarnya jilbab di bumi pertiwi telah melewati sejarah luka
yang panjang dan lama. Sekitar tahun 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar
berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes keputusan
yang melarang jilbab di sekolah.
Revolusi jilbab di Indonesia bermula tahun 1979. Siswi-siswi
berkerudung di SPG Negeri Bandung hendak dipisahkan pada lokal khusus. Mereka
langsung memberontak atas perlakuan diskriminasi terhadap jilbabnya. Ketua MUI
Jawa Barat turun tangan hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Ini adalah
kasus awal dari rentetan panjang sejarah jilbab di bumi persada.
Selanjutnya tanggal 17 Maret 1982 keluar SK 052/C/Kep/D.82 tentang
seragam sekolah nasional oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah , Prof.
Darji Darmodiharjo, S. H. Pelaksanaan terhadap surat keputusan itu malah
berujung pada larangan terhadap jilbab. Maka meledaklah demo barisan pembela
jilbab di seantero Indonesia.
Ketika itu tengah gencar-gencarnya penggusuran jilbaber dari
bangku pelajaran. Para muslimah terpaksa hengkang dari studi demi konsisten
menjalankan syariat. Mereka yang diusir dari sekolah, bahkan menggelar perkara
ini sampai ke pengadilan.
Belum reda perjuangan jilbab di sekolah-sekolah, muncul fitnah
baru di penghujung 1989. Jilbab penebar racun!? Ny. Fadillah berbelanja di
Pasar Rawu, diserang tiba-tiba, diteriaki dan dituduh penebar racun.
Orang-orang yang tersulut emosi langsung merajam wanita itu hingga hampir
meninggal dunia. Para muslimah menjadi takut keluar rumah. Hingga kembali
digelar tabligh akbar lautan pendukung jilbab.
Korban demi korban terus berjatuhan tetapi semangat berbusana
takwa makin berkobar hebat. Akhirnya, kebenaran tidak bisa lagi dihempang,
aturan Tuhanlah yang maha benar. Unjuk rasa, protes, demonstrasi dan dialog
intensif serta jalur hukum sampailah di saat yang berbahagia. Seiring keluarnya
SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 jilbab lengkap dengan busana menutup
auratnya dinyatakan ‘halal’ masuk sekolah. Allahu Akbar!!??!!
Sumber: Hemdi, Yoli. 2005. Ukhtiy… Hatimu di Jendela Dunia (Sebuah
Torehan Wajah Perempuan dan Peristiwa). Zikrul Media Intelektual: Jakarta Timur
Lalu apakah hubungan antara Jilbab dan Celana
Kain? Tidak lain sebagaimana yang sedikit terjelaskan melalui analogi diatas.
Kebiasaan ataupun akhirnya menjadi ciri aktivis dakwah yang selalu menggunakan
celana kain adalah tidak lain muncul sebagai bentuk dukungan terhadap Revolusi
Jilbab kala itu. Ketika para aktivis putri (akhwat) berjuang dengan identitas
jilbabnya maka salah satu bentuk dukungan dari kesepakatan tak tertulis para
aktivis putra (ikhwan) kala itu adalah sama-sama menggunakan celana kain. Maka
jika aktivis putri (akhwat) ngejreng atau terlihat mencolok dengan jilbab
lebarnya maka para aktivis putra (ikhwan) mendukung dengan terlihat ngejreng,
mencolok atau terlihat lebih tua dari umurnya dengan menggunakan celana kain.
Maka, meskipun kita mengembalikan identitas yang
baik ini ke prinsip awal beridentitas
menggunakan ditempat dan waktu yang tepat. Adalah patut menjadi perhatian
kepada kita untuk mengetahui bagaimana hal ini hadir. Dan semua terbaca dan
terpahami dari sejarah. Sungguh, semua kembali kepada bagaimana kita membungkus
kepribadian dan karakter pribadi kita dengan Islam. Sehingga yang hadir tetap
karakter dan potensi diri dengan warna Islam. Wallahu a’lam bi shawab.
NB : Case study ini saya dapatkan untuk kasus Revolusi
Jilbab di Sumatera Barat. Sedangkan untuk di pulau Jawa sebagaimana yang
didokumentasikan dalam buku “Revolusi Jilbab” tidak ada keterangan hal ini.
Yk.23.4.2013
Idzkhir al-Mu’adz
0 comments:
Post a Comment