Pekan lalu, menjadi sebuah kesyukuran bagi saya
karena termasuk yang beruntung bisa memperoleh ilmu bersama para Asatidz Rumah
Fiqih dot com. Ya, bermula dari ikhtiar Ummi
Masbihah dan beberapa panitia untuk memberi kepahaman ilmu fiqih kepada banyak
orang terkhusus masyarakat kampus. Maka hadirlah sebuah agenda Dhouroh Fiqih yang
bagi kami luar biasa. Saya pun termasuk salah satu yang ikut agenda tersebut
full selama dua hari.
Rangkaian agenda
Dhouroh Fiqih ini antara lain terdiri atas tiga : Pra Dhouroh, Dhouroh hari 1
(5 sesi), Dhouroh hari 2 (5 sesi) dan sebenarnya masih berlanjut dengan Dhouroh
hari 3 (1 sesi). Akan tetapi, saya tidak bisa mengikuti agenda di sesi terakhir
karena jatuh sakit.
Pra Dhouroh
“Super &
Menyentil”. Hikmah pertama mungkin yang saya dapat. Sangat berbeda dengan
bayangan awal kita untuk setiap agenda Pra Dhouroh, agenda ini justru seperti tes
pemahaman dasar tentang Fiqih. Meskipun Ummi selalu menyampaikan bahwa agenda
tersebut bukan tes. Bagian awal kami diberi kesempatan membaca beberapa artikel
tentang fiqih, perbedaan madzhab, dll untuk selanjutnya diminta memberikan testimoni.
Testimoni saya secara umum adalah ternyata apa yang saya peroleh selama 2 tahun
di pondok asrama mahasiswa tidak melekat secara utuh. Ilmu-ilmu seperti
Musthala Hadits, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Fiqih Jinayah, Fiqih Sunnah, dll,
seolah saya peroleh tapi tidak tergigit hingga ke gigi geraham. Astaghfirullah. Semoga Allah rahmati
para Asatidz yang memberikan ilmunya kepada kami yang “bandel” ini.
Maka dengan
sentilan dari pra dhouroh tersebut menumbuhkan kembali semangat untuk kembali
menggali apa yang dulu pernah saya peroleh. Apalagi beberapa output yang
diinginkan dari daurah fiqh tersebut memang penting. Diantaranya : Agar kami mampu bersikap bijak terhadap berbagai perbedaan pendapat, terutama dalam
hal fiqih.
Bisa mengetahui dasar/pedoman awal belajar fiqih (muqadimah
fiqih) serta mengenal ilmu fiqih secara utuh. Bisa memahami
urgensi mengenal ulama dan memahami kaidah bermadzhab, dst. Menarik?
Tentu saja. Semangat itulah yang menguatkan komitmen pribadi saya untuk bisa
mengikuti agenda ini secara maksimal.
Dhouroh Sesi 1
Agenda hari pertama dimulai jam 8.00 di
Pesantren Darush Shalihat. Terdiri atas lima sesi. Khusus sesi pertama, dibersamai
oleh Ustadz Isnan Anshori, Lc. Belum mengenal beliau? Silahkan kunjungi
rumahfiqih.com maka akan terlihatlah profil beliau sebagai salah satu kontributor
utama. Saya pun baru sadar ketika membuka halaman tersebut setelah agenda
selesai. Bahwa ternyata kami dibersamai oleh Ustadz yang memiliki kepakaran
atas ilmu yang disampaikan kepada kami.
Sadar atau tidak, bisa jadi materi pertama
ini seperti mencambuk kami dalam memahami prioritas ilmu. Bahwa bisa jadi
selama ini kita menuntut ilmu belum berdasarkan atas aspek prioritas utama yang
mana. Akan tetapi, berdasar minat yang mungkin ikut-ikutan. Sepertinya seru
untuk kuliah maka kita pun kuliah. Sepertinya seru untuk belajar bahasa asing,
kita pun belajar dan kursus bahasa asing. Bahkan ketika pun kita menyadari
pentingnya ilmu agama, itu pun dalam kerangka yang terparsialkan dengan ilmu
yang sedang kita pelajari. Sekuler kalau bahasa yang umum digunakan.
Lalu bagaimana seharusnya? Kembalilah
memahami tentang apa itu ilmu. Itulah yang disampaikan di materi sesi pertama. Bahwa
dari perspektif hukum, ilmu itu terbagi atas dua. Yakni :
Ilmu Hal, ilmu yang wajib setiap Muslim
mengetahui ketika akan melakukan aktivitas itu. Ketika kita akan memasuki bulan
Ramadhan, maka ilmu yang wajib kita ketahui adalah ilmu tentang puasa Ramadhan.
Ketika kita akan bepergian (musafir) maka ilmu yang wajib kita ketahui adalah
ilmu dalam keadaan safar, dll.
Ilmu selanjutnya tentu ilmu yang belum wajib
karena kita belum akan melaksanakan aktivitas tersebut. Dikenal dengan istilah Ilmu
‘Ahayyin.
Nah, terkhusus ilmu syar’i, ia pun terbagi
atas dua. Ilmu Asasi dan Ilmu Alat. Ilmu Syar’i yang asasi terdiri atas :
1. Aqidah
2. Fiqih,
terdiri
atas Fiqih Ibadah dan Mu’amalah
3. Akhlak
Dan untuk ilmu syar’i yang alat terdiri atas:
1. Ulumul Qur’an
2. Ulumul
Hadits
3. Ushul Fiqih
4. Bahasa Arab
5. Tarikh Islam
Berdasarkan kerangka ini, maka ketika ilmu
syar’i menjadi ilmu yang wajib untuk kita pahami, seminimal-minimalnya kita
harus selesai dalam pemahaman yang asasi. Yakni Aqidah, Fiqih dan Akhlak. Mungkin
problematiknya, bisa jadi kita termasuk yang belajar dengan loncatan “kuantum”.
Satu waktu semangat untuk belajar bahasa Arab tanpa tahu bagaimana setelahnya. Setelahnya
tiba-tiba semangat beralih untuk belajar Qur’an, Hadits, dll tanpa terbangun
kerangka awal untuk mempelajarinya bagaimana.
Lalu bagaimana harusnya? Tentu aspek asasi
ini penting untuk prioritas pertama kita pahami. Karena dia adalah aspek dasar
sebelum beralih ke banyak aktivitas ikutannya. Aqidah adalah pondasi dasar kita
beriman dan beramal. Untuk beramal kita harus paham bagaimana Allah telah
menetapkan hukum. Dan itu, dapat kita pahami dengan memahami Fiqih. Untuk selanjutnya
dilengkapi dengan peran interaksi kita bersama manusia dengan Akhlak.
“Tercerahkan”. Menjadi ekspresi beberapa peserta
ketika ditanyakan pendapatnya tentang materi ini. Ya, bisa jadi kita belum
tepat dalam meletakkan prioritas ilmu yang mana untuk kita pahami dan pelajari
selama ini.
Wallahu a’lam bi shawab.
*di sudut ruangan Andalusia
Yk.29.3.3015
Idzkhir al-Mu’adz