Sunday, March 29, 2015

Pekan lalu, menjadi sebuah kesyukuran bagi saya karena termasuk yang beruntung bisa memperoleh ilmu bersama para Asatidz Rumah Fiqih dot com.  Ya, bermula dari ikhtiar Ummi Masbihah dan beberapa panitia untuk memberi kepahaman ilmu fiqih kepada banyak orang terkhusus masyarakat kampus. Maka hadirlah sebuah agenda Dhouroh Fiqih yang bagi kami luar biasa. Saya pun termasuk salah satu yang ikut agenda tersebut full selama dua hari.
Rangkaian agenda Dhouroh Fiqih ini antara lain terdiri atas tiga : Pra Dhouroh, Dhouroh hari 1 (5 sesi), Dhouroh hari 2 (5 sesi) dan sebenarnya masih berlanjut dengan Dhouroh hari 3 (1 sesi). Akan tetapi, saya tidak bisa mengikuti agenda di sesi terakhir karena jatuh sakit.  

Pra Dhouroh
“Super & Menyentil”. Hikmah pertama mungkin yang saya dapat. Sangat berbeda dengan bayangan awal kita untuk setiap agenda Pra Dhouroh, agenda ini justru seperti tes pemahaman dasar tentang Fiqih. Meskipun Ummi selalu menyampaikan bahwa agenda tersebut bukan tes. Bagian awal kami diberi kesempatan membaca beberapa artikel tentang fiqih, perbedaan madzhab, dll untuk selanjutnya diminta memberikan testimoni. Testimoni saya secara umum adalah ternyata apa yang saya peroleh selama 2 tahun di pondok asrama mahasiswa tidak melekat secara utuh. Ilmu-ilmu seperti Musthala Hadits, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Fiqih Jinayah, Fiqih Sunnah, dll, seolah saya peroleh tapi tidak tergigit hingga ke gigi  geraham. Astaghfirullah. Semoga Allah rahmati para Asatidz yang memberikan ilmunya kepada kami yang “bandel” ini.

Maka dengan sentilan dari pra dhouroh tersebut menumbuhkan kembali semangat untuk kembali menggali apa yang dulu pernah saya peroleh. Apalagi beberapa output yang diinginkan dari daurah fiqh tersebut memang penting. Diantaranya : Agar kami mampu bersikap bijak terhadap berbagai perbedaan pendapat, terutama dalam hal fiqih. Bisa mengetahui dasar/pedoman awal belajar fiqih (muqadimah fiqih) serta mengenal ilmu fiqih secara utuh. Bisa memahami urgensi mengenal ulama dan memahami kaidah bermadzhab, dst. Menarik? Tentu saja. Semangat itulah yang menguatkan komitmen pribadi saya untuk bisa mengikuti agenda ini secara maksimal.  
Dhouroh Sesi 1
Agenda hari pertama dimulai jam 8.00 di Pesantren Darush Shalihat. Terdiri atas lima sesi. Khusus sesi pertama, dibersamai oleh Ustadz Isnan Anshori, Lc. Belum mengenal beliau? Silahkan kunjungi rumahfiqih.com maka akan terlihatlah profil beliau sebagai salah satu kontributor utama. Saya pun baru sadar ketika membuka halaman tersebut setelah agenda selesai. Bahwa ternyata kami dibersamai oleh Ustadz yang memiliki kepakaran atas ilmu yang disampaikan kepada kami.

Sadar atau tidak, bisa jadi materi pertama ini seperti mencambuk kami dalam memahami prioritas ilmu. Bahwa bisa jadi selama ini kita menuntut ilmu belum berdasarkan atas aspek prioritas utama yang mana. Akan tetapi, berdasar minat yang mungkin ikut-ikutan. Sepertinya seru untuk kuliah maka kita pun kuliah. Sepertinya seru untuk belajar bahasa asing, kita pun belajar dan kursus bahasa asing. Bahkan ketika pun kita menyadari pentingnya ilmu agama, itu pun dalam kerangka yang terparsialkan dengan ilmu yang sedang kita pelajari. Sekuler kalau bahasa yang umum digunakan.

Lalu bagaimana seharusnya? Kembalilah memahami tentang apa itu ilmu. Itulah yang disampaikan di materi sesi pertama. Bahwa dari perspektif hukum, ilmu itu terbagi atas dua. Yakni :
Ilmu Hal, ilmu yang wajib setiap Muslim mengetahui ketika akan melakukan aktivitas itu. Ketika kita akan memasuki bulan Ramadhan, maka ilmu yang wajib kita ketahui adalah ilmu tentang puasa Ramadhan. Ketika kita akan bepergian (musafir) maka ilmu yang wajib kita ketahui adalah ilmu dalam keadaan safar, dll.
Ilmu selanjutnya tentu ilmu yang belum wajib karena kita belum akan melaksanakan aktivitas tersebut. Dikenal dengan istilah Ilmu ‘Ahayyin.

Nah, terkhusus ilmu syar’i, ia pun terbagi atas dua. Ilmu Asasi dan Ilmu Alat. Ilmu Syar’i yang asasi terdiri atas :
1. Aqidah
2. Fiqih, 
terdiri atas Fiqih Ibadah dan Mu’amalah
3. Akhlak
Dan untuk ilmu syar’i yang alat terdiri atas:
1. Ulumul Qur’an
2. Ulumul Hadits
3. Ushul Fiqih
4. Bahasa Arab
5. Tarikh Islam

Berdasarkan kerangka ini, maka ketika ilmu syar’i menjadi ilmu yang wajib untuk kita pahami, seminimal-minimalnya kita harus selesai dalam pemahaman yang asasi. Yakni Aqidah, Fiqih dan Akhlak. Mungkin problematiknya, bisa jadi kita termasuk yang belajar dengan loncatan “kuantum”. Satu waktu semangat untuk belajar bahasa Arab tanpa tahu bagaimana setelahnya. Setelahnya tiba-tiba semangat beralih untuk belajar Qur’an, Hadits, dll tanpa terbangun kerangka awal untuk mempelajarinya bagaimana.

Lalu bagaimana harusnya? Tentu aspek asasi ini penting untuk prioritas pertama kita pahami. Karena dia adalah aspek dasar sebelum beralih ke banyak aktivitas ikutannya. Aqidah adalah pondasi dasar kita beriman dan beramal. Untuk beramal kita harus paham bagaimana Allah telah menetapkan hukum. Dan itu, dapat kita pahami dengan memahami Fiqih. Untuk selanjutnya dilengkapi dengan peran interaksi kita bersama manusia dengan Akhlak.
“Tercerahkan”. Menjadi ekspresi beberapa peserta ketika ditanyakan pendapatnya tentang materi ini. Ya, bisa jadi kita belum tepat dalam meletakkan prioritas ilmu yang mana untuk kita pahami dan pelajari selama ini.
Wallahu a’lam bi shawab.


*di sudut ruangan Andalusia
 Yk.29.3.3015

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Sunday, March 29, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, March 26, 2015

Adalah sandal, sebuah benda yang sangat dekat dan setia dengan kita. Setia menjadi alas kaki, yang dengannya harus menanggung beban dari kita berapa pun berat badan kita. Kita mungkin sangat perhatian terhadap berapa berat badan kita. Sudah ideal, kurang atau berlebihkah. Demi terlihat baik dihadapan manusia. Tapi apalah sandal, berapa pun berat badan kita, dia tetap akan siap untuk menanggung bobot kita. Bahkan dengan kondisi tak ideal dari dirinya. Ketika dia sudah sangatlah tipis termakan usia, ketika beberapa bagian dari asesoris tubuhnya sudah lepas satu persatu, bahkan ketika bentuknya sudah kusam dan mungkin sebenarnya sudah “tidak layak pakai”. Kita tetap mempergunakannya. “Cuman dipergunakan untuk berjalan beberapa meter kok. Kenapa harus bagus?”, sebagian dari alasan kita. Sandal, darinya kita belajar bahwa ketika telah baginya ditetapkan sebuah amanah untuk menanggung beban manusia, dia siap. Dengan kondisi apapun yang ada pada dirinya.


Adalah sandal, yang mungkin bagi kita tak terlalu berharga dibandingkan sepatu. Sandal bukanlah alas kaki yang dirasa “pantas” dipergunakan untuk bertemu dengan “orang penting”. Saat seorang pencari kerja dan beasiswa harus bertemu user untuk wawancara, jarang bahkan tak pernah dia menggunakan sandal. Saat seorang harus ke kantor-kantor umum untuk sekedar bertanya, dipintu masuk seseorang kadang sudah terhenti dengan rambu-rambu “Kaos Oblong dan Sandal Dilarang Masuk”. Itulah sandal, nilai kepatutan dan sosialnya telah ditetapkan. Tak begitu berharga secara sosial dibanding sepatu. Berapa pun mahal harganya. Akan tetapi, dia tetap kita butuhkan dengan fleksibelitas dan kenyamanannya. Mungkin apabila kita ditanya, “Untuk pergi kemana-mana enak mempergunakan apa? Sandal atau sepatu?”. Semua kita akan serentak menjawab, “Sandal”. Ya, sandal. Darinya kita belajar, bahkan sesuatu bisa sangat dibutuhkan bukan karena status sosialnya. Namun karena peran dan fungsinya.


*ceritanya sandal saya tertukar
beberapa hari yg lalu :)
 Yk.7.3.2015


Idzkhir al Mu’adz

Posted on Thursday, March 26, 2015 by Akhdan Mumtaz

No comments