Wednesday, December 30, 2015

Hm... Entah kenapa tetiba ada keinginan untuk menulis tema ini. Mungkin sebagai penawar kerinduan ke daerah asal. Disamping tulisan ini niatnya menjadi rintisan awal untuk buku catatan perjalanan hidup. 

Kurai Taji, terkenal dengan sebutan Pakan Sinayan bahkan dirangkai menjadi satu kalimat Kurai Taji Pakan Sinayan. Tidak lain karena daerah ini punya jadwal pasar hari Senin (Sinayan). Dimana para pedagang pasar dari berbagai daerah terutama daerah darek datang ke Kurai Taji untuk berjualan hanya pada jadwal hari Senin. Dari penjual sayuran, baju, sandal, sepatu, lauk pauk, sampai tukang obat dengan atraksinya akan tumpah ruah pada hari Senin. Hari lain? Para pedagang itu akan pindah ke daerah lain yang punya Pasar Selasa, Rabu, Kamis, dst. Akan tetapi, aktivitas pasar Kurai Taji tetap akan hidup dengan para pedagang lokal Kurai Taji.

Kurai Taji, pernah menjadi stasiun perhentian terakhir jalur kereta api menuju Pariaman. Sehingga hal ini menjadikannya wilayah pasar yang strategis dengan sektor jasa yang tinggi. Hal yang khas tentunya banyaknya warung makanan. Bahkan Kurai Taji punya “Los Lambung”, yang sesuai namanya ini ada adalah sentra kumpulan los-los (toko-toko) makanan dan minuman pemuas lambung. Dari sate, soto, ketupat, teh telor, teh soda, kopi, dan berbagai macam pilihan lainnya. Waktu paling ramai adalah saat malam ketika para pelanggan ingin menikmatinya sambil ngobrol hingga larut malam. Bahkan diakhir pekan tidak sedikit yang menyelingi obrolan larut malam di los lambung dengan dentakan domino diatas meja. “ ‘Las Vegas’-nya Pariaman”, kata orang.

Kurai Taji, kalau kalian kesini jangan pernah pergi sebelum mencicipi makanan khas daerah ini, Katupek Gulai Paku. Gulai Paku? Jangan kaget dulu, yang dimaksud paku tidak lain adalah tanaman pakis haji yang memang termasuk jenis tanaman paku-pakuan. Makanan khas Kurai Taji ini sangat pantas untuk dicoba sebagai bagian dari kekayaan kuliner Minangkabau. Belum lagi saat menyantap Katupek Gulai Paku ditambah dengan Sala Bulek. Dijamin enak dan tak terlupakan. Kombinasi makanan khas yang pas.

Kurai Taji, daerah di pesisir barat pantai Sumatera ini mungkin pernah punya satu catatan dalam kesusasteraan Indonesia. Yakni pernah tertulis sebagai latar dalam sebuah novel tahun 1979, seandainya novel itu masih ada dan tercetak, karena hingga hari ini pun saya belum menemukan novel lengkapnya. Novel tersebut berjudul Warisan. Novel yang menggambarkan bagaimana Kurai Taji dengan stasiun kereta apinya, los lambungnya, ketupat gulai pakisnya serta kultur masyarakatnya.

Namun, dibalik semua cerita itu Kurai Taji juga punya cerita tentang pergerakan Islam. Setelah persarikatan Muhammadiyah didirikan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Kurai Taji merupakan daerah tempat pertama kali Muhammadiyah didirikan di Sumatera Barat. Hal ini menjadikan Kurai Taji identik dengan Muhammadiyah. Masyarakat Kurai Taji adalah masyarakat Muhammadiyah. Didaerah ini berdiri Masjid Sejarah Muhammadiyah yang juga dikenal dengan Surau Dagang. Konon gelar Surau Dagang diberikan karena masjid ini menjadi tempat sholat para pedagang-pedagang pasar Senin. Dan dakwah Muhammadiyah bisa tersebar dengan jama’ah-jama’ah pedagang pasar Senin yang berasal dari berbagai daerah ini.

Di Kurai Taji juga berdiri berbagai amal usaha Muhammadiyah. Diantaranya adalah Panti Asuhan Yatim dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, yakni Taman Kanak-kanak Aisyiah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Diniyah. Saya pernah menjalani pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisyiah selama 2 tahun. Bahkan saat sekolah dasar pun, sepulang sekolah masih menjadi siswa di Madrasah Diniyah Muhammadiyah selama lima tahun. Karena MDA di Muhammadiyah sudah ibarat mengikuti TPA di Kurai Taji bagi anak-anak usia sekolah dasar. Disamping saya juga pernah menjadi pesilat di perguruan Tapak Suci Muhammadiyah meski hingga kini belum memiliki kesempatan lagi untuk menyelesaikannya.


Yk.11.11.15
8.39

Posted on Wednesday, December 30, 2015 by Akhdan Mumtaz

1 comment

Wednesday, December 23, 2015

“Pada zaman Rasulullah, Abu Bakar, Umar bin Khatb, Utsman bin ‘Affan yang menjadi rakyatnya adalah aku. Sedangkan pada zaman aku menjadi pemimpinnya, yang menjadi rakyatnya adalah kamu”, jawab Ali bin Abi Thalib terhadap protes salah seorang rakyatnya tentang keberbedaan kondisi pada masa Ali dengan masa-masa sebelumnya. Jawaban ini bukan berarti menyebabkan Ali bin Abi Thalib tidak bermujahadah untuk menyiapkan generasi yang lebih baik. Beliau tetap melanjutkan pendidikan-pendidikan melalui madrasah-madrasah yang sudah dirintis dari fase-fase sebelumnya. Akan tetapi, mungkin ikhtiar dan kesungguhan beliau untuk generasi yang lebih baik mungkin tak sampai maksud untuk diterima dengan baik oleh generasi sesudahnya.

Kaderisasi memang suatu hal yang unik. Dia menjadi jantungnya sebuah organisasi dan pergerakan. Dia adalah proses yang tidak hanya mewariskan orang tapi juga mengikutkan pewarisan nilai. Proses ini tidak hanya bicara tentang siapa tapi juga bagaimana siapa-siapa itu melanjutkan.

Kaderisasi ibarat orang tua yang dengan kecintaannya bercita-cita agar anak-anaknya harus lebih baik dari dirinya. Akan tetapi, fakta ini menjadi sebuah paradoks di dunia kampus hari ini. Paradoks kasih tak sampai. Dimana sebuah generasi akan berusaha memberikan sesuatu yang terbaik dan lebih baik kepada generasi penggantinya. Namun, ternyata dipahami sebagai sesuatu yang sebaliknya oleh generasi pengganti. Bahkan kecenderungan hari ini yang hadir justru semangat “menyalahkan” generasi sebelumnya. “Kondisi hari ini mungkin tidak akan seperti ini apabila generasi kemaren tidak memberikan hal ini kepada kita”, menjadi ungkapan yang sering muncul. Akan semakin miris ketika generasi sebelumnya menjawab, “Padahal kami berusaha memberikan hal terbaik agar kalian lebih baik dari kami”. Sungguh paradoks.

Dialog antar generasi mungkin menjadi penting agar kasih itu sampai. Generasi sebelumnya mungkin butuh untuk mengekspresikan bagaimana kasihnya mereka kepada generasi sesudahnya. Tentang apa asa mereka, apa mimpi mereka, apa hal yang melatarbelakangi setiap keputusan mereka. Sebagaimana orang tua menyampaikan kasih sayangnya mereka kepada anak-anaknya. Sehingga curahan kasih itu sampai. Tapi sadarkah kita bahwa kasih orang tua pun kadang tersampaikan tanpa ungkapan lisan. Salah satunya adalah dengan memberikan kepercayaan. 

Syaikh Mushtafa Masyhur pernah menulis pembahasan khusus tentang kesinambungan antar generasi untuk mencapai tujuan dakwah. Dalam hal ini beliau menyatakan banyak hal, yang diantaranya saya kutipkan bahwa, 
  • Pewarisan secara teori tidak akan terealisasi hanya melalui buku-buku atau risalah-risalah, akan tetapi haruslah dengan hidup bersama dan melebur antara tiap generasi sebelum dan sesudahnya. 
  • Dengan menyatu dan meleburnya semangat didalam jiwa maka setiap generasi yang sebelumnya akan lebih mengenal karakter dan rambu-rambu jalan dakwah sehingga mengetahui tujuan utama, tujuan jangka pendek, mengenal sarana-sarana yang diperbolehkan serta mengenal kewajiban dan capaian-capaian yang mesti dilaksanakan.
  • Termasuk salah satu yang mesti diperhatikan adalah berusaha untuk membina kepercayaan antar generasi agar proses pewarisan dan pembauran generasi dapat berjalan sesempurna mungkin.
  • Termasuk hal yang paling penting dalam pewarisan dakwah adalah sisi spiritual dan bekal dijalan dakwah sebagai hal yang harus meningkat karena menjadi jaminan atas selamatnya perjalanan dakwah.


Berdasarkan hal ini saya memahami, termasuk pernah menjalani tentang pentingnya dialog antar generasi ini. Dialog yang didefinisikan Syaikh Mushtafa Masyhur sebagai hidup bersama dan melebur antar generasi. Sehingga tanggungjawab yang dilanjutkan generasi selanjutnya adalah sesuatu yang sesungguhnya dituai dari apa yang sebelumnya mereka jalani. Karena tiap generasi itu pernah bersama menanggung tanggungjawab tersebut. Yang dengannya generasi sebelumnya bisa dengan ikhlas, percaya dan penuh kelapangan dada mewariskan perjuangan kepada generasi selanjutnya. Mewariskan sehingga kasih itu sampai.


Yk.19.11.2015

~akhdan mumtaz

Posted on Wednesday, December 23, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, December 21, 2015

Identitas dan aksesoris adalah dua hal yang berbeda. Identitas, hal yang melekat pada diri seseorang. Sedangkan aksesoris merupakan “perhiasan” dari identitas diri itu sendiri. Yang mungkin untuk berganti sesuai perubahan kehendak dan suasana hati. Maka dengan ketidaksamaan dua hal tersebut, tentu menjadi berbeda nilai antara keduanya. 

Beberapa waktu yang lalu saya terhentak dengan sebuah pernyataan, “Sebuah pilihan hidup. Dia akhirnya melepas aksesoris Kemuslimahannya”. Kenapa saya terhentak? Pertama, karena saya memahami maksud dari kata aksesoris kemuslimahan dalam pernyataan itu tidak lain adalah Hijab. Hijab yang sebagaimana diperintahkan Allah Swt dalam firmannya,
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,........” (QS An Nur 24:31)
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”... (QS Al Ahzab 33 : 59)

Kedua, saya pun memahami bahwa yang dimaksud dengan melepas aksesoris pun bukan berarti melepas hijab secara total. Melainkan melepas penggunaan hijab secara utuh sesuai dengan firman Allah Swt. Hanya saja menjadi terhentak dengan frase “aksesoris Kemuslimahan“ karena bisa jadi kita pun menempatkan pemahaman kita tentang perintah Allah Swt seperti itu. Bahwa perintah Allah itu adalah aksesoris yang bisa sewaktu-waktu kita lepaskan.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam keseluruhan,...” (QS Al Baqarah 2:208)

Dimana Allah memanggil kita sebagai insan beriman untuk “mengutuhkan” Islam pada diri kita. Utuh sebagaimana makna dari kata “kaffah”. Akan tetapi, memang ada kata “iman” yang mendahului panggilan Allah Swt ini. Sehingga variabel iman tentu sangat mempengaruhi semangat mengutuhkan Islam kita itu.

Maka, sungguh kita patut khawatir. Jangan-jangan makna lain dari “melepaskan aksesoris Kemuslim(ah)an” itu melepaskan Keimananan dari diri kita. Na’udzubillahi min dzalik. Tentu kita berharap tidak seperti itu.  

Posted on Monday, December 21, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments