Monday, April 30, 2012


Tulisan ini saya repost untuk memperluas sudut pandang kita dalam berbagai macam hal dalam setiap aktivitas. Sekaligus sebagai "penyeimbang terhadap propaganda berwirausaha" sebagaimana yang dinyatakan oleh penulisnya, Mas Yulian Anindito.

Saya sering mendengar di forum-forum, resmi maupun informal, diskusi tentang wirausaha. Biasanya akan ada satu orang yang mengompori untuk jadi wirausaha. Dengan semangat berapi-rapi mereka akan menerangkan atau lebih tepatnya mendoktrin betapa “wah”-nya berwirausaha. Diskusi terakhir yang seperti ini saya temui seminggu lalu, di masjid kampus UI, Depok.

Entah kenapa kali itu saya sedikit tersinggung. Mungkin karena capek setelah perjalanan jauh sehingga jadi sensitif. Kata-kata yang digunakan memang bertujuan untuk memotivasi semangat entrepreneurship. Saya sangat menghormati mereka yang menempuh jalan itu. Tapi secara bersamaan, kata-kata itu juga merendahkan profesi pegawai. Mungkin tulisan ini subyektif defensif karena saya adalah seorang pegawai, namun agaknya ini bisa menjadi penyeimbang terhadap “propaganda” berwirausaha.

Sembilan dari sepuluh pintu rejeki adalah dagang, dengan kata lain; wirausaha. Wirausaha memungkinkan keuntungan yang tidak terbatas. Sedangkan jadi pegawai penghasilannya tetap, rejekinya segitu-segitu saja. Orang tidak bisa kaya kalau jadi pegawai. Tapi ini hanya jika profesi dihubungkan dengan rejeki. Menjadi pegawai tidak menjanjikan keuntungan melimpah, uang banyak. Namun mari melihat dari sisi lain.

Menarik apa yang disampaikan salah satu Vice President di perusahaan kami hari ini. Seorang karyawan bertugas mengatur perputaran penggunaan landing gear pesawat terbang. Karena dia pesawat bisa beroperasi dengan baik, landing dan take off dengan selamat. Orang-orang naik pesawat, dalam rangka bisnis, silaturahim, belajar, dan sebagainya. Berkat jasanya, maka seorang pebisnis bisa menjalankan bisnisnya dan mendapat keuntungan. Orang lain bisa bersilaturahim dan merekatkan pertemanan.

Guru juga pegawai. Gajinya kecil, sehingga hidupnya pas-pasan. Tapi lihatlah dia bisa berbagi ilmu, mendidik anak muridnya. Berkat jasanya, murid-muridnya jadi punya masa depan. Setelah lulus mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan, bisa bekerja, menikah, memiliki anak, dan bisa menjalani hidup mereka dengan baik. Diantara mereka mungkin ada yang jadi orang besar. Penghargaannya bukan berupa materi, tapi kebanggaan dan ilmu yang pahalanya tidak pernah putus.

Bagaimana pula dengan pegawai yang berpikir bahwa dengan menjadi pegawai negeri misalnya, dia jadi punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal lain. Daripada harus berjibaku siang-malam menjadi wirausaha, menghabiskan pikirannya untuk memikirkan untung-rugi. Dia hidup sekedarnya dari gaji, namun punya banyak waktu untuk mendidik anak-anaknya. Memiliki banyak waktu bersama mereka, sehingga bisa mengawasi dan mengarahkan anak-anaknya dengan lebih intensif.

Ada juga yang menjadi pegawai dengan tujuan ingin memperbaiki institusi tempatnya bekerja. Di badan usaha milik negara misalnya. Dia sadar bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah salah satu penyokong perekonomian negara. Padahal banyak praktek-praktek tidak sehat di sana. Dia ingin bekerja di sana, agar menempati posisi strategis, sehingga bisa memperbaiki dari dalam. Orang ini layak diberi gelar mujahid, melawan keburukan yang akan mengakibatkan kehancuran.

Seorang dokter yang jadi pegawai rumah sakit karena ingin menolong orang-orang. Seorang insinyur yang menjadi pegawai pabrik karena ingin memperbaiki lini produksi sehingga perusahaan bisa berkembang dan menciptakan lapangan kerja bagi ribuan orang. Seorang mekanik listrik yang berkat dia, anak-anak bisa belajar dengan diterangi lampu saat malam. Seorang masinis yang mengantarkan ratusan orang setiap hari dengan keperluan mereka masing-masing.

Jadi apa salahnya jadi pegawai? Selama kita memiliki alasan yang baik dalam menjalani sebuah profesi, maka profesi apapun bisa menjadi jalan kemuliaan. Selama kita menjalaninya dengan ikhlas, bisa jadi itulah pembuka pintu surga bagi kita.

“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At Taubah 105) 

Senja Utama Jogja, 16 Maret 2012
Anindito W

Source :
https://www.facebook.com/notes/yulian-anindito/apa-salahnya-jadi-pegawaai/10150688573183637

Posted on Monday, April 30, 2012 by Akhdan Mumtaz

2 comments

Friday, April 27, 2012

    Dewasa ini, Rancangan Undang-undang Kesetaraan Gender sedikit mulai menjadi pembahasan. Meskipun pembahasan ini bisa dinyatakan hanya menjadi diskusi oleh segelintir orang. Hal yang sangatlah mafhum dikarenakan hanya sedikit dari kita yang memahami apa sesungguhnya yang terjadi dengan rancangan undang-undang ini. Tulisan ini mungkin tidak membahas terkait hal apa yang ada dalam rancangan undang-undang tersebut. Akan tetapi, tulisan ini lahir akan sebuah sorotan ketika kata “keadilan dan kesetaraan gender” dimunculkan. Secara tersirat, kata ini seperti mempertanyakan apakah sesungguhnya memang tidak ada keadilan dan kesetaraan gender. Dan seperti apakah bentuk keadilan dan kesetaraan gender yang dimaksud. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menilik bagaimana sesungguhnya pandangan keadilan dan kesetaraan gender dalam Islam.


        Kita memulai pemahaman ini dengan sebuah pertanyaan, Bagaimanakah sesungguhnya perempuan itu diperlakukan didalam Islam?
Dalam perjalanan hidup Rasulullah saw, kurang dari hitungan usia satu generasi. Ajaran yang buruk, cara pandang yang salah, perlakuan yang buruk, perlakuan yang tidak adil itu telah berhasil diperbaiki.

Pada masa Jahiliyah, perempuan itu nyaris tidak memiliki nilai. Bagaimana tidak, seseorang yang mendengar istrinya melahirkan seorang anak perempuan akan sangat kecewa sekali. Sehingga mereka sangatlah mampu dan tega untuk mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Kebodohan seperti apa, kezaliman seperti apa yang dapat kita bayankan terjadi pada seseorang sehingga mampu melakukan hal itu.
Bahkan seorang perempuan bisa dijadikan taruhan untuk berjudi, bisa dijadikan alat jual beli dan untuk mencari nafkah dengan jalan menjadi “barang jualan”. Dan dengan kedatangan Islam, semua ini DIRUBAH. BERUBAH TOTAL. Bahkan sekedar untuk memberlakukan untuk membedakan antara anak laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana diriwayatkan ketika Rasulullah saw bertamu ke rumah seorang sahabat. Betapa masih terdapatnya sisa-sisa Jahiliyah yang tertanam pada diri masyarakat Arab. Begitu datang anaknya yang perempuan, sahabat ini mengacuhkan anaknya. Hal yang berbeda ketika datang anaknya yang lelaki. Sahabat itu langsung memangku anak lelakinya tersebut. Sehingga Rasulullah menegur sahabat itu dengan keras perilaku seperti itu.

Pada masa jahiliyah, seorang perempuan, jangankan meminta, memiliki kesempatan untuk berbicara saja nyaris tidak ada. Akan tetapi, pada masa Rasulullah seorang perempuan bisa berdiri dihadapan Rasulullah saw dan dihadapan para sahabat laki-laki yang lain. Berdiri dan mengucapkan pernyataannya dengan lantang.

Beliau adalah sahabiyah yang bernama Asma’ binti Yazid Al-Anshary datang sebagai utusan kaum muslimah untuk menyampaikan beberapa hal. Yang pernyataannya bernada protes. Dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau diutus kepada kami semua, kaum laki-laki dan perempuan. Maka kamipun beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Tetapi kami, kaum perempuan merasa dibatasi. Lal menghadp kepada laki dan berkata, Bagi engkau kaum lelaki, memiliki kelebihan dibanding kami. Melakukan ibadah jumat, dalam hal menjenguk orang sakit, haji berkali-kali dan jihad fi sabilillah. Akan tetapi kami merasa terbatasi. Kami melayani hajat kalian, kami menjaga kehormatan kalian, kami mengandung anak kalian, kami melahirkan anak kalian, kami mendidik mereka, kami menjaga rumah kalian, kamilah menjaga kehormatan keluarga kita. Ya Rasulullah, apakah yang dapat kami lakukan agar kami mampu mendapatkan PAHALA yang SAMA dengan pahala kaum laki-laki.  

Maka Rasulullah sebelum menjawab menoleh kepada sahabat dan berkata “Adakah ucapan seorang perempuan sebelumnya yang lebih baik dari ini?”
Artinya pernyataan ini dipuji. Bayangkan pada zaman Jahiliyah, jangankan berbicara dihadapan laki-laki, mereka tidak memiliki arti. Akan tetapi, pada masa Rasulullah, perempuan mampu menyampaikan secara terbuka.

Rasulullah menjawab, “Dengarlah olehmu wahai Asma’ dan sampaikan kepada seluruh kaum perempuan. Sesungguhnya taatnya seorang istri kepada suami dirumahnya dengan menjalankan semua kewajibannya. Dan itu dilakukan sebagai bentuk karena ridho dan menerima hak-hak suami karena ketentuan syariat. Maka sesungguhnya bagi mereka pahala yang sama dengan pahala yang diperoleh oleh para suami mereka yang keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Akan tetapi, sesungguhnya sangat sedikit sekali dari kalian yang mau menjalankan hal ini.”

Akan tetapi, apakah Rasulullah lantas hanya mengurung para istri itu didalam rumah? Maka jawabannya adalah TIDAK sebagaimana pandangan umum kita yang tidak paham.
Rasulullah Saw masih memberi kebebasan kepada kaum perempuan. Salah satunya dalam menuntut ilmu. Saat pernah datang lagi seorang sahabiyah kepada Rasulullah untuk keduakalinya. Dan berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kaum laki-laki bisa secara bebas datang ke majelismu sehingga mereka mendapatkan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu. Tetapi kami, tidak memperoleh kesempatan itu.  Maka sediakanlah Ya Rasulullah untuk kami, satu waktu ddari waktu-waktumu untuk bisa berkumpul dan mendatangi majelismu. Agar kami juga mendapat pelajaran dari apa yang Allah ajarkan kepadamu”. Rasulullah pun menjawab, “Baiklah, datanglah kalian pada hari ini dan pada hari ini”.

Bayangkan! Ketika yang diminta hanya satu waktu, Rasulullah justru memberikan dua waktu.

Dari beberapa cuplikan perjalanan sejarah Rasullah ini, dapat kita pahami. Betapa Allah telah mendudukan nilai tentang diagungkannya kaum perempuan itu. Sehingga seorang sahabat pernah bertanya, “Ya Rasulllah siapakah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan perlakuan terbaik dari diriku?”. Rasulullah pun menjawab, “Ibumu”. Sahabat itu bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi Ya Rasulullah?”. “Ibumu”. Hingga pernyataan dan pernyataan ini sampai diulangi tiga kali, “Ibumu, Ibumu, Ibumu”.

Hal yang sangat berbeda ketika masa Jahiliyah, dimana seorang ibu seperti tidak memiliki hubungan apa-apa dengan seorang anak. Kecuali ibunya merupakan orang yang terpandang dan bangsawan.

Hal yang tidak jauh berbeda tidak kurang  dari satu generasi sejak masa Rasulullah saw. Yakni pada masa kekhalifan Umar ibn Khatb. Ketika beliau sebagai Amirul Mukminin baru berpulang dari perjalanan dari negeri Syam. Beliau melewati jalan yang berbeda dan menemukan seorang perempuan tua renta, cacat lagi miskin tinggal disebuah gubuk. Nenek itu berkata, “Wahai fulan, apakah Amirul Mukminin sudah pulang?”. Pertanyaan nenek itu kepada Umar tanpa tahu siapa yang berada dihadapannya. Umar pun menjawab, “Amirul Mukminin telah pulang dengan selamat.” Nenek itu pun berkata, “Tidak,… Semoga Allah membalasnya tidak dengan keselamatan.”

Mendengar bantahan ini Umar pun tersentak dan kemudian bertanya, “Wahai ibu mengapa engkau berkata demikian?”. “Ketahuilah, apakah engkau tidak melihat bagaimana diriku. Seorang yang tua renta, cacat dan miskin. Aku hanya mengandalkan bantuan dari tetangga-tetangga. Sejak ia memimpin hingga saat ini, Umar ibn Khatb belum pernah memberikan bantuan kepadaku”.

Mendengar ucapan ini, Umar mencoba untuk mengemukakan alasan. “Wahai Ibu, Barangkali Amirul Mukminin tidak mengetahui keadaanmu, atau mungkin tidak ada yang menyampaikan keadaanmu. Ibu itu pun menjawab dengan kesal, “Bagaimana ia bisa tidak tahu keadaanku, Bukankah ia itu adalah Amirul Mukminin”.

Umar pun menangis dan berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai Umar, alangkah lebih baiknya engkau tidak dilahirkan oleh ibumu”

Bagaimana seorang perempuan tua bisa didengar pernyataannya pada hari itu. Jangankan didengar, dilihat saja tidak ketika masa Jahiliyah. Apalagi oleh seorang pemimpin Negara.
Hingga Umar pun berkata, “Kalau begitu, berapa harga kezaliman Umar ibn Khatb kepadamu? Aku akan membayarnya. Berapapun”. Perempuan itu menjawab, “Engkau jangan menghinaku. Apakah engkau sanggup membayar kezaliman Umar”. Perempuan itu tidak tahu bahwa yang dihadapannya adalah Amirul Mukminin. Hingga sahabat Ali ibn Abi Thalib dan Abdulullan ibn Mas’ud lewat dan memanggil Amirul Mukminin. Ibu pun tersentak karena tidak menyangka bahwa yang dihadapannya adalah Amirul Mukminin. Namun, Umar tetap memohon dan berkata “Tidak Wahai Ibu, Engkaulah yang paling berhak.” Serta membayar nilai kezaliman kepada sang ibu dengan maaf dari sang ibu serta menuliskan pada selembar kain bahwa sang ibu telah memaafkan kezaliman Umar ibn Khatb sejak dia menjadi khalifah hingga ia menghadap Allah swt.          

Dari beberapa perjalanan dan sejarah ini sesungguhnya dapat disimpulkan. Bahwa didalam Islam, perempuan itu sangat dihormati. Maka bagaimana mungkin sebuah kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan itu dipertanyakan. Karena sesungguhnya Islam telah memuliakan kaum perempuan itu sendiri. Semoga Allah memberikan petunjuk dan sifat kehati-hatian pada diri kita. Terutama terhadap segala pemutarbalikan fakta tentang makna keadilan dan kesetaraan gender itu sendiri.
Wallahu a’lam bi shawab
Idzkhir Al Mu’adz
Yk.27.4.2012
19.57 PM

*dirangkum dari Khutbah Jum’at pada hari ini
oleh Ust Ahmad Arif Rif’an



Posted on Friday, April 27, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Tuesday, April 24, 2012


"Sebuah Hikmah Buku  Pesan KMT"

Ketika sebuah evaluasi sering kita lakukan, mungkin salah satu pernyataan yang akan sering muncul adalah tentang komunikasi. Apakah itu miskomunikasi, kurang koordinasi, tidak mendapat informasi, dan alasan lainnya yang menjadikan komunikasi sebagai biangnya. Kasihan juga ketika anak Komunikasi  harus selalu menjadi kambing hitam setiap permasalahan. Lalu masihkah relevan pernyataan-pernyataan seperti ini?

Sebagai awalan, mari sedikit mengingat tentang bagaimana orang tua-orang tua kita bisa berkomunikasi satu sama lain. Ya, bagi kita yang menggunakan sudut pandang hari ini akan berkata, “Sungguh mereka berada dalam sebuah keterbatasan yang nyata”. Bagaimana mungkin dahulu orang-orang bisa janjian untuk bisa berangkat bareng ketika ada kemungkinan mereka datang terlambat beberapa menit. Bagaimana mungkin orang-orang dahulu bisa janjian untuk berkumpul ketika mungkin fasilitasnya hanya lewat ucapan ketika sempat bertemu dijalanan.


Ilustrasinya, coba kita bayangkan ketika kita suatu hari sama-sama berjanji untuk berangkat dari Pariaman menuju Padang. Kita adalah 3 orang yang terpisah berdasarkan 3 tempat tinggal. Pariaman, Pauh Kambar dan Lubuk Alung (nama-nama lokasi nyata bukan fiktif). Nah, bus akan berangkat dari Pariaman sehingga kita akan janjian bahwa yang dari Pariaman berangkat jam 6 pagi. Maka pedoman kita untuk bisa sama-sama berangkat adalah sama-sama bersiap ditempat masing-masing untuk perkiraan berangkat. Perkiraan bus tiba di Pauh Kambar 6.30 sedangkan Lubuk Alung jam 6.45. Dan hanya inilah yang jadi pedoman kita untuk bisa bertemu dan disepakati pada saat janjian. Dan orang-orang terdahulu bisa berkomitmen dengan janji pertemuan ini. Dan itu terbukti tidak menjadi kendala. Hal yang mungkin berbeda dengan saat ini ketika kita cukup mengirim pesan singkat bahwa sekarang kita sudah sampai dimana untuk kemudian teman-teman kita bersiap-siap.  


Atau untuk orang-orang dahulu aktif diorganisasi. Bagaimana mungkin kita bisa menyepakati tentang adanya jadwal rapat, kumpul panitia, koordinasi, dll. Ketika anggotanya terpisah tempat, lokasi, fakultas, jurusan, dll. Saya terkadang masih tidak membayangkan dengan keterbatasan seperti itu, banyak hal-hal besar yang dapat dilakukan. Dan untuk beberapa mungkin secara subjektif dapat dinyatakan bisa jadi lebih baik dari apa yang ada saat ini.


Salah satunya adalah sebuah media menarik dari organisasi saya terdahulu. Yakni “Buku Pesan”. Sebuah media yang menghubungkan sebuah organisasi yang memberi warna perubahan di Fakultas Teknik UGM. Warna perubahan ketika organisasi ini persis dideklarasikan berdiri setelah hari itu ada aksi besar-besaran Reformasi 1998 dan beberapa jam sebelum Alm Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya. Bagaimana mungkin untuk sebuah organisasi yang baru lahir itu bisa sedemikian kuat pada fase awal. Ketika mimpi-mimpi yang dibangun dalam setiap koordinasi, rapat, kepanitiaan dapat terealisasikan tanpa kendala yang disebut komunikasi.


Beberapa hal kunci yang dapat saya peroleh dari membaca buku-buku pesan fase awal organisasi ini diantaranya:
-      Menjadikan “Buku Pesan” sebagai bagian dari aktivitas harian yang tak terpisahkan dari anggota saat itu.
Inilah dasar dari apa yang mereka yakini dari pentingnya saling berkomunikasi. Setiap harinya mereka selalu menyempatkan diri untuk membaca ada info terbaru apakah yang tertulis disana. Dari rencana rapat, rencana agenda organisasi, dll. Bayangkan untuk pengumuman dan rencana rapat dibahas melalui sebuah media tulisan. Ketika lobi jadwal dan penyampaian usulan dilakukan dengan tulisan di buku pesan itu.   
-      Rasa persaudaraan (ukhuwah) dan silaturrahim yang mengakar kuat
Ketika setiap anggota yang telah menyempatkan diri membaca buku pesan dan memperoleh info akan saling mengabari saudara-saudara yang lain ketika bertemu di jalan. Terlepas dari apakah teman yang lain tersebut sudah membaca atau tidak. Apalagi ketika mengetahui bahwa beberapa teman yang lain sedang dalam kesibukan yang luar biasa sehingga dirasa mungkin tidak sempat untuk membaca apa yang tertulis di Buku Pesan
-      Komitmen terhadap waktu
Ketika kesepakatan dan perjanjian yang telah disetujui di pembahasan buku pesan ataupun dari pertemuan sebelumnya berusaha untuk ditepati. Karena tidak ada kesempatan lagi untuk menyampaikan bahwa kita akan datang terlambat beberapa menit sebelum agenda janjian atau membatalkan agenda tiba-tiba. Maka yang lahir adalah aktivitas-aktivitas yang diusahakan tepat waktu.
-      Meyakini bahwa janji sebagai sesuatu yang berharga dan berpengaruh terhadap yang lain
Dikarenakan tentunya ketika janji dan kesepakatan itu disetujui maka tentunya ada hal yang dikorbankan dari kita. Apakah itu agenda kita yang lain seperti belajar, kumpul dengan keluarga atau teman-teman, dll. Sehingga yang hadir adalah sangat berhati-hati dan saling menjaga apa yang telah disepakati. Oleh karena itu, ketika kita benar-benar tidak bisa hadir yang berusaha dilakukan adalah bertemu langsung dengan penanggungjawab agenda untuk menyampaikan bahwa kita tidak bisa. Karena meyakini bahwa izin itu tidak cukup dengan hanya menitipkan pesan kepada teman yang lain.  

Oleh karena itu, bagaimana mungkin dikondisi kita saat ini alasan komunikasi menjadi alasan yang masih klasik bagi kita? Alasan untuk masih dijadikan sebagai problema. Jikalau mau jujur maka kita akan sedikit malu dengan orang-orang terdahulu yang bagi kita berada didalam keterbatasan namun kenyataannya seperti beyond the limit. Padahal hari ini kita telah dibekali dengan berbagai macam fasilitas untuk menanggulangi apa yang kita pandang sebagai keterbatasan itu. Ketika dunia nyaris tidak ada batasnya saat jaringan komunikasi itu begitu luas. Dengan fasilitas telpon genggam yang hampir setiap manusia di bumi ini punya atau bahkan dengan fasilitas pesan khusus seperti Blackberry Messenger. Dengan media sosial yang seperti tidak terbatas lagi dari Facebook, Twitter, dll. Atau mungkin justru media dan fasilitas inilah yang membuat kita semakin menumpulkan arti penting dari komunikasi itu sendiri. Maka  Masihkah Komunikasi Menjadi Problema Kita?

Idzkhir al Mu’adz
Yk.24.4.2012
10.25

Posted on Tuesday, April 24, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Monday, April 16, 2012

Bagi saya tulisan Pak Cahyadi ini seperti membuka sebuah sudut pandang baru tentang hal yang sering menjadi perbincangan, Poligami. Mungkin sebagian kita ada yang sangat sensitif terhadap kata ini. Namun tidak sedikit yang begitu antusias terhadapnya. Dan sedikit yang merendahkan terhadap hal ini. Dan berikut tulisan Pak Cahyadi Takariawan, sebuah kutipan langsung dari tulisan asli beliau. 



Seseorang bercerita kepada saya tentang kisah keluarganya. Berikut saya  ringkaskan penuturannya:
“Cukup lama aku berusaha meyakinkan isteriku, bahwa aku harus menikah lagi. Sangat banyak alasan logis yang mendorongku untuk mengambil keputusan itu. Bagiku, itu bukan keputusan yang mudah. Aku sangat mencintai isteriku, namun aku juga tidak bisa melawan keinginan yang sangat kuat untuk segera menikah lagi.
Bukan, bukan karena aku sudah jatuh cinta kepada seorang perempuan. Aku bahkan tidak mempunyai calon isteri baru, karena itu tidak terlalu penting bagiku. Yang aku perlukan hanya kerelaan isteriku untuk mengerti dan memahami keputusanku itu. Aku berpikir rasional, bahwa jika aku menikah lagi, tidak boleh mencederai keindahan hubungan dengan isteri pertama dan anak-anakku.
Aku harus mendapat dukungan penuh dari isteriku, agar bisa menjelaskan dan memahamkan semua pihak tentang keputusanku ini. Terlebih kepada anak-anakku, jika kelak mereka bertanya mengapa aku beristeri dua. Lebih tepat dijawab oleh isteriku, bukan oleh aku. Demikian juga saat harus menjelaskan keputusan ini kepada pihak keluarga besarku dan keluarga besar isteriku. Rasanya akan lebih mudah mereka terima, apabila penjelasan itu datang dari isteriku.
Jika aku yang harus menjelaskan sendiri semua pertanyaan orang tentang keputusanku untuk poligami, akan tampak sebagai sebuah pembelaan diri dan pembenaran sepihak dariku yang memiliki kepentingan. Orang akan mengatakan kepadaku, “Dasar laki-laki”. Sebenarnya bukan ketakutan akan mendapat jawaban seperti itu yang membuatku mengharap dukungan dari isteriku, namun lebih kepada sebuah harapan kebaikan. Kalau orang akan berkata jelek kepadaku, itu hak mereka. Namun aku sangat berharap isteriku tidak memiliki pikiran jelek kepadaku.
Walau cukup susah dan memerlukan waktu yang lama, namun akhirnya aku berhasil juga mendapat dukungan isteriku. Aku memahami keberatannya, karena memang itu merupakan sesuatu yang rumit bagi dirinya. Aku sabar menunggu kerelaan hatinya, agar ketika ia mendukung keputusanku, tidak karena sebab-sebab paksaan atau ancaman ketakutan dariku. Aku tidak menakut-nakutinya dengan perceraian, aku juga tidak mengancamnya dengan cara apapun. Aku hanya menjelaskan berbagai alasan logis kepadanya.
Luar biasa. Akhirnya perjuangan panjangku membuahkan hasil. Isteriku memberikan dukungan penuh kepadaku, sembari memberikan banyak catatan dan persyaratan. Tidak masalah bagiku. Aku merasa bisa memenuhi berbagai catatan dan persyaratan yang ia ajukan. Soal pembagian hari, soal pembagian nafkah sehari-hari, soal perhatian, soal hubungan dengan orang tua, mertua dan anak-anak. Insyaallah aku akan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya.
Selesai sudah bab pertama, yaitu tentang kerelaan dan dukungan isteri. Sekarang memasuki bab kedua dari proses ini:  siapa yang akan aku nikahi? Bagiku ini lebih mudah daripada bab pertama tadi. Tentang siapa orangnya bukanlah hal yang rumit bagiku, karena aku tidak memiliki syarat-syarat tertentu atau kriteria tertentu. Aku tahu ada banyak gadis yang umurnya sudah cukup tua, di atas tigapuluh lima tahun, yang belum mendapatkan jodoh. Aku juga tahu ada banyak janda yang memerlukan suami untuk meneruskan kehidupan mereka dan membersamai pendidikan anak-anak mereka.
Aku ajak isteriku membahas bab kedua ini. Aku tanyakan apakah ia memiliki teman atau kenalan, yang bisa ia ajukan sebagai calon isteri keduaku. Kami berbincang tentang berbagai nama, kami diskusikan kelebihan dan kekurangannya. Aku berharap, isteri kedua harus bisa diterima oleh isteri pertamaku. Akhirnya sampailah kami kepada nama yang menjadi alternatif pertama untuk menjadi isteri keduaku. Isteriku rela, dan akupun menerima.
Langkah berikutnya adalah menghubungi dan melakukan pendekatan kepada perempuan tersebut. Mencoba menjajagi apakah ia mau menjadi isteri kedua, mengingat usianya yang sudah cukup tua dan belum mendapatkan jodoh. Aku bersyukur, isteriku bersedia melakukan upaya itu. Ia yang akan menghubungi dan menjajagi kemungkinan perempuan itu mau menjadi isteri keduaku.
Selagi kami berproses meneruskan langkah ini, tiba-tiba aku merasakan sakit di bagian perut. Belum pernah aku merasakan sakit seperti ini. Sepertinya bukan sakit perut biasa. Akhirnya aku memeriksakan diri ke dokter di rumah sakit, yang ternyata langsung direkomendasikan untuk bedrest.
Apa boleh buat, aku harus bedrest di rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih intensif dan sekaligus bisa istirahat. Beberapa waktu belakangan ini memang volume pekerjaanku sangat banyak. Menyita banyak waktu dan energi, terlebih lagi aku sangat kurang istirahat.
Rumah sakit rujukan di daerahku ternyata sangat padat saat itu. Ruang VIP sudah penuh terisi pasien, ruang kelas utama juga sudah penuh semua. Tinggal tersedia ruang kelas dua. Akhirnya aku harus mendapatkan jatah perawatan di bangsal kelas dua. Artinya, dalam satu bangsal akan ada dua bed untuk dua pasien. Sesungguhnya aku merasa kurang nyaman, karena kurang ada privasi. Terlebih lagi aku tidak tahu siapa pasien yang akan bersama aku di bangsal itu nanti.
Saat dibawa menuju bangsal, ternyata di dalamnya sudah ada pasien yang juga tengah dirawat. Seorang kakek yang terbaring sakit, ditunggui oleh isterinya, nenek yang juga sudah tua. Dari penampilannya, sekilas aku memperkirakan usia nenek sudah di atas tujuhpuluh tahun. Mungkin bahkan sudah delapan puluh tahun. Aku segera berbaring di bed yang disediakan untukku.
Nenek itu ternyata sangat ramah. Ia menjengukku dan menanyakan sakitku. Akupun menjawab dengan sopan dan membalas dengan pertanyaan serupa, sakit apa kakek hingga dirawat di bangsal ini. Ia bercerita panjang lebar, sejak awal sakitnya si kakek, hingga dibawa bedrest di rumah sakit. Sudah seminggu kakek berbaring di rumah sakit dan selalu ditunggui oleh nenek.
“Apa tidak ada anak atau cucu yang bisa bergantian menunggui kakek?” tanyaku.
“Anak-anak dan cucuku sudah menawarkan untuk menunggi kakek. Tapi aku ingin menungguinya sendiri. Dari dulu aku selalu merawatnya”, jawab nenek.
“Jadi nenek selalu menunggui kakek di bangsal ini?” tanyaku.
“Iya nak, sudah seminggu ini aku tidak pulang. Kakek juga lebih senang kalau aku tunggui”, jawabnya.
Tiga hari aku menjalani perawatan dan pemeriksaan medis di rumah sakit. Setiap hari aku menyaksikan kesetiaan seorang nenek dalam melayani dan menjaga suaminya. Ia buatkan teh panas kesukaan suaminya, ia tuntun si kakek ke kamar mandi, ia bantu kakek memakai baju, ia siapkan obat-obat untuk diminum kakek secara rutin, ia suapi kakek ketika tiba jam makan. Tampak betapa kakek dan nenek itu hidup dalam hubungan yang sangat setia.
Sedangkan aku lebih memilih untuk sendirian ketika malam hari. Aku tidak tega isteriku tidur di bangsal yang sempit ini, terlebih lagi ia harus mengurus anak-anak di rumah untuk keperluan sekolah dan makan mereka. Siang hari saja isteriku datang dan menungguiku, hingga sore. Selebihnya aku lebih suka sendiri, toh ada perawat yang bisa membantu semua keperluanku. Biar isteriku menemani anak-anak di rumah.
Setiap hari nenek memberikan kue dan buah-buahan ke meja di samping tempat berbaringku. Bahkan nenek sering menawariku untuk membuatkan minuman yang aku inginkan. Namun aku selalu menolaknya. Ia sungguh perempuan yang sangat baik hati.
Hari keempat aku diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Alhamdulillah, lega sekali rasa hatiku, bisa keluar dari “ruang pengap” bangsal ini. Rasanya dunia demikian indah saat aku meninggalkan rumah sakit dan kembali ke rumah. Tak lupa aku berpamitan kepada kakek dan nenek, sembari mendoakan agar kakek segera diberi kesembuhan.
“Semoga anak juga cepat pulih dan kembali ke keluarga”, pesan nenek.
“Kapan nenek pulang?” tanyaku bercanda.
“Aku tak akan pulang tanpa kakek, nak” jawabnya. Sudah aku duga.
Aku meninggalkan rumah sakit setelah menyelesaikan semua urusan administrasi. Dalam perjalanan pulang, aku masih selalu terkenang oleh kakek dan nenek di bangsal itu. Sebuah gambaran kesetiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Empat hari empat malam aku satu bangsal dengan kakek dan nenek itu, belum pernah aku dengar suara bentakan mereka. Kakek bahkan tidak banyak bicara. Nenek yang lebih banyak bicara. Tidak ada suara dan nada kasar dari kakek ataupun dari nenek. Bahkan sesekali terdengar nenek bercanda yang membuat kakek tertawa kecil. Sungguh, mereka adalah pasangan setia hingga usia senja.
Sesampai di rumah aku tidak segera beraktivitas. Aku masih harus banyak istirahat. Sungguh aku masih sangat terpesona oleh kesetiaan nenek kepada suaminya di bangsal itu. Ia menjaga suaminya yang berbaring lemah. Sendiri saja. Sesekali waktu anak dan cucunya berdatangan menjenguk, namun segera mereka pulang lagi. Sesekali tetangga dan kerabat datang menjenguk kakek, sebentar kemudian  mereka juga pulang. Tinggallah nenek sendiri menunggui suami.
Entah sampai kapan mereka berdua berada di bangsal pengap itu. Dokter belum memberi keterangan sampai kapan boleh pulang. Nenek tetap setia. Aku belum pernah mendengar nenek mengeluh tentang urusan ini. Luar biasa kesabarannya.
Malam pertama aku pulang ke rumah, bayangan kesetiaan nenek itu demikian lekat di benakku. Aku segera membandingkan dan membayangkan diriku sendiri. Kelak ketika aku sudah tua, seperti kakek itu, apakah isteri masih akan tetap setia kepadaku? Apakah aku dan isteriku tetap bisa berada dalam hubungan yang demikian intim dan hangat?
“Dik, engkau ingat nenek dan kakek di bangsal itu?” tanyaku.
“Iya, aku mengingatnya. Nenek itu sangat ramah kepadaku. Ia perempuan yang sangat baik”, jawab isteriku.
“Apakah kelak ketika aku sudah tua, engkau akan menjagaku seperti nenek itu?” tanyaku.
“Aku akan tetap menjagamu seumur hidupku”, jawab isteriku pendek.
Aku menangis. Segera kupeluk erat isteriku. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa menangis. Mungkin karena kondisi fisikku yang belum terlalu pulih setelah menjalani perawatan selama empat hari di rumah sakit. Mungkin karena aku masih terobsesi oleh kesetiaan nenek di bangsal itu kepada suaminya.
Malam berlalu. Esok pagi terasa sejuk bagiku. Bangun berpagi-pagi untuk menunaikan shalat Subuh. Aku belum bisa ke masjid. Aku shalat di rumah dengan isteri dan anak-anakku. Berjamaah. Nyaman sekali rasa hatiku, merasa memiliki isteri yang setia, dan anak-anak yang meneteramkan jiwa. Aku memimpin doa usai shalat subuh:
Rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina adzabannar
Rabbana hablana min azwajina, wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina imama
Pagi hari ini hatiku sudah sangat mantap. Sudah bulat. Aku tidak akan meneruskan proses pernikahan keduaku. Aku sudah berjanji akan hidup hanya dengan isteriku ini, satu-satunya. Tidak perlu ada isteri lainnya lagi.
Siang nanti, setelah anak-anak berangkat sekolah, aku akan menyampaikan keputusanku ini kepada isteriku…..

Posted on Monday, April 16, 2012 by Akhdan Mumtaz

2 comments

Entah kenapa saya menjadi tergerak untuk menulis tentang fenomena kualitas dan kuantitas dalam sebuah lembaga/organisasi terkhusus lembaga dakwah. Menjadi sebuah hal yang unik ketika berbicara tentang jumlah dan terkadang sulit untuk digambarkan.

Ketika menjalani perjalanan di SMA, kami begitu menikmati ketika pertemuan perdana kelompok ekstrakurikuler, ROHIS menjadi lembaga yang berlimpah ruah untuk dihadiri kedatangannya. Hingga mushola SMA yang kecil saat itu sesak dengan kehadiran siswa baru yang tertarik. Saya sebagai siswa tahun kedua saat itu hanya bisa tersenyum bangga bahwa motivasi untuk mempelajari Islam itu begitu besar. Ketika sosok-sosok yang dilihat saat itu adalah sosok yang unggul dalam prestasi. Seimbang dengan kepahaman yang baik terhadap Islam. Akan tetapi, seperti menjadi sebuah sunnatullah ketika wajah-wajah penuh motivasi itu berkurang menuju akhir keberadaan di lembaga itu. Tidak hanya berkurang bahkan menghilang seolah tidak pernah ada yang datang dilembaga itu.

Dan 3 tahun kemudian saya mengalami hal yang kurang lebih sama. Ketika poster itu tersebar, publikasi sms itu berputar, wajah-wajah dan ajakan itu hadir dimana-mana, pengumuman itu menjadi perbincangan, dan formulir itu menjadi pegangan. Ya, peristiwa yang sama terjadi, Open Recruitment sebuah lembaga. Bukan lagi sekolah akan tetapi kampus. Apa yang terjadi selanjutnya? Wajah-wajah yang penuh motivasi perbaikan itu dengan penuh antusias menuliskan motivasinya, “Ingin belajar Islam”. Sungguh motivasi mulia yang membuat kita menjadi tercambuk. Hati kita terlecut. Nurani kita tergugah untuk melakukan sesuatu. Melakukan sesuatu.

Dan seperti alur mundur yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Wajah-wajah itu menghilang seiring dengan waktu. Ibarat fungsi linear waktu dengan jumlah yang bergradien negatif. Pada akhirnya kuantitas itu menjadi berkurang.

Ada yang berujar bahwa yang penting adalah kualitas bukan kuantitas. Dan bagi saya ini biasanya menjadi sudut pandang orang-orang kaderisasi (PSDM-read). Namun ada yang berpandangan sebaliknya. Bahwa kuantitas itu sangat penting karena bagaimana mungkin sesuatu itu bermanfaat ketika dia hanyalah dibawa sedikit orang. Bagi sebagian orang ini adalah sudut pandang syiar (Event-read). Dan tetap ada yang akan memilih untuk berkata bahwa dua-duanya adalah sangat penting. Kuantitas dan Kualitas.

Tidak ada yang salah terhadap pilihan-pilihan ini. Dikembalikan kepada sudut pandang kita saat melihat. Namun, bagi saya ketika menyatakan diri bahwa kuantitas dan kualitas adalah sebuah keharusan. Tidak lain dan tidak bukan karena memandang dengan targetan besar ini ada sebuah loncatan besar yang harus dilakukan. Ada usaha maksimal terhadap hal itu. Sehingga biarlah Allah yang memberikan hasil atas ikhtiar kita. Biarlah Allah yang menentukan siapa yang bertahan dari jumlah itu. Bukan berpasrah diri dengan pernyataan bahwa sebuah keharusan pada akhirnya jumlah itu menjadi segini.

Karena ketika Allah yang memberikan sebuah kuantitas akhir dari ikhtiar maksimal kita. Maka bisa jadi makna kuantitas yang sedikit dalam pandangan kita itu merupakan kuantitas yang besar dihadapan Allah swt.

“………Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (Q.S Al Baqarah: 249)

Maka masihkah kita harus sedih ketika berjumlah sedikit dengan ikhtiar maksimal kita?


Yk.17.4.2012
Idzkhir Al Mu’adz

Posted on Monday, April 16, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, April 12, 2012

Heboh draft UU Kesetaraan Gender sedikit menggelitik keingintahuan. Kembali mengingat apakah bentuk seharusnya dari pemahaman kesetaraan gender itu. Apakah murni untuk memperjuang kaum hawa atau hal lain? 

Dan sedikit paham dari lirik sederhana senandung Nazrey Johani yang tanpa sengaja ditemukan. Betapa ketika Islam itu hadir sangat mengagungkan kaum hawa. Apakah ini sama dengan sekedar memahami makna sempit dari kesetaraan gender? Bagi saya world view menempatkan kaum hawa justru pada tempat yang sangat agung...

Muslimah

Oh muslimah
Allah cinta kepadamu
Rasulullah kasih kepadamu

Oh muslimah
Berbahagialah kau telah dilahirkannya dengan mulia

Subhanallah
Tuhan telah berkati wanita yang cukup ilmu
Rendah hati

Oh muslimah
busanamu menutup rapi
auratmu kau lindungi dengan indahnya

Oh muslimah
kau rajin memuji
Islam kau jadikan ikutan sejati

Oh muslimah
memandangmu menyejuk hati
menundukkan nafsu hati yang goyah
Keayuan wanita solehah indah peribadi
Tulus hatinya

Oh muslimah
Kecantikan yang sebenar
Pada tutur kata penuh berhikmah

Mempertahan kehormatan dirimu
dengan pakaian mentaati Allah

Oh muslimah
Kau masuk ke syurga
Solat lima waktu dan berpuasa
Menundukkan pandangan matamu
Mentaati suami yang tercinta

Oh muslimah
Kau rajin mengaji
Islam kau jadikan
Ikutan sejati

Posted on Thursday, April 12, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Friday, April 6, 2012

“Niat kegiatan yang baik perlu juga dibarengi dengan perencanaan yang baik sehingga hasil dapat seperti yang diharapkan” (RS:2012)

Terdapat sebuah pertanyaan menarik yang muncul saat dilaksanakannya sebuah kajian di Jurusan Teknik Mesin dan Industri baru-baru ini. Pertanyaan sederhana, Mengapa Kajian-kajian Keislaman seperti di Mushtek hanya diikuti oleh segelintir orang? Bahkan peserta yang mengikutinya mungkin hanyalah orang-orang yang sama. Lho lagi.. lho lagi…ketika melihat wajah-wajah yang hadir di tempat tersebut.

Disadari atau tidak memang inilah realitas yang terjadi dewasa ini. Ketika kita melihat setiap sudut masjid dan forum-forum majelis ilmu yang lain. Tiang-tiang masjid sudah menjadi peserta yang membuat forum-forum itu semakin ramai. Lalu apakah jawaban dari pemateri saat itu? Hanya sebuah kata, Mujahadah. “Mungkin  itulah yang dituai dari mujahadah yang panitia yang menyelenggarakan kajian tersebut”, ungkap pembicara saat itu.

Yup, mungkin inilah keumuman yang harus menjadi bahan evaluasi kita bersama. Bagaimana kita yang selama ini menyatakan diri men-”syiar”-kan ilmu serius ataukah tidak. Bagaimana mungkin masyarakat akan tertarik ketika persiapannya saja tidak pernah matang. Ketika pembicara baru dihubungi beberapa hari bahkan beberapa jam dari waktu acara. Ketika publikasi baru bisa tersebar di H-1. Ketika semua perlengkapan dari sound system, tempat acara, dll semua dikebut selama satu malam. Ibarat Bandung Bandawasa yang mampu mendirikan 1000 candi dalam satu malam.

Padahal dalam pembahasan strategy impelementation dinyatakan, “Sebuah program yang baik adalah program dengan mimpi yang matang”. Mimpi yang matang bermakna perencanaan matang, jelas, punya target dan tujuan. Tidak sekedar memahami bahwa yang terpenting program bisa dijalankan. Mimpi yang matang adalah mimpi yang punya idealisme. Bukan mimpi yang bagaimana adanya dan biasa-biasa saja. Sehingga inilah bentuk kesungguhan kita.

Kita dapat berdalih bahwa sesuatu yang baik pasti akan dimudahkan. Padahal dalih itu hanyalah wujud kepasrahan. Kepasrahan bukan ketawakalan. Berbeda karena kepasrahan berkonotoas belum ada ikhtiar maksimal kita disana. Inilah yang terkandung dalam kata “Mastatho’tum” yang tercantum didalam Al Qur’an.
Sehingga sudah saatnya kita yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat untuk serius dan bermujahadah.


Yk.5.4.2012
*tergelitik dengan sebuah nasehat seorang dosen yang saya kutip ditulisan pembuka

Posted on Friday, April 06, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments