“Kumpulkan semua HP antum!”, tegas salah seorang panitia kepada semua peserta acara pada pagi itu. Seketika semua HP dikumpulkan kedepan panitia dan dicek satu persatu. Adalah sebuah hal biasa ketika Dhouroh setiap HP dikumpul. Akan tetapi, sangatlah tidak biasa ketika HP itu dicek satu per satu. Bahkan inbox SMSnya dibaca oleh panitia.

Privasi? Apa makna sebuah privasi bagi setiap aktivis dakwah? Amniya? Amniyah sangatlah berbeda dengan privasi. Sms dari orang tua pun tentunya tidak terkategori privasi atau pun amniyah karena tentunya berisi hal yang bai. Justru pertanyaannya, ketika ada yang khawatir ketika inbox smsnya dibaca maka pasti ada sesuatu yang “tersimpan” disana.
Dan itu pun terbukti saat panitia melakukan pengecekan. Beberapa peserta terindikasi “khalwat via HP”. Mungkin terlalu ekstrem ketika menggunakan istilah itu. Akan tetapi, apalagi istilah yang tepat untuk menggambarkan hal itu? Komunikasi terkait amanah? Atau sekedar bertukar kabar? Na’udzubillah. Tentunya kita berharap itu benar.

Akan tetapi, ketika semua SMSnya tidak sedikit pun berkaitan tentang amanah. Apalagi ketika tidak ada lagi amanah yang mempertemukan. Atau bahkan tidak sedikit pun bertukar kabar. Apalagi ketika nyaris setiap hari saling berkirim SMS tanpa ada hal yang jelas untuk dikomunikasikan. Bahkan mungkin tidak hanya setiap hari, bisa jadi setiap jam, setiap menit ataupun detik. Ya, sms yang hanya berisikan curhat-curhat yang tidak perlu antara ikhwan dan akhwat. Tentunya hal ini bukan lagi terkategori komunikasi biasa. Akan tetapi “khalwat via HP”. Astagfirullah…

Fakta ini ternyata memang tidak sedikit. Saya bahkan pernah berdiskusi dengan seorang peneliti dari Fakultas Psikologi terkait hal ini. Bahkan ada penelitian yang secara khusus membahas tentang “Khalwat dikalangan aktivis dakwah”. Penelitian yang muncul karena kekhawatiran degradasi nilai secara tak terlihat dalam setiap aktivitas dakwah yang ada.

Ya, memang tentunya kita tidak menafikkan bahwa aktivis pun adalah manusia. Dan mereka pun punya fitrah sebagaimana yang Allah anugrahkan kepada hamba-hambaNya. Namun, bukankah kita pun telah mempelajari tentang kaidah-kaidah Mahabatullah. Cinta kepada Allah. Bahwa ada beberapa tingkatan cinta. Dan apa tingkatan paling rendah? Tidak lain kecenderungan. Hal yang akan meningkat menuju simpati, empati, rindu. Dan akan menuju kemesraan hingga akhirnya menghamba. Dan tentunya kita ingat, pertanyaan akhir dari materi pekanan itu adalah Lalu kepada siapakah kecenderungan, simpati, empati, rindu, mesra dan menghamba itu kita alamatkan? Semoga pertanyaan ini tidak selesai di materi-materi pekanan kita. Tidak percaya? Silahkan kita membaca kembali “Rasmul Bayan” materi pekanan kita. 

Lalu apakah semata-semata kita menyalahkan kepada satu pihak saja? Hal yang sangat tidak adil tentunya. Beberapa kejadian yang saya temui bahkan alami sendiri tidak lain adalah ketidaksadaran. Ketidaksadaran antara kedua belah pihak, ikhwan maupun akhwat. Tidak sadar bahwa intensitas interaksi yang dijalani terkadang diluar yang seharusnya. Yang pada awalnya hanya karena amanah, komunikasi biasa hingga berakhir diintensitas yang berlebihan. Sehingga tidak ada lagi batas interaksi, tidak ada lagi hijab. Hijab komunikasi, hijab pandangan bahkan hijab hati. Astagfirullah…

Ya, ada baiknya mungkin kita kembali mengingat kaidah syariat tentang interaksi. Tentang menundukkan pandangan saja ada kaidah. Bahwa meskipun hukum dasar memandang adalah boleh, namun ketika sesuatu yang diperbolehkan untuk dilihat berpeluang menjadi fitnah maka itu menjadi terlarang. Apalagi dengan apa yang disebut dengan komunikasi. Dimana kita pun paham bahwa teknologi sangat ini membuat dunia tanpa batas. Tanpa batas secara tersirat bisa bermakna tanpa hijab.

Hm… Lalu bagaimana dengan Hijab Iman dalam berinteraksi? Bukankah itu merupakan sesuatu yang kuat bahkan paling kuat? Naudzubillah.. apabila ada pernyataan itu muncul dari diri kita. Maka sungguh kita tanpa sadar telah sombong. Sombong terhadap diri sendiri bahkan bisa sombong terhadap Allah. Jangan pernah merasa cukup dengan hijab iman. Nabi Yusuf as saja dengan keimanan yang dijaga oleh Allah menyatakan bahwa dirinya pun tergoda oleh Zulaikha. Bagaimana dengan kita?

Maka sudah saatnya kita kembali menghitung-hitung diri kita (muhasabah). Kita periksa apa isi inbox HP kita. Dari siapakah pesan singkat terbanyak? Dari ikhwan ataukah akhwat? Lalu apa saja percakapan yang muncul? Sesuatu yang bermanfaatkah atau justru tadi, sesuatu yang hanya akan meningkatkan kecederungan diri.
Ya, kita sama-sama memohon ampun kepada Allah Swt untuk setiap kekhilafan kita. Menulis ini pun bukan berarti diri ini terbebas dari apa yang tertulis. Akan tetapi, justru dengan menuangkan tulisan ini agar menjadi pengingat diri. Bahwa setiap diri kita itu tempat muara khilaf dan dosa. Dan sebaik-baik hamba adalah yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt. Wallahu a’lam bishawab..

Yk.5.10.2012
Menulis ini mengingatkan sesuatu
yang untuknya Hamba Memohon Ampun Kepada ALLAH swt

Idzkhir al-Muadz