Tuesday, July 17, 2012

Merencanakan bagaimana hidup kita merupakan hal yang sangat sering kita dengar. Namun merencanakan bagaimana mati kita menjadi sangat asing ditelinga kita. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika Mbah Sis, ibu pondokan KKN kami bercerita tentang bagaimana makamnya nanti.
Cerita ini dimulai ketika saya bertanya tentang aktivitas si Mbah hari itu yakni nyekar ke makam.
I         : Pripun Mbah? Tadi jadi nyekar ke makam?
M       : Jadi Wan*. Sekalian Mbah melihat makam si Mbah nanti.
I         : #Kaget… (berpikir bagaimana mungkin si Mbah sudah punya makam sendiri.
M       : Mahal cuman untuk 1 lobang. Lubang e 300 ribu, bata ne 700 ribu. Total e yo jadi 1 juta an
I         : Ooo.. ngeten mbah
M       : Ya. Kalo si mbah “dipanggil” tanahnya jadi cuman digali dikit.
I         : (diam tidak bisa memberi tanggapan)
M       : Jadi ne si mbah sendiri disana. Makanya si mbah sekarang berusaha mencari jalan ke syurgo
I         : (tidak bisa berkata apa-apa lagi)
          Tidak ada kata yang dapat saya ungkapkan selain Maha Suci & mulia Allah dalam memberi pelajaran kepada hamba-Nya. Karena kita sangatlah sering untuk mengungkapkan “Bekerjalah kamu seolah-olah dunia tidak pernah berakhir, dan beramallah kamu seolah-olah engkau akan mati esok”. Dan sayangnya kita hanya sering mengingat ungkapan awal dari pepatah ini. Sedangkan ungkapan keduanya mungkin sering terlupa bahkan kita lupakan.
Pada akhirnya, rencana si Mbah yang sudah siap segalanya menjadi renung bagi saya pada hari kesekian dari KKN ini. Bahwa kita pun meskipun masih muda sudah saatnya juga untuk juga merencanakan mati. Karena hidup adalah perjalanan untuk kembali kepadanya.
Glosary :
*Wan : panggilan khusus si Mbah bagi saya selama KKN. Katanya makna Idriwal itu satu. Sehingga dipanggil Iwan. I untuk symbol 1 dalam bahasa Jepang sedangkan wan (maksudnya one) adalah 1 dalam bahasa Belanda. 

Posted on Tuesday, July 17, 2012 by Akhdan Mumtaz

2 comments

Thursday, July 5, 2012


Angka 2 yakni tahun kedua Ramadhan di Yogyakarta. Saya dapat menyatakan bahwa tahun ini merupakan tahun “pengglembengan” terbaik dalam sejarah perjalanan hidup, ya tahun 2010. Tidak lain karena PPSMB (Ospek-read) 2010 dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Dan bertepatan saat itu ikut terlibat dikepanitian PPSMB 2010 sebagai Pemandu. Oya, PPSMB 2010 saat itu bernama “Patriot”, cukup panjang kalo menuliskan akronimnya. Dan dikemudian hari pun ini merupakan kesempatan pertama dan terakhir saya sebagai Pemandu PPSMB J.
Sepertinya makna pengglembengan ini tidak akan bisa dipahami apabila saya tidak mendeskripsikan makna menjadi Pemandu PPSMB. Ya, Pemandu PPSMB merupakan garda terdepan dari kepanitiaan karena dialah yang berinteraksi langsung dengan adik-adik Mahasiswa baru. Pemandu PPSMB merupakan orang yang akan berperan sebagai kakak, orang tua, dan keluarga terdekat para mahasiswa baru. Peran minimal selama PPSMB dan idealnya selama adik-adik mahasiswa baru menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik UGM. Dan memang, orang yang akan siaga “siap antar jaga” untuk mendampingi adik-adiknya selama PPSMB adalah Pemandu.
Masih ingat dengan pertanyaan-pertanyaan selama PPSMB. “Mas, tugas ini gimana y kriterianya? Mbak, si A tidak bisa jalan lagi karena sakit. Hingga Mas Mbak, Si B kecelakaan!”, adalah hal-hal yang akan dijalani selama mendampingi adik-adik mahasiswa baru. Dan peran ini nyaris harus didampingi siang malam selama PPSMB terhitung dilaksanakan. Peran pemandu tidak hanya selesai disitu. Karena pemandu juga harus mondar-mondir untuk sekedar koordinasi dengan Tim Acara. Mondar-mondir karena mendapat titipan leaflet, publikasi, dll untuk dibagikan kepada adik-adik pandu. Juga mondar mandir hanya untuk mengambil presensi, cek tugas, dll. Deskripsi sederhananya ruwet dan campur aduk.
Ya, inilah yang dijalankan peran selama PPSMB Patriot 2010. Ditengah ibadah Ramadhan yang harus dimaksimalkan peluang amalan-amalan terbaik. Ditengah panas teriknya upacara dan acara PPSMB. Kami sebagai pemandu saat itu harus menjalankan peran tersebut. Ungkapan yang tepat untuk deskripsinya adalah kecapekan yang luar biasa. Namun, anehnya kami (mayoritas Pemandu & panitia) tetap berusaha menjaga ibadah terbaik kami. Ketika harus kumpul jam 5 pagi, setelah Sahur, sholat Subuh, kami masih menyempatkan untuk tilawah dipojok-pojok selasar KPFT. Sekedar mencuri-curi waktu luang yang ada sebelum acara dimulai. Setelah seharian terisi oleh agenda PPSMB, sorenya panitia pun harus berkoordinasi. Sekedar briefing, evaluasi dan persiapan hari esok. Pemandu, tidak selesai disitu karena harus lanjut untuk mendampingi adik-adiknya mengerjakan tugas hingga malam. Dan malamnya tetap berusaha untuk bisa Tarwih. Hal yang bertahan selama PPSMB berlangsung.
Bagi saya, menjalani peran ini seperti tidak terpikir mampu dan kuat sebelumnya. Bahkan bisa melebihi batas yang biasa dilakukan. Namun, ternyata memang niat dan tekad yang kuat itu bisa mengalahkan segala keterbatasan itu. Niat mampu meloncati apa yang sering kita jadikan pembatas diri. Bahwa Ramadhan tidak mungkin untuk beraktivitas secara ekstra dan optimal. Sehingga sebuah makna dari Ramadhan ditahun kedua di Jogja ini adalah “Ramadhan adalah bulan dimana aktivitas terbaik kita menjadi terbatas. Melainkan justru menjadi diatas batas”.

*Oya, ada buah yang manis dapat saya (kami) petik dari perjuangan tak kenal lelah selama menjadi Pemandu PPSMB Patriot 2010, yakni Kelompok Pandu kami (saya dan partner Pemandu) menjadi Kelompok Terbaik PPSMB saat itu. Akhir yang manis untuk perjuangan yang juga manis J.

Yk.5.7.2012
Selesaikan di sudut kamar pondok Insani


Idzkhir al-Mu’adz




Posted on Thursday, July 05, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Wednesday, July 4, 2012



Tak terasa perjalanan waktu itu begitu cepat untuk dilalui. Setiap pergantian hari-hari, semester ke semester selanjutnya, hingga dari tahun ke tahun selanjutnya. Setidaknya itulah yang terasa saat ini. Ternyata tahun ini adalah Ramadhan keempat yang akan insya Allah saya jalani di Yogyakarta. Aamiin.. Semoga Allah berkenan memanjangkan umur untuk bisa dipertemukan dengan Ramadhan 1433 H tahun ini.
Dan tahun keempat ini menjadi sebuah perenungan tersendiri, sudah sejauh apakah kita memaknai pergantian Ramadhan ke Ramadhan berikutnya. Jangankan 4 tahun Ramadhan di Jogja, bisa jadi sepanjang usia yang telah Allah anugrahkan belum bisa saya maknai untuk Ramadhan yang terbaik. Namun angka 4 untuk Ramadhan 1433 H setidaknya memiliki beberapa makna tersendiri bagi saya. Hal inilah yang coba saya ingat.
Dimulai dari angka 1 yakni tahun pertama di Jogja. Tidak ada kata yang tepat selain pernyataan bahwa 2009 merupakan tahun pertama memaknai Ramadhan untuk tidak bersama orang tua. Mengapa? Karena inilah tahun pertama pilihan melanjutkan pendidikan keluar daerah asal (Merantau-read) harus saya jalani. Dan tidak seperti rekan-rekan mahasiswa lain yang memiliki kesempatan untuk berangkat pulang, bagi Kami (orang Sumatera, Kalimantan, dan perantau lain) perlu berpikir ulang untuk kembali pulang. Karena jadwal pulang-pergi sejak Registrasi Mahasiswa Baru 2009 Universitas Gadjah Mada, Test TOEFL hingga Penyambutan Mahasiswa Baru sudah cukup menyita perhatian dan biaya kami. Maka keputusan untuk tidak Ramadhan bersama orang tua ditahun pertama adalah keputusan terbaik insya Allah saat itu.
Akan tetapi, ada sebuah makna tersendiri dari Ramadhan tahun pertama ini. Yakni hari pertama Ramadhan persis sehari setelah pelaksanaan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru (Ospek-read) kala itu. PPSMB Fakultas Teknik, saat itu bernama Riset “Orientasi Masa Depan Teknik” merupakan salah satu momen berkesan saat menjadi mahasiswa baru. Lepas dari apa yang pertama kali tergambar tentang ospek yang penuh perploncoan, pemaksaan, kekerasan fisik, dll. 
Makna yang diperoleh adalah menjadi mahasiswa baru berarti bersiap untuk tanggungjawab baru sebagai bangsa Indonesia. Dan kesan ini terbangun juga bersama kami para mahasiswa baru ketika diakhir PPSMB kita diingatkan. Bahwa persis berakhirnya PPSMB bagi umat Muslim telah datang menanti sebuah bulan mulia, Ramadhan. Dan tausiyah ba’da Dzuhur saat PPSMB kala itu mengingatkan bahwa lepas dari PPSMB seharusnya menjadi pematangan tersendiri untuk menjadi yang terbaik di bulan Ramadhan. Seingat saya tausiyah itu disampaikan oleh oleh Ketua BEM KMFT kala itu, Mas Dede Miftahul Anwar. Kesan yang akan terus diingat ketika menjalani Ramadhan. Dan itulah makna pertama ditahun pertama Ramadhan di Jogja. “Meski tidak bersama orang tua, Jadikanlah Ramadhan itu Ramadhan Terbaikmu”. To be continued…..


Yk.4.7.2012
Di sudut kamar pondok Insani,

Idzkhir al-Mu’adz

Posted on Wednesday, July 04, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments