Sejenak menilik bagian dari perjalanan hidup Rasulullah saw dalam risalah dakwahnya saat di fase awal Makkah. Sedikit cerminan diri bagi kita untuk melandaskan kembali niat kita dalam setiap amal hanya karena Allah swt.

Ketika Rasulullah dan sahabat akhirnya keluar dari persembunyian mereka saat dikucilkan kaum Quraisy. Dan kegembiraan terpancar dari wajah mereka saat terbebas dari penjara ini. Akan tetapi, mengapa mereka gembira? Bukan karena seolah terbebas dari beban berat dunia ini. Namun justru kegembiaraan mereka hadir karena mereka akan bisa menyiarkan agama Islam ini yang tidak bisa mereka lakukan selama 3 tahun kecuali hanya pada musim Haji. Mereka keluar dalam keadaan lapar, bukan lapar karena makanan tapi lapar untuk berdakwah. Sehingga pertanyaan mereka bukanlah tentang makanan, minuman, pakaian, dll yang selama ini tidak mereka rasakan. Akan tetapi, pertanyaan mereka adalah tentang penyebaran agama ini. Kata mereka, “Rasulullah, bawa kami menyiarkan agama Allah”.


Dan yang sangat bersemangat tentunya Rasulullah saw untuk segera mensyiarkan Islam. Namun, Allah ternyata masih berkehendak untuk memberikan ujian kepada beliau. Ketika orang yang selalu melindungi beliau, sang paman Abu Thalib harus meninggalkan beliau menuju panggilan Allah swt. Sebuah duka yang luar biasa untuk beliau jalani. Bahkan tidak berapa lama setelah itu, sang istri tercinta pun Siti Khadijah juga memenuhi panggilan Allah swt. Sungguh menjadi sebuah kehilangan dari segi fisik dan ma’nawi. Sehingga wajarlah ketika tahun itu dikenal sebagai tahun kesedihan (‘aamul-huzni). Tahun kesedihan karena ujian yang beliau hadapi tidak hanya berhenti dengan kepergian dua sosok tersebut. Ketika berbagai intimidasi yang beliau jalani justru semakin besar setelah kepergian mereka. Bahkan Rasulullah menyinggung ini dengan ucapan, “Quraisy tidak pernah menyentuhku dengan sesuatu yang tidak aku sukai hingga Abu Thalib meninggal”.

Perjalanan dakwah pun tetaplah harus berlanjut dengan ketegaran Rasulullah saw. Ketika pada bulan Syawal tahun 10 kenabian beliau berkehendak untuk pergi ke Thaif. Dalam perjalanan ini beliau ditemani oleh Zaid bin Haritsah dengan berjalan kaki. Setiap kali berjumpa dengan suatu kabilah, beliau akan menyeru kepada Islam. Tapi tak satu pun yang memenuhi seruan beliau. Hingga akhirnya menuju Thaif dengan harapan mendapat sambutan yang baik. Ketika beliau menemui tiga orang bersaudara sebagai pemimpinnya yakni Abu Yalil, Mas’ud, dan Habib. Dan dalam majelis merka, Rasulullah menyeru mereka kepada agama Allah. Akan tetapi, salah satu mereka menjawab, “Dia merobek kain Ka’bah jika Allah benar-benar mengutusmu. Yang lain berkata, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain engkau?”. Sedangkan yang ketiga berkata, “Demi Allah, aku tidak akan pernah berbicara denganmu. Jika kamu seorang Rasul, kamu terlalu berbahaya untuk diajak berbicara. Tapi jika kamu berdusta atas nama Allah, aku tidak pantas berbicara denganmu”.

Dan Rasulullah pun akhirnya meninggalkan mereka. Sangat jelas dari ucapan mereka bahwa itu merupakan penghinaan terhadap Rasulullah. Namun beliau tetap berdiam di Thaif selama 10 hari tanpa ada satu pun dari pemimpin-pemimpin mereka yang tidak beliau datangi dan beliau seru. Hingga pada akhirnya mereka berkata”Pergilah dari negeri kami!!”

Pengusiran itu tidak berhenti sampai disitu karena sesungguhnya mereka telah memprovokasi masyarakat. Ketika para hamba sahaya dan orang-orang bodoh mengikuti Rasulullah dari belakang untuk mencaci maki, meneriaki hingga beliau dikelilingi banyak orang. Dan melempari beliau dengan batu sambil mencaci maki dalam kondisi dua baris. Merajam tumit, kami hingga kedua sandal beliau berlumuran darah. Dan ketika beliau mengangkat kaki, mereka melempar kaki yang lain sehingga beliau tidak bisa berjalan kecuali dengan sangat sulit. Sementara Zaid bin Haritsah melindungi dengan tubuhnya hingga keningnya terluka. Beliau terus dikejar hingga beliau masuk sebauh kebun milih Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah hingga akhirnya belaiau ditinggalkan.

Dalam keadaan duduk dikebun itu, beliau pun berdo’a. Do’a betapa hati beliau sangat sedih akibat perlakuan kasar yang diterima. Betapa kaum itu ternyata lebih hina dari yang beliau bayangkan. Dengan air mata membasahi jenggot, beliau pun berdoa,
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan kerendahanku dimata manusia. Wahai Tuhan yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah. Engkaulah Tuhanku. Kepada siapa Engkau serahkan daku? Kepada orang jauh yang menganiaya aku? Ataukah kepada orang-orang yang dekat yang Engkau biarkan dia menguasaiku? Selama Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Akan tetapi, Maaf-Mu lebih luas untukku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akhirat; jangan Engkau timpakan murka-Mu kepadaku. Kepada-Mu aku kembali hingga Engkau ridha; dan tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Mu”

Betapa besar keluasan hati Rasulullah saw dalam kondisi ini. Dan mungkin inilah yang sering terlupa pada diri kita hari ini. Ketika sedikit saja masalah menghampiri kita, kita sudah seolah menjadi orang paling malang didunia ini. Merasa diri kita menjadi orang yang paling banyak bebannya dalam hidup ini. Merasa diri sangatlah tidak sanggup untuk menanggungnya. Padahal Allah tidak pernah memberikan sesuatu kepada hamba-Nya sesuatu yang berada diluar kesanggupan kita.

Dan bukankah ragam ujian itu adalah hamparan anugrah. Anugrah untuk semakin dekat
dengan-Nya. Anugerah untuk membuat kita semakin mengenal-Nya agar sadar betapa agung sifat-sifatnya. Yang dapat kita lakukan adalah menikmati ragam ragam ujian itu untuk warna warni anugrah pujian. Sehingga jangan sekali-kali merasa Allah tidak menyayangi kita. Marilah berhenti untuk mempertanyakan, berhenti untuk memikirkan. Bangun untuk kesadaran, dengan berzikir dan sungguh Ya Allah, Aku Hanya Mengadu Kepadamu. (Idzkhir al Mu’adz)
Disarikan dari buku :
- Saat Mengharukan dalam Kehidupan Nabi & Sahabat karangan M. Mahir Al Buhairi
- Al-Hikam Untaian Hikmah Ibnu ‘Athailah