“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong.”(Asy Syura :8)

Hm.. Ungkapan yang menjadi judul ini pernah dimunculkan oleh seseorang yang menjalankan amanah justru diranah (kavling-read) ini Bukan karena hal tersebut adalah pandangan beliau melainkan karena beliau menyadari apa sejatinya pandangan yang hadir terhadap tempat beliau berada saat ini. Hingga diskusi hangat ini pun berlangsung cukup lama diantara segelintir orang yang hadir saat itu. Dan pada kondisi ini, saya berada pada sudut pandang mencoba berpikir bagaimanakah realitas kondisi yang hadir pada saat itu. Ya, dengan konteks dan realitas kader sebagaimana yang menjadi bagian sedikit yang bisa saya pahami.

Pertama, saya mencoba kembali mengingat mengapa ada pemahaman tentang ranah-ranah atau zona-zona dakwah. Apakah itu murni hadir untuk mengkotak-kotakan wilayah dakwah, untuk memisah-memisahkan tempat beramal, untuk membedakan satu sama lain. Dan ternyata Allah berfirman dalam Q.S. Asy Syura : 8 sebagaimana yang telah dibuka dibagian awal. Atas dasar ini saya memahami bahwa sesungguhnya amal ini adalah dalam kerangka satu kesatuan gerak yang harusnya tidak terpisahkan. Ari Abdillah dalam “Paradigma Baru Dakwah Kampus” menyatakan bahwa pembagian ranah ini adalah untuk melakukan harmonisasi sebagai upaya mengoptimalkan potensi masing-masing. Dan harmonisasi ini mencakup pembagian atau kerjasama peran, bidang garap, isu, objek dakwah dan hal-hal lain, sehingga tercegah kondisi tumpang tindih, kesenjangan atau saling memperlemah antar elemen dakwah yang ada”.

Maka zona-zona ini bagi saya ibaratnya hanyalah sebuah wilayah dalam tanah sekian hektar dengan kavling-kavling yang tidak diberi pagar. Yang ada hanyalah sebuah batu penanda antara satu kavling dengan kavling yang lainnya. Sehingga wilayahnya adalah sama, sama-sama dalam garapan tanah yang sama. Maka apapun kavling kita itu sesungguhnya berada pada wilayah yang sama. Apakah itu kavling siyasi, da’awy, ilmy, ilamy, sya’bi, iqtisadiyah, maupun kavling-kavling lain yang masih sangatlah banyak.

Kedua, lalu bagaimana seharusnya peran dari masing-masing kavling tersebut? Apakah
cukup dengan memberadakan diri dikavling-kavling yang telah ada tersebut? Untuk hal ini saya ilustrasikan dengan contoh yang semoga tidak dianggap aneh. Yakni Kagebunshin-nya Uzumaki Naruto. Ada apa dengan kagebunshin tersebut? Bagi penggemar tokoh ini tentu akan paham bahwa peran kagebunshin adalah menjadi kekuatan pendukung dalam penguasaan ninjutsu maupun untuk mengalahkan musuh bagi Naruto. Nah, bagi saya setiap ranah dakwah itu ibarat kagebunshin-kagebunshinnya Uzumaki Naruto sedangkan sosok asli kagebunshin adalah dakwah itu secara kesuluruhan. Ketika waktu bertahan kagebunshin tsb habis dia memberikan informasi bahkan tambahan ilmu dari apa yang telah dialami kepada sosok asli dari Kagebunshin.

Dan begitu juga seharusnya peran masing-masing ranah itu. Keberadaannya menjadi saling mendukung untuk sesuatu yang menjadi bagian utama yakni dakwah itu sendiri. Masing-masing kagebunshin (ranah-read) berusaha dengan kekuatan maksimal sesuai dengan kesadaran akan waktu dia bisa bertahan untuk memberikan hal yang terbaik yang dia miliki. Maka itulah ranah-ranah dakwah itu, kavling-kavling itu, memberikan hal yang terbaik yang dia miliki untuk bangunan utama dari dakwah itu sendiri.

Dan ketiga, maka bagaimanakah dengan kita masing-masing yang saat ini berada pada kavling-kavling tersebut? Sesungguhnya hal yang telah dinyatakan sejak awal tulisan ini yakni memberikan hal terbaik yang kita miliki untuk masing-masing kavling tersebut. Ketika kita ingin menabur benih pohon-pohon dan tanaman sehingga menjadikan kavling kita sebagai ladang yang berbuah maka kita benar-benar menjadi seorang petani terbaik. Ketika kita ingin membangun sebuah bangunan yang kokoh dan indah di kavling tersebut maka kita benar-benar menjadi seorang penyusun batu-bata terbaik. Dan ketika kita ingin menjadikan kavling tersebut sebagai padang rumput yang luas maka kita benar-benar menjadi seorang perawat rumput terbaik.

Dan bagaimana hubungan antara kita dengan orang-orang dengan kavling yang berbeda?. Tentunya yang akan hadir adalah tidak ada yang merasa superior dibandingkan yang lain. Seorang petani tidak akan merasa lebih daripada seorang penyusun batu bata karena memang kemampuannya adalah sebagai petani begitu juga sebaliknya. Maka begitu juga seharusnya bagi kita yang berada dikavling-kavling yang berbeda. Tidak merasa kavlingnya lebih baik daripada yang lain. Sehingga tidak ada ungkapan yang muncul bahwa kavling saya lebih menantang dibandingkan kavling tersebut. Karena lebih tandus, berbatu-batu, keras dan penuh keringat dan darah untuk mengolahnya. Tidak ada ungkapan bahwa kavling tersebut “cupu” dan tentu saja mudah diolah karena tanahnya sangatlah subur, berhumus dengan sumber mata air yang sangatlah lancar. Karena sesungguhnya setiap kavling itu sama pentingnya untuk diolah dengan bentuk pengolahannya yang tentu saja akan berbeda. Yang harus senantiasa kita ingat tidak lain dan tidak bukan adalah kavling- kavling itu berada pada wilayah yang sama.

“Suatu hari nanti saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berda di antara mereka, yang bercerita tentang perjuangan yang indah, dimana kita, sang pejuang itu sendiri. Tak pernah kehabisan energi tuk terus bergerak, meski terkadang godaan tuk berhenti atau bahkan berpaling arah begitu menggiurkan. Keep istiqomah!!”
Wallahu a’lam bi showab

Yogyakarta, 2 Februari 2012 M
10.40 WIB



Idzkhir al Mu’adz