Menjadi santri adalah menjadi bagian dari sebuah peran lebih dalam untuk perbaikan diri. Karena kata santri mengandung makna bahwa dia adalah pembelajar seumur hidup. Santri menjadikan semua hal yang diperolehnya sebagai sebuah pembelajaran. Tidak terbatas melalui ilmu-ilmu diruang kelas, tidak terbatas melalui penjelasan dan tausiyah bersama astatidz. Menjadi santri adalah menjadikan setiap hal yang diterima, didengar, dirasa sebagai sebuah pembelajaran hidup. Karena itulah santri.

Setidaknya itulah yang saya pahami selama menjadi santri kilat disini, asrama Lembaga Pendidikan Insani. Santri kilat selama 2 tahun yang katanya tidaklah cukup untuk dianggap menjadi santri. Dan tak terasa, sudah setahun lebih saya menjalani peran itu. Dan sudah mendekati waktunya akan lepas dari tempat belajar ini. Ya, itulah yang saya rasakan ketika mengikuti acara Pertemuan LPI Nasional sepekan yang lalu di kota Malang. Karena santri LPI disana sudah memasuki masa-masa akhir keberadaan mereka di LPI. Dan sama seperti yang kami rasakan, begitu cepat dan terasa sayang untuk harus segera diberakhirkan.

Bukan tentang hal itu saya bercerita disini, mungkin ada kesempatan lain ketika Allah berkehendak mengakhirkan status saya sebagai santri disini. Meskipun status santri itu adalah status seumur hidup. Namun saya akan bercerita tentang sebuah peristiwa yang mengagetkan siapa pun pada hari itu. Hari terakhir Pertemuan Nasional LPI.

Karena ada satu sesi yang dinanti dan menjadi pertaruhan apakah patut untuk diadakan. Yakni sesi pengumuman Santri Terbaik dari masing-masing LPI, Jogja dan Malang. Dinanti karena tentunya semua santri ingin mengetahui siapakah dan apa dirinyakah. Apalagi sesungguhnya bagi saya semua santri adalah orang-orang terbaik yang pernah saya ketahui. Maka apakah mungkin ada yang bisa menjadi santri terbaik. Menjadi pertaruhan karena kriteria untuk hal ini bersifat abstrak dan tak berdimensi kalau kata salah seorang santri. Berprestasi, Aktif di Kampus dan Berakhlak. Kesulitannya terletak pada indicator terakhir  yang sangat sulit dinilai. Sampai salah seorang santri saking yakinnya bernazar kalo sampai salah seorang dari kami, sebut saja santri X terpilih sebagai santri terbaik maka dia akan mencucikan pakaiannya selama 2 minggu. BERSIH sebersih-bersihnya. Niatnya memang bercanda hingga semua santri dan astatidz pun tertawa.

Maka ketika sampai pada sesi pengumuman itu, semua menjadi hening. Apalagi ketika Ustadz Ali Wafa, musyrif santri Malang menyatakan bahwa pemilihan ini mungkin memang subjektif musyrif. Akan tetapi, meminta pertimbangan dari para astatidz yang mengisi kajian/dirasah kami secara rutin diasrama. Jadi, sebenarya tidak sepihak saja. Dan pengumuman pun dimulai dengan pengumuman pemenang artikel penulisan yang menjadi tugas kami sebelum mengikuti pertemuan ini sejak beberapa bulan yang lalu. Penulisan artikel pertama dengan tema kepemimpinan dalam Islam. Tak disangka, memang menjadi rencana Allah tulisan saya terpilih menjadi tulisan terbaik kedua. Padahal beberapa penulisan sebelumnya tidak pernah masuk kategori terbaik.
Pengumuman kedua juga pengumuman pemenang artikel penulisan dengan tema Korupsi vs Islam. Dan tanpa pernah saya bayangkan lagi, saya masih terpilih dan istiqomah sebagai tulisan terbaik kedua. Bagi saya ini sudahlah cukup menjadi sebuah anugrah dari Allah Swt. Apalagi mengingat hadiah yang akan diperoleh biasanya dari pemenang penulisan artikel, tambahan uang beasiswa. Dan tentunya pengumuman terakhir yang kami tunggu-tunggu, santri terbaik. Membuat semuanya menjadi kembali hening setelah gemuruh pengumuman para pemenang artikel.

Bagi saya, tidak pernah terbersit sedikit pun saya berada dikategori tersebut. Mengingat selama dikampus sepertinya saya belum mencapai prestasi yang WAW klo diekspresikan. Karena lebih sering mengorbankan peluang itu untuk amanah yang harus saya jalani. Aktif dikampus? Sepertinya saya justru menjadi kader yang tidak punya amanah formal untuk dibanggakan. Meskipun saya meyakini amanah lain yang saya jalani saat ini bisa saya banggakan dihadapan Allah Swt. Maka santri-santri LPI yang lain pantas dan mungkin mendapatkan predikat itu.

Sehingga Ustadz Ali Wafa pun mengumumkan bahwa santri terbaik LPI Jogja adalah Idriwal Mayusda. Na’udzubillahi min dzalik. Santri yang lain akhirnya memukul-mukul pundak saya. Yang lain bahkan berkata, “Tidak salah Mas antum sampai harus mengorbankan ujian Remedi antum untuk mengikuti agenda ini”. Dan yang lain tentunya menggoda dan bercanda dengan gurauannya. Sekali lagi, tidak ada terbersit sedikit pun dalam pikiran saya untuk hal ini. Kalau artikel sangat wajar sedangkan untuk hal ini, sepertinya masih dengan beberapa alasan yang saya utarakan tadi.

Pengumuman ini pun ditutup pembawa acara dengan sebuah becandaan. “Alhamdulillah saya tidak menjadi pemenang yang terbaik ya. Sehingga bisa terhindar dari Dosa”. Deg.. terhindar dari dosa. Benar juga. Tidak ada hal lain yang lebih luar biasa dan menjadi anugrah selain bisa terhindar dari dosa. Terhindar dari dosa karena bisa saja dalam penulisan artikel kita hanya sekedar copas. Terhindar dari dosa, bisa saja apa yang dilihat secara lahiriah oleh para astatidz dalam penilaian, tidak sebagaimana adanya didalam hati. Astagfirullahal ‘adzhim. Mungkin ungkapan inilah yang harus menjadi perhatian kita saat ini ketika menerima sebuah amanah, ujian ataupun anugrah. Yakni terhindar dari dosa. Karena semua itu akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt. Tidak ada sebuah beban yang sangat berat ketika kita menyadari bahwa terdapat dosa yang berpotensi padanya. Sehingga saatnya kita untuk merenung-renung diri dalam setiap amanah kita. Sudah benarkah niat kita?
*Sebuah Renungan saat Ramainya Akhir Tahun
Di UGM

Yk.12.12.2012

Idzkhir al-Mu’adz