Kata pemimpin dikenal
dengan beberapa kata didalam bahasa Arab. Diantaranya Imam, Khalifah, Amir. Untuk
kata khalifah didalam Al Qur’an terdapat dua ayat yang menggunakannya. Pertama,
Qs al-Baqarah: 30, "Inni ja'il fi al-ardh khalifah,"
dan kedua, QS Shad:26, "Ya Dawud Inna ja'alnaka khalifah fi
al-ardh.".
Menarik untuk
diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam
bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan Daud
dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau
benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti li
ta'zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah
dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan
Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni
masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan
pihak lain.
Setidaknya realitas
inilah yang hadir dalam konteks pemberian amanah kepemimpinan atau suksesi politik.
Memaknai bahwa pemberian amanah dalam suksesi politik merupakan bagian dari
pilihan Allah melalui beberapa metode dalam konteks kekinian hari ini. Akan
tetapi, apakah penerapan ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dan Rasulullah Saw serta para sahabat berikan.
Hal ini merupakan pertanyaan yang patut untuk diperbandingkan antara proses suksesi
politik dewasa ini dengan penerapan prinsip Islam yang seharusnya.
2.
Suksesi
Politik dan Kepemimpinan
Menurut Calvert, “suksesi
politik dapat di definisikan sebagai sebuah cara dimana kekuasaan (kekuatan)
politik diwariskan, atau ditransfer dari suatu individu, pemerintahan atau
rezim ke individu, pemerintahan atau rezim lainnya.”
Berdasarkan pengertian ini maka suksesi politik merujuk
pada transfer atau pewarisan kekuasaan dalam konteks negara atau pemerintah.
Secara gamblang mungkin proses transfer tersebut dapat dicontohkan dengan
sebuah mekanisme pergantian kepemimpinan kepala negara atau pemerintahan baik
melalui pemilihan umum yang dilakukan oleh masyarakatnya, mekanisme penunjukan
langsung oleh partai atau bahkan melalui mekanisme pertalian darah dan lain
sebagainya.
Secara detail definisi ini memiliki dua poin utama, bahwa
suksesi politik merujuk kepada cara
dimana berbagai rencana rapi dibuat
untuk melakukan transfer kekuasaan sedemikian rupa sehingga krisis legitimasi bersifat sementara dan tak
terelakan dapat dikendalikan.
Rencana rapi merupakan sebuah mekanisme bagaimana
transfer kekuasaan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang
berlaku atau dijalankan oleh beberapa pihak, baik yang ingin mempertahankan
atau mendapatkan kekuasaan politik tersebut dimainkan sesuai dengan prosedur
yang telah sama-sama baik secara langsung maupun tidak langsung dipahami dan
disadari kebenarannya oleh pihak-pihak yang terlibat dengan transfer kekuasaan
politik tersebut
Dan legitimasi berarti bagaimana sebuah suksesi politik
atau transfer kekuasaan politik tidak hanya terpaku kepada jabatan politik
maupun kekuasaan itu sendiri akan tetapi mengarah kepada hal yang lebih
mendalam lagi, yakni sumber kekuasaan yang mengakibatkan sebuah individu juga
menyadari arti penting dari sumber kekuasaan politik yang sesungguhnya ingin
ditransfer. Bahwa sesungguhnya yang menjadi objek dalam proses transfer
kekuasaan dari satu kelompok atau individu lainnya bukanlah hanya sekedar
mentransfer posisi atau jabatan politis seperti presiden, Raja, Perdana Mentri,
dan lain sebagainya, akan tetapi transfer kekuasaan tersebut juga merujuk
kepada sumber kekuasaan sebagai legitimasi kekuasaan.
Adapun secara operasional konsep ini dijelaskan dalam
bentuk sebagai berikut:
Proses
Suksesi Kepemimpinan Islam
Memahami suksesi politik dalam Islam sesungguhnya
terdapat beberapa bentuk. Bahkan jauh sebelum bentuk-bentuk dari demokrasi
hadir. Beberapa diantaranya adalah khilafah, syuro’ (konsultasi), ijma’
(konsensus), dan ijtihad. Hal ini pun hanya dapat dipahami berdasarkan analisis
terhadap sejarah perjalanan suksesi kepemimpinan dalam Islam. Yang mana mulai
ada setelah meninggalnya Rasulullah Saw. Dikarenakan suksesi kepemimpinan dalam
Islam baru mulai hadir sejak meninggalnya Rasulullah digantikan para Khulafaur
Rasyidin.
Masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw merupakan masa
yang cukup kritis dalam suksesi kepemimpinan Islam. Meskipun pada awalnya sistem
kepemimpinan yang telah dibangun pada masa Rasulullah merupakan sebuah sistem
yang kokoh dan integral. Namun, dengan kepergian beliau ada kekhawatiran
tentang bagaimana keadaan itu tetap dipertahankan.
Sehingga dalam hal ini ada tiga ide politik yang muncul
dalam suksesi politik setelah wafatnya
Rasulullah, yaitu:
1. Kembali ke sistem kabilah.
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri-sendiri. Ide ini muncul
dari kalangan Bani Khazraj dan kaum Riddah.
2. Sistem hak warisan.
Ide ini lahir dari
kalangan Bani Hasyim berdasarkan
pemikiran dan kebiasaan orang-orang Arab Selatan, dan tokoh terkemuka pendukung ide ini adalah al-Abbas paman
Nabi, Ali kemenakan dan menantu Nabi, serta Zubair.
3. Ide persatuan melalui permusyawaratan.
Ide ini didukung
oleh kaum Muhajirin kecuali Bani Hasyim. Ide
ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'an; juga Nabi sendiri,
sikap perbuatan dan kebijaksanaannya selalu mengarah kepada perintah al-Qur'an
ini.
Pada akhirnya ide persatuan melalui permusyawaratan ini
mendapat dukungan luas dan dimufakati dalam menentukan proses suksesi
kepemimpinan Islam. Namun pencapaian ini bisa diperoleh melalui proses
yang panjang dari suksesi para Khulafaur Rasyidin. Diantaranya :
3Suksesi Kepemimpinan Islam melalui Musyawarah Mufakat
Wafatnya Rasulullah saw menjadi sebuah pukulan tersendiri
bagi umat Islam saat itu. Hal ini juga yang mendera kaum Anshar saat menyadari
Rasulullah saw sudah tidak bersama mereka lagi. Setidaknya ada beberapa gejala
yang memunculkan kekhawatiran bahkan sebelum meninggalnya Rasulullah saw.
Gejala pertama ketika Makkah dibebaskan dan Perang Hunain dan Ta’if selesai.
Saat itu Rasulullah memberi ghanimah yang cukup banyak kepada para mu’allaf
Makkah. Sehingga muncul pernyataan-pernyataan keraguan hingga pernyataan bwa bahwa
"Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri”. Dalam artian
Rasulullah lebih memilih saudaranya yang sekampung.
Hal yang ditutup Rasulullah
saw dengan perkataan, "Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena
sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu
diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat
dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu
pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke
tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah,
tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung,
dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar.
Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu
Ansar." Hingga sahabat Anshar pun menangis dan berkata “Kami rela dengan Rasulullah sebagai
bagian kami”.
Gejala lain juga tatkala
Makkah dibebaskan. Kaum Anshar melihat Rasulullah berdiri di Safa sambil
berdoa, dan ketika mereka melihatnya sedang menghancurkan berhala-berhala, yang
dalam suatu hari berhasil diselesaikannya apa yang diserukannya selama dua
puluh tahun. Hal yang terbayang oleh mereka bahwa ia pasti meninggalkan
Madinah, kembali ke tempat tumpah darah semula. Hal yang juga dikuatkan
Rasulullah dengan perkataan, "Berlindunglah kita kepada Allah! Hidup dan
matiku akan bersama kamu."
Dari dua
gejala peristiwa ini sangatlah wajar ada kekhawatiran pada kaum Anshar ketika
Rasulullah akhirnya benar-benar meninggalkan mereka. Hal yang menjadi
pembicaraan kaum Anshar saat berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Pembicaraan ini
pun menjadi sebuah musyawarah secara spontanitas yang diprakarsai oleh kaum
Anshar ketika kaum Muhajirin pun akhirnya terlibat. Menurut ahli sirah sikap
ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki kesadaran politik dari pada
yang lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat
Islam. Namun pembicaraan saat itu baru sampai pada pendapat bahwa kaum Anshar
mengangkat Amir sendiri bagi mereka, yakni Sa’ad bin Ubadah dan dari Quraisy
seorang Amir”.
Hal
inilah yang sampai kepada Umar ibn Khatb dan Abu Ubaidillah hingga mereka pun
memanggil Abu Bakr untuk segera menyelesaikan permasalahan yang dapat
menimbulkan perselisihan justru dikala jenazah pembawa risalahnya belum
dikebumikan.
Andaikata pihak Ansar tetap bersikeras akan memegang
tampuk pimpinan sesuai dengan seruan Sa'd bin Ubadah, sedang pihak Quraisy
sebaliknya tidak mau menyerahkannya kepada pihak lain, maka dapat kita
bayangkan, betapa jadinya Madinah sepeninggal Rasulullah ini akibat tragedi
pemberontakan itu kelak! Betapa hebatnya ledakan pemberontakan bersenjata itu
sementara pasukan Usamah masih berada di tengah-tengah mereka, terdiri dari
kaum Muhajirin dan Anshar, masing-masing sudah bersenjata lengkap, sudah dengan
baju besi dan sudah sama-sama siap tempur. Saat peristiwa genting inilah Abu
Bakr menggunakan apa yang disebut dengan “serangan damai”.
"Dan kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa
kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya
dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela {ansar) agama dan
Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula
sebagian besar istri-istri dan sahabatsahabatnya. Posisi itu hanya ada pada
kamu sekalian setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir dan Tuan-tuan
para wazir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan
memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan"
Hal yang kemudian bisa diterima kaum Anshar dan disambut
Abu Bakr dengan memberikan pilihan kepada kaum Anshar, Umar atau Abu
Ubaidillah. Akan tetapi, pilihan justru berbalik kepada Abu Bakr Ash Shidiq.
Hal yang menyelesaikan kemungkinan perpecahan dan perselisihan yang timbul
dikalangan kaum Muslimin setelah kepergian Rasulullah Saw.
Dalam kerangka
analisis politik pemilihan Abu Bakr termasuk suksesi berdasarkan hasil
musyawarah (syuro) dengan bentuk Pemilihan. Yakni kerja
sama dan partisipasi muslimin khususnya orang-orang ahli, di dalam
pengaplikasian syari’at dan jaminan hak-hak sosial. Dan ini
juga bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri,
tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Karena
pemilihan ini dilakukan dengan keterwakilan pihak terkait, kaum Muhajirin dan
Anshar. Pihak yang hadir dalam musyawarah di Saqifah merupakan pihak-pihak yang
berhak dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Diantaranya Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn
Jarrah, Usaid ibn Khudair, Bisy ibn Sa’ad dan Salim Maula bin Khuzaifah.
Dalam kerangka system, pemilihan
melibatkan dua pihak yaitu pemilih dan yang dipilih. Siapapun yang terpilih
harus diterima oleh kedua belah pihak, yang oleh John Lock disebut dengan
kontrak sosial. Lebih lanjut, kontrak harus melibatkan kedua belah pihak yaitu
rakyat di satu pihak dan penguasa dipihak lain. Jadi konsekuensi dari kepala
negara atau pejabat lainnya yang terpilih dia harus menerima jabatan itu, dan
seluruh rakyat harus menyatakan bai’atnya. Dengan demikian secara langsung pula
mempunyai hak dan kewajiban.
3Ijtihad Penunjukkan oleh Khalifah Abu Bakar
Proses penentuan
khalifah kedua merupakan sebuah ijtihad dari Abu Bakr. Sebuah hal yang selalu
menjadi pikiran Abu Bakr ketika dalam sakitnya ia merasa akan berakhir
dengan kematian. Perlukah Muslimin
dibiarkan memilih sendiri, tanpa memberi pendapat atau mencalonkan seorang
pengganti, dan ini pula teladan yang diperolehnya dari Rasulullah? Inilah cara
yang paling mudah dan ringan. Abu Bakr teringat peristiwa Saqifah Bani Sa'idah
dan sikap Ansar, dan teringat apa yang hampir terjadi ketika itu kalau Allah tidak
mempersatukan tekad Muslimin dengan segera membaiatnya. Kalau sampai terjadi
perselisihan di kalangan Muslimin sewaktu-waktu ia meninggal, maka perselisihan
itu akan lebih parah dan lebih berbahaya, yang akan terjadi hanya antara kaum
Muhajirin dengan Ansar sendiri sesudah tokoh-tokoh yang lain masih terlibat
dalam perjuangan di Irak dan di Syam dalam menghadapi Persia dan Rumawi. Oleh
karena itu, Abu Bakr akhirnya berijtihad untuk menunjuk penggantinya untuk
selanjutnya umat Islam bisa bersatu menerimanya.
Proses penunjukkan
ini pun berada dalam kondisi yang tidak serta merta langsung ditentukan. Akan
tetapi, Abu Bakr mencoba menyampaikan pendapat ini kepada sahabat-sahabat dari
kaum Muhajirin dan Anshar. Dimulai dari Abdurrahman bin Auf perihal menanyakan
pendapatnya tentang Umar. "Dialah yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi
dia terlalu keras," kata Abdur-Rahman. "Ya, karena dia melihat saya
terlalu lemah lembut," kata Abu Bakr. "Kalau saya menyerahkan masalah
ini ke tangannya, tentu banyak sifatnya yang akan ia tinggalkan. Saya
perhatikan dan lihat, kalau saya sedang marah kepada seseorang karena sesuatu,
dia meminta saya bersikap lebih lunak, dan kalau saya memperlihatkan sikap
lunak, dia malah meminta saya bersikap lebih keras."
Sahabat selanjutnya
yang coba ditanyakan pendapatnya adalah Utsman bin Affan. Kemudian Sa’id bin
Zaid, Usaid bin Hudair, dilanjutkan sahabat-sahabat lain dari kalangan Anshar
dan Muhajirin. Bahkan tidak cukup dengan musyawarah bersama orang-orang
bijaksana dikalangan kaum Muslimin. Abu Bakr pun menuju kepada orang-orang yang
berada di masjid dan berkata. "Setujukah kalian dengan orang yang
dicalonkan menjadi pemimpin kalian? Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya
dan tidak saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti
adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia!" Mereka menjawab:
"Kami patuh dan taat." Maka terpilihlah Umar bin Khatb sebagai
khalifah kedua, menggantikan Abu Bakr Ash Shidiq.
Dalam kerangka suksesi politik, ijtihad Abu Bakr merupakan metode suksesi
dengan penunjukan. Dalam hal ini banyak yang berpendapat bahwa cara seperti ini
lebih banyak unsur subjektifitasnya. Akan tetapi, proses ini tidaklah sama
dengan sistem pewarisan kekuasan jenis feodal karena yang ditunjuk bukanlah
keturunan dari Khalifah saat itu. Melainkan dalam bentuk ijtihad terhadap orang
yang diyakini pantas dengan kriteria terbaik.
Metode yang dipergunakan pun adalah setiap calon diberikan persyaratan yang
ketat meliputi syarat” adil”, “wara’ “, clan “taqiy”. Al-Mawardi menegaskan
setiap pejabat yang akan diberi kepercayaan amanah, baik dan mampu berkata
‘Jujur”, sifat dipercaya”, mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak baik”,
tidak serakah”, jauh dari keraguan”. Bila pada diri seseorang ada syarat-syarat
tersebut, berarti ia mempunyai keadilan clan kesaksiannya dapat diterima serta
dapat dipilih menjadi pejabat negara. Tetapi bila tidak demikian halnya, maka
dia tidak patut menerima jabatan dan tidak pula dapat diterima kesaksiannya.
4. Suksesi Politik Hari Ini
Dewasa ini sistem yang umum dipergunakan adalah demokrasi
dengan sistem Pemilihan Umum. Pertanyaannya apakah sistem pemilihan yang ada
hari ini sesuaikah dengan prinsip dan ajaran Islam. Apakah sistem pemilihan
yang ada hari ini sama dengan sistem pemilihan Abu Bakr ataukah berbeda.
Secara prinsip, dalam suksesi
Politik dienul Islam mengatur dan menetapkan bahwa harus ada pemimpin yang akan
menyelenggarakan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara. Harus ada lembaga
yang membuat peraturan, juga harus ada lembaga yang secara khusus menegakkan
supremasi hukum. Ketiga otoritas itu–dalam teori kenegaraan modern disebut
saparation of power, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Begitu pun
pentingnya satu pemerintahan (negara) dalam mengatur dan memberikan
perlindungan kepada rakyatnya, tetapi Islam tidak pernah memberikan suatu model
atau bentuk dari suatu negara tersebut. Maka munculnya perbedaan di kalangan
para ahli hukum dan pakar politik, adalah sesuatu yang wajar.
Landasan yang prinsipil dalam Al
Qur’an adalah “Asas musyawarah” dalam hubungan dengan pemilihan pemimpin, menuntut
pertanggungjawaban dan pemberhentiannya. “Dan bagi orang-orang yang menerima
seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah antara mereka dan mereka menajkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka”(QS, as-Syu’ara: 38). Sebagaimana proses yang terlihat
dari suksesi politik dua khalifah pertama, Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin
Khatab. Abu Bakar ra dipilih melalui proses musyawarah. Umar bin Khatab pun
dipilih tidak hanya dengan legitimasi ijtihad penunjukkan Abu Bakar. Akan
tetapi, juga dengan pertimbangan dan musyawarah Abu Bakar kepada
sahabat-sahabat utama dan kaum Muslim.
Atas dasar itu mengharuskan
setiap pemimpin (penguasa), yang mendapat kepercayaan dari rakyat, untuk
menggunakan asas musyawarah dalam setiap tugasnya dan pengambilan keputusan
berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kewajiban pemerintah untuk selalu
memperhatikan kemaslahatan ini berkaitan erat dengan ajaran Islam tentang
hubungan pemerintah dan rakyatnya. Imam al-Syafi’i mengatakan, bahwa kedudukan
pemerintah dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungan dengan
anak yatim.
Dan dalam hal Demokrasi dan
Pemilihan Umum memang terdapat ikhtilaf diantara para ulama. Dan itu merupakan
sesuatu yang wajar dan merupakan rahmat Allah swt. Dalam hal ini, penulis
mengambil pilihan berdasarkan Fatwa Syaikh Salih M. Najid dan Dewan Fiqh Islam
dalam Liga Muslim se-Dunia bahwa
1.
Partisipasi
seorang muslim dan non-muslim dalam pemilihan umum (menjadi caleg) di negara
non-muslim adalah salah satu masalah syar’i dalam politik, di mana pertimbangan tentang hal
tersebut harus diputuskan berdasarkan besar kecilnya
manfaat serta mudharat-nya, dan fatwa tentang hal tersebut adalah fatwa yang bisa jadi berubah-ubah
tergantung waktu, tempat dan situasi.
2. Adalah dibolehkan bagi seorang muslim yang telah menikmati hal-hak
kewarganegaraan di sebuah negara non-muslim untuk berpartisipasi (menjadi caleg) dalam
pemilihan umumdi
negara tsb, karena hal itu bisa memberikan banyak manfaat seperti memberikan
image tentang Islam, menangkal isu-isu negatif tentang islam di negar tsb,
mensupport orang-orang muslim dan orang-orang minoritas, menguatkan posisi
mereka, dan bekerja sama dengan orang-orang yang fair dalam kebenaran dan
keadilan. Akan tetapi partisipasi tsb harus disertai dengan syarat berikut:
(i) Setiap muslim yang ikut (menjadi
caleg) dalam pemilu tsb harus sadar bahwa keikutsertaan dia seharusnya
ditujukan untuk mendukung kaum muslimin, dan untuk mencegah munculnya kerugian
pada pihak muslim.
(ii) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus
berfikir bahwa partisipasi mereka akan membawa efek yang positif yang akan
menguntungkan kaum muslimin di negara tersebut, seperti mensupport keberadaan
kaum muslimin, menyampaikan aspirasi kaum muslimin kepada pemimpin negara tsb,
dan menjaga agama islam serta dunia Islam dari gangguan yang mungkin ada..(iii) Partisipasi seorang muslim (menjadi caleg) dalam pemilu ini tidak
boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan kewajiban agamanya.
Penutup
Proses Suksesi Politik merupakan sebuah hal yang
penting dalam kaidah Islam. Karena memilih dan mengangkat pemimpin adalah wajib. Tujuannya agar masyarakat
menjadi mudah berurusan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di
kalangan mereka. Jangankan dalam satu komunitas besar, katakanlah sebuah
negara, dalam sebuah safar (bepergian) saja, Rasulullah Saw, memberi petunjuk
agar salah seorang di antara mereka diangkat seorang pemimpin, sekalipun hanya
tiga orang.
Oleh karena itu, hal ini
menjadi penting untuk menjadi perhatian umat Islam sebagaimana kekhawatiran
kaum Anshar ketika Rasulullah Saw berpulang ke rahmat Allah Swt. Dan dalam hal
ini, suksesi politik dan kepemimpinan dewasa ini memang juga perlu menjadi
perhatian kita dalam hal sudah sesuaikah dengan prinsip dan ajaran Islam. Yang
dalam hal ini, terdapat ikhtilaf pada para ulama yang patut kita pahami sebagai
sebuah rahmat Allah Swt.
Hal yang patut menjadi
perhatian kita adalah Islam sebagai pandangan hidup kita dengan totalitas
ajarannya, mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Tidak hanya sebatas
mengatur ‘ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
(mu’amalah), termasuk pengaturan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Dan tujuannya
mewujudkan kemaslahatan umat, tegaknya nilai-nilai keadilan di bumi.
Wallahu a’lam bi shawab.