Bagi saya tulisan Pak Cahyadi ini seperti membuka sebuah sudut pandang baru tentang hal yang sering menjadi perbincangan, Poligami. Mungkin sebagian kita ada yang sangat sensitif terhadap kata ini. Namun tidak sedikit yang begitu antusias terhadapnya. Dan sedikit yang merendahkan terhadap hal ini. Dan berikut tulisan Pak Cahyadi Takariawan, sebuah kutipan langsung dari tulisan asli beliau. 



Seseorang bercerita kepada saya tentang kisah keluarganya. Berikut saya  ringkaskan penuturannya:
“Cukup lama aku berusaha meyakinkan isteriku, bahwa aku harus menikah lagi. Sangat banyak alasan logis yang mendorongku untuk mengambil keputusan itu. Bagiku, itu bukan keputusan yang mudah. Aku sangat mencintai isteriku, namun aku juga tidak bisa melawan keinginan yang sangat kuat untuk segera menikah lagi.
Bukan, bukan karena aku sudah jatuh cinta kepada seorang perempuan. Aku bahkan tidak mempunyai calon isteri baru, karena itu tidak terlalu penting bagiku. Yang aku perlukan hanya kerelaan isteriku untuk mengerti dan memahami keputusanku itu. Aku berpikir rasional, bahwa jika aku menikah lagi, tidak boleh mencederai keindahan hubungan dengan isteri pertama dan anak-anakku.
Aku harus mendapat dukungan penuh dari isteriku, agar bisa menjelaskan dan memahamkan semua pihak tentang keputusanku ini. Terlebih kepada anak-anakku, jika kelak mereka bertanya mengapa aku beristeri dua. Lebih tepat dijawab oleh isteriku, bukan oleh aku. Demikian juga saat harus menjelaskan keputusan ini kepada pihak keluarga besarku dan keluarga besar isteriku. Rasanya akan lebih mudah mereka terima, apabila penjelasan itu datang dari isteriku.
Jika aku yang harus menjelaskan sendiri semua pertanyaan orang tentang keputusanku untuk poligami, akan tampak sebagai sebuah pembelaan diri dan pembenaran sepihak dariku yang memiliki kepentingan. Orang akan mengatakan kepadaku, “Dasar laki-laki”. Sebenarnya bukan ketakutan akan mendapat jawaban seperti itu yang membuatku mengharap dukungan dari isteriku, namun lebih kepada sebuah harapan kebaikan. Kalau orang akan berkata jelek kepadaku, itu hak mereka. Namun aku sangat berharap isteriku tidak memiliki pikiran jelek kepadaku.
Walau cukup susah dan memerlukan waktu yang lama, namun akhirnya aku berhasil juga mendapat dukungan isteriku. Aku memahami keberatannya, karena memang itu merupakan sesuatu yang rumit bagi dirinya. Aku sabar menunggu kerelaan hatinya, agar ketika ia mendukung keputusanku, tidak karena sebab-sebab paksaan atau ancaman ketakutan dariku. Aku tidak menakut-nakutinya dengan perceraian, aku juga tidak mengancamnya dengan cara apapun. Aku hanya menjelaskan berbagai alasan logis kepadanya.
Luar biasa. Akhirnya perjuangan panjangku membuahkan hasil. Isteriku memberikan dukungan penuh kepadaku, sembari memberikan banyak catatan dan persyaratan. Tidak masalah bagiku. Aku merasa bisa memenuhi berbagai catatan dan persyaratan yang ia ajukan. Soal pembagian hari, soal pembagian nafkah sehari-hari, soal perhatian, soal hubungan dengan orang tua, mertua dan anak-anak. Insyaallah aku akan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya.
Selesai sudah bab pertama, yaitu tentang kerelaan dan dukungan isteri. Sekarang memasuki bab kedua dari proses ini:  siapa yang akan aku nikahi? Bagiku ini lebih mudah daripada bab pertama tadi. Tentang siapa orangnya bukanlah hal yang rumit bagiku, karena aku tidak memiliki syarat-syarat tertentu atau kriteria tertentu. Aku tahu ada banyak gadis yang umurnya sudah cukup tua, di atas tigapuluh lima tahun, yang belum mendapatkan jodoh. Aku juga tahu ada banyak janda yang memerlukan suami untuk meneruskan kehidupan mereka dan membersamai pendidikan anak-anak mereka.
Aku ajak isteriku membahas bab kedua ini. Aku tanyakan apakah ia memiliki teman atau kenalan, yang bisa ia ajukan sebagai calon isteri keduaku. Kami berbincang tentang berbagai nama, kami diskusikan kelebihan dan kekurangannya. Aku berharap, isteri kedua harus bisa diterima oleh isteri pertamaku. Akhirnya sampailah kami kepada nama yang menjadi alternatif pertama untuk menjadi isteri keduaku. Isteriku rela, dan akupun menerima.
Langkah berikutnya adalah menghubungi dan melakukan pendekatan kepada perempuan tersebut. Mencoba menjajagi apakah ia mau menjadi isteri kedua, mengingat usianya yang sudah cukup tua dan belum mendapatkan jodoh. Aku bersyukur, isteriku bersedia melakukan upaya itu. Ia yang akan menghubungi dan menjajagi kemungkinan perempuan itu mau menjadi isteri keduaku.
Selagi kami berproses meneruskan langkah ini, tiba-tiba aku merasakan sakit di bagian perut. Belum pernah aku merasakan sakit seperti ini. Sepertinya bukan sakit perut biasa. Akhirnya aku memeriksakan diri ke dokter di rumah sakit, yang ternyata langsung direkomendasikan untuk bedrest.
Apa boleh buat, aku harus bedrest di rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih intensif dan sekaligus bisa istirahat. Beberapa waktu belakangan ini memang volume pekerjaanku sangat banyak. Menyita banyak waktu dan energi, terlebih lagi aku sangat kurang istirahat.
Rumah sakit rujukan di daerahku ternyata sangat padat saat itu. Ruang VIP sudah penuh terisi pasien, ruang kelas utama juga sudah penuh semua. Tinggal tersedia ruang kelas dua. Akhirnya aku harus mendapatkan jatah perawatan di bangsal kelas dua. Artinya, dalam satu bangsal akan ada dua bed untuk dua pasien. Sesungguhnya aku merasa kurang nyaman, karena kurang ada privasi. Terlebih lagi aku tidak tahu siapa pasien yang akan bersama aku di bangsal itu nanti.
Saat dibawa menuju bangsal, ternyata di dalamnya sudah ada pasien yang juga tengah dirawat. Seorang kakek yang terbaring sakit, ditunggui oleh isterinya, nenek yang juga sudah tua. Dari penampilannya, sekilas aku memperkirakan usia nenek sudah di atas tujuhpuluh tahun. Mungkin bahkan sudah delapan puluh tahun. Aku segera berbaring di bed yang disediakan untukku.
Nenek itu ternyata sangat ramah. Ia menjengukku dan menanyakan sakitku. Akupun menjawab dengan sopan dan membalas dengan pertanyaan serupa, sakit apa kakek hingga dirawat di bangsal ini. Ia bercerita panjang lebar, sejak awal sakitnya si kakek, hingga dibawa bedrest di rumah sakit. Sudah seminggu kakek berbaring di rumah sakit dan selalu ditunggui oleh nenek.
“Apa tidak ada anak atau cucu yang bisa bergantian menunggui kakek?” tanyaku.
“Anak-anak dan cucuku sudah menawarkan untuk menunggi kakek. Tapi aku ingin menungguinya sendiri. Dari dulu aku selalu merawatnya”, jawab nenek.
“Jadi nenek selalu menunggui kakek di bangsal ini?” tanyaku.
“Iya nak, sudah seminggu ini aku tidak pulang. Kakek juga lebih senang kalau aku tunggui”, jawabnya.
Tiga hari aku menjalani perawatan dan pemeriksaan medis di rumah sakit. Setiap hari aku menyaksikan kesetiaan seorang nenek dalam melayani dan menjaga suaminya. Ia buatkan teh panas kesukaan suaminya, ia tuntun si kakek ke kamar mandi, ia bantu kakek memakai baju, ia siapkan obat-obat untuk diminum kakek secara rutin, ia suapi kakek ketika tiba jam makan. Tampak betapa kakek dan nenek itu hidup dalam hubungan yang sangat setia.
Sedangkan aku lebih memilih untuk sendirian ketika malam hari. Aku tidak tega isteriku tidur di bangsal yang sempit ini, terlebih lagi ia harus mengurus anak-anak di rumah untuk keperluan sekolah dan makan mereka. Siang hari saja isteriku datang dan menungguiku, hingga sore. Selebihnya aku lebih suka sendiri, toh ada perawat yang bisa membantu semua keperluanku. Biar isteriku menemani anak-anak di rumah.
Setiap hari nenek memberikan kue dan buah-buahan ke meja di samping tempat berbaringku. Bahkan nenek sering menawariku untuk membuatkan minuman yang aku inginkan. Namun aku selalu menolaknya. Ia sungguh perempuan yang sangat baik hati.
Hari keempat aku diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Alhamdulillah, lega sekali rasa hatiku, bisa keluar dari “ruang pengap” bangsal ini. Rasanya dunia demikian indah saat aku meninggalkan rumah sakit dan kembali ke rumah. Tak lupa aku berpamitan kepada kakek dan nenek, sembari mendoakan agar kakek segera diberi kesembuhan.
“Semoga anak juga cepat pulih dan kembali ke keluarga”, pesan nenek.
“Kapan nenek pulang?” tanyaku bercanda.
“Aku tak akan pulang tanpa kakek, nak” jawabnya. Sudah aku duga.
Aku meninggalkan rumah sakit setelah menyelesaikan semua urusan administrasi. Dalam perjalanan pulang, aku masih selalu terkenang oleh kakek dan nenek di bangsal itu. Sebuah gambaran kesetiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Empat hari empat malam aku satu bangsal dengan kakek dan nenek itu, belum pernah aku dengar suara bentakan mereka. Kakek bahkan tidak banyak bicara. Nenek yang lebih banyak bicara. Tidak ada suara dan nada kasar dari kakek ataupun dari nenek. Bahkan sesekali terdengar nenek bercanda yang membuat kakek tertawa kecil. Sungguh, mereka adalah pasangan setia hingga usia senja.
Sesampai di rumah aku tidak segera beraktivitas. Aku masih harus banyak istirahat. Sungguh aku masih sangat terpesona oleh kesetiaan nenek kepada suaminya di bangsal itu. Ia menjaga suaminya yang berbaring lemah. Sendiri saja. Sesekali waktu anak dan cucunya berdatangan menjenguk, namun segera mereka pulang lagi. Sesekali tetangga dan kerabat datang menjenguk kakek, sebentar kemudian  mereka juga pulang. Tinggallah nenek sendiri menunggui suami.
Entah sampai kapan mereka berdua berada di bangsal pengap itu. Dokter belum memberi keterangan sampai kapan boleh pulang. Nenek tetap setia. Aku belum pernah mendengar nenek mengeluh tentang urusan ini. Luar biasa kesabarannya.
Malam pertama aku pulang ke rumah, bayangan kesetiaan nenek itu demikian lekat di benakku. Aku segera membandingkan dan membayangkan diriku sendiri. Kelak ketika aku sudah tua, seperti kakek itu, apakah isteri masih akan tetap setia kepadaku? Apakah aku dan isteriku tetap bisa berada dalam hubungan yang demikian intim dan hangat?
“Dik, engkau ingat nenek dan kakek di bangsal itu?” tanyaku.
“Iya, aku mengingatnya. Nenek itu sangat ramah kepadaku. Ia perempuan yang sangat baik”, jawab isteriku.
“Apakah kelak ketika aku sudah tua, engkau akan menjagaku seperti nenek itu?” tanyaku.
“Aku akan tetap menjagamu seumur hidupku”, jawab isteriku pendek.
Aku menangis. Segera kupeluk erat isteriku. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa menangis. Mungkin karena kondisi fisikku yang belum terlalu pulih setelah menjalani perawatan selama empat hari di rumah sakit. Mungkin karena aku masih terobsesi oleh kesetiaan nenek di bangsal itu kepada suaminya.
Malam berlalu. Esok pagi terasa sejuk bagiku. Bangun berpagi-pagi untuk menunaikan shalat Subuh. Aku belum bisa ke masjid. Aku shalat di rumah dengan isteri dan anak-anakku. Berjamaah. Nyaman sekali rasa hatiku, merasa memiliki isteri yang setia, dan anak-anak yang meneteramkan jiwa. Aku memimpin doa usai shalat subuh:
Rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina adzabannar
Rabbana hablana min azwajina, wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina imama
Pagi hari ini hatiku sudah sangat mantap. Sudah bulat. Aku tidak akan meneruskan proses pernikahan keduaku. Aku sudah berjanji akan hidup hanya dengan isteriku ini, satu-satunya. Tidak perlu ada isteri lainnya lagi.
Siang nanti, setelah anak-anak berangkat sekolah, aku akan menyampaikan keputusanku ini kepada isteriku…..