(Galau Mahasiswa Tingkat Akhir)
“Galau
Mahasiswa Tingkat Akhir”, begitu istilah umum yang sering diungkapkan untuk
mengekspresikan perjuangan mahasiswa tingkat akhir dalam meraih gelar sarjana.
Tema ini ingin coba saya tuliskan setelah akhirnya bisa menyelesaikan
perjuangan tersebut. Tidak lain, agar berbagi pandangan kepada para pembaca
dalam melihat sisi-sisi yang ada dalam perjuangan mahasiswa tingkat akhir.
Sekaligus sebagai pengkoreksi beberapa mitos dan pandangan yang berkembang
tentang mahasiswa tingkat akhir.
Hal
yang pertama yang ingin saya pesankan, Jangan pernah menjustifikasi bahwa semua
mahasiswa tingkat akhir yang butuh perjuangan lebih dalam menyelesaikan
akademiknya adalah mereka yang tidak beres kuliahnya. Ya, ini bukan bermaksud
memberikan pembelaan untuk diri sendiri. Namun, karena memang secara pribadi
saya banyak menemui sahabat yang belum selesai perjuangan akademiknya, bukan
karena tak beres kuliahnya. Cukup banyak mereka adalah orang yang gemilang
secara akademik sejak awal. IPK termasuk yang baik, kompetensi keilmuan diakui
bahkan jadi rujukan diskusi oleh mereka yang sudah lulus, dan tidak sedikit
yang sebenarnya dari mereka telah mengambil tugas akhir lebih awal dibanding
rekan seangkatan.
Lalu,
apa sesungguhnya hal yang mempengaruhi sehingga menghadirkan kondisi “Galau
Mahasiswa Tingkat Akhir” ? Setidaknya saya mencoba merangkum beberapa poin dari
diskusi ringan dengan mereka yang dikategorikan sebagai “Mahasiswa Galau
Tingkat Akhir”.
Faktor
Internal
1. Galau
Kompetensi Menjelang Lulus
Poin
pertama ini salah satu alasan yang katanya menjadi kegalauan mahasiswa di
tingkat akhir. Terutama mereka yang telah bersentuhan langsung dengan realitas
dunia kerja atau profesi. Tidak sedikit yang merasa apa yang diperoleh saat
kuliah sangatlah tidak cukup secara kompetensi untuk bersaing ke dunia nyata.
Efeknya mereka ingin memperoleh waktu lebih untuk semakin mematangkan diri
sebelum benar-benar siap bersaing ke dunia nyata. Bentuk keinginan ini
diwujudkan dalam bentuk pengorbanan waktu. Waktu 4 tahun (untuk S1) bagi mereka
belum lah cukup untuk mematangkan kompetensi. Ya, kemungkinannya menurut saya
ada dua hal, waktu selama 4 tahun itu tidak dimanfaatkan secara baik atau waktu
tersebut dimanfaatkan tapi untuk mengembangkan kompetensi lain.
2. Galau
Tanggungjawab Setelah Lulus
Faktor
internal ini bisa dibilang faktor galau tingkat dewa, katanya. Efek kebimbangan
perencanaan masa depan. Pertanyaan umum yang muncul adalah “Setelah lulus, “Kuliah
or Kerja?” Atau ada yang menambahkan opsi “Nikah ?”. Dilema ini lebih kepada
kondisi internal yang tidak memiliki perencanaan hidup yang matang. Hal yang
harusnya selesai ketika tekad melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi telah
ditetapkan sejak awal.
3. Idealisme
Cita-cita
Ketika
di tahun akhir terkadang ada nasehat, “Klo sudah ditahun akhir itu jangan
terlalu idealis, ntar susah lho”. Nasehat umum dari teman-teman yang telah
menjalani proses ini. Memang idealisme itu punya dua sisi mata uang. Salah satu
idelisme cita-cita itu antara lain menjadikan tugas akhir sebagai masterpiece
saat kuliah. Tidak mau tugas akhir hanya sebagai penggugur persyaratan untuk
bisa lulus. Ingin menjadikan tugas akhir sebagai sebuah kebanggaan. Bentuk lain
dari idealisme cita-cita itu adalah pantang mundur sebelum bisa “menaklukkan”
tema dan dosen. Efeknya benar-benar bertahan dengan tema yang sudah
diperjuangkan dan atau bertahan dengan Dosen Pembimbing yang juga butuh
perjuangan. Tidak mau berganti tema ataupun berganti dosen pembimbing. Emang
ada yang seperti itu? Saya bisa bilang ada dan tidak sedikit yang beridealisme
seperti itu. Salah satunya mungkin saya pribadi.
Pesan
saya bagi kita yang berprinsip seperti hal ini. Terkadang kita harus
proporsional dengan memahami konsep idealitas dan realitas. Konsekuensinya
untuk beberapa hal yang mungkin siap dikompromikan. Karena setiap pilihan kita
tentu menuntut pengorbanan.
Secara
umum, faktor internal ini adalah faktor utama yang sangat menentukan keteguhan
dalam fase perjuangan mahasiswa tingkat akhir. Faktor-faktor diatas memang
tidak mencantumkan faktor-faktor remeh bagi saya (malas, dll) yang harusnya
sudah selesai saat proses pendidikan sejak tahun awal dijalani. Justru faktor
diatas lebih kepada faktor-faktor prinsipil. Yang karenanya faktor-faktor ini
haruslah selesai lebih awal sehingga energi lebih bisa dicurahkan untuk menaklukkan
faktor eksternal. Bahkan ada yang berujar, “Perjuangan di tahun akhir itu
adalah perjuangan menaklukkan diri sendiri”. Maka, Yuk kita kendalikan segala
variabel di internal pribadi kita.
Yk.9.11.2014
14.04 WIB @Wisma Andalusia