Monday, April 7, 2014

Sebuah pesan singkat pernah masuk kepada salah seorang sahabat. Pesan dengan sebuah pertanyaan yang mungkin sangat sederhana. “Mas, apakah alasan yang membuat Mas masih mau bertahan di amanah ini? Bukankah…….. Sepertinya Mas justru punya alasan untuk bisa mundur dengan berbagai kondisi itu”


Wajar dan manusiawi. Itulah ekspresi pertama ketika diceritakan tentang pesan itu., Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Bahkan itu juga menjadi renung bagi diri pribadi. Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri untuk setiap hal yang diamanahkan kepada kita. Apa sesungguhnya yang membuat kita masih istiqomah di sebuah amanah. Sejatinya setiap diri kita pasti punya alasan untuk tidak bertahan dalam menjalankan amanah. Apalagi dengan berbagai tuntutan dan targetan kita yang juga butuh dikejar. Targetan akademis, tuntutan keluarga, targetan rencana hidup, targetan pribadi, dll. Tepat sebagaimana pernyataan diatas, setiap kita justru punya alasan untuk mundur.

Sahabat, Innamal a’malu bin niat, Sesungguhnya setiap amal itu tergantung kepada niatnya. Maka jawaban pertanyaan diawal tulisan ini hanya bisa dikembalikan kepada hadist pertama yang selalu diletakkan dibagian awal setiap kitab fiqih ini. Ya, tidak lain karena “niat” selalu menjadi kata kunci bertahannya sebuah amal. Niat yang benar akan menjadi tekad yang kokoh menghadapi segala aral. Niat yang benar akan menjadi ruh semangat yang berkobar. Niat yang benar akan menjadi alasan untuk tak pernah mundur dalam beramal.

Dan niat yang benar itu adalah niat yang ikhlas, niat karena Allah Swt. Bahwa setiap amal yang kita lakukan itu dilakukan karena Allah Swt. Allah yang memerintahkan kepada kita para hamba-Nya. Allah juga yang menjamin terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya, “Barangsiapa yang menolong agama Allah, Allah akan menolongnya dan mengukuhkan kedudukannya” [Muhammad: 7]. Pertanyaannya apakah kita memiliki iman yang benar untuk meyakini firman Allah tersebut. Sehingga kita tidak pernah ragu lagi dengan apa yang Allah jamin kepada kita. Allah juga berfirman, “Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." [QS. Huud: 115]. Maka apakah kita ragu bahwa Allah tidak akan pernah menyia-akan amal  kita. Ketika kita ragu maka wajarlah kita menjadi beramal tanpa ruh sehingga mudah terbuncah dengan berbagai ujian.

Sungguh, ketika kita mundur dalam beramal hanya berbuah kerugian bagi diri kita sendiri. Allah tidak pernah rugi. Allah tidak berkurang sedikitpun ke-MahaAgung-an-Nya karena kita mundur. Melainkan kita-lah yang merugi karena peluang bertambahnya catatan amalan kebaikan kita menjadi berkurang. Apalagi ketika mundur disaat sesungguhnya tidak alasan yang tepat untuk mundur. Yang kita dan Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan didalam hati.

Maka, apa alasan yang membuat kita tetap istiqomah dalam amanah dan amal? Tidak lain karena amalan yang kita lakukan itu karena Allah Swt. Dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal-amal kita. Wallahu a’lam.


Yk.7.4.2014

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Monday, April 07, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, April 3, 2014

Dalam Konteks Kekinian dan Kesesuaiannya dengan Prinsip Islam

 Latar Belakang

Kata pemimpin dikenal dengan beberapa kata didalam bahasa Arab. Diantaranya Imam, Khalifah, Amir. Untuk kata khalifah didalam Al Qur’an terdapat dua ayat yang menggunakannya. Pertama, Qs al-Baqarah: 30, "Inni ja'il fi al-ardh khalifah," dan kedua, QS Shad:26, "Ya Dawud Inna ja'alnaka khalifah fi al-ardh.".

Menarik untuk diperbandingkan bahwa pengangkatan Adam sebagai khalifah dijelaskan Allah dalam bentuk tunggal inni (sesungguhnya Aku) Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata inna (sesungguhnya Kami). Jikalau benar kaidah yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk plural, selain berarti li ta'zhim, juga bisa bermakna mengandung keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini berarti bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yakni masyarakat. Adapun Adam dipilih langsung oleh Allah, tanpa unsur keterlibatan pihak lain.[1]

Setidaknya realitas inilah yang hadir dalam konteks pemberian amanah kepemimpinan atau suksesi politik. Memaknai bahwa pemberian amanah dalam suksesi politik merupakan bagian dari pilihan Allah melalui beberapa metode dalam konteks kekinian hari ini. Akan tetapi, apakah penerapan ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dan Rasulullah Saw serta para sahabat berikan. Hal ini merupakan pertanyaan yang patut untuk diperbandingkan antara proses suksesi politik dewasa ini dengan penerapan prinsip Islam yang seharusnya.

2.      Suksesi Politik dan Kepemimpinan

Menurut Calvert, “suksesi politik dapat di definisikan sebagai sebuah cara dimana kekuasaan (kekuatan) politik diwariskan, atau ditransfer dari suatu individu, pemerintahan atau rezim ke individu, pemerintahan atau rezim lainnya.”

Berdasarkan pengertian ini maka suksesi politik merujuk pada transfer atau pewarisan kekuasaan dalam konteks negara atau pemerintah. Secara gamblang mungkin proses transfer tersebut dapat dicontohkan dengan sebuah mekanisme pergantian kepemimpinan kepala negara atau pemerintahan baik melalui pemilihan umum yang dilakukan oleh masyarakatnya, mekanisme penunjukan langsung oleh partai atau bahkan melalui mekanisme pertalian darah dan lain sebagainya[2].

Secara detail definisi ini memiliki dua poin utama, bahwa suksesi politik merujuk kepada cara dimana berbagai rencana rapi dibuat untuk melakukan transfer kekuasaan sedemikian rupa sehingga krisis legitimasi bersifat sementara dan tak terelakan dapat dikendalikan.

Rencana rapi merupakan sebuah mekanisme bagaimana transfer kekuasaan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang berlaku atau dijalankan oleh beberapa pihak, baik yang ingin mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan politik tersebut dimainkan sesuai dengan prosedur yang telah sama-sama baik secara langsung maupun tidak langsung dipahami dan disadari kebenarannya oleh pihak-pihak yang terlibat dengan transfer kekuasaan politik tersebut

Dan legitimasi berarti bagaimana sebuah suksesi politik atau transfer kekuasaan politik tidak hanya terpaku kepada jabatan politik maupun kekuasaan itu sendiri akan tetapi mengarah kepada hal yang lebih mendalam lagi, yakni sumber kekuasaan yang mengakibatkan sebuah individu juga menyadari arti penting dari sumber kekuasaan politik yang sesungguhnya ingin ditransfer. Bahwa sesungguhnya yang menjadi objek dalam proses transfer kekuasaan dari satu kelompok atau individu lainnya bukanlah hanya sekedar mentransfer posisi atau jabatan politis seperti presiden, Raja, Perdana Mentri, dan lain sebagainya, akan tetapi transfer kekuasaan tersebut juga merujuk kepada sumber kekuasaan sebagai legitimasi kekuasaan.

Adapun secara operasional konsep ini dijelaskan dalam bentuk sebagai berikut:











Proses Suksesi Kepemimpinan Islam

Memahami suksesi politik dalam Islam sesungguhnya terdapat beberapa bentuk. Bahkan jauh sebelum bentuk-bentuk dari demokrasi hadir. Beberapa diantaranya adalah khilafah, syuro’ (konsultasi), ijma’ (konsensus), dan ijtihad. Hal ini pun hanya dapat dipahami berdasarkan analisis terhadap sejarah perjalanan suksesi kepemimpinan dalam Islam. Yang mana mulai ada setelah meninggalnya Rasulullah Saw. Dikarenakan suksesi kepemimpinan dalam Islam baru mulai hadir sejak meninggalnya Rasulullah digantikan para Khulafaur Rasyidin.

Masa setelah meninggalnya Rasulullah Saw merupakan masa yang cukup kritis dalam suksesi kepemimpinan Islam. Meskipun pada awalnya sistem kepemimpinan yang telah dibangun pada masa Rasulullah merupakan sebuah sistem yang kokoh dan integral. Namun, dengan kepergian beliau ada kekhawatiran tentang bagaimana keadaan itu tetap dipertahankan.

Sehingga dalam hal ini ada tiga ide politik yang muncul dalam suksesi politik setelah wafatnya Rasulullah, yaitu:
1.      Kembali ke sistem kabilah.
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri-sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Bani Khazraj dan kaum Riddah.
2.      Sistem hak warisan.
Ide ini lahir dari kalangan Bani Hasyim berdasarkan pemiki­ran dan kebiasaan orang-orang Arab Selatan, dan tokoh ter­kemuka pendukung ide ini adalah al-Abbas paman Nabi, Ali kemenakan dan menantu Nabi, serta Zubair.
3.      Ide persatuan melalui permusyawaratan.
Ide ini didukung oleh kaum Muhajirin kecuali Bani Hasyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'an; juga Nabi sendiri, sikap perbuatan dan kebijaksanaannya selalu menga­rah kepada perintah al-Qur'an ini[3].
Pada akhirnya ide persatuan melalui permusyawaratan ini men­dapat dukungan luas dan dimufakati dalam menentukan proses suksesi kepemimpinan Islam. Namun pencapaian ini bisa diperoleh melalui proses yang panjang dari suksesi para Khulafaur Rasyidin. Diantaranya :

3Suksesi Kepemimpinan Islam melalui Musyawarah Mufakat

Wafatnya Rasulullah saw menjadi sebuah pukulan tersendiri bagi umat Islam saat itu. Hal ini juga yang mendera kaum Anshar saat menyadari Rasulullah saw sudah tidak bersama mereka lagi. Setidaknya ada beberapa gejala yang memunculkan kekhawatiran bahkan sebelum meninggalnya Rasulullah saw. Gejala pertama ketika Makkah dibebaskan dan Perang Hunain dan Ta’if selesai. Saat itu Rasulullah memberi ghanimah yang cukup banyak kepada para mu’allaf Makkah. Sehingga muncul pernyataan-pernyataan keraguan hingga pernyataan bwa bahwa "Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri”. Dalam artian Rasulullah lebih memilih saudaranya yang sekampung.

Hal yang ditutup Rasulullah saw dengan perkataan, "Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar. Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu Ansar." Hingga sahabat Anshar pun menangis dan  berkata “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami”.

Gejala lain juga tatkala Makkah dibebaskan. Kaum Anshar melihat Rasulullah berdiri di Safa sambil berdoa, dan ketika mereka melihatnya sedang menghancurkan berhala-berhala, yang dalam suatu hari berhasil diselesaikannya apa yang diserukannya selama dua puluh tahun. Hal yang terbayang oleh mereka bahwa ia pasti meninggalkan Madinah, kembali ke tempat tumpah darah semula. Hal yang juga dikuatkan Rasulullah dengan perkataan, "Berlindunglah kita kepada Allah! Hidup dan matiku akan bersama kamu."

            Dari dua gejala peristiwa ini sangatlah wajar ada kekhawatiran pada kaum Anshar ketika Rasulullah akhirnya benar-benar meninggalkan mereka. Hal yang menjadi pembicaraan kaum Anshar saat berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Pembicaraan ini pun menjadi sebuah musyawarah secara spontanitas yang diprakarsai oleh kaum Anshar ketika kaum Muhajirin pun akhirnya terlibat. Menurut ahli sirah sikap ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Namun pembicaraan saat itu baru sampai pada pendapat bahwa kaum Anshar mengangkat Amir sendiri bagi mereka, yakni Sa’ad bin Ubadah dan dari Quraisy seorang Amir”.

            Hal inilah yang sampai kepada Umar ibn Khatb dan Abu Ubaidillah hingga mereka pun memanggil Abu Bakr untuk segera menyelesaikan permasalahan yang dapat menimbulkan perselisihan justru dikala jenazah pembawa risalahnya belum dikebumikan.

Andaikata pihak Ansar tetap bersikeras akan memegang tampuk pimpinan sesuai dengan seruan Sa'd bin Ubadah, sedang pihak Quraisy sebaliknya tidak mau menyerahkannya kepada pihak lain, maka dapat kita bayangkan, betapa jadinya Madinah sepeninggal Rasulullah ini akibat tragedi pemberontakan itu kelak! Betapa hebatnya ledakan pemberontakan bersenjata itu sementara pasukan Usamah masih berada di tengah-tengah mereka, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, masing-masing sudah bersenjata lengkap, sudah dengan baju besi dan sudah sama-sama siap tempur. Saat peristiwa genting inilah Abu Bakr menggunakan apa yang disebut dengan “serangan damai”.

"Dan kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela {ansar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar istri-istri dan sahabatsahabatnya. Posisi itu hanya ada pada kamu sekalian setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir dan Tuan-tuan para wazir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan"

Hal yang kemudian bisa diterima kaum Anshar dan disambut Abu Bakr dengan memberikan pilihan kepada kaum Anshar, Umar atau Abu Ubaidillah. Akan tetapi, pilihan justru berbalik kepada Abu Bakr Ash Shidiq. Hal yang menyelesaikan kemungkinan perpecahan dan perselisihan yang timbul dikalangan kaum Muslimin setelah kepergian Rasulullah Saw[4].

Dalam kerangka analisis politik pemilihan Abu Bakr termasuk suksesi berdasarkan hasil musyawarah (syuro) dengan bentuk Pemilihan. Yakni kerja sama dan partisipasi muslimin khususnya orang-orang ahli, di dalam pengaplikasian syari’at dan jaminan hak-hak sosial. Dan ini juga bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Karena pemilihan ini dilakukan dengan keterwakilan pihak terkait, kaum Muhajirin dan Anshar. Pihak yang hadir dalam musyawarah di Saqifah merupakan pihak-pihak yang berhak dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Diantaranya Umar ibn Khattab, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Usaid ibn Khudair, Bisy ibn Sa’ad dan Salim Maula bin Khuzaifah.  

Dalam kerangka system, pemilihan melibatkan dua pihak yaitu pemilih dan yang dipilih. Siapapun yang terpilih harus diterima oleh kedua belah pihak, yang oleh John Lock disebut dengan kontrak sosial. Lebih lanjut, kontrak harus melibatkan kedua belah pihak yaitu rakyat di satu pihak dan penguasa dipihak lain. Jadi konsekuensi dari kepala negara atau pejabat lainnya yang terpilih dia harus menerima jabatan itu, dan seluruh rakyat harus menyatakan bai’atnya. Dengan demikian secara langsung pula mempunyai hak dan kewajiban.

3Ijtihad Penunjukkan oleh Khalifah Abu Bakar

Proses penentuan khalifah kedua merupakan sebuah ijtihad dari Abu Bakr. Sebuah hal yang selalu menjadi pikiran Abu Bakr ketika dalam sakitnya ia merasa akan berakhir dengan  kematian. Perlukah Muslimin dibiarkan memilih sendiri, tanpa memberi pendapat atau mencalonkan seorang pengganti, dan ini pula teladan yang diperolehnya dari Rasulullah? Inilah cara yang paling mudah dan ringan. Abu Bakr teringat peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan sikap Ansar, dan teringat apa yang hampir terjadi ketika itu kalau Allah tidak mempersatukan tekad Muslimin dengan segera membaiatnya. Kalau sampai terjadi perselisihan di kalangan Muslimin sewaktu-waktu ia meninggal, maka perselisihan itu akan lebih parah dan lebih berbahaya, yang akan terjadi hanya antara kaum Muhajirin dengan Ansar sendiri sesudah tokoh-tokoh yang lain masih terlibat dalam perjuangan di Irak dan di Syam dalam menghadapi Persia dan Rumawi. Oleh karena itu, Abu Bakr akhirnya berijtihad untuk menunjuk penggantinya untuk selanjutnya umat Islam bisa bersatu menerimanya.

Proses penunjukkan ini pun berada dalam kondisi yang tidak serta merta langsung ditentukan. Akan tetapi, Abu Bakr mencoba menyampaikan pendapat ini kepada sahabat-sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar. Dimulai dari Abdurrahman bin Auf perihal menanyakan pendapatnya tentang Umar. "Dialah yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu keras," kata Abdur-Rahman. "Ya, karena dia melihat saya terlalu lemah lembut," kata Abu Bakr. "Kalau saya menyerahkan masalah ini ke tangannya, tentu banyak sifatnya yang akan ia tinggalkan. Saya perhatikan dan lihat, kalau saya sedang marah kepada seseorang karena sesuatu, dia meminta saya bersikap lebih lunak, dan kalau saya memperlihatkan sikap lunak, dia malah meminta saya bersikap lebih keras."

Sahabat selanjutnya yang coba ditanyakan pendapatnya adalah Utsman bin Affan. Kemudian Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudair, dilanjutkan sahabat-sahabat lain dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Bahkan tidak cukup dengan musyawarah bersama orang-orang bijaksana dikalangan kaum Muslimin. Abu Bakr pun menuju kepada orang-orang yang berada di masjid dan berkata. "Setujukah kalian dengan orang yang dicalonkan menjadi pemimpin kalian? Saya sudah berijtihad menurut pendapat saya dan tidak saya mengangkat seorang kerabat. Yang saya tunjuk menjadi pengganti adalah Umar bin Khattab. Patuhi dan taatilah dia!" Mereka menjawab: "Kami patuh dan taat." Maka terpilihlah Umar bin Khatb sebagai khalifah kedua, menggantikan Abu Bakr Ash Shidiq[5].

Dalam kerangka suksesi politik, ijtihad Abu Bakr merupakan metode suksesi dengan penunjukan. Dalam hal ini banyak yang berpendapat bahwa cara seperti ini lebih banyak unsur subjektifitasnya. Akan tetapi, proses ini tidaklah sama dengan sistem pewarisan kekuasan jenis feodal karena yang ditunjuk bukanlah keturunan dari Khalifah saat itu. Melainkan dalam bentuk ijtihad terhadap orang yang diyakini pantas dengan kriteria terbaik.

Metode yang dipergunakan pun adalah setiap calon diberikan persyaratan yang ketat meliputi syarat” adil”, “wara’ “, clan “taqiy”. Al-Mawardi menegaskan setiap pejabat yang akan diberi kepercayaan amanah, baik dan mampu berkata ‘Jujur”, sifat dipercaya”, mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak baik”, tidak serakah”, jauh dari keraguan”. Bila pada diri seseorang ada syarat-syarat tersebut, berarti ia mempunyai keadilan clan kesaksiannya dapat diterima serta dapat dipilih menjadi pejabat negara. Tetapi bila tidak demikian halnya, maka dia tidak patut menerima jabatan dan tidak pula dapat diterima kesaksiannya.

4.      Suksesi Politik Hari Ini

Dewasa ini sistem yang umum dipergunakan adalah demokrasi dengan sistem Pemilihan Umum. Pertanyaannya apakah sistem pemilihan yang ada hari ini sesuaikah dengan prinsip dan ajaran Islam. Apakah sistem pemilihan yang ada hari ini sama dengan sistem pemilihan Abu Bakr ataukah berbeda.

Secara prinsip, dalam suksesi Politik dienul Islam mengatur dan menetapkan bahwa harus ada pemimpin yang akan menyelenggarakan dan mengawasi jalannya pemerintahan negara. Harus ada lembaga yang membuat peraturan, juga harus ada lembaga yang secara khusus menegakkan supremasi hukum. Ketiga otoritas itu–dalam teori kenegaraan modern disebut saparation of power, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Begitu pun pentingnya satu pemerintahan (negara) dalam mengatur dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya, tetapi Islam tidak pernah memberikan suatu model atau bentuk dari suatu negara tersebut. Maka munculnya perbedaan di kalangan para ahli hukum dan pakar politik, adalah sesuatu yang wajar.

Landasan yang prinsipil dalam Al Qur’an adalah “Asas musyawarah” dalam hubungan dengan pemilihan pemimpin, menuntut pertanggungjawaban dan pemberhentiannya. “Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menajkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”(QS, as-Syu’ara: 38). Sebagaimana proses yang terlihat dari suksesi politik dua khalifah pertama, Abu Bakar as-Shidiq dan Umar bin Khatab. Abu Bakar ra dipilih melalui proses musyawarah. Umar bin Khatab pun dipilih tidak hanya dengan legitimasi ijtihad penunjukkan Abu Bakar. Akan tetapi, juga dengan pertimbangan dan musyawarah Abu Bakar kepada sahabat-sahabat utama dan kaum Muslim.

Atas dasar itu mengharuskan setiap pemimpin (penguasa), yang mendapat kepercayaan dari rakyat, untuk menggunakan asas musyawarah dalam setiap tugasnya dan pengambilan keputusan berhubungan dengan kepentingan rakyat. Kewajiban pemerintah untuk selalu memperhatikan kemaslahatan ini berkaitan erat dengan ajaran Islam tentang hubungan pemerintah dan rakyatnya. Imam al-Syafi’i mengatakan, bahwa kedudukan pemerintah dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungan dengan anak yatim.

Dan dalam hal Demokrasi dan Pemilihan Umum memang terdapat ikhtilaf diantara para ulama. Dan itu merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan rahmat Allah swt. Dalam hal ini, penulis mengambil pilihan berdasarkan Fatwa Syaikh Salih M. Najid dan Dewan Fiqh Islam dalam Liga Muslim se-Dunia bahwa
1.  Partisipasi seorang muslim dan non-muslim dalam pemilihan umum (menjadi caleg) di negara non-muslim adalah salah satu masalah syar’i dalam politik, di mana pertimbangan tentang hal tersebut harus diputuskan berdasarkan besar kecilnya manfaat serta mudharat-nya, dan fatwa tentang hal tersebut adalah fatwa yang bisa jadi berubah-ubah tergantung waktu, tempat dan situasi.
2. Adalah dibolehkan bagi seorang muslim yang telah menikmati hal-hak kewarganegaraan di sebuah negara non-muslim untuk berpartisipasi (menjadi caleg) dalam pemilihan umumdi negara tsb, karena hal itu bisa memberikan banyak manfaat seperti memberikan image tentang Islam, menangkal isu-isu negatif tentang islam di negar tsb, mensupport orang-orang muslim dan orang-orang minoritas, menguatkan posisi mereka, dan bekerja sama dengan orang-orang yang fair dalam kebenaran dan keadilan. Akan tetapi partisipasi tsb harus disertai dengan syarat berikut:
(i) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus sadar bahwa keikutsertaan dia seharusnya ditujukan untuk mendukung kaum muslimin, dan untuk mencegah munculnya kerugian pada pihak muslim.

(ii) Setiap muslim yang ikut (menjadi caleg) dalam pemilu tsb harus berfikir bahwa partisipasi mereka akan membawa efek yang positif yang akan menguntungkan kaum muslimin di negara tersebut, seperti mensupport keberadaan kaum muslimin, menyampaikan aspirasi kaum muslimin kepada pemimpin negara tsb, dan menjaga agama islam serta dunia Islam dari gangguan yang mungkin ada..(iii) Partisipasi seorang muslim (menjadi caleg) dalam pemilu ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengorbankan kewajiban agamanya.


Penutup

Proses Suksesi Politik merupakan sebuah hal yang penting dalam kaidah Islam. Karena memilih dan mengangkat pemimpin adalah wajib. Tujuannya agar masyarakat menjadi mudah berurusan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul di kalangan mereka. Jangankan dalam satu komunitas besar, katakanlah sebuah negara, dalam sebuah safar (bepergian) saja, Rasulullah Saw, memberi petunjuk agar salah seorang di antara mereka diangkat seorang pemimpin, sekalipun hanya tiga orang.

Oleh karena itu, hal ini menjadi penting untuk menjadi perhatian umat Islam sebagaimana kekhawatiran kaum Anshar ketika Rasulullah Saw berpulang ke rahmat Allah Swt. Dan dalam hal ini, suksesi politik dan kepemimpinan dewasa ini memang juga perlu menjadi perhatian kita dalam hal sudah sesuaikah dengan prinsip dan ajaran Islam. Yang dalam hal ini, terdapat ikhtilaf pada para ulama yang patut kita pahami sebagai sebuah rahmat Allah Swt.

Hal yang patut menjadi perhatian kita adalah Islam sebagai pandangan hidup kita dengan totalitas ajarannya, mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Tidak hanya sebatas mengatur ‘ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (mu’amalah), termasuk pengaturan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Dan tujuannya mewujudkan kemaslahatan umat, tegaknya nilai-nilai keadilan di bumi.
Wallahu a’lam bi shawab.



[1] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah
[2] Calvert Peter, Proses Suksesi Politik, ( Jogjakarta: PT Tirta Wacana Yogya, 1995) hal 1
[3] Safrudin, Khulafaur Rasyidin (Konsep dasar Suksesi Kepala Pemerintahan)
[4] Abu Bakar As-Siddiq, M. Husain Haekal hal 31-45
[5] Umar bin Khattab, M. Husain Haekal hal 86-89

Posted on Thursday, April 03, 2014 by Akhdan Mumtaz

No comments