Wednesday, January 30, 2013

*Catatan KP #1


Saat seorang ibu mengantarkan anaknya berangkat sekolah,
Sejatinya dia mempersiapkan anaknya untuk meninggalkan dirinya
(Tarbawi Edisi Rasa Sepi Seorang Ibu)

          Entah kenapa, tiba-tiba hal ini menjadi sebuah renungan tersendiri bagi  pribadi ketika akan menjalani Kerja Praktek. Dan bisa jadi begitu pun kita. Karena tanpa sadar sesungguhnya dengan berlalunya waktu kita semakin akan meninggalkan keluarga dan orang terdekat kita. Kok bisa? Karena ketika kita menyatakan diri menuju kedewasaan maka secara tidak langsung kita harus mandiri. Sehingga tidak akan “bergantung” lagi kepada keluarga. Dan itulah salah satu yang membuat kita tanpa sadar semakin meninggalkan keluarga kita.

          Hal yang mungkin terlalu berlebihan. Namun inilah yang terasa bagi kami sekeluarga. Dimulai ketika saya memutuskan dengan tekad kuat meninggalkan daerah asal tercinta untuk sekedar kuliah. Menyeberang pulau yang berarti meninggalkan keluarga. Hal yang akhirnya menyulut semangat saudara saya untuk melakukan hal yang kurang lebih sama. Maka adik kedua dan ketiga pun meninggalkan daerah asal kami untuk sekedar kuliah. UNRI dan UNDIP jadi perlabuhan mereka. Sehingga hanya ada 2 saudara terakhir yang bersama dengan ibu bapak di rumah kami. Hal inilah yang mengakibatkan sejak kepergian saya, tidak pernah kami lengkap untuk berkumpul sekeluarga sejak 2010.

Ketika saya berkesempatan untuk pulang, adik kedua sedang menjalani masa kuliah sehingga tidak bisa pulang. Dan ketika adik kedua pulang, justru saya tidak berkesempatan untuk pulang. Hal yang berlanjut ketiga adik ketiga pun kuliah. Bahkan ketika mereka berdua bisa pulang, saya justru belum Allah takdirkan bisa. Dan hari itu, 27 Januari 2013. Kami pun bisa berkumpul lengkap sekeluarga dengan kedatangan terakhir dari saudara kedua pada malam sebelumnya. Namun, bertepatan juga pada hari itu saya harus pergi menuju lokasi KP. Maka itulah waktu terakhir mungkin untuk bisa kumpul lengkap sekeluarga. Karena ketika KP pun selesai, dua saudara justru akan berangkat kembali ke perantauannya masing-masing dikarenakan masa kuliah telah dimulai.

Ya, begitulah keluarga kami. Jarang untuk memiliki waktu lengkap berkumpul. Namun, dalam diam dan keterpisahan jarak itu kami saling mendo’akan. Kami saling menjaga apa yang menjadi amanah kami sebagai seorang anak. Mungkin beberapa orang bisa sangat heran, kok bisa kami sekeluarga untuk sekedar berkomunikasi telpon paling sering dua minggu sekali. Padahal orang lain nyaris sehari tiga kali. Karena bagi kami, bukan intensitas komunikasi yang jadi indikator keterikatan. Bukan foto dan gambar anggota keluarga yang tersimpan ditelpon genggam kami, karena memang tidak punya. Namun keterikatan hati, kepercayaan dan saling mendo’akan dalam diam yang menjadi hal paling kuat dikeluarga ini. Karena kami menyadari dalam setiap detik kami selalu ada do’a untuk keluarga tercinta ini.

Semoga Allah mengumpulkan keluarga besar ini di syurga-Nya.



Pdg.30.1.2013
*menjalani hari ke-3 KP


Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Wednesday, January 30, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, January 24, 2013

Malam itu, 22 Januari 2013, ditengah gerimis dan kekhusu’an. Jumlah kami tidak banyak memang karena memang begitulah adanya jumlah kami. Inilah forum rutin yang menjadi asasi bagi kami. Forum dengan visi peradaban yang dengannya kami bersama-sama melejitkan potensi kami. Malam itu, kami bersama menundukan wajah terhening dalam kekhusu’an. Melantunkan do’a ini,

“Ya Allah,
Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta padaMu,
telah berjumpa dalam taat padaMu,
telah bersatu dalam dakwah padaMu,
telah berpadu dalam membela syari’atMu.
Kukuhkanlah, ya Allah, ikatannya.
Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya.
Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahayaMu yang tiada pernah pudar.
Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepadaMu dan
keindahan bertawakkal kepadaMu.
Nyalakanlah hati kami dengan berma’rifat padaMu.
Matikanlah kami dalam syahid di jalanMu.
Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Ya Allah. Amin. Sampaikanlah kesejahteraan, ya Allah, pada junjungan kami, Muhammad, keluarga dan sahabat-sahabatnya dan limpahkanlah kepada mereka keselamatan”

          Dan kurang lebih, 4 tahun yang lalu, 3 September 2009 kami pun menutup perjumpaan hari itu dengan do’a ini. Dalam kekhusu’an yang sama, karena hari itu Allah Berkehendak untuk mempertemukan kami pertama kalinya disini.  Bedanya ketika pada waktu ini kami khusu’ karena kebahagiaan menemukan saudara, sedangkan saat ini kami khusu’ karena kami harus berpisah.

          Mungkin inilah yang dimaknai para mereka para filsuf. Bahwa dalam setiap perjumpaan, itulah awal sebuah perpisahan. Namun inilah sebuah proses yang harus kami jalani. Bahwa kami dipertemukan disini karena Allah, karena Islam sehingga kami pun bersaudara. Dan ketika berpisah pun, insya Allah kami berpisah karena Allah, karena Islam dan karena kami bersaudara. Bersyukurlah mereka yang bertemu dan berpisah karena Allah swt karena Allah mencintai mereka.



Yk.24.1.2013
(Beberapa jam sebelum menuju ranah Minang)
*memaknai begitu banyak perpisahan karena Allah diawal tahun ini,
lingkaran cahaya, lingkar amanah dalam ridho Allah Swt


Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Thursday, January 24, 2013 by Akhdan Mumtaz

No comments

Sunday, January 20, 2013

“Aku pensiun, bukan mati”
(Bryan Mills-Taken)

Pernah menonton sebuah film menarik tentang seorang mantan agen pemerintah yang pensiun demi bisa dekat dengan anaknya yang sudah remaja? Film itu berjudul Taken, salah satu kata-kata mantan agen tersebut saya kutip diawal tulisan ini. Ya, film itu kurang lebih menceritakan bagaimana ketika Bryan Mills pensiun bukan berarti menghilangkan jati dirinya sebagai seorang yang memiliki keahlian khusus. Bahkan akhirnya dia menggunakan keahlian khusus itu untuk menyelamatkan banyak orang, terutama anaknya. Terlepas dari statusnya yang sudah pensiun. Maka pada kesempatan ini saya kembali tergelitik untuk menulis kembali tentang “pensiun” ini.

Dimasa akhir tahun di universitas ini, hampir semua organisasi melakukan pergantian kepengurusan. Sebuah generasi baru akan menggantikan generasi sebelumnya. Karena setiap periode itu ada generasinya tersendiri. Baik organisasi publik seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, profesi seperti kelompok studi-kelompok studi, atau pun lembaga dakwah seperti SKI dan Keluarga Muslim serta berbagai jenis organisasi yang ada. Dan makna setiap pergantian tentunya dalam kacamata umum yakni pensiun dari organisasi atau pun purna. Ya, pensiun.

Namun, apakah makna pensiun ini bermakna kita telah meninggalkan segalanya? Saya yakin akan banyak jawaban yang muncul dalam memaknainya. Hanya bagi saya kutipan diatas sudah memberikan arti. Apalagi ketika banyak yang mengaitkan hubungan antara amanah dengan sebuah cita-cita besar. Dalam hal ini, “dakwah” dengan berbagai bentuk yang kita pahami dalam menjalankannya. Sangat banyak yang menyatakan dan meyakini bahwa pensiun amanah bukan berarti pensiun dakwah. Bahkan yang lebih ekstrem menyatakan tidak ada yang namanya pensiun. Dan sepertinya saya kembali mengambil titik tolak untuk harus ditilik lebih dalam tentang kata ini.
Saya masih berpegangan ketika kita memaknai satu kata maka kita wajib memaknainya secara benar dengan definisi yang benar. Karena dalam setiap kata ada makna, dalam setiap makna ada konsep, dan dalam setiap konsep ada pandangan hidup, ungkap Ustadz Hamid Fahmi Zarkasy didalam Misykat. Dan secara definisi kamus, “Pensiun bermakna tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai”. Semoga membuka pemahaman yang benar. Maka saya memaknai, yang ada adalah pensiun amanah menuju amanah selanjutnya, dan tidak ada yang namanya pensiun dakwah. Akan tetapi, ketika kita memaknai bahwa amanah kita tidak lain dan tidak bukan adalah dakwah maka secara otomatis, kita tidak mengenal kata pensiun. Karena sejatinya amanah itu adalah dakwah. Termasuk amanah-amanah formal dan informal yang kita miliki.

Sesungguhnya hal ini hanya akan kembali kepada bagaimana kita memahami dakwah. Apakah dakwah hanya dimaknai sebagai sebuah amanah yang diampu. Ataukah dakwah dimaknai sebagai apapun yang menjadi aktivitas kita. Bukankah dakwah bermakna suatu usaha berupa perkataan atau perbuatan untuk menarik manusia (Al Misbah al Munir). Sehingga dari makna ini harusnya menjadi sebuah kepahaman untuk menjadikan setiap sisi kehidupan kita sebagai dakwah ketika kita telah meng-azamkan diri sebagai seorang da’i. Maka sudah sepantasnya apapun adalah dakwah. Kuliah kita, status dan celotehan kita, perkataan kita, perbuatan kita bahkan diamnya kita pun adalah dakwah.

Oleh karena itu, memang kita akan menyadari bahwa ini sebuah hal yang berat. Sebagaimanya yang diungkapkan Sayyid Quthb bahwa barangsiapa menganggap ringan kewajiban dakwah ini, padahal ia merupakan kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang gemetar, maka ia tidak akan bisa melaksanakannya secara kontinu kecuali atas pertolongan Allah. Ia tidak akan teguh diatasnya kecuali atas bantuan Allah swt. Dan tidak akan bisa teguh diatasnya kecuali dengan keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di jalan ini, siang berpuasa, malamnya menunaikan shalat, dan ucapannya penuh dzikir. Hidup dan matinya hanya untuk Allah, Tuhan Semesta Alam, yang tiada sekutu bagi-Nya. 

Lalu, apakah kita mundur ketika menyadari kewajiban ini berat? Sungguh yang ada hanyalah sebuah kerugian bagi diri kita dengan segala keutamaan yang Allah berikan. Karena sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, serta pendudukan langit dan bumi, hingga semut yang ada didalam lubangnya, dan ikan-ikan yang ada dilaut, (semuanya) bersalawat atas orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (HR Tarmidzi).
Maka pertanyaannya, kita memilih untuk sekedar pensiun amanah ataukah pensiun dakwah?

Yk.17.1.2013
*Memaknai akhir amanah saat ini J


Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Sunday, January 20, 2013 by Akhdan Mumtaz

2 comments

Monday, January 7, 2013


          Bisa jadi inilah pengalaman pertama saya menjadi penghuni salah satu ruangan paling “seram” menurut saya selama ini dari sebuah rumah sakit, UGD “Unit Gawat Darurat”. Dan semoga juga menjadi pengalaman terakhir berada disana. Namun, ada banyak hikmah dari keberadaan saya selama kurang lebih 150 menit disana.
Pertama, mengapa menurut saya ruangan ini merupakan ruangan yang paling seram? Bisa jadi inilah faktor persepsi yang terbangun sejak masih kecil tentang ruangan ini di rumah sakit. Dari namanya saja sudah sedikit menakutkan “Gawat Darurat”, sudah gawat juga darurat lagi. Ketika kita melihat ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (kitabnya EYD) saja akan diperoleh definisi yang juga tidak kalah membuat kita khawatir.
Gawat berarti 1. genting; berbahaya; 2 kritis; mengkhawatirkan; dekat kpd kematian: 3 sulit; terancam. Darurat berarti 1 keadaan sukar (sulit) yg tidak tersangka-sangka (dl bahaya, kelaparan, dsb) yg memerlukan penanggulangan segera: 2 keadaan terpaksa: 3 keadaan sementara:

Nah, maka sangatlah wajar kita pun terstigmatisasi seperti itu. Belum lagi peran media televisi saat masih kecil. Bahwa gambaran UGD adalah sebuah unit yang ketika ada kecelakaan-kecelakaan terjadi menjadi tempat pertama untuk dilabuhi. Persis seperti sinetron-sinetron penuh dramtisir hari ini. Dimana semua penanganan darurat, semua ketakutan dan was-was, penuh spontanitas dan reaksi cepat terjadi di ruangan ini. Ya, itulah gambaran UGD yang setidaknya saya dapatkan sebelum benar-benar merasakan ruangan itu hari ini. Hikmah pertama, “Saat masih kecil begitu pun setelah dewasa jangan banyak-banyak nonton TV apalagi sinetron yang bercerita tentang UGD”.

Kedua, apa yang terjadi sehingga saya harus merasakan diri menjadi penghuni UGD RSUP Sardjito ? Tidak lain dan tidak bukan karena “Hazard”. Hal yang sesungguhnya telah saya pelajari dibeberapa mata kuliah Teknik Industri.  Apalagi itu Hazard? Nama orang atau makanan? Ya, sederhananya dia adalah sebuah potensi atau resiko terjadinya sebuah kecelakaan. Dan memang, Hazard muncul dari salah satu meja diruang kelas asrama ketika saya mempersiapkan ruangan untuk agenda rapat pada hari itu.

Pada mulanya, ada sedikit keterburu-buruan saya karena baru saja selesai dari agenda lain untuk dilanjutkan rapat di ruang kelas asrama sedangkan jadwal janjiannya sudah memasuki waktunya. Sehingga dengan buru-buru saya segera mempersiapkan ruang kelas sebelum peserta yang lain datang. Dan ketika menata meja ruang kelas dengan menarik salah satu meja, tiba-tiba “krak”. Salah satu bagian dari kaki meja patah sehingga gaya gravitasi pun berlaku terhadap bagian itu. Bagian kaki meja yang satunya seketika mendapatkan gaya “ungkit” sehingga tepat mengenai kaki saya. Bagian yang mendapat gaya “ungkit” adalah sang kuku dari ibu jari kaki (jempol-read). Setelah merapikan meja yang patah barulah saya menyadari bahwa darah sudah mengalir banyak. Ya, cukup banyak untuk sebuah luka. Hikmahnya, “Berhati-hatilah terhadap gaya ‘ungkit’ dan gaya gravitasi”

Hal yang selanjutnya terjadi adalah sejenak menenangkan diri agar pendarahan tidak terlalu banyak sambil mengingat-ngingat materi P3K saat menjadi Dokter Kecil dulu. Dan sayangnya sudah banyak yang lupa meskipun nyaris keluarga besar saya dari keluarga Bapak banyak banyak berprofesi di Medis. Dan Alhamdulillah, dengan takdir Allah Swt saat itu ada Mas Pebri yang niat awalnya datang ke asrama untuk menemui Ustadz. Dan ketika mengetahui kondisi saya saat berniat naik ke lantai dua untuk mengambil beberapa obat P3K yang dimiliki, beliau mau untuk menggantikan. Apalagi kondisi sudah agak susah untuk berjalan dengan pendarahan yang terjadi. Hingga beliau pun sampai pada kesimpulan saat melihat luka yang terjadi, “Kita harus ke rumah sakit atau klinik Dri”. Dan saya pun sepakat melihat kondisi ‘si jempol’. Hikmahnya, “Ingat kembali materi P3K saat menjadi Dokter Kecil sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat saat terjadi kecelakaan”.

Pengalaman ini berlanjut dengan pertanyaan ketiga, apa saja yang saya alami ketika menjadi penghuni UGD ?  Singkat cerita akhirnya saya pun berangkat menuju RSUP Dr. Sardjito dibawa Mas Pebri dengan kondisi meninggalkan rapat sebelum dimulai. Sebuah pesan singkat ke adik-adik dan rekan yang lain bahwa rapat tetap lanjut sebagaimana seharusnya saja. Dan ruangan yang dituju adalah UGD. Hal yang membuat awalnya gambaran UGD sebagaimana diawal saya sampaikan pun terjadi. Saat petugas melihat saya, beliau langsung menyampaikan, “Segera masuk Mas” sambil memapah saya menuju kursi roda. “Untuk data silahkan diisi diluar dulu”, minta beliau kepada Mas Pebri. Dan saya pun didorong dengan kursi roda menuju salah satu bagian ruang di UGD. Ruangan yang hanya ditutup dengan tirai dengan suara beberapa orang kesakitan disebelah. Sejenak berpikir ulang, “Apakah memang harus di UGD ini?” dengan bayangan menakutkan dari UGD.

Dan beberapa saat kemudian salah seorang dokter pun datang mengecek dan bertanya beberapa hal. Setelah berdiskusi, saya pun memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah kukunya harus dicabut Dok?”. Dan jawaban yang diterima pun, “Sepertinya iya Mas”. Hm.. Na’udzubillah karena sudah terbayang rasa sakit saat dicabut. Lebih sakit dari sakitnya gigi saat dicabut. Dokter pun meninggalkan saya dengan permintaan untuk menunggu dulu. 1 menit, 5 menit dan 30 menit pun berlalu dalam penantian. Sepertinya sudah merasa nyaman diruangan UGD. Ternyata gambaran menakutkan saya tentang tiba-tiba dokter langsung datang dengan peralatannya. Gunting, suntik, perban, bahkan tang (Eh.. salahn) dikeluarkan dengan darah yang mengalir dari kaki saya. Ternyata tidak terjadi. Alhamdulillah Mas Pebri mendampingi saya untuk ngobrol sehingga menghilankan beberapa kekhwatiran itu sambil menunggu dokter. Hingga tiba-tiba seorang dokter lain pun datang dengan memberi “hadiah” gelang identitas saya yang sudah tercetak. Boleh juga sebagai ganti tren baru, gelang identitas sebagai penghuni rumah sakit.

45 menit pun berlalu dengan ketidakpastian. Saya pun sudah mulai khawatir karena terlalu lama menunggu. Sampai dokter lain datang. Kok dokternya beda-beda ya?, kekhawatiran pertama. Dokter menyampaikan, “Kita pindah ya Mas ke bagian bedah”, sambil mendorong kursi roda. Apalagi Mas Pebri sedang keluar untuk mengurus beberapa administrasi. Nah Lho? Kok pindah ke bagian bedah? Masak jempol saya harus diamputasi. Pikiran aneh yang muncul karena kekhawatiran kedua.  

Dan ternyata ruangan tempat saya pindahkan lebih mengkhawatirkan. Pasien disebelah saya persis penuh darah karena baru saja mengalami kecelakaan motor. Kekhawatiran ketiga. Dokter pun datang (masih dokter yang berbeda) untuk kembali bertanya beberapa hal. Namun, tiba-tiba beliau mengeluarkan kamera HP dan selanjutnya membuka aplikasi camera. Bukan dengan niat berfoto dengan saya melainkan malah memfoto “si jempol”. Nah Lho? Tambah bingung kok malah difoto bukannya ditangani secepatnya. Kekhawatiran kesekian muncul, Jangan-jangan nanti terjadi mal praktik.

Hingga dokter yang terlihat dari identitasnya sebagai spesialis bedah pun datang. Dan benar-benar mengecek secara keseluruhan kondisi “si jempol”. Maka dengan kekhwatiran yang sudah terlalu banyak muncul pun saya memberanikan diri untuk kembali bertanya.
“Apakah kukunya harus dicabut Dok?”, ungkap saya.
Dokter pun terlihat berat memberi tahu. “Ada dua pilihan Mas. Pilihan pertama, dipertahankan namun kemungkinan sembuhnya cukup lama dan itu masing-masing orang berbeda. Sedangkan pilihan lain adalah memang harus dicabut”, jawab beliau.
Saya pun kembali bertanya, “Menurut dokter pilihan yang terbaik apa berarti?”
“Dicabut Mas”, jawab dokter.
Untuk meyakinkan diri saat mengambil pilihan saya kembali bertanya, “Sakit nggak Dok?”. Pertanyaan retoris yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan.
“Saat dibius akan terasa sakit Mas dibanding suntikan biasa. Harapannya dengan dibius saat kukunya dicabut tidak sakit”, jelas Dokter.

Hm… Sepertinya dokter terlalu jujur untuk menyampaikan rasa sakit. Mungkin karena saya bukan anak kecil lagi yang harus dibohongi dengan perkataan ‘Tidak sakit kok. Hanya seperti digigit semut’. Padahal kalo semutnya semut raksasa justru lebih sakit lagi. Setelah berpikir matang-matang dengan resikonya maka saya memberanikan diri untuk mengambil keputusan, “Dicabut saja dok”. “Baik”, sambung dokter menerima pilihan saya.

Nah, percakapan setelah itu yang membuat saya kembali khawatir. Ternyata dokter yang akan menangani bukan dokter yang tadi. Dokter lain yang lebih muda. Dan sejenak mendengar percakapan mereka. “Sudah pernah kan mencabut kuku sebelumnya?”, Tanya dokter bedah pertama. Dan jawaban yang “membahagiakan saya” terdengar dari dokter kedua, “Belum”. Nah Lho? Semakin mengkhawatirkan. Lalu dokter yang tadi pun datang dengan peralatan yang dibawa dokter lain.

Karena agak khawatir saya kembali bertanya, “Kira-kira berapa lama ya Dok? Dokter dengan senyum menjawab, “Bentar kok Mas”. Namun tiba-tiba saya malah kembali bertanya lagi, “Dicabutnya pake apa ya dok?”. “Pake ini mas”, sambil memperlihatkan peralatan yang mirip tang. Hm.. Ok. Bismillah, dengan keyakinan Allah swt tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya, termasuk rasa sakit. Maka operasi kecil diruangan paling sudut di UGD RSUP Sardjito pun dimulai.
Beberapa peralatan dikeluarkan. Saya diminta untuk diminta tidak melihat karena akan menimbulkan sugesti yang dapat mengganggu proses operasi kecil itu. Pada mulanya, “si jempol” dibersihkan dengan cairan yang saya kurang tahu apa karena tidak boleh melihat. Cuman saya meyakini itu sejenis antiseptik untuk mensterilkan bagian yang kan dioperasi sebelum disuntik. Ok. Meskipun saya tidak melihat ke arah “si jempol”  tapi saya bisa melihat ke arah jarum suntik yang diisi cairan bius. Ternyata jumlah cc-nya lumayan juga ya, nyaris ¾ bagian suntiknya. Dan jarum suntik pun terasa menyentuh “si jempol”. Masih terasa seperti yang selalu dibilang, seperti digigit semut. Namun ketika cairan bius mulai disuntikkan, baru terasa luar biasa menyakitkan J. Hanya bisa menahan dengan menutup mata sekuat-kuatnya. Dan ternyata, tidak cukup dengan satu suntikan pada “si jempol”. Ada dua suntikan lagi. Luar biasa juga ternyata untuk menjinakkan “si jempol”.  

Harusnya ujung “si jempol” sudah tidak terasa lagi setelah dibius sehingga si kuku bisa dengan nyaman dicabut. Namun ketika dicabut, kukunya masih terasa. Astagfirullah, apa biusnya belum bereaksi? Maka tidak lain kata yang muncul pun adalah “Sakit Dok, kukunya terasa”. Dokter pun agak kaget, “Kukunya terasa atau ujung jarinya terasa menebal Mas?”. Saya pun menjawab, “Dua-duanya Dok” karena makin terasa sakit saatnya kukunya ditarik. Dokter dengan tenang menjawab, “Jangan dilihat ya Mas!”. “Iya Dok”, jawaban yang hanya bisa diberikan karena pasrah.

Dan akhirnya, dengan beberapa menit menahan rasa sakit yang tidak seharusnya itu sang kuku tercabut nyawanya dari “si jempol”. Alhamdulillah. Operasi tahap 1 selesai. Selanjutnya adalah membalut si jempol dengan terlebih dahulu disterilkan kembali dengan antiseptik. Hal yang diluar dugaan lagi, kaki saya diminta diangkat dengan rasa sakit yang masih ditahan dan ternyata sebuah kamera digital dikeluarkan. “Jeklek”, blitznya keluar. ‘si jempol’ difoto lagi. Cuman bisa tertawa kecil ditengah rasa sakit saat itu. Setelah difoto pun sang dokter dengan hati-hati membalut ‘si jempo’. Namun, dokter yang satu lagi diluar dugaan berkata, “Ayo Buruan..! Masih ada pasien lain”. “Nah Lho?”, semakin tambah pasrah dengan kondisi saat itu.

Singkat cerita, operasi pun berakhir. ‘Si jempol’ pun menjadi mumi untuk beberapa hari kedepan. Saya pun mengucapkan terimakasih kepada si dokter. “Aneh ya, padahal tadi saya siksa, dibikin sakit, kukunya dicabut, berdarah-darah bahkan Mas nyaris tidak kuat menahannya. Malah sekarang berterimakasih”, becandaan si dokter.

Hm.. benar juga ya. Mungkin begitu pun kita didalam hidup ini. Bisa jadi kita merasa disiksa, merasa sering diuji dalam hidup bahkan sampai merasa tidak kuat dengan ujian dan rasa sakit itu. Tapi tahukah kita? Diakhir pun kita akan seperti yang saya lakukan tadi, berterimakasih. Kita akan berterimakasih kepada Allah Swt karena itulah bukti rasa cinta-Nya kepada kita. Maka senantiasa lah kita bersyukur dan berprasangka baik kepada Allah swt.
“…Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqarah : 216)

Out of notes:
Terimakasih kepada Mas Pebri Arif Laksono, kepala rumah tangga baru, yang dengan kerelaan hati membawa saya ke RSUP Dr. Sardjito.
Terimakasih kepada sahabat-sahabat dan adik-adik yang terpaksa saya tinggalkan dari rapat yang seharusnya saya hadiri.
Semoga menjadi hikmah bagi kita yang mengambil pelajaran.




Yk.6.1.2013
*sambil menunggu waktu untuk meminum obat
penghilang rasa nyeri “si jempol” :)

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Monday, January 07, 2013 by Akhdan Mumtaz

12 comments