Wednesday, November 26, 2014

Sepertinya baru beberapa waktu yang lalu, saya diantarkan orang tua di hari pertama sekolah di sekolah dasar. Baru beberapa waktu lalu saya pamitan meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan sekolah.
Begitu pun beberapa waktu yang lalu, ketika akhirnya kedua orang tua datang menemui saya di Bandara Adisucipto dengan senyum bahagia.

Senyum Bahagia, yang saya pun tidak bisa mengungkapkannya bahkan mendeskripsikannya. Senyum bahagia yang diiringi tanpa banyak ungkapan kata-kata kecuali pertanyaan, "Sehat Id?". Mungkin itulah senyum bahagia, ekspresi dari kebahagiaan kedua orang tua kita ketika melihat sedikit buah dari perjuangan dan pengorbanannya kepada kita sebagai anak.

Semoga kita menjadi anak yang senantiasa membuat kedua orang tua selalu tersenyum bahagia dalam setiap ekspresinya, ketika mengingat maupun melihat kita.


Yk.26.11.2014


Posted on Wednesday, November 26, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, November 17, 2014


Kita bukannya tidak bisa, tapi tidak sempat.
Kita bukannya tidak sempat, tapi tidak mau.
Kita bukannya tidak mau, tapi tidak tahu.
Kita bukannya tidak tahu, tapi tidak peduli.
Kita bukannya tidak peduli, tapi tidak bisa.


Setuju dengan siklus di atas? Itulah siklus stagnan. Siklus yang diam, statis, tidak bergerak, dan jika dibiarkan terus akan menjadi penyebab terhentinya aliran kebaikan lantaran tidak adan satupun hati yang tergerak. Layaknya air yang tidak bergerak, cepat atau lambat akan menimbulkan kekeruhan dan menjadi sumber penyakit.

Saudaraku, sadarkah bahwa siklus ini kerap kita temui, hadapi, atau mungkin pernah kita jalani tanpa kita sadari? Mungkin bermula dari munculnya rasa malas, kemudian lahir kecenderungan untuk melarikan diri dari amanah dan masalah, hingga akhirnya terciptalah alasan-alasan yang sekiranya dapat dijadikan pembenaran atas kekeliruan yang terjadi. Kala itu, berjuta alasan lahir seakan tanpa dipikir. Atau mungkin dipikir dulu, barulah lahir sebuah alasan.
Lantas siapakah yang terjebak pada siklus stagnan ini? Entahlah. Bisa jadi kita semua. Karena kita hidup dalam sebuah sistem. Laksana siklus hujan, yang mana awal dan akhir hanyalah titik di mana sebenarnya semua saling terkait.

Jika pada pertandingan sepak bola kita dihadapkan dengan pertanyaan, “Apa yang kamu inginkan dalam pertandingan ini?” Sudah tentu jawabannya kemenangan. Namun saat kemenangan itu teraih, muncul kembali pertanyaan, “Kemenangan ini karena siapa?” Saat itulah muncul banyak spekulasi. Ada yang berkata bahwa ini terjadi karena sang kiper begitu lihai dalam menangkap bola; Juga disebabkan para penyerang yang pandai memasukkan bola ke gawang lawan; Atau karena bagian gelandang yang cekatan merebut bola dan memberikan umpan cantik.

Namun bagaimana kalau keadaan yang terjadi adalah sebaliknya, tim kita kalah, dan kita kembali dihadapkan dengan pertanyaan serupa namun sedikit berbeda, “Kekalahan ini karena siapa?” Saat itu, banyak sekali hujatan, sikap saling menyalahkan, dan kita pun mencari-cari pembenaran guna melepaskan diri dari tanggung jawab.

Saudaraku, sadarkah bahwa saat ini kita tengah tercatat sebagai pemain dalam sebuah pertandingan? Pertandingan yang jauh lebih penting dari sepak bola. Pertandingan yang terus berlanjut hingga napas kita tiada. Pertandingan yang membuat hidup kita mulia di dunia dan mengantarkan kita ke dalam Surga. Sebuah pertandingan, di mana mulanya terjadi pada kesadaran hati kita. Ya, pertandingan melawan kebatilan pada sebuah lapangan amal bernama dakwah.

Jika kembali merujuk kepada sepak bola, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kemenangan: skill individu dan soliditas kinerja tim. Begitu pula dalam dakwah. Setiap dari kita janganlah puas terhadap kondisi yang ada, hingga kita terlena dan merasa aman-aman saja. Apalagi yang lebih parah, kita jumawa bahwa kita sudah menang. Padahal, belum ada pengumuman resmi bahwa pertandingan ini telah usai! Maka penting kiranya setiap dari kita terus berlatih meningkatkan kapasitas (fastabiqul khoirots) baik secara ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah, serta berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi pemain-pemain unggulan yang dapat membawa pertandingan ke arah angin kemenangan.
Namun kadang kala yang terlewat adalah, saat skill tiap individu mulai meningkat, justru kinerja tim (‘amal jama’i) yang melemah. Padahal, sebaik apapun kualitas individu, jika tidak disertai kualitas kerja tim yang baik, maka akan sulit mencapai kemenangan. Itu sebabnya mengapa Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.” Ada pula filosofi sapu lidi, di mana sapu lidi sebatang tidak akan cukup kuat dan efektif dalam membersihkan.

Ya, kedua hal itulah yang menjadi dasar kemenangan dakwah. Namun irosnisnya, dalam pertandingan ini, yang mana Islam sudah pasti menang, hanya saja terkadang beberapa pemainnya tidak sadar bahwa mereka adalah pemain. Mengapa? Karena mereka terjebak siklus stagnan. Itulah yang membuat mereka sulit mencetak gol, atau bahkan kerap melakukan gol bunuh diri. Kala itu, banyak pihak lebih memilih untuk mencari kambing hitam, atau diam seribu bahasa, menutup mulut, mata, dan telinga terhadap yang terjadi.
Bayangkan jika setiap pemain berpikiran sama, “Biarkan perjuangan ini dijalankan oleh yang lain. Saya merasa belum pantas atau cukup sibuk sehingga belum bisa ikut berjuang. Lagi pula, tanpa saya pun sudah ada yang berjuang.” Coba tebak, kalau begini, lantas apa yang akan terjadi? Hal tersebut sama dengan pengendara kendaraan yang berpikiran, “Ah, aku lewat jalan ini saja, karena aku pikir jalan itu pasti macet sekali.” Namun sayang, banyak pengendara kendaraan lainnya yang berpikiran sama. Alhasil jalan yang dipilih jadinya macet, sedangkan jalan yang dihindari malah lengang sekali.
Saudaraku, Islam mengehendaki kita untuk beramal dengan jiwa dan harta kita. Menjadi pemain utama dalam perubahan. Bukan sebagai pemain figuran apalagi sebagai penonton yang kerjanya hanya duduk-duduk, dan menanti kapan kemenangan akan tiba begitu saja! Terkait hal ini, Allah berfirman,
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4: 95-96)
Janganlah seperti Bani Israil yang sudah ditolong Allah, tapi tetap saja membandel. Sudah dibebaskan dari cengkaraman Fir’aun, tapi tetap saja menyembah berhala. Diberikan makanan yang enak, bukannya bersyukur malah meminta yang lainnya. Bahkan saat diberi kenikmatan tempat tinggal yang sudah dijamin kemenangannya di Palestina, apa jawaban mereka?
“Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja.” (QS. 5: 24)
Tapi lihatlah bagaimana gambaran pengikutnya Nabi Isa A.S. dalam surat Ash-Shaaf ayat terakhir,
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. 61: 14)
Kemenangan Islam merupakan keniscayaan. Tinggal kita yang putuskan, akan tetap berjuang dalam barisan sebagai pemenang atau tertinggal di belakang sebagai pecundang. Apa yang kita ragukan? Kini bukan saatnya lagi mata-telinga kita tertutup, mulut terkatup, hati terbungkam, dan gerak terdiam. Siklus stagnan hanyalah sebuah belenggu penjara yang sebenarnya kunci pintunya ada di tangan kita. Bila bukan kita yang membukanya, lantas siapa?


Posted on Monday, November 17, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, November 9, 2014


(Galau Mahasiswa Tingkat Akhir)

“Galau Mahasiswa Tingkat Akhir”, begitu istilah umum yang sering diungkapkan untuk mengekspresikan perjuangan mahasiswa tingkat akhir dalam meraih gelar sarjana. Tema ini ingin coba saya tuliskan setelah akhirnya bisa menyelesaikan perjuangan tersebut. Tidak lain, agar berbagi pandangan kepada para pembaca dalam melihat sisi-sisi yang ada dalam perjuangan mahasiswa tingkat akhir. Sekaligus sebagai pengkoreksi beberapa mitos dan pandangan yang berkembang tentang mahasiswa tingkat akhir.

Hal yang pertama yang ingin saya pesankan, Jangan pernah menjustifikasi bahwa semua mahasiswa tingkat akhir yang butuh perjuangan lebih dalam menyelesaikan akademiknya adalah mereka yang tidak beres kuliahnya. Ya, ini bukan bermaksud memberikan pembelaan untuk diri sendiri. Namun, karena memang secara pribadi saya banyak menemui sahabat yang belum selesai perjuangan akademiknya, bukan karena tak beres kuliahnya. Cukup banyak mereka adalah orang yang gemilang secara akademik sejak awal. IPK termasuk yang baik, kompetensi keilmuan diakui bahkan jadi rujukan diskusi oleh mereka yang sudah lulus, dan tidak sedikit yang sebenarnya dari mereka telah mengambil tugas akhir lebih awal dibanding rekan seangkatan.

Lalu, apa sesungguhnya hal yang mempengaruhi sehingga menghadirkan kondisi “Galau Mahasiswa Tingkat Akhir” ? Setidaknya saya mencoba merangkum beberapa poin dari diskusi ringan dengan mereka yang dikategorikan sebagai “Mahasiswa Galau Tingkat Akhir”.

Faktor Internal
1. Galau Kompetensi Menjelang Lulus
Poin pertama ini salah satu alasan yang katanya menjadi kegalauan mahasiswa di tingkat akhir. Terutama mereka yang telah bersentuhan langsung dengan realitas dunia kerja atau profesi. Tidak sedikit yang merasa apa yang diperoleh saat kuliah sangatlah tidak cukup secara kompetensi untuk bersaing ke dunia nyata. Efeknya mereka ingin memperoleh waktu lebih untuk semakin mematangkan diri sebelum benar-benar siap bersaing ke dunia nyata. Bentuk keinginan ini diwujudkan dalam bentuk pengorbanan waktu. Waktu 4 tahun (untuk S1) bagi mereka belum lah cukup untuk mematangkan kompetensi. Ya, kemungkinannya menurut saya ada dua hal, waktu selama 4 tahun itu tidak dimanfaatkan secara baik atau waktu tersebut dimanfaatkan tapi untuk mengembangkan kompetensi lain. 

2. Galau Tanggungjawab Setelah Lulus
Faktor internal ini bisa dibilang faktor galau tingkat dewa, katanya. Efek kebimbangan perencanaan masa depan. Pertanyaan umum yang muncul adalah “Setelah lulus, “Kuliah or Kerja?” Atau ada yang menambahkan opsi “Nikah ?”. Dilema ini lebih kepada kondisi internal yang tidak memiliki perencanaan hidup yang matang. Hal yang harusnya selesai ketika tekad melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi telah ditetapkan sejak awal.   

3. Idealisme Cita-cita
Ketika di tahun akhir terkadang ada nasehat, “Klo sudah ditahun akhir itu jangan terlalu idealis, ntar susah lho”. Nasehat umum dari teman-teman yang telah menjalani proses ini. Memang idealisme itu punya dua sisi mata uang. Salah satu idelisme cita-cita itu antara lain menjadikan tugas akhir sebagai masterpiece saat kuliah. Tidak mau tugas akhir hanya sebagai penggugur persyaratan untuk bisa lulus. Ingin menjadikan tugas akhir sebagai sebuah kebanggaan. Bentuk lain dari idealisme cita-cita itu adalah pantang mundur sebelum bisa “menaklukkan” tema dan dosen. Efeknya benar-benar bertahan dengan tema yang sudah diperjuangkan dan atau bertahan dengan Dosen Pembimbing yang juga butuh perjuangan. Tidak mau berganti tema ataupun berganti dosen pembimbing. Emang ada yang seperti itu? Saya bisa bilang ada dan tidak sedikit yang beridealisme seperti itu. Salah satunya mungkin saya pribadi.
Pesan saya bagi kita yang berprinsip seperti hal ini. Terkadang kita harus proporsional dengan memahami konsep idealitas dan realitas. Konsekuensinya untuk beberapa hal yang mungkin siap dikompromikan. Karena setiap pilihan kita tentu menuntut pengorbanan.

Secara umum, faktor internal ini adalah faktor utama yang sangat menentukan keteguhan dalam fase perjuangan mahasiswa tingkat akhir. Faktor-faktor diatas memang tidak mencantumkan faktor-faktor remeh bagi saya (malas, dll) yang harusnya sudah selesai saat proses pendidikan sejak tahun awal dijalani. Justru faktor diatas lebih kepada faktor-faktor prinsipil. Yang karenanya faktor-faktor ini haruslah selesai lebih awal sehingga energi lebih bisa dicurahkan untuk menaklukkan faktor eksternal. Bahkan ada yang berujar, “Perjuangan di tahun akhir itu adalah perjuangan menaklukkan diri sendiri”. Maka, Yuk kita kendalikan segala variabel di internal pribadi kita.    




Yk.9.11.2014
14.04 WIB @Wisma Andalusia

Posted on Sunday, November 09, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments