Friday, February 17, 2012

Mungkin inilah makna liburan sebagai momentum meningkatkan kapasitas diri. Momentum dimana kebanyakan kita terlena untuk tidak memanfaatkan peluang ini. Peluang yang saya maksud adalah training kepenulisan (jurnalistik). Sebuah hal baru untuk saja jajaki dan pelajari.

Tetesan tinta ini dimulai dari hari Kamis 16 Februari hingga 18 Februari 2012. Rangkaian program yang nantinya ditutup dengan kunjungan ke Radar Jogja. Hal yang menjadikan program ini berbeda dengan training kepenulisan umumnya adalah karena ini khusus diprogramkan kepada kami, 16 santri Lembaga Pendidikan Insani. Dan diefektifkan menjadi 3 hari non stop dengan harapan kami menemukan karakter kepenulisan masing-masing. Kurang lebih seperti itulah gambaran yang disampaikan Bapak Sugarbo selaku Ketua LPI Yogyakarta saat memberikan pengantar training kepenulisan ini. Meskipun disebut sebagai sebuah pengantar, akan tetapi lebih sesuai untuk saya nyatakan sebagai percikan awal motivasi menulis. Mungkin karena latar belakang beliau yang juga merupakan orang jurnalistik bahkan bisa dibilang “Mbah-nya jurnalistik”, ujar salah satu pemateri.

“Penulisan adalah sebuah kata yang tidak jauh dari apa yang kita namakan komunikasi”, buka Bapak Sugarbo. Yakni ketika kita memahami tentang siapa yang menyampaikan pesan (sender), pesan apa (what) dan dengan media apa kita menyampaikan, untuk diterima siapa (to whom) serta dampak apa yang dimunculkan dari pesan tersebut (effect). Dan dari aspek tersebut coba kami pahami adalah aspek media komunikasi atau penulisan itu. Yakni media, terkhusus media massa.

“Apakah media itu bersifat objektif?”, tanya Pak Garbo dalam membuka wacana. Pertanyaan ini seperti menjadi hal yang tidak selesai untuk kami diskusikan. Terutama dari berbagai sudut pandang yang kami miliki. Beberapa ada yang menganalisis dari sudut ideologi, ekonomi, politik, pelakunya, dll. Hal yang sedikit kami pahami dari diskusi tersebut adalah bahwa objektivitas media adalah objektivitas subjektif. Maka setiap media pasti akan membawa sebuah sudut subjektivitas dalam setiap penyampaiannya bahkan ketika media itu menyatakan diri sebagai media yang tidak mengambil subjek manapun.

Selanjutnya kami mencoba untuk memahami sebuah prinsip penulisan. Yakni rentang pilihan yang ada pada setiap tulisan adalah rentang antara fakta dan fiksi. Ada yang kuat dalam fakta, inilah yang harusnya hadir dalam sebuah berita. Dan ada yang lebih kuat dalam fiksi, aspek yang melahirkan novel, cerpen, dll. Tentunya ada yang mengambil bagian tengah antara fiksi dan fakta yang melahirkan karya ilmiah, essay, dll. Hal inilah yang akan coba kami temukan pada karakter kami. Namun kecenderungan terbaik yang coba kita capai adalah berada pada wilayah pertengahan menuju fakta. Karena disanalah sebuah keilmiahan dan objektivitas itu hadir. Ya, sebuah pengantar yang mencerahkan sore itu ketika akhirnya ditutup menjelang adzan Magrib.
----------------

Eits... perjalanan agenda hari itu pun masih belum selesai. Karena masih ada sesi pertama materi pada hari itu yakni “News Reporting”. Dan tepat pukul 20.00 WIB kami menerima kedatangan seorang praktisi jurnalistik. Beliau adalah Bapak atau lebih tepatnya dipanggil Mas Erwan Widiarto. Seorang wartawan yang sudah cukup lama berada di Jawa Pos. Saat ini pun beliau memegang tanggungjawab merancang I-post atau bentuk surat kabar digital dari Jawa Pos. Bersama beliau kami menggali topik dan diskusi menarik bertemakan Bagaimana Menulis Berita yang Baik.

Dari pembahasan materi inilah terdapat pengetahuan yang harusnya menjadi pengetahuan setiap orang yang ingin menulis berita bahkan “menjadi” sebuah berita. Beberapa poin utama dari pembahasan ini adalah bagaimana menentukan sebuah nilai berita. Dimana, kurang lebihnya terdapat 12 poin yang beliau sampaikan berdasarkan apa yang didapatkan selama di Jawa Pos, yakni :
- Hangat
- Signifikan
- Eksklusif
- Unik/Aneh
- Proksimitas
- Dramatik
- Ketokohan
- Konflik
- Informatif
- News Trend
- Memiliki misi
- Ada angle lain

Dari 12 indikator inilah sebuah berita diberi bobot sebagai tulisan yang bernilai berita. Itulah akhirnya yang kita baca sebagai berita, headline koran, tajuk, opini, dll. Maka inilah yang menadi sebuah tips sederhana dari Mas Erwan untuk mereka yang bercita-cita agendanya menjadi bahan liputan media. Prinsip jurnalis itu adalah tidak menerima suap melainkan meliput berita yang dapat memenuhi beberapa atau salah satu dari 12 kriteria diatas. Sebagai contoh, acara bakti sosial tidak akan bernilai berita ketika hanya diadakan sekelompok mahasiswa. Akan tetapi, akan menjadi nilai berita ketika acara bakti sosial tersebut bersama dengan Sheila on 7 karena ada aspek ketokohan disini. Atau berita mahasiswa yang sedang tidur dikelas tidak akan bernilai berita. Hal yang berbeda ketika beritanya adalah Anggota Dewan sedang tidur di Senayan karena ada aspek signifikan atau memberi dampak kepada orang banyak disana.

“Media adalah mesin pembuat lupa”, salah satu pernyataan saat diskusi bersama Mas Erwan. Hal inilah yang mungkin sering menjadi pertanyaan kita ketika sebuah media dapat membuat opini dari berita-beritanya dalam bebeberapa minggu. Akan tetapi, bisa hilang dan dilupakan karena sebuah berita pada satu hari saja. Misalnya berita tentang kasus Bank Century yang nyaris mewarnai media selama beberapa waktu. Kasus ini dapat hilang hanya karena berita final piala AFF Indonesia yang dihadiri Presiden RI. Maka disinilah nantinya terdapat peran bagaimana sebuah media itu memiliki visi idealis. Sehingga untuk berita-berita yang berpengaruh signifikan pun tetap terjaga ingatan pembacanya. Meskipun layak tergerus atau dijadikan lupa oleh berita lain meski hanya melalui tajuk kecil disatu sudut koran.

Dan pendalaman pemahaman yang menari untuk hari pertama ini. Insya Allah masih ada beberapa hari penuh pengalaman dan pengetahuan lainnya dari Training Kepenulisan ini. Oya, sebuah pilihan dari apa yang diperoleh hari ini adalah termasuk bagian manakah kita dalam memahami media atau menjalankan peran sebagai jurnalis-jurnalis dikampus? Idealis atau ?

Posted on Friday, February 17, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Saturday, February 4, 2012


Hal ini terbersit ketika ada salah seorang sahabat memunculkan pernyataan ini. Pernyataan tentang adanya zona nyaman dan zona tidak nyaman. Pemahaman yang mungkin bisa dipahami ketika melihat kondisi realitas gerakan aktivis hari ini. Ada yang merasa berada diwilayah nyaman, ketika dia bebas menunjukkan jati diri, bebas menunjukkan idealismenya, bebas bereksplorasi tanpa takut terbatas oleh wajah-wajah lain. Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa dia berada diwilayah tidak nyaman, kering dan tandus, dan harus menggunakan wajah lain untuk menunjukkan jati diri. Pada satu titik, saya pernah menganggap hal ini memang benar adanya. Namun, ketika sedikit mencoba memahami lebih dalam maka pandangan saya justru sebenarnya pandangan terhadap zona ini hanyalah akan membatasi diri kita untuk berada diwilayah yang lebih luas.

Saya memulai pandangan ini dengan latar belakang keberadaan saya dibeberapa tempat yang mungkin akan dianggap nyaman dan tidak nyaman.

Semua pemahaman ini mungkin bisa sedikit dibawa kebelakang ketika saya berada di organisasi yang berbeda karakter pada masa SMA. Mungkin bisa dibilang nyaris mencoba berada disemua karakter organisasi. Latar belakang saya di SMP adalah Ketua OSIS sehingga mungkin sebagian akan sedikit berbangga dengan cap tersebut. Karena kans untuk organisasi yang ada di SMA cukup besar. Dan pada perjalanannya saya benar-benar berada dibanyak tempat dengan beberapa karakter.

Tempat pertama saya adalah organisasi dengan karakter “dakwah” yakni ROHIS SMA Negeri 1 Pariaman. Ini bukan organisasi pertama saya sebenarnya, akan tetapi organisasi inilah yang pertama kali mengaktivasi saya ketika diamanahkan sebagai Sekretaris Panitia Gema Muharram SMA 1 Pariaman dilanjutkan dengan beberapa kepanitiaan lainnya (nyaris lupa namanya karena sudah beberapa tahun yang lalu). Dan ini mencapai pusat pusarannya ketika di tahun kedua saya diamanahkan sebagai Ketua ROHIS SMA 1 Pariaman. Sebuah peran ganda nantinya yang saya jalankan dengan kondisi yang berbeda. Hal ini akan dijelaskan ditulisan selanjutnya. Dan pada masa saya memasuki fase kampus, saya pun juga hadir di organisasi dengan karakter yang tidak jauh berbeda. Yakni Keluarga Muslim Teknik UGM dan Sentra Kerohanian Islam Jurusan Teknik Mesin Industri. Dan bisa saya nyatakan bahwa proses pembentukan terbesar saya pada fase ini adalah ketika diamanahkan sebagai Koordinator Biro Khusus Kaderisasi KMT.

Apa yang saya peroleh dari karakter organisasi ini mungkin paling banyak dianggap nyaman. Karena berada dilingkungan yang sangat sesuai dengan karakter yang harus diperlihatkan. Apa itu? Keislaman. Dan anggotanya pun harusnya sudah memahami atau sedikit memahami peran mereka disana. Meskipun mungkin masih ada yang terkategori ikut-ikutan dulu untuk memahami. Ketika kita dengan mudah mengumandangkan “Allahu Akbar”. Ketika kita sebenarnya dengan mudah memperlihatkan nama-nama dari agenda dengan Bahasa Arab seperti Madrasah, Tahsin, Dhouroh, dll.

Tapi apakah benar tempat ini bisa dikategorikan nyaman? Sungguh sudut pandang pada satu sisi saja. Betapa perang pemikiran terhadap semua label Islam itu menjadi sebuah ketidaknyamanan terhadap organisasi dengan karakter ini. Label radikal, ekstrimis, sarang teroris, tempat aliran sesat bisa merasuk, sarang rekrutmen aliran tertentu, dll seolah menjadi hal biasa untuk dirasakan. Saya teringat dengan sebuah fase sangat menegangkan pada masa SMA ketika setiap siswa putri yang berjilbab “dalam” dicurigai bahkan dipertanyakan ketika sebuah aliran tertentu heboh diberitakan media saat itu. Tidak hanya bagi yang putri, juga teman-teman yang putra berguguran karena diingatkan oleh orang tuanya untuk tidak terlalu berlebihan dalam aktivitas keislaman. Fase yang benar-benar jadi ujian pada masa itu. Dan pada fase kampus juga tidak jauh berbeda, ketika Takmir Musola menyampaikan untuk selalu berkonsultasi terhadap tema setiap kajian karena disinyalir akan diawasi pihak tertentu yang berwenang.

Dari faktor internal organisasi juga mungkin agak unik dibanding organisasi lain. Organisasi tipe ini sangat mudah untuk ditinggalkan karena berbagai faktor. Dari mereka yang beralasan merasa tidak pantas dengan kondisinya saat ini berada di tipe organisasi ini ataupun karena merasa tidak ada sebuah ikatan penuh dengan organisasi ini. Padahal bukankah ikatan keislaman itu adalah sebuah ikatan yang sangat kuat. Sebagaimana yang kita pahami dengan ayat “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara”.

Disamping itu, juga ada sebuah keunikan bagi saya dengan organisasi tipe ini. Yakni dalam aspek profesionalisme karena saya meyakini adalah sebuah keniscayaan bagi organisasi tipe ini. Akan tetapi, uniknya pasti akan selalu ada yang menyebabkan segala sesuatu di organiasi tipe ini yang mencederai aspek profesionalisme itu sendiri dalam sudut pandang kalangan profesional. Saya pun terkadang bingung untuk menjelaskan kondisi ini karena saya sendiri termasuk orang yang menjunjung tinggi profesionalisme. Namun, mungkin inilah yang dinyatakan Allah sebagai sebuah pembelajaran ketika justru berada diluar. Dan itu sungguh terbukti. Betapa banyak orang yang ketika mencoba untuk menerakan aspek itu diorganisasi tipe ini justru berhasil ketika menjalankannya diluar organisasi tipe ini. Lalu apakah ini yang disebut dengan wilayah yang nyaman?

Mari kita lanjutkan dengan tipe kedua, yakni organisasi dengan karakter “strategi” atau politik. Maka organisasi tipe inilah yang sesungguhnya lebih awal saya geluti. Berawal dari amanah sebagai Ketua Kelas menuju Ketua OSIS SMP, berlanjut kepada kondisi yang sama saat SMA sebagai Ketua Kelas abadi selama 3 tahun dan mencapai peran sebagai Sekretaris OSIS SMA (orang kedua OSIS) saat itu. Inilah amanah yang saya nyatakan sebelumnya menjadi peran ganda karena bersamaan dengan amanah Ketua ROHIS kala itu. Dan ini juga amanah yang mempertemukan saya dengan Pengurus OSIS Se-Indonesia saat itu dalam acara Kepemimpinan OSIS Nasional Tahun 2007 sebagai yang terpilih untuk mewakili propinsi Sumatera Barat bersama rekan SMA 1 Padang. Hal ini berlanjut ketika berada pada masa kampus untuk berada di tempat dengan tipe yang sama yakni Himpunan Mahasiswa Teknik Industri UGM. Dan peran terbaik selalu saya kontribusikan ditempat ini pada tahun pertama saya bisa hadir disana hingga sempat terniat untuk menjadi Wakadept saat itu. Hingga akhirnya jalan justru lebih membutuhkan saya ditempat lain. Dan puncak tipe ini saya rasakan ketika berperan di PPSMB Fakultas Teknik sebagai Steering Commitee sekaligus Organizing Commitee saat itu.

Lalu apakah wilayah ini bisa dibilang wilayah yang nyaman? Justru sangat banyak yang menyatakan tempat ini sebagai tempat yang tidak nyaman. Keumuman berada di tipe ini adalah kedekatan dengan orang-orang “penting”. Siapa? Tentu saja pejabat-pejabat institusi seperti Kepala Sekolah, Waka Kesiswaan ataupun Ketua Program Studi, Ketua Jurusan, Dekan, Rektor, Wadek Kemahasiswaan,dll. Terlepas dari apa yang sering disebut sebagai sering terjadi konfrontasi atau perbedaan pendapat, pemaksaan kehendak, dll antara dua pihak ini. Akan tetapi, justru karena itulah menjadi penguat hubungan antara orang-orang yang berada pada organisasi tipe ini dengan pihak-pihak penting tersebut. Coba saja dibandingkan dengan mereka yang berada di organisasi tipe pertama. Disamping itu, ada sebuah jarak kedekatan yang lebih juga dengan siswa ataupun mahasiswa pada organisasi tipe ini. Karena pandangan terhadap organisasi ini adalah umum.

Dan dimanakah ketidaknyamanan yang sering menjadi pertanyaan tersebut? Bagi saya ini hadir dari pandangan memberikan batasan dan perbedaan antara diri kita dengan organisasi tipe ini. Ketika kita merasa bahwa kita tidak bebas menunjukkan jati diri kita, ketika orang-orang yang berada disini kita anggap sangatlah berbeda dengan kita, ketika atmosfer yang ada di tipe organisasi ini sangatlah berbeda dengan kita. Ya, lebih kepada sudut pandang internal pribadi kita. Padahal tidak ada yang harusnya menjadikan kita memberi sekat karena itulah tipe organisasi ini. Justru hal ini dikembalikan kepada frame berpikir awal yakni tipe ini adalah tipe yang nyaman hanya punya cara berbeda. Ketika kita tetap bisa menjadi diri sendiri sehingga memberi warna kepada tipe ini. Dan inilah yang saya rasakan ketika menjalani peran ini di tempat dengan tipe ini.

Dan tipe ketiga adalah tipe organisasi dengan karakter “minat dan keilmuan”. Dan bagi saya karakter tempat ini adalah tempat dengan penuh kebahagiaan. Mungkin dikarenakan saya sempat hadir di KIR SMA, Tim Olimpiade Kimia SMA, Tim Debat Bahasa Inggris SMA, Tim Kesenian SMA, dan Pencak Silat “Tapak Suci” SMA. Dan dari tempat inilah saya bisa meraih prestasi-prestasi masa lalu. Sebagian pandangan mungkin tipe ini tipe yang sangat nyaman. Kita bergelut dengan minat kita sehingga sangat menikmati setiap perjalanannya. Akan tetapi, realitas yang saya pahami adalah tidak hanya berkaitan dengan ketertarikan dan antusiasme yang tinggi. Tapi bagaimana mengampu peran untuk menjalankannya. Maksudnya, betapa banyak ikatan kehadiran di tipe organisasi ini hanyalah simbiosis mutualisme tanpa ada ikatan kuat kecuali minat dan antusiasme itu sendiri. Ketika berhasil maka cukup berterima kasih namun belum bisa melakukan keberlanjutan terutama kesiapan pengurus-pengurusnya. Inilah yang sempat saya rasakan ketika nyaris mendapat amanah yang bersamaan sebagai Ketua Ekskul Tapak Suci. Amanah yang tidak bisa saya terima hingga akhirnya organisasi ini mati suri setelah periode saya.

Dan pada akhir tulisan ini saya mencoba menarik garis penghubung terkait pandangan nyaman dan tidak nyaman ini. Sesungguhnya tidak ada tipe berkontribusi yang sangat dominan kenyamanannya ataupun sangat dominan ketidaknyamanannya. Faktanya adalah setiap tempat itu pasti punya resiko nyaman dan tidak nyaman dikembalikan kepada pola pikir mereka yang berada disana. Yang harusnya hadir adalah bagaimana kontribusi maksimal kita disetiap tempat yang ada. Bagaimana kita bisa mengisi kekosongan yang hadir ditempat kita berada serta memahami apa yang dinamakan kebutuhan. Perjalanan saya dibeberapa tempat tersebut justru lebih banyak dikarenakan sedikit menyadari dimana peran saya dibutuhkan, dimana peran itu kosong dan terkadang bagi sebagian orang akan mengorbankan idealisme. Namun, ketika setiap hal tersebut dibangun dengan tujuan awal yang benar sesungguhnya tidak ada yang dikorbankan melainkan ada sebuah kebermanfaatan disana.
Wallahu a’lam bishowab

Yogyakarta, 4 Februari 2012

Tepat saat adzan ashar berkumandang 15:11 WIB

Idzkhir al Mu’adz

Posted on Saturday, February 04, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments

Thursday, February 2, 2012


“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong.”(Asy Syura :8)

Hm.. Ungkapan yang menjadi judul ini pernah dimunculkan oleh seseorang yang menjalankan amanah justru diranah (kavling-read) ini Bukan karena hal tersebut adalah pandangan beliau melainkan karena beliau menyadari apa sejatinya pandangan yang hadir terhadap tempat beliau berada saat ini. Hingga diskusi hangat ini pun berlangsung cukup lama diantara segelintir orang yang hadir saat itu. Dan pada kondisi ini, saya berada pada sudut pandang mencoba berpikir bagaimanakah realitas kondisi yang hadir pada saat itu. Ya, dengan konteks dan realitas kader sebagaimana yang menjadi bagian sedikit yang bisa saya pahami.

Pertama, saya mencoba kembali mengingat mengapa ada pemahaman tentang ranah-ranah atau zona-zona dakwah. Apakah itu murni hadir untuk mengkotak-kotakan wilayah dakwah, untuk memisah-memisahkan tempat beramal, untuk membedakan satu sama lain. Dan ternyata Allah berfirman dalam Q.S. Asy Syura : 8 sebagaimana yang telah dibuka dibagian awal. Atas dasar ini saya memahami bahwa sesungguhnya amal ini adalah dalam kerangka satu kesatuan gerak yang harusnya tidak terpisahkan. Ari Abdillah dalam “Paradigma Baru Dakwah Kampus” menyatakan bahwa pembagian ranah ini adalah untuk melakukan harmonisasi sebagai upaya mengoptimalkan potensi masing-masing. Dan harmonisasi ini mencakup pembagian atau kerjasama peran, bidang garap, isu, objek dakwah dan hal-hal lain, sehingga tercegah kondisi tumpang tindih, kesenjangan atau saling memperlemah antar elemen dakwah yang ada”.

Maka zona-zona ini bagi saya ibaratnya hanyalah sebuah wilayah dalam tanah sekian hektar dengan kavling-kavling yang tidak diberi pagar. Yang ada hanyalah sebuah batu penanda antara satu kavling dengan kavling yang lainnya. Sehingga wilayahnya adalah sama, sama-sama dalam garapan tanah yang sama. Maka apapun kavling kita itu sesungguhnya berada pada wilayah yang sama. Apakah itu kavling siyasi, da’awy, ilmy, ilamy, sya’bi, iqtisadiyah, maupun kavling-kavling lain yang masih sangatlah banyak.

Kedua, lalu bagaimana seharusnya peran dari masing-masing kavling tersebut? Apakah
cukup dengan memberadakan diri dikavling-kavling yang telah ada tersebut? Untuk hal ini saya ilustrasikan dengan contoh yang semoga tidak dianggap aneh. Yakni Kagebunshin-nya Uzumaki Naruto. Ada apa dengan kagebunshin tersebut? Bagi penggemar tokoh ini tentu akan paham bahwa peran kagebunshin adalah menjadi kekuatan pendukung dalam penguasaan ninjutsu maupun untuk mengalahkan musuh bagi Naruto. Nah, bagi saya setiap ranah dakwah itu ibarat kagebunshin-kagebunshinnya Uzumaki Naruto sedangkan sosok asli kagebunshin adalah dakwah itu secara kesuluruhan. Ketika waktu bertahan kagebunshin tsb habis dia memberikan informasi bahkan tambahan ilmu dari apa yang telah dialami kepada sosok asli dari Kagebunshin.

Dan begitu juga seharusnya peran masing-masing ranah itu. Keberadaannya menjadi saling mendukung untuk sesuatu yang menjadi bagian utama yakni dakwah itu sendiri. Masing-masing kagebunshin (ranah-read) berusaha dengan kekuatan maksimal sesuai dengan kesadaran akan waktu dia bisa bertahan untuk memberikan hal yang terbaik yang dia miliki. Maka itulah ranah-ranah dakwah itu, kavling-kavling itu, memberikan hal yang terbaik yang dia miliki untuk bangunan utama dari dakwah itu sendiri.

Dan ketiga, maka bagaimanakah dengan kita masing-masing yang saat ini berada pada kavling-kavling tersebut? Sesungguhnya hal yang telah dinyatakan sejak awal tulisan ini yakni memberikan hal terbaik yang kita miliki untuk masing-masing kavling tersebut. Ketika kita ingin menabur benih pohon-pohon dan tanaman sehingga menjadikan kavling kita sebagai ladang yang berbuah maka kita benar-benar menjadi seorang petani terbaik. Ketika kita ingin membangun sebuah bangunan yang kokoh dan indah di kavling tersebut maka kita benar-benar menjadi seorang penyusun batu-bata terbaik. Dan ketika kita ingin menjadikan kavling tersebut sebagai padang rumput yang luas maka kita benar-benar menjadi seorang perawat rumput terbaik.

Dan bagaimana hubungan antara kita dengan orang-orang dengan kavling yang berbeda?. Tentunya yang akan hadir adalah tidak ada yang merasa superior dibandingkan yang lain. Seorang petani tidak akan merasa lebih daripada seorang penyusun batu bata karena memang kemampuannya adalah sebagai petani begitu juga sebaliknya. Maka begitu juga seharusnya bagi kita yang berada dikavling-kavling yang berbeda. Tidak merasa kavlingnya lebih baik daripada yang lain. Sehingga tidak ada ungkapan yang muncul bahwa kavling saya lebih menantang dibandingkan kavling tersebut. Karena lebih tandus, berbatu-batu, keras dan penuh keringat dan darah untuk mengolahnya. Tidak ada ungkapan bahwa kavling tersebut “cupu” dan tentu saja mudah diolah karena tanahnya sangatlah subur, berhumus dengan sumber mata air yang sangatlah lancar. Karena sesungguhnya setiap kavling itu sama pentingnya untuk diolah dengan bentuk pengolahannya yang tentu saja akan berbeda. Yang harus senantiasa kita ingat tidak lain dan tidak bukan adalah kavling- kavling itu berada pada wilayah yang sama.

“Suatu hari nanti saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berda di antara mereka, yang bercerita tentang perjuangan yang indah, dimana kita, sang pejuang itu sendiri. Tak pernah kehabisan energi tuk terus bergerak, meski terkadang godaan tuk berhenti atau bahkan berpaling arah begitu menggiurkan. Keep istiqomah!!”
Wallahu a’lam bi showab

Yogyakarta, 2 Februari 2012 M
10.40 WIB



Idzkhir al Mu’adz

Posted on Thursday, February 02, 2012 by Akhdan Mumtaz

No comments