Mungkin inilah makna liburan sebagai momentum meningkatkan kapasitas diri. Momentum dimana kebanyakan kita terlena untuk tidak memanfaatkan peluang ini. Peluang yang saya maksud adalah training kepenulisan (jurnalistik). Sebuah hal baru untuk saja jajaki dan pelajari.

Tetesan tinta ini dimulai dari hari Kamis 16 Februari hingga 18 Februari 2012. Rangkaian program yang nantinya ditutup dengan kunjungan ke Radar Jogja. Hal yang menjadikan program ini berbeda dengan training kepenulisan umumnya adalah karena ini khusus diprogramkan kepada kami, 16 santri Lembaga Pendidikan Insani. Dan diefektifkan menjadi 3 hari non stop dengan harapan kami menemukan karakter kepenulisan masing-masing. Kurang lebih seperti itulah gambaran yang disampaikan Bapak Sugarbo selaku Ketua LPI Yogyakarta saat memberikan pengantar training kepenulisan ini. Meskipun disebut sebagai sebuah pengantar, akan tetapi lebih sesuai untuk saya nyatakan sebagai percikan awal motivasi menulis. Mungkin karena latar belakang beliau yang juga merupakan orang jurnalistik bahkan bisa dibilang “Mbah-nya jurnalistik”, ujar salah satu pemateri.

“Penulisan adalah sebuah kata yang tidak jauh dari apa yang kita namakan komunikasi”, buka Bapak Sugarbo. Yakni ketika kita memahami tentang siapa yang menyampaikan pesan (sender), pesan apa (what) dan dengan media apa kita menyampaikan, untuk diterima siapa (to whom) serta dampak apa yang dimunculkan dari pesan tersebut (effect). Dan dari aspek tersebut coba kami pahami adalah aspek media komunikasi atau penulisan itu. Yakni media, terkhusus media massa.

“Apakah media itu bersifat objektif?”, tanya Pak Garbo dalam membuka wacana. Pertanyaan ini seperti menjadi hal yang tidak selesai untuk kami diskusikan. Terutama dari berbagai sudut pandang yang kami miliki. Beberapa ada yang menganalisis dari sudut ideologi, ekonomi, politik, pelakunya, dll. Hal yang sedikit kami pahami dari diskusi tersebut adalah bahwa objektivitas media adalah objektivitas subjektif. Maka setiap media pasti akan membawa sebuah sudut subjektivitas dalam setiap penyampaiannya bahkan ketika media itu menyatakan diri sebagai media yang tidak mengambil subjek manapun.

Selanjutnya kami mencoba untuk memahami sebuah prinsip penulisan. Yakni rentang pilihan yang ada pada setiap tulisan adalah rentang antara fakta dan fiksi. Ada yang kuat dalam fakta, inilah yang harusnya hadir dalam sebuah berita. Dan ada yang lebih kuat dalam fiksi, aspek yang melahirkan novel, cerpen, dll. Tentunya ada yang mengambil bagian tengah antara fiksi dan fakta yang melahirkan karya ilmiah, essay, dll. Hal inilah yang akan coba kami temukan pada karakter kami. Namun kecenderungan terbaik yang coba kita capai adalah berada pada wilayah pertengahan menuju fakta. Karena disanalah sebuah keilmiahan dan objektivitas itu hadir. Ya, sebuah pengantar yang mencerahkan sore itu ketika akhirnya ditutup menjelang adzan Magrib.
----------------

Eits... perjalanan agenda hari itu pun masih belum selesai. Karena masih ada sesi pertama materi pada hari itu yakni “News Reporting”. Dan tepat pukul 20.00 WIB kami menerima kedatangan seorang praktisi jurnalistik. Beliau adalah Bapak atau lebih tepatnya dipanggil Mas Erwan Widiarto. Seorang wartawan yang sudah cukup lama berada di Jawa Pos. Saat ini pun beliau memegang tanggungjawab merancang I-post atau bentuk surat kabar digital dari Jawa Pos. Bersama beliau kami menggali topik dan diskusi menarik bertemakan Bagaimana Menulis Berita yang Baik.

Dari pembahasan materi inilah terdapat pengetahuan yang harusnya menjadi pengetahuan setiap orang yang ingin menulis berita bahkan “menjadi” sebuah berita. Beberapa poin utama dari pembahasan ini adalah bagaimana menentukan sebuah nilai berita. Dimana, kurang lebihnya terdapat 12 poin yang beliau sampaikan berdasarkan apa yang didapatkan selama di Jawa Pos, yakni :
- Hangat
- Signifikan
- Eksklusif
- Unik/Aneh
- Proksimitas
- Dramatik
- Ketokohan
- Konflik
- Informatif
- News Trend
- Memiliki misi
- Ada angle lain

Dari 12 indikator inilah sebuah berita diberi bobot sebagai tulisan yang bernilai berita. Itulah akhirnya yang kita baca sebagai berita, headline koran, tajuk, opini, dll. Maka inilah yang menadi sebuah tips sederhana dari Mas Erwan untuk mereka yang bercita-cita agendanya menjadi bahan liputan media. Prinsip jurnalis itu adalah tidak menerima suap melainkan meliput berita yang dapat memenuhi beberapa atau salah satu dari 12 kriteria diatas. Sebagai contoh, acara bakti sosial tidak akan bernilai berita ketika hanya diadakan sekelompok mahasiswa. Akan tetapi, akan menjadi nilai berita ketika acara bakti sosial tersebut bersama dengan Sheila on 7 karena ada aspek ketokohan disini. Atau berita mahasiswa yang sedang tidur dikelas tidak akan bernilai berita. Hal yang berbeda ketika beritanya adalah Anggota Dewan sedang tidur di Senayan karena ada aspek signifikan atau memberi dampak kepada orang banyak disana.

“Media adalah mesin pembuat lupa”, salah satu pernyataan saat diskusi bersama Mas Erwan. Hal inilah yang mungkin sering menjadi pertanyaan kita ketika sebuah media dapat membuat opini dari berita-beritanya dalam bebeberapa minggu. Akan tetapi, bisa hilang dan dilupakan karena sebuah berita pada satu hari saja. Misalnya berita tentang kasus Bank Century yang nyaris mewarnai media selama beberapa waktu. Kasus ini dapat hilang hanya karena berita final piala AFF Indonesia yang dihadiri Presiden RI. Maka disinilah nantinya terdapat peran bagaimana sebuah media itu memiliki visi idealis. Sehingga untuk berita-berita yang berpengaruh signifikan pun tetap terjaga ingatan pembacanya. Meskipun layak tergerus atau dijadikan lupa oleh berita lain meski hanya melalui tajuk kecil disatu sudut koran.

Dan pendalaman pemahaman yang menari untuk hari pertama ini. Insya Allah masih ada beberapa hari penuh pengalaman dan pengetahuan lainnya dari Training Kepenulisan ini. Oya, sebuah pilihan dari apa yang diperoleh hari ini adalah termasuk bagian manakah kita dalam memahami media atau menjalankan peran sebagai jurnalis-jurnalis dikampus? Idealis atau ?